UCAPAN SULIT DALAM PL "ALLAH TIDAK BERDUSTA DAN TIDAK MENYESAL"
UCAPAN
SULIT DALAM PERJANJIAN LAMA 29
“ALLAH
TIDAK BERDUSTA DAN TIDAK MENYESAL”
1 Samuel 15:29
Lagi Sang Mulia dari Israel tidak berdusta
dan Ia tidak tahu menyesal; sebab Ia bukan manusia yang harus menyesal."
Hidup Kristen - Di dalam I Samuel 15 ini
ada satu pernyataan yang jelas mengenal kebenaran dan sifat Allah yang tak
berubah Namun ada bagian- gagian lain dalam Perjanjian Lama terbaca tentang
Allah menyesal atau berubah pikiran. Apakah Allah berubah pikiran. Jika ya, apakah
itu merendahkan kebenaran atau sifat tidak berubah-Nya? Jika tidak, apakah
makna dari bacaan-bacaan lam dalam Perjanjian Lama ini?
Dari awal ini bisa
ditegaskan bahwa esensi dan sifat Allah, kepastian-Nya yang teguh untuk
menghukum dosa dan membalas kebaikan tidaklah berubah (lihat Maleakhi 3:6). Ini
merupakan penegasan-penegasan yang mutlak dan tak bersyarat yang diajarkan
Kitab Suci. Namun ini bukan berarti bahwa semua janji dah peringatan-Nya tidak
bersyarat. Banyak yang berupa syarat yang dinyatakan atau yang tersirat.
Contoh klasik dari
pengajaran bersyarat ini adalah Yeremia 18:7-10. "Adakalanya Aku berkata
tentang suatu bangsa dan suatu kerajaan bahwa Aku akan mencabut, merobohkan dan
membinasakannya. Tetapi apabila bangsa yang terhadap siapa Aku berkata demikian
telah bertobat dari kejahatannya, maka menyesallah Aku, bahwa Aku hendak
menjatuhkan malapetaka yang Kurancangkan itu terhadap mereka.
Adakalanya Aku berkata
tentang suatu bangsa dan tentang suatu kerajaan bahwa Aku akan membangun dan
menanam mereka. Tetapi apabila mereka melakukan apa yang jahat di depan mata-Ku
dan tidak mendengarkan suara-Ku, maka menyesallah Aku, bahwa Aku hendak
mendatangkan keberuntungan yang Kujanjikan itu kepada mereka."
Prinsip ini dengan jelas
menyatakan syarat yang melandasi banyak janji dan ancaman Allah bahkan bila
tidak dinyatakan secara terbuka sekalipun, sebagaimana dalam kasus Yunus. Maka,
bila Allah tidak menggenapi suatu janji atau menjatuhkan suatu ancaman yang
telah dibuat-Nya, maka pengertiannya sudah jelas: dalam seluruh kasus ini,
perubahan bukan terjadi dalam pihak Allah, melamkan dalam pihak pribadi maupun
bangsa.
Tentu saja ada beberapa
janji Allah yang tidak bersyarat sebab janji-janji tersebut semata-mata
berdasarkan pada kasih karunia dan anugerah Allah. Janji-janji tersebut adalah:
perjanjian-Nya dengan Nuh tentang iklim sesudah air bah (Kejadian 8:22); janji
penyelamatan-Nya dalam perjanjian yang sering disampaikan pada Abraham, Ishak,
Yakub dan Daud; janji-Nya tentang Perjanjian Baru; dan janji-Nya tentang Langit
Baru dan Bumi Baru.
Jadi, apakah bentuk
perubahan dalam diri Allah yang dimaksudkan 1 Samuel 15:11, ketika Ia berkata,
"Aku menyesal, karena Aku telah menjadikan Saul raja, sebab ia telah
berbalik dari pada Aku dan tidak melaksanakan firman-Ku"? Jika Allah tak
bisa berubah, mengapa Ia "bersedih" atau "menyesalkan"
fakta bahwa Ia telah mengangkat Saul sebagai raja?
Allah bukan mesin
otomatis yang sudah beku yang tak bisa memberi tanggapan terhadap manusia; Ia
adalah sosok yang hidup yang bisa dan sungguh-sungguh bereaksi terhadap orang
lain setulus-tulusnya dan bahkan lebih tulus daripada kita bereaksi terhadap
sesama.
Jadi istilah menyesal ini
dipakai untuk dua konsep yang berbeda baik dalam bagian ini maupun dalam
bagian-bagian lain dalam Alkitab. Yang satu menyatakan tanggapan-Nya terhadap
tiap individu dan yang lainnya menunjukkan kesetiaan-Nya kepada diri-Nya
sendiri dan kepada pikiran dan rancangan-Nya.
Jadi bacaan itu
menegaskan bahwa Allah mengubah tindakanNya terhadap Saul agar tetap setia
kepada sifat atau esensi-Nya sendiri. Penyesalan dalam diri Allah bukan
merupakan suatu bukti adanya keragu-raguan, sebagaimana dalam diri kita.
Penyesalan ini berupa
perubahan dalam metode-Nya menanggapi seseorang berdasarkan perubahan pada
pribadi orang tersebut. Perubahan itu terjadi dalam diri Saul. Masalahnya
terdapat dalam ketaatan Saul yang hanya sebagian, hatinya yang sulit
dikendalikan dan tamak.
Tatkala Allah menyesal
bahwa Ia telah memberikan kepada Saul kerajaan beserta kehormatan dan kuasa
yang ada, Ia tidak menyesal memberinya hikmat dan anugerah atau rasa takut dan
kasih-Nya; sesungguhnya, berkat dan panggilan Allah itu tanpa penyesalan.
Jika kita menyatakan
bahwa Allah tidak berubah, itu bukan berarti Ia tak bisa mengalami penyesalan
dan dukacita. Jika 'ketidakmampuan berubah' berarti terpisah total dari manusia
dan peristiwa, Allah perlu membayar harga yang luar biasa untuk
ketidakberubahan.
Sebaliknya, Allah masuk
ke dalam suatu hubungan dengan makhluk fana yang memperlihatkan kerelaan-Nya
untuk menanggapi tindakan tiap-tiap orang dalam lingkup etika dari ketaatan
mereka kepada kehendak-Nya.
Ketika dosa atau
penyesalan kita mengubah hubungan kita dengan Allah, maka tanggapan-tanggap
an-Nya yang berubah terhadap kita mempengaruhi kebahagiaan atau pemberkatan-Nya
yang hakiki. Perubahan ini tidak lebih daripada keilahian Kristus mempengaruhi
kemampuan-Nya dengan sungguh¬sungguh untuk menderita di atas kayu salib bagi
dosa-dosa kita.
Sumber :
“Ucapan
yang Sulit dalam Perjanjian Lama” Walter
C Kaiser, Jr. LITERATUR SAAT, 2015, halaman 108-110
0 Response to "UCAPAN SULIT DALAM PL "ALLAH TIDAK BERDUSTA DAN TIDAK MENYESAL""
Post a Comment