PERCERAIAN DAN PERNIKAHAN KEMBALI


"UCAPAN YESUS YANG SULIT"




Markus 10:11-12 (TB)  

Lalu kata-Nya kepada mereka: "Barangsiapa menceraikan isterinya lalu kawin dengan perempuan lain, ia hidup dalam perzinahan terhadap isterinya itu. Dan jika si isteri menceraikan suaminya dan kawin dengan laki-laki lain, ia berbuat zinah."

Mark 10:11-12 (NET)  

So he told them, “Whoever divorces his wife and marries another commits adultery against her. And if she divorces her husband and marries another, she commits adultery.”

Mark 10:11-12 (KJV)  

And he saith unto them, Whosoever shall put away his wife, and marry another, committeth adultery against her.
And if a woman shall put away her husband, and be married to another, she committeth adultery.

Mark 10:11-12 (NKJV)  

So He said to them, "Whoever divorces his wife and marries another commits adultery against her.
And if a woman divorces her husband and marries another, she commits adultery."


Hidup Kristen - Ini dirasa sebagai perkataan yang keras oleh para murid yang “mula-mula mendengarnya, dan ini tetap merupakan perkataan keras bagi murid-murid di masa kini. 

Tuhan Yesus diminta untuk memberikan sebuah ketetapan mengenai sebuah hukum yang sedang diperdebatkan dalam aliran-aliran Yahudi. 

Di dalam Ulangan 24: 1-4 terdapat sebuah hukum yang berbunyi “Apabila seseorang menceraikan istrinya sebab didapatinya 'yang tidak senonoh” padanya dan ia kemudian menikah dengan orang lain yang juga menceraikannya, maka suaminya yang pertama tidak boleh mengambil dia kembali menjadi istrinya.” 

Hukum ini, yang melarang seorang laki-laki yang telah menceraikan istrinya untuk mengawininya kembali setelah ia hidup bersama suami yang kedua, tidak memberi petunjuk mengenai tata cara perceraian. Perkataan ini membuat kita beranggapan bahwa kata cara perceraian telah ada. 

Di dalam hukum PL tidak ada perintah yang jelas-jelas berbicara mengenai prosedur perceraian. Tetapi dalam konteks ini tersirat bahwa untuk menceraikan seorang wanita, seorang laki-laki harus menulis sebuah pernyataan bahwa wanita itu bukan istrinya lagi: “Ia menulis surat cerai dan menyerahkannya ke tangan perempuan itu, sesudah itu menyuruh dia pergi dari rumahnya” (Ul. 24:1). Di bagian lain dalam PL perceraian dianggap sebagai sesuatu yang tidak patut: 

“Aku membenci perceraian, firman Tuhan, Allah Israel,” begitu kata nabi (Mal. 2:16). 

Tetapi di dalam Ulangan 24 ada anggapan bahwa seorang laki-laki boleh menceraikan istrinya, dan bahwa ia boleh melakukan itu berdasarkan “sesuatu yang tidak senonoh, atau "sesuatu yang memalukan” (terjemahan New English Bible) yang ia dapatkan dalam diri istrinya itu. 

Penafsir Hukum Taurat yang hidup sekitar zaman Tuhan Yesus, tidak saja memikirkan tentang apa arti sesungguhnya dari kalimat ini tetapi juga dengan aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari, memberi perhatian khusus pada kalimat ini. Mereka bertanya, “Apa yang dimaksudkan dengan “ketidaksenonohan" atau ketidakpatutan yang membenarkan seorang laki-laki untuk menceraikan istrinya?” 


Ada dua aliran utama: Yang satu menafsirkannya secara ketat, yang lain menafsirkannya dengan lebih luwes. Aliran pertama, yang mengikuti petunjuk Shammai, seorang rabi yang tersohor yang hidup kira-kira satu generasi sebelum Tuhan Yesus berkata bahwa seorang laki-laki diberi Wewenang untuk menceraikan istrinya bila ia mengawininya dengan anggapan bahwa istrinya itu masih gadis tetapi kemudian ia mendapatkan bahwa istrinya itu bukan gadis. 

Memang ada undang-undang yang memuat hal ini dalam hukum pada kitab Ulangan 22: 13-21, dan akibatnya bisa sangat serius bagi pengantin wanita bila bukti yang ada diinterpretasikan bahwa ia telah melakukan hubungan seks yang haram sebelum menikah. Maka inilah salah satu pengertian dari “sesuatu yang tidak senonoh.” 


Aliran yang lain mengikuti ajaran seorang ahli sezaman dengan Shammai, yaitu Hillel. Ia berpendapat bahwa “sesuatu yang tidak senonoh' bisa mencakup segala sesuatu yang dianggap melawan atau kasar oleh suaminya. 

Ia bisa tidak lagi dicintai karena berbagai sebab jika ia menghidangkan makanan yang kurang lezat misalnya, atau bahkan (begitu kata seorang rabi) karena ia merasa istrinya kurang cantik dibanding wanita lain. 

Harus ditekankan bahwa para nabi yang memberikan penafsiran-penafsiran yang “liberal” ini bukannya ingin mempermudah perceraian. Mereka hanya berminat untuk menyatakan apa yang mereka percayai sebagai arti dari suatu ayat tertentu. 

Dan terhadap latar belakang yang sedemikianlah Tuhan Yesus diundang untuk mengatakan apa yang menjadi pendapat-Nya. Orang-orang Farisi yang melontarkan pertanyaan kepada-Nya mempunyai pendapat-pendapat yang berbeda mengenai hal ini. 

Dalam catatan Matius mengenai kejadian ini, mereka bertanya kepada Tuhan Yesus, “Apakah diperbolehkan orang menceraikan istrinya dengan alasan apa saja?” (19:3). Bila jawaban Yesus adalah ‘Ya’, maka mereka ingin tahu untuk alasan atau alasan-alasan apa menurut Dia perceraian itu dimungkinkan. Yesus memberikan jawaban-Nya kepada mereka dan kemudian, secara pribadi, Ia menjelaskannya demi kebaikan murid-murid-Nya yang telah mendengarnya. 

Seperti biasanya, Ia tidak mengindahkan penafsiran secara tradisi oleh aliran-aliran para rabi dan Ia berpaling pada Kitab Suci. “Apa perintah Musa kepada kamu?” Ia bertanya, “Musa” kata mereka (dengan mengacu pada Ulangan 24: 1-4), “Memberi izin untuk menceraikannya Dengan tepat mereka berkata “Musa memberi izin,” bukan “Musa memerintahkan.” Undang-undang yang" dengan membuat surat cerai. 

Menjadi acuan mereka, seperti yang kita lihat, dengan seadanya menerima prosedur perceraian yang ada, dan menjalinnya ke dalam sebuah perintah yang berhubungan dengan kemungkinan-kemungkinan yang lebih lanjut. 
Tetapi Tuhan Yesus mengatakan kepada mereka bahwa “Justru karena ketegaran hatimulah maka Musa menuliskan perintah ini untuk kamu.” Kemudian, sama seperti dengan hukum hari Sabat demikian pula dengan perempuan. 

Tetapi keputusan Tuhan Yesus yang menunjuk pada tujuan sang Pencipta mengakibatkan ketidakseimbangan itu menjadi seimbang. Tidak mengherankan bahwa kaum wanita selalu mendapatkan di dalam diri Tuhan Yesus seorang Sahabat dan Pembela. 

Secara sepintas kita bisa melihat bahwa, dengan mengacu pada peraturan penciptaan, Tuhan Yesus menggabungkan sebuah ayat mengenai kisah penciptaan dari Kejadian 1 dengan sebuah ayat dari Kejadian 2. Dalam Kejadian 1:27, ketika “Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, maka “manusia” yang Ia ciptakan sedemikian itu adalah manusia dengan dua jenis kelamin: ‘laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka.” 

Dan di dalam Kejadian 2:24, setelah kisah pembentukan Hawa dari tulang rusuk Adam, kita membaca: “Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya menjadi satu daging.” 

Tuhan Yesus mengutip kata-kata ini sebagai firman Allah. Adalah di bawah ketetapan Allah bahwa kedua orang itu menjadi satu: Laki-laki tidak diberi wewenang untuk mengubah ketetapan itu. 

Ketika murid-murid meminta Tuhan Yesus untuk menerangkan ketetapan-Nya, Ia mengulanginya kembali dengan mengucapkan kedua pernyataan yang dikutip di awal bab ini. Pernyataan yang kedua menunjuk pada suatu situasi yang tidak dipandang dalam hukum PL, yang tidak memberi peluang bagi seorang istri untuk menceraikan suaminya dan mengawini laki-laki lain. 


Karena itulah orang menganggap bahwa pernyataan yang kedua ini merupakan sesuatu yang wajar ditambahkan pada ketetapan asli Tuhan Yesus saat kekristenan memasuki dunia orang kafir. 

Di dalam beberapa sistem perundang-undangan orang kafir, seorang istri dimungkinkan untuk mengajukan gugatan perceraian yang tidak diperbolehkan di bawah hukum Yahudi. Tetapi di saat Tuhan Yesus berbicara di negerinya sendiri sedang terjadi perkara yang menarik banyak peminat. Bisa saja Tuhan Yesus mengacu pada hal itu. 

Kurang dari sepuluh tahun sebelumnya, Herodias, seorang cucu perempuan dari Herodes Agung yang menikah dengan pamannya Herodes Philip dan hidup dengannya di Roma, dia jatuh cinta kepada 
seorang paman lain, Herodes Antipas, penguasa Galilea dan Perea, Saat ia berkunjung ke Roma. Supaya ia bisa mengawini Antipas (hal mana juga dikehendaki Antipas). 

Ia menceraikan suaminya yang pertama) dan melakukan itu di bawah hukum Romawi karena ia seorang Warga negara Roma (sama seperti semua anggota keluarga Herodes).


Seorang wanita yang menikah dengan pamannya tidak melanggar hukum Yahudi, seperti yang biasa dianggap pada masa itu, tetapi menikah dengan saudara suaminya benar-benar melanggar hukum Yahudi, Yohanes Pembaptis dipenjarakan oleh Herodes Antipas karena ia menegaskan bahwa Antipas telah melanggar hukum karena menikah dengan istri saudaranya. 

Tuhan Yesus tidak menyebutkan nama, tetapi siapapun waktu itu, baik di Galilea atau Perea yang mendengar kisah tentang seorang wanita yang menceraikan suaminya dan kemudian menikah dengan orang lain, akan membayangkan Herodias. Seandainya Herodias mendengar Tuhan Yesus mengatakan bahwa ia hidup dalam perzinaan, pastilah Tuhan Yesus menimbulkan dendam kesumatnya seperti kepada Yohanes Pembaptis.

Tetapi yang sulit diterima oleh murid-murid-Nya ialah perkataanNya mengenai perceraian dan pernikahan ulang dari pihak laki-laki. Tidak dapatkah seorang laki-laki bebas dari istrinya karena alasan apa pun? Kelihatannya tidak, menurut penjelasan yang gamblang dari Tuhan Yesus, karena itu tidak mengherankan bahwa dalam berlalunya waktu, ketegaran hati mereka mengubah ketetapan-Nya, sama seperti sebelumnya ketegaran hati manusia telah mengubah tujuan mula-mula diskusi dari sang Pencipta. 

Dalam versi Matius mengenai diskusi ini, ketetapan Tuhan Yesus ini dirinci dengan penambahan beberapa kata: “Barangsiapa menceraikan istrinya, kecuali zinah, lalu kawin dengan perempuan lain,_ ia berbuai zinah (Mat. 19:9). Kekecualian yang sama muncul kembali dalam perkataan-Nya yang lain dalam Injil ini, yaitu dalam khotbah di Bukit; “Setiap orang yang menceraikan istrinya kecuali karena zinah, ia menjadikan istrinya berzinah; dan siapapun yang kawin dengan perempuan yang diceraikan, ia berbuat zinah (Mat. 5:32). 


Ketetapan dalam bentuk yang terakhir ini muncul juga dalam Lukas 16:18, tetapi tanpa anak kalimat pengecualian. Anak kalimat pengecualian hanya terdapat dalam Injil Matius, dan terdapat dua kali di sana. 

Apa yang harus kita pahami tentang anak kalimat pengecualian ini? Apakah ini merupakan tambahan yang mencerminkan ketegaran hati manusia? Ataukah ini merupakan semacam pengembangan yang mangetengahkan hal yang gamblang bahwa bila suatu perbuatan dilakukan yang karena sifat perbuatan itu sendiri memutuskan ikatan pernikahan, maka ikatan itu memang putus? 


Apakah ini merupakan usaha untuk menyelaraskan ketetapan Tuhan Yesus dengan penafsiran Shammai bahwa seandainya pengantin perempuan diketahui telah mempunyai hubungan seksual yang haram sebelum pernikahannya, maka suaminya mempunyai hak untuk menceraikannya?Semua gagasan ini pernah disebarluaskan.

Yang paling mungkin ialah menyesuaikan ketetapan Tuhan dengan keadaan ladang pelayanan di antara orang-orang kafir. Jika ini memang demikian, maka ungkapan ‘zina’ mempunyai pengertian teknis yang mengacu pada hubungan seks karena kebiasaan dan kebutuhan yang dilindungi oleh undang-undang di beberapa bagian di dunia orang kafir, hal mana oleh hukum pernikahan Israel. 

Hukum pernikahan gereja yang tradisional, dengan daftarnya tentang siapa-siapa yang tidak boleh menikah, berdasar pada hukum pernikahan Israel. Apa yang harus dilakukan bila dua orang yang menikah dalam batas-batas yang dilarang itu kemudian bertobat dari kekafiran dan menjadi Kristen? Dalam keadaan seperti ini maka pernikahan bisa diputuskan. 


Jelas sekali ladang pelayanan di antara orang kafir menimbulkan masalah-masalah yang tidak ada dalam konteks pelayanan Tuhan Yesus. Salah satu masalah ini menumpuk dalam ladang pelayanan Paulus, dan Paulus mengemukakan 'anak kalimat yang mengecualikan' kepunyaannya sendiri agar bisa menyelesaikan masalah-masalah itu, meskipun secara umum ia memakai larangan Tuhan Yesus mengenai perceraian untuk diberlakukan di antara pengikut-pengikutnya.

Beberapa di antara orang yang bertobat karena pelayanan Paulus mengetengahkan kepadanya kasus seorang pria atau wanita, yang bertobat dan kekafiran dan menjadi Kristen, yang istri atau suaminya meninggalkan dirinya karena pertobatan pasangannya dan menolak untuk meneruskan hubungan pernikahannya.

Dalam keadaan seperti itu, Paulus berkata, biarlah pasangan yang bukan Kristen itu pergi; jangan meminta bantuan hukum atau memakai cara apa pun untuk memaksanya kembali. Pasangan Yang ditinggalkan tidak lagi terikat pada ikatan pernikahan yang diputuskan dengan cara ini. 

Secara lain ia berkata kepada orang-orang yang telah kawin, “Aku tidak, bukan aku, tetapi Tuhan perintahkan supaya seorang istri tidak boleh menceraikan suaminya Dan jikalau ia bercerai dengan suaminya, ia harus tetap hidup tanpa suami atau berdamai dengan suaminya. Dan seorang suami tidak boleh menceraikan istrinya” (l Kor. 7: 10-16). 

Jelas bahwa Paulus jauh sebelum Injil Markus ditulis, telah mengetahui apa yang diajarkan Tuhan Yesus mengenai pernikahan dan perceraian, dan bahwa ia memahaminya dalam pengertian yang sama seperti yang ditulis Markus. 

Sama seperti Tuannya, Paulus memperlakukan wanita sebagai pribadi dan bukan sebagai bagian harta milik suaminya. Tetapi murid-murid yang pertama kali mendengar ketetapan Tuhan Yesus mengenai masalah ini menganggapnya sebagai sesuatu yang mau membongkar pandangan-pandangan lama, dan hal ini tidak terlalu menyenangkan mereka-mereka memerlukan waktu yang agak lama untuk bisa menerimanya. 


Apakah bijaksana kalau kita menerima ketetapan Tuhan Yesus mengenai masalah ini atau masalah-masalah praktis lainnya dan memberinya kekuatan hukum? Barang kali tidak. 

Kesulitannya kalah, jika ketetapan-ketetapan itu diberi kekuatan hukum, maka anak kalimat pengecualian akan cenderung bertambah untuk memenuhi berbagai macam kasus khusus, dan perdebatan akan menjadi berkepanjangan menyangkut berbagai situasi yang termasuk atau tidak termasuk dalam anak kalimat-anak kalimat pengecualian itu. 

Mungkin lebih baik kalau kata-kata Tuhan Yesus dibiarkan tegak dalam ketegasannya yang tak kenal kompromi, sebagai cita-cita agung yang harus dicapai pengikut” pengikut-Nya, Tindakan legalisasi harus memperlengkapi diri terhadap ketegaran hati manusia, tetapi Tuhan Yesus menunjukkan cara lain yang lebih baik daripada cara legalisasi dan Ia memberi kasus untuk mengubah hati manusia dan membuat ketetapan-Nya sebagai sesuatu yang bisa dilakukan.



Sumber : 

FF Bruce, Ucapan Yesus yang Sulit, LITERATUR SAAT hal 41-51



0 Response to "PERCERAIAN DAN PERNIKAHAN KEMBALI"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel