DOKTRIN ALLAH TRITUNGGAL
“ ALLAH TRITUNGGAL”
Dari semua doktrin Kristen,
agaknya Allah Tritunggal menempati posisi tertinggi sebagai doktrin yang paling
sukar untuk dimengerti. Bagaimana mungkin Allah yang esa dan tunggal (monoteisme)
pada saat bersamaan diyakini sebagai tiga pribadi ilahi, tanpa terjerumus ke
dalam keyakinan pada tiga Allah (triteisme)? Lalu, doktrin kedua yang paling
sukar dipahami adalah Kristologi (ajaran mengenai Kristus). Bagaimana pada saat
bersamaan Yesus Kristus dapat diterima sebagai Allah sepenuhnya dan manusia
sepenuhnya (vere Deus et vere homo)? Kedua doktrin ini menunjuk pada
misteri iman Kristen yang paling penting: misteri Allah Tritunggal dan misteri
inkarnasi. Namun doktrin itu sendiri bukan dan tidak boleh dianggap misteri,
karena doktrin (Lat. Docere: mengajar) berusaha untuk menjelaskan dan
mengajarkan kehidupan di hadapan misteri itu, sekalipun tetap secara terbatas.
Sebagai sebuah penjelasan dan pengajaran, doktrin harus bisa dipahami
dengan baik.
Kata misteri harus dipahami
secara benar di sini. Kata ini menunjuk pada realitas yang tak bisa diterangkan
secara memadai lewat argumen rasional maupun diilustrasikan secara penuh lewat
kenyataan empiris. Maka, misteri iman tidak sama dengan masalah atau teka-teki.
Masalah harus diselesaikan, teka-teki dipecahkan. Sebuah doktrin terhadap
sebuah misteri iman tidak berupaya untuk menyelesaikan dan memecahkan misteri
itu, namun juga untuk merawat dan menjaganya, agar tetap menjadi misteri, namun
sekaligus agar misteri itu memberi makna bagi kehidupan.
Yang menarik, di atas dasar
kedua doktrin inilah seluruh iman Kristen dipertahankan, diajarkan, dihidupi
dan dikembangkan. Itu sebabnya, Gereja Orthodoks Timur menegaskan bahwa hanya
ada dua dogma, yang karena hidup di dalamnya manusia selamat dan karena
menolaknya manusia binasa. Keduanya adalah doktrin Tritunggal dan doktrin
dua-hakikat Yesus Kristus (Allah sepenuhnya dan manusia sepenuhnya). Di atas
keduanyalah seluruh ajaran lain dikembangkan dan dijabarkan.
Harus disadari bahwa dari segi
perumusan formalnya, doktrin Tritunggal dirumuskan menyusul setelah gereja
perdana merumuskan secara formal doktrin Kristologinya. Jadi, pengakuan
terhadap Allah Tritunggal merupakan konsekuensi logis dari doktrin Kristus
sebagai Allah dan manusia yang menjadi mediator keselamatan bagi dunia. Untuk
itulah, kita tak bisa tidak harus mulai dari pembicaraan mengenai Yesus Kristus
terlebih dahulu.
YESUS KRISTUS: ALLAH
SEPENUHNYA, MANUSIA SEPENUHNYA
Kekristenan mewarisi iman Israel
yang meyakini bahwa hanya ada satu Allah yang menciptakan semesta dan segala
isinya. Pencipta yang Satu itu haruslah berbeda secara kualitatif dan
radikal dengan ciptaan yang beragam ini. Manusia sebagai ciptaan bisa berbicara
tentang dan kepada Allah jika dan hanya jika Allah berkenan
menyatakan diri-Nya melalui mediasi ciptaan (budaya, bahasa dan sebagainya). Di
luar penyataan diri Allah itu, Allah adalah misteri yang tak terbayangkan, tak
terkatakan dan tak terhampiri.
Dialah satu-satunya yang tidak takluk
kepada maut, bersemayam dalam terang yang tak terhampiri. Seorangpun tak pernah
melihat Dia dan memang manusia tidak dapat melihat Dia. Bagi-Nyalah hormat dan
kuasa yang kekal! Amin. (1Tim. 6:16)
Konsekuensinya, ada dua hal yang
harus dipertahankan bersama-sama. Pertama, apapun yang dikatakan
manusia tentang Allah pastilah berada dalam wilayah ciptaan dan bukan Allah itu
sendiri. St. Agustinus menyatakan: “Jika Anda memahaminya, maka itu pasti bukan
Allah” (Si comprehendis, non est Deus). Maka, doktrin apa pun tentang
Allah tak boleh dimutlakkan. Selain itu, sangat sering kita menamai Allah
secara analogis, berdasarkan apa yang kita kenali dalam wilayah ciptaan.
Misalnya, kita berkata bahwa Allah itu mahakasih, karena kita tahu dari hidup
kita apa artinya kasih, lalu kita mengakui bahwa Tuhan pastilah penuh kasih
hingga ke titik tertinggi (maha-). Itu sebabnya, kita tidak pernah mengatakan
Allah itu “maha-xuxuxu,” karena kita tidak mengenali kata “xuxuxu” itu dalam
kosakata bahasa kita.
Kedua, agar Allah dapat
menyatakan diri-Nya kepada ciptaan dan tetap yang dikomunikasikan adalah
diri-Nya sendiri, maka harus ada sebuah pribadi ilahi yang pada hakikatnya
adalah Allah, bukan ciptaan, tetapi yang kemudian memasuki wilayah ciptaan,
menjadi sama dengan ciptaan dan pada saat bersamaan tetaplah Allah. “Yang bukan
ciptaan” namun “sama dengan ciptaan” itu adalah Kristus yang oleh Paulus
disebut sebagai “yang sulung, lebih utama dari segala ciptaan” yang “di dalam
Dia telah diciptakan segala sesuatu” (Kol. 1:15-16)
15 Ia adalah gambar Allah yang tidak
kelihatan, yang sulung, lebih utama dari segala yang diciptakan, 16
karena di dalam Dialah telah diciptakan segala sesuatu, yang ada di sorga dan
yang ada di bumi, yang kelihatan dan yang tidak kelihatan, baik singgasana,
maupun kerajaan, baik pemerintah, maupun penguasa; segala sesuatu diciptakan
oleh Dia dan untuk Dia. (Kol 1:15-16)
Singkatnya, haruslah ada satu
mediator yang sekaligus ilahi dan manusiawi. Pribadi ilahi-manusiawi itulah
yang kita kenal di dalam Yesus Kristus. Tanpa mempertahankan kedua hal ini
monoteisme tidak bisa berjalan dengan baik.
Karena Allah itu esa dan esa pula Dia
yang menjadi pengantara antara Allah dan manusia, yaitu manusia Kristus Yesus
(1Tim. 2:5)
Yesus Kristus dengan demikian diakui
oleh gereja sejak awal sebagai Allah dan manusia. Satu-satunya pengakuan iman
yang secara eksplisit menyebut Yesus sebagai Allah muncul dari mulut Tomas si
peragu, ketika ia berseru kepada Yesus yang bangkit: “Ya Tuhanku dan Allahku!”
(Yoh. 20:28). Akan tetapi, sangat banyak teks lain di dalam Kitab Suci yang
menggiring kita kepada kesimpulan bahwa Yesus Kristus memanglah Allah. Teks 1
Timotius 6:16 di atas menandaskan bahwa “Dialah satu-satunya yang tidak takluk
kepada maut.” Hanya Allahlah satu-satunya yang tidak takluk kepada maut. Di
dalam Roma 6:9, Paulus berkata, “Karena kita tahu, bahwa Kristus, sesudah Ia
bangkit dari antara orang mati, tidak mati lagi: maut tidak berkuasa lagi atas
Dia.” Anak kalimat “maut tidak berkuasa lagi atas Dia” berarti bahwa
Ia pernah dikuasai oleh maut. Ini tidak berarti bahwa tadinya Yesus bukan
Allah, namun diangkat menjadi ilahi setelah dibangkitkan. Namun, Ia merelakan
diri ditaklukkan oleh maut (rela untuk mati) untuk memasuki kemanusiaan yang
penuh dosa, untuk pada akhirnya mengatasinya.
Bapa mengasihi Aku, oleh karena Aku
memberikan nyawa-Ku untuk menerimanya kembali. (Yoh. 10:17)
Pandangan yang menyatakan bahwa
keilahian Yesus “diberikan” oleh Allah pada satu titik waktu tertentu (entah
saat pembaptisan-Nya atau pembangkitan-Nya) sering disebut adopsionisme, yang
ditolak sebagai bidat oleh gereja.
Jadi, di satu sisi, kebangkitan
menegaskan dan membuktikan bahwa Yesus Kristus adalah Allah yang tidak takluk
pada maut dan bahkan menaklukkan maut. Namun, bagaimana kita menunjukkan bahwa
Yesus Kristus adalah Allah bahkan sebelum kebangkitan-Nya? Di dalam Doa
Terakhir Yesus (Yoh. 17) keilahian Yesus ditandaskan dengan sangat kuat.
21 supaya mereka semua menjadi satu, sama
seperti Engkau, ya Bapa, di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau, agar
mereka juga di dalam Kita, supaya dunia percaya, bahwa Engkaulah yang
telah mengutus Aku. 22 Dan Aku telah memberikan kepada
mereka kemuliaan, yang Engkau berikan kepada-Ku, supaya mereka menjadi satu,
sama seperti Kita adalah satu: 23 Aku di dalam
mereka dan Engkau di dalam Aku supaya mereka sempurna menjadi satu, agar dunia
tahu, bahwa Engkau yang telah mengutus Aku dan bahwa Engkau
mengasihi mereka, sama seperti Engkau mengasihi Aku. 24 Ya Bapa, Aku
mau supaya, di manapun Aku berada, mereka juga berada bersama-sama dengan Aku,
mereka yang telah Engkau berikan kepada-Ku, agar mereka memandang kemuliaan-Ku
yang telah Engkau berikan kepada-Ku, sebab Engkau telah mengasihi Aku
sebelum dunia dijadikan.
Pertama, Yesus menyatakan bahwa
Bapa di dalam Anak dan Anak di dalam Bapa secara sempurna, hingga keduanya
menjadi satu (ay. 21; bdk. 10:30-33). Dinamika saling memasuki dan saling
memberi ruang bagi pribadi ilahi lain ini disebut dengan istilah perichoresis.
Kedua, Anak yang berada di dalam Bapa itu diutus oleh Sang Bapa ke dalam dunia
dan berinkarnasi menjadi manusia sejati (ay. 21 & 23; bdk. Yoh. 1:14).
Kesatuan Sang Anak dan Sang Bapa ini menunjukkan kesatuan hakikat atau esensi.
Ketiga, relasi Sang Anak dan Sang Bapa begitu intimnya dan diwarnai dengan
kasih “sebelum dunia diciptakan” (ay. 24).
… Kristus Yesus, yang
walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah
itu sebagai milik yang harus dipertahankan (Fil 2:5-6)
Ia ada terlebih dahulu dari segala
sesuatu dan
segala sesuatu ada di dalam Dia (Kol 1:17)
maka pada zaman akhir ini Ia telah
berbicara kepada kita dengan perantaraan Anak-Nya, yang telah Ia tetapkan
sebagai yang berhak menerima segala yang ada. Oleh Dia Allah telah
menjadikan alam semesta. (Ibr. 1:2)
Akan tetapi kepraadaan (pre-existence)
Sang Anak “sebelum dunia diciptakan” sebenarnya belum sepenuhnya membuktikan
keilahian Yesus yang sehakikat dengan Allah. Sebab, bisa saja Sang Anak
diciptakan pertama-tama “sebelum dunia diciptakan” (dan karena itu Ia bukan Allah).
Inilah dalil yang diberikan oleh Arius yang menentang keilahian Yesus yang
sehakikat dengan Allah. Akan tetapi, Sang Anak tidak diciptakan oleh Sang Bapa,
melainkan keluar dari Sang Bapa. Yesus sendiri berkata,
Kata Yesus kepada mereka: “Jikalau Allah
adalah Bapamu, kamu akan mengasihi Aku, sebab Aku keluar dan datang dari Allah.
Dan Aku datang bukan atas kehendak-Ku sendiri, melainkan Dialah yang mengutus
Aku. (Yoh. 8:42)
Tetapi setelah genap waktunya, maka
Allah mengutus Anak-Nya, yang lahir dari seorang perempuan dan takluk kepada
hukum Taurat. (Gal. 4:4)
Jika Sang Anak keluar dari Allah
maka Ia adalah Allah. Kemanusiaan Yesus keluar dari Maria, maka ia adalah
manusia sejati. Keilahian Sang Anak keluar dari Sang Bapa, maka Ia Allah
sejati. Bersama dengan iman Israel, penulis Injil Yohanes menegaskan bahwa tak
seorang pun pernah melihat Allah selain Sang Anak dan karena itulah Ia dapat
menyatakan Sang Bapa. Hanya jika Sang Anak adalah Allah maka Ia bisa melihat
Allah dan menyatakan Allah.
Tidak seorangpun yang pernah melihat
Allah; tetapi Anak Tunggal Allah, yang ada di pangkuan Bapa, Dialah yang
menyatakan-Nya. (Yoh. 1:18)
Keilahian Sang Anak yang setara
dengan Allah Bapa namun memiliki pribadi yang tak sama ini disaksikan dengan
paling jelas dalam Yohanes 1:1.
Pada mulanya adalah Firman; Firman
itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah (Yoh. 1:1)
Di satu sisi diakui bahwa Sang
Firman atau Sang Anak itu “bersama-sama dengan Allah” dan di sisi lain diakui
bahwa Sang Firman itu “adalah Allah.” Artinya, keduanya berbeda dalam pribadi (bersama-sama
dengan), namun satu dalam esensi (adalah). Kata “bersama-sama
dengan Allah” aslinya berbunyi pros ton Theon, menuju Allah. Anak
kalimat ini ingin menunjukkan relasi timbal-balik antara Sang Anak dan Sang
Bapa. Allah merenungi dan memandang diri-Nya sendiri di dalam Sang Anak. Itu
sebabnya, kadang kata Yunani theos (Allah) dianggap berasal dari kata
kerja theein yang berarti “berlari” (Plato) atau theasthai yang
berarti “melihat” (St. Basil Agung). Sang Bapa dan Sang Anak saling melihat
secara kekal (bdk. Ibr. 1:3).
Karena kesatuan hakiki antara
Sang Bapa dan Sang Anak dan karena perbedaan kedua person inilah maka Sang Bapa
menjadi Bapa secara kekal bagi Sang Anak dan Sang Anak menjadi Anak secara kekal
dari Sang Bapa. Sang Bapa adalah Bapa yang keibuan karena melahirkan Sang Anak,
sekaligus Ibu yang kebapaan dan karenanya disebut Bapa.
ROH KUDUS DAN TRITUNGGAL
Jika sejak semula gereja perdana
menggumuli persoalan Kristologi dan Tritunggal bersama-sama, percakapan
mengenai keilahi Roh Kudus, pribadi ketiga Allah, muncul belakangan, sekalipun
banyak teks Kitab Suci yang menyaksikan keilahian Roh Kudus pula. Saya tidak
akan membahas panjang-lebar di sini; cukuplah menunjukkan beberapa teks Kitab
Suci yang menarik untuk kita ingat. Misalnya, dalam 1 Yohanes 3:24 ditandaskan
keilahian dari Roh Kudus yang adalah Allah. Juga dalam Yohanes 15:26,
disaksikan bahwa Roh Kudus keluar dari Sang Bapa, sama seperti Sang Anak keluar
dari Sang Bapa.
Barangsiapa menuruti segala
perintah-Nya, ia diam di dalam Allah dan Allah di dalam dia. Dan demikianlah
kita ketahui, bahwa Allah ada di dalam kita, yaitu Roh yang telah Ia karuniakan
kepada kita. (1Yoh. 3:24)
Jikalau Penghibur yang akan Kuutus
dari Bapa datang, yaitu Roh Kebenaran yang keluar dari Bapa, Ia akan bersaksi
tentang Aku. (Yoh. 15:26)
Injil Yohanes juga mengajarkan
bahwa Roh Kudus adalah Roh Kudus adalah Penolong atau Penghibur yang datang
dari Sang Bapa.
16 Aku akan minta kepada Bapa, dan Ia
akan memberikan kepadamu seorang Penolong yang lain, supaya Ia
menyertai kamu selama-lamanya, 17
yaitu Roh Kebenaran. Dunia tidak dapat menerima Dia, sebab dunia tidak melihat Dia dan tidak mengenal Dia. Tetapi kamu mengenal Dia, sebab Ia menyertai kamu dan akan diam di dalam kamu. 18 Aku tidak akan meninggalkan kamu sebagai yatim piatu. Aku datang kembali kepadamu. (Yoh. 14:16-18)
yaitu Roh Kebenaran. Dunia tidak dapat menerima Dia, sebab dunia tidak melihat Dia dan tidak mengenal Dia. Tetapi kamu mengenal Dia, sebab Ia menyertai kamu dan akan diam di dalam kamu. 18 Aku tidak akan meninggalkan kamu sebagai yatim piatu. Aku datang kembali kepadamu. (Yoh. 14:16-18)
Anak-anakku, hal-hal ini kutuliskan
kepada kamu, supaya kamu jangan berbuat dosa, namun jika seorang berbuat dosa,
kita mempunyai seorang pengantara [parakletos] pada Bapa, yaitu Yesus
Kristus, yang adil. (1Yoh. 2:1)
Roh Kudus adalah “Penolong yang
lain” (Parakletos) yang menunjuk pada Yesus Sang Penolong (1Yoh. 2:1). Dengan
kehadiran Roh Kudus itulah, Yesus berkata, “Aku datang kembali kepadamu” (Yoh
14:18).
Paulus juga menegaskan keilahian
Roh Kudus yang keluar dari Sang Bapa, dan karena itu ilahi sepenuhnya, dengan
menyatakan bahwa Roh Kudus mengetahui yang tersembunyi di dalam Allah. Dan
hanya Allah yang mengetahui yang tersembunyi di dalam Allah.
10 Karena kepada kita Allah telah
menyatakannya oleh Roh, sebab Roh menyelidiki segala sesuatu, bahkan
hal-hal yang tersembunyi dalam diri Allah. 11 Siapa
gerangan di antara manusia yang tahu, apa yang terdapat di dalam diri manusia
selain roh manusia sendiri yang ada di dalam dia? Demikian pulalah tidak
ada orang yang tahu, apa yang terdapat di dalam diri Allah selain Roh Allah.
(1Kor. 2:10-11).
Dengan penegasan keilahian Roh
Kudus sebagai pribadi ketiga Allah itulah, doktrin Tritunggal makin diteguhkan
dan siap dirumuskan secara formal. Kekekalan ketiga pribadi Allah inilah yang
membentuk persekutuan cinta-kasih yang menjadi identitas dari Allah—”Allah
adalah kasih” (1Yoh. 4:8, 16). Allah yang tunggal-sempurna seperti dalam
monoteisme, tanpa perbedaan personal di dalam diri-Nya, tidak mungkin
beridentitas kasih, karena kasih selalu menyiratkan adanya pribadi yang
mengasihi, dikasihi dan kasih itu sendiri.
SATU HAKIKAT, TIGA PRIBADI
Sejak
awal kehadiran Kekristenan, yaitu setelah kebangkitan Kristus dan pengalaman
turunnya Roh Kudus, orang-orang percaya menegaskan dua hal penting dalam iman
mereka: Yesus Kristus adalah penyelamat dan hanya Allah satu-satunya
yang dapat menyelamatkan. Selain itu, juga dipahami bahwa Yesus bukanlah
Sang Bapa. Dari situ muncullah kesimpulan tak terhindarkan bahwa Yesus adalah
Tuhan (1Kor. 12:3). Benih iman yang berporos pada Kristus ini kemudian
dirumuskan secara lebih kompleks dan mendalam melalui doktrin Tritunggal.
Singkatnya, ajaran tentang Tritunggal adalah implikasi teologis dari ajaran
tentang Kristus Sang Penyelamat.
Dalam
perkembangan berikutnya, keilahian Roh Kudus pun ditegaskan bersamaan dengan
keilahian Sang Bapa dan Sang Anak. Gereja mula-mula, sekalipun tidak pernah
mengklaim mampu memahami dan menjelaskan iman mereka akan Allah Bapa, Anak
Allah dan Roh Kudus, toh berusaha mengekspresikan iman tersebut lewat doktrin
Tritunggal; sehingga, sekalipun kata “Tritunggal” tidak dijumpai di dalam
Alkitab, namun ia diyakini telah mampu mengungkapkan secara cukup dan memadai
iman Kristiani dan alkitabiah. Secara khusus iman Trinitaris ini dapat
dirumuskan lewat enam proposisi berikut:
- Hanya
ada satu Allah
- Sang
Bapa adalah sepenuhnya Allah
- Sang
Anak adalah sepenuhnya Allah
- Roh
Kudus adalah sepenuhnya Allah
- Sang
Bapa bukanlah Sang Anak dan Roh Kudus; Sang Anak bukanlah Sang Bapa dan
Roh Kudus; Roh Kudus bukanlah Sang Bapa dan Sang Anak. Ketiganya merupakan
pribadi yang berlainan
- Ketiga
pribadi ilahi tersebut berelasi satu dengan yang lain dalam sebuah
persekutuan ilahi.
Keenam
proposisi iman ini kemudian disarikan lebih lanjut menjadi dua proposisi yang
lebih mendasar:
- Allah
itu satu
- Allah
itu dikenal selaku tiga pribadi-dalam-relasi, sebagai Bapa, Anak dan Roh
Kudus.
Perbedaan
intonasi di gereja Barat yang berbahasa Latin dan gereja Timur yang berbahasa
Yunani memang membuat perbedaan cara membahasakan kedua klaim ini, namun kedua
tradisi ini tetap dengan setia mempertahankan keduanya, yaitu bahwa hanya
ada satu Allah dan satu Allah yang sejati itu adalah tiga pribadi:
Bapa, Anak dan Roh Kudus. Perbedaan intonasi tersebut, misalnya, terlihat dari
titik pijak yang berbeda dari masing-masing tradisi. Di satu sisi, tradisi
Barat (Katolik) mulai dari ketunggalan Allah dan bertanya, “Bagaimana Allah
yang tunggal ini dapat dipahami sebagai tiga pribadi?” Di sisi lain, tradisi
Timur (Orthodoks) mulai dari ketigaan Allah dan bertanya, “Bagaimana tiga
pribadi ilahi yang bersekutu ini dapat disebut satu?” Perbedaan ini, menurut
Leonardo Boff, muncul karena respons gereja yang kontekstual terhadap
keyakinan-keyakinan religius di konteksnya masing-masing.
Gereja-gereja
di Timur harus berhadapan dengan sistem politik monarkisme yang sangat kaku dan
menindas, yang memakai monoteisme sebagai justifikasi atas sistem kekuasaan
mereka. Akibatnya, religiusitas yang berkembang di masyarakat saat itu tentu
saja menentang keilahian Yesus. Terhadap keyakinan-keyakinan religius seperti
itulah bapa-bapa gereja Timur menandaskan persekutuan tiga pribadi Allah dan
menemukan kesatuan melalui perbedaan tersebut. Sebaliknya, gereja Barat harus
berhadapan dengan politeisme yang sangat kuat di daerah-daerah yang dikuasai
oleh kekaisaran Romawi. Karena itulah, bapa-bapa gereja Barat mulai dari
ketunggalan Allah yang berporos pada kesatuan esensi atau hakikat. Dari kesatuan
tersebut dicari dan ditemukanlah keberagaman pribadi ilahi. Singkatnya, gereja
Barat menemukan kesatuan ilahi pada hakikat Allah, sedang gereja Timur
menemukan kesatuan ilahi pada Allah Bapa (bdk. 1Kor. 8:6). Akan tetapi,
terlepas dari perbedaan tersebut, kedua gereja tetap menyaksikan pemahaman
Trinitaris yang lurus.
PRIBADI VS. INDIVIDU
Gereja
Latin memakai kata persona untuk menerjemahkan kata Yunani hypostasis
untuk “pribadi.” Sayangnya, pemakaian kata “person” atau “pribadi” di dunia
modern memiliki pengertian yang berbeda dengan pemakaian pada masa gereja
mula-mula. Di dunia modern, kata tersebut menunjuk pada satu ego tunggal dengan
kehendak, rasionalitas dan pusat hidupnya sendiri. Terpisah dari yang lainnya.
Dengan demikian, kata “pribadi/person” identik dengan kata “individu.” Padahal,
kata pribadi/person sesungguhnya bermakna trinitaris, karena kata tersebut
sudah menyimpan pluralitas dan relasi di dalamnya. Maka, seperti kata Raimundo
Panikkar, “pribadi/person” selalu berarti “masyarakat” atau “relasi antara
beberapa pusat atau fokus.”
Dalam
konteks itu, kata pribadi/person DAN relasi sesungguhnya menunjuk pada hal yang
sama dari sudut yang berbeda. Pribadi selalu relasional; relasi selalu
personal. Singkatnya, kekristenan tidak pernah bisa menerima kata “individu”
dan senantiasa memahami setiap identitas-diri sebagai pribadi-dalam-persekutuan
(person-in-community) atau priadi-dalam-relasi (person-in-relation).
Hanya dengan memahami makna pribadi/person sedemikian, maka kita bisa memahami juga
doktrin Tritunggal secara benar.
PAHAM-PAHAM YANG TERDISTORSI ATAU HETERODOKS
Di
sepanjang sejarah kekristenan muncullah paham-paham yang ternyata gagal
mempertahankan keseimbangan antara keesaan hakikat Allah dan ketigaan pribadi
Allah. Saya cenderung menyebutnya sebagai paham yang terdistorsi atau
heterodoks, ketimbang mengulangi penamaan “heretik” atau “sesat” yang dipakai
sejak gereja perdana.
Aliran
heterodoks yang pertama adalah monarkhianisme
(dari kata Yunani mone arkhe, prinsip tunggal). Monarkhianisme harus sungguh-sungguh dibedakan dari prinsip “monarkhi Sang Bapa” yang dipegang oleh gereja Timur. Prinsip monarkhi Sang Bapa menegaskan bahwa Sang Bapa adalah prinsip dan sumber keilahian bagi Sang Anak (yang diperanakkan oleh Sang Bapa) dan Roh Kudus (yang keluar dari Sang Bapa); namun prinsip ini tidak membuat pribadi Sang Anak dan Roh Kudus inferior dan berada di bawah Sang Bapa. Sedangkan monarkhianisme ditolak karena ingin mempertahankan secara berlebihan prinsip-tunggal ilahi yang berakibat pada penolakan atas kejamakan pribadi Allah (disebut monarkhianisme modalistis) atau penolakan atas kesetaraan hakiki ketiga pribadi (disebut monarkhianisme dinamis atau adopsionis).
(dari kata Yunani mone arkhe, prinsip tunggal). Monarkhianisme harus sungguh-sungguh dibedakan dari prinsip “monarkhi Sang Bapa” yang dipegang oleh gereja Timur. Prinsip monarkhi Sang Bapa menegaskan bahwa Sang Bapa adalah prinsip dan sumber keilahian bagi Sang Anak (yang diperanakkan oleh Sang Bapa) dan Roh Kudus (yang keluar dari Sang Bapa); namun prinsip ini tidak membuat pribadi Sang Anak dan Roh Kudus inferior dan berada di bawah Sang Bapa. Sedangkan monarkhianisme ditolak karena ingin mempertahankan secara berlebihan prinsip-tunggal ilahi yang berakibat pada penolakan atas kejamakan pribadi Allah (disebut monarkhianisme modalistis) atau penolakan atas kesetaraan hakiki ketiga pribadi (disebut monarkhianisme dinamis atau adopsionis).
Tipe
monarkhianisme yang pertama adalah modalisme. Para pengajur paham
ini adalah Noetus dan Praxeas (abad ke-2) dan yang paling terkenal adalah
Sabellius (abad ke-3) dan karenanya kerap juga disebut Sabelianisme. Paham ini
mengajarkan bahwa Bapa, Anak dan Roh Kudus bukanlah pribadi yang berbeda namun
sekadar cara berada (modus) yang berbeda dari Allah yang monopersonal
yang menyatakan diri terkadang sebagai Bapa, Anak atau Roh Kudus. Terhadap
paham ini kerap muncul olok-olokan seperti berikut:
Ketika Yesus berdoa agar Sang Bapa menjauhkan cawan derita
dari-Nya, ia berperan sebagai Anak. Kemudian, segera setelah mengucapkannya, Ia
menjadi Roh Kudus yang menyampaikan doa Yesus ke surga. Sesampai di surga, Ia
segera menjadi Sang Bapa untuk menerima doa Yesus yang dibawa oleh Roh Kudus.
Lalu, setelah itu, Ia segera kembali ke bumi menjadi Roh Kudus untuk
memberitahukan jawaban Sang Bapa. Kemudian, dengan segera Ia berubah lagi
menjadi Sang Anak untuk menerima jawaban doa Sang Bapa, yang dibawa oleh Roh
Kudus.
Jadi,
tidak ada perbedaan yang otentik dan sempurna di antara pribadi-pribadi ilahi.
Ketiganya hanyalah tampilan dari satu pribadi yang tunggal saja. Modalisme,
dengan demikian, memang bermaksud mempertahankan ketunggalan Allah, namun
dengan ongkos terhilangnya ketigaan pribadi Allah.
Yang
mengejutkan, modalisme semacam ini tumbuh subur lewat beberapa ilustrasi
popular yang kerap dipakai untuk menjelaskan Allah Tritunggal. Misalnya, kerap
orang memakai analogi H2O yang dapat tampil dalam tiga wujud: cair,
padat dan uap. Ketika sebuah partikel H2O berwujud cair, partikel
itu tak bisa pada saat yang sama berwujud padat atau uap. Ini contoh terbaik
yang ternyata menjelaskan modalisme. Atau, contoh pribadi Budi yang satu
ternyata adalah seorang ayah, seorang sopir dan seorang pendeta; tetapi hanya
ada satu Budi. Ini disebut modalisme fungsional. Contoh lain adalah
pemakaian tiga kerangka sejarah keselamatan yang masing-masing menampilkan
modus ilahi yang berbeda: Allah Bapa pada zaman Perjanjian Lama, Sang Anak pada
masa Perjanjian Baru hingga Yesus naik ke surga dan dilanjutkan dengan masa
gereja yang menampilkan Roh Kudus. Ini disebut modalisme kronologis.
Model
monarkhianisme yang kedua disebut adopsionisme
karena mempercayai bahwa Yesus Kristus adalah manusia biasa yang kemudian diangkat/diadopsi menjadi ilahi pada saat pembaptisan-Nya.
karena mempercayai bahwa Yesus Kristus adalah manusia biasa yang kemudian diangkat/diadopsi menjadi ilahi pada saat pembaptisan-Nya.
Paham
heterodoks kedua adalah triteisme. Sementara monarkhianisme,
khususnya modalisme, ingin mempertahankan ketunggalan Allah secara berlebihan,
triteisme menekankan kejamakan Allah secara berlebihan. Namun, berbeda dengan
paham Trinitaris ortodoks yang mengakui kejamakan tiga pribadi Allah, triteisme
memahami kejamakan pada esensi Allah. Sekalipun paham ini jarang dianut secara
sadar, namun kerap ia merupakan implikasi dari formulasi yang tak tepat. Cukup
banyak pendeta di kalangan gereja tertentu yang getol menyebut diri sebagai
gereja paling lurus di Indonesia, serta menuduh gereja lain tidak Alkitabiah,
justru yang paling sering terjebak ke dalam perumusan keliru: “Allah Bapa,
Allah Anak dan Allah Roh Kudus.” Pertama, pemakaian formulasi ortodoks “Allah
Bapa, Anak dan Roh Kudus” adalah formulasi yang dipakai di dalam Alkitab.
Alkitab tidak satu kalipun memakai istilah “Allah Anak” namun “Anak Allah.”
Kedua, formulasi keliru “Allah Bapa, Allah Anak dan Allah Roh Kudus” dengan
sangat mudah menggiring pendengar pada pemahaman adanya tiga Allah, yaitu
“Allah Bapa” DAN “Allah Anak” DAN “Allah Roh Kudus.” Substansi yang seharusnya
satu dan sama bagi semua pribadi disebut tiga kali, sehingga membuka peluang
bagi pemahaman adanya tiga substansi.
Masih
banyak paham terdistorsi lain, namun kedua paham di ataslah yang paling penting
untuk dikenali dan dipahami.
MONARKHIANISME
Menekankan kesatuan-prinsip
dan ketunggalan Allah |
TRITEISME
Menekankan kejamakan Allah.
Ada tiga Allah, masing-masing dengan hakikat yang berbeda |
||
MODALISME
Pribadi-pribadi ilahi hanyalah cara berada (modus)
dari Allah
|
ADOPSIONISME
Yesus Kristus adalah manusia yang bersifat ilahi karena
diangkat sebagai Anak Allah, karena itu di bawah Bapa secara hakiki.
|
||
Mod. Kronologis
Pribadi-pribadi ilahi bekerja pada waktu yang berbeda-beda
|
Mod. Fungsional
Pribadi-pribadi ilahi memiliki fungsi yang berbeda-beda
|
||
PERICHORESIS DAN APPROPRIATIO
Lalu,
bagaimana gereja menjawab pandangan-pandangan ini? Terhadap modalisme
pada umumnya, kita harus menegaskan sebuah prinsip penting, bahwa
“semua karya Allah Tritunggal yang keluar bagi dunia selalu tidak terpisahkan”
(opera trinitatis ad extra sunt indivisa). Artinya, sebuah karya dari
satu pribadi Allah merupakan karya dari kedua pribadi lainnya pula. Hal ini
merupakan konsekuensi tak terhindarkan dari konsep perichoresis, yaitu
bahwa pribadi-pribadi ilahi saling-masuk, saling-menyekitari,
saling-memberi-ruang, sebagaimana Yesus berkata, “Aku di dalam Bapa dan Bapa di
dalam Aku” (Yoh. 14:10-11).
Konsep yang awalnya berkembang di Gereja Timur ini
diadopsi oleh Gereja Barat pula sebagai sebuah penjaga utama kesatuan dan
ketigaan Allah. Bapa, Anak dan Roh Kudus merupakan tiga pribadi ilahi yang
memiliki hakikat yang satu dan sama, namun tetap menjaga perbedaan personalitas.
Setiap pribadi berada di dalam kedua pribadi lainnya. Ketiganya “menari”
bersama, saling menyekitari, saling memberi, saling mengasihi—sedemikian
akrabnya hingga kita tak bisa berkata: [1] terdapat tiga pribadi yang terpisah
(karena hanya ada satu hakikat), atau [2] terdapat satu hakikat yang sendirian
(karena ada tiga pribadi yang bersekutu sangat erat). Persekutuan tiga pribadi
ilahi begitu erat dan akrab, hingga tak bisa tidak kita harus berkata ada satu
Allah—Allah persekutuan.
Lalu,
mengapa di dalam pengakuan-pengakuan iman universal kita mendapati kesan bahwa
masing-masing pribadi memiliki fungsi yang berbeda-beda (Bapa mencipta, Anak
menyelamatkan, Roh Kudus menguduskan)? Bukankah ini sama dengan modalisme
fungsional? Agustinus menjelaskan hal ini dengan mengajarkan sebuah konsep yang
disebut appropriatio. Melaluinya Agustinus berkata bahwa, di satu sisi,
karya Allah Tritunggal tidak terpisahkan (perichoresis), namun di lain
pihak, untuk memudahkan pemahaman kita, bolehlah kita mematutkan (appropriate)
sebuah karya pada satu pribadi, tanpa meninggalkan kedua pribadi lainnya. Jadi
ketika kita berkata, “Allah Bapa mencipta,” maka karya penciptaan dikerjakan
selalu bersama dengan Sang Anak dan Roh Kudus; ketika kita berkata, “Yesus
Kristus menyelamatkan,” maka karya penyelamatan itu bersama dengan Sang Bapa
dan Roh Kudus; demikian juga dengan karya Roh Kudus yang menguduskan, yang
berlangsung bersama Sang Bapa dan Sang Anak.
Nanti kita secara khusus akan masuk ke dalam tema perichoresis ini dengan lebih dalam. Kini, kita akan masuk ke formulasi Pengakuan Iman Athanasius yang paling tepat menggambarkan relasi antara Pribadi dan Hakikat Allah Tritunggal, khususnya dari Tradisi Barat.
Nanti kita secara khusus akan masuk ke dalam tema perichoresis ini dengan lebih dalam. Kini, kita akan masuk ke formulasi Pengakuan Iman Athanasius yang paling tepat menggambarkan relasi antara Pribadi dan Hakikat Allah Tritunggal, khususnya dari Tradisi Barat.
RELASI PRIBADI DAN HAKIKAT: PENGAKUAN IMAN ATHANASIUS
Pengakuan
Iman Athanasius sebenarnya bukan ditulis oleh Athanasius yang adalah seorang
santo dari Gereja Timur. Itu sebabnya, pengakuan ini ditulis dalam Bahasa
Latin, yang menunjukkan penulisnya adalah seorang dari tradisi Gereja Barat.
Pengakuan Iman Athanasius ini secara gamblang menggambarkan cara Gereja Barat
memformulasikan pemahaman Trinitarisnya.
- tidak
mencampurbaurkan ketiga pribadi dan tidak memisah-misahkan hakikat-Nya
yang satu.
- Setiap
pribadi memiliki atribut keilahian yang sama secara penuh—tidak diciptakan
(increatus), tidak terbatas (immensus), kekal (aeternus), Mahakuasa (omnipotens)—tetapi hanya ada Satu Allah
yang tidak diciptakan, tidak terbatas, kekal dan Mahakuasa.
- Masing-masing
pribadi adalah Allah, namun tidak ada tiga Allah, melainkan hanya satu
Allah.
- Setiap
pribadi memiliki keunikan tersendiri di dalam relasi internal Allah
Tritunggal. Sang Bapa memperanakkan dan mengeluarkan; Sang Anak
diperanakkan; Roh Kudus dikeluarkan.
- Semua
pribadi setara (coaequales, coequal) dan sama kekalnya (coaeternae,
coeternal), karena itu tak ada yang lebih dulu atau lebih terkemudian,
tak ada yang lebih besar atau lebih kecil.
Sangat
terlihat bahwa rumusan ini mencerminkan pemahaman Barat yang menemukan kesatuan
ilahi pada esensi Allah yang satu dan sama. Rumusan di atas juga bisa
diilustrasikan dengan gambar di samping ini.
PRO NOBIS—UNTUK
KITA
Di Bagian Pertama, saya
sudah memaparkan relasi yang sangat erat antara doktrin Kristologi dan
Tritunggal. Kita berusaha memahami Tritunggal dalam rangka memahami lebih baik
lagi siapa Kristus dan karya penyelamatan-Nya. Demikian juga sebaliknya. Dengan
kata lain, doktrin Tritunggal tidak ada gunanya sama sekali jika dilepaskan
dari relasi Allah Tritunggal dengan manusia. Itu sebabnya, kecenderungan
teologi skolastik pada Abad Pertengahan untuk melihat “anatomi” Allah
Tritunggal di dalam diri-Nya sendiri (ad intra) menjadi sangat
spekulatif dan sia-sia. Sebaliknya, ketika doktrin Tritunggal dipahami dalam
relasi ekonomis dengan keselamatan dunia (ad extra), ia menjadi
prinsip dasar yang menyatukan, menaungi, serta memaknai seluruh doktrin lain
dan seluruh dimensi hidup Kristiani. Singkatnya, Tritunggal menjadi punya arti
ketika dipahami bahwa persekutuan ketiga pribadi ilahi tersebut selalu terarah
kepada ciptaan-Nya—pro nobis, untuk kita.
Keterarahan Allah pada ciptaan
ini dirumuskan oleh Catherine LaCugna sebagai sebuah “gerakan dinamis Allah, a
Patre ad Patrem [dari Bapa menuju Bapa].” Sang Bapa mengirimkan Sang Anak
melalui kuasa Roh Kudus, demi menyelamatkan seluruh ciptaan dan mempersekutukan
ciptaan kembali dengan Sang Bapa, di dalam Sang Anak dalam kuasa Roh Kudus.
LaCugna menulis begini,
Segala sesuatu datang dari Allah, dan
segala sesuatu kembali kepada Allah, melalui Kristus di dalam Roh Kudus. Gerak
keluar dan kembali (exitus-reditus) ini merupakan koreografi dari
tarian ilahi yang berlangsung dari kekekalan dan menjadi nyata pada setiap
momen di dalam ciptaan. Tidak terdapat dua kelompok persekutuan—yang satu di
antara pribadi-pribadi ilahi, yang lain di antara pribadi manusia, seakan yang
terakhir mereplika yang pertama. Perikhoresis yang satu, misteri persekutuan
yang mencakup Allah dan umat manusia sebagai rekan-rekan terkasih di dalam
tarian.
Gambaran yang indah ini hendak
mengatakan bahwa Allah pada diri-Nya adalah persekutuan cinta-kasih yang
menghidupi kasih di antara ketiga pribadi ilahi, namun yang kemudian memperluas
cinta-kasih tersebut kepada ciptaan-Nya, hingga ciptaan dilibatkan ke dalam
persekutuan, yang dilambangkan dengan tarian ilahi tersebut. Dengan cara
berbeda dapat dikatakan bahwa identitas Allah adalah pemberian-diri (self-giving
atau self-donation). Itulah makna kurban yang sejati. Kurban tidak
dimulai dari manusia supaya Allah bereaksi. Namun, kurban justru mulai
dari pemberian-diri Allah Bapa melalui pemberian-diri Sang Anak, di dalam kuasa
kasih Roh Kudus, yang akhirnya membentuk kehidupan kristiani yang juga
memberi-diri mereka. Yesus Kristus, dengan demikian, adalah kehadiran nyata
dari Allah yang memberi-diri. Dengan atau tanpa kematian-Nya, Kristus tetap
adalah kurban. Kata “kurban” secara etimologis berasal dari kata q-r-b,
yang darinya kita memperoleh kata-kata Indonesia seperti karib, kerabat, dan
akrab.
DOKTRIN PALING PRAKTIS!
Catherine M. LaCugna, berdasarkan
prinsip keselamatan yang berpusat pada Allah Tritunggal itu, mengklaim bahwa
Tritunggal merupakan doktrin yang paling praktis bagi orang-orang Kristen.
Artinya, seluruh dimensi kehidupan kita harus mencerminkan dan mengantisipasi
peran-serta seluruh ciptaan ke dalam persekutuan Allah Tritunggal. Jadi, ada
dua dimensi dari hubungan Allah Tritunggal dan kehidupan manusia. Pertama,
persekutuan Allah Tritunggal harus menjadi citra yang tercermin di dalam
seluruh dimensi hidup kita. Dengan kata lain, kehidupan manusia sebenarnya
mencerminkan kehidupan ilahi yang Trinitaris itu sendiri.
Kita sering berkata bahwa
“manusia adalah gambar Allah.” Ungkapan ini sebenarnya tidak tepat. Pertama, di
dalam Alkitab sebenarnya tidak pernah dikatakan bahwa manusia adalah
gambar Allah. Alkitab setepatnya menyatakan bahwa manusia diciptakan menurut
gambar Allah (Kej. 1:26-27).
26 Berfirmanlah Allah: “Baiklah Kita
menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka
berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan
atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi.” Maka
Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut
gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan
diciptakan-Nya mereka. (Kej. 1:25-26)
Artinya, Allah menciptakan
manusia berdasarkan sebuah citra yang sudah ada terlebih dahulu, sebuah gambar
Allah. Apakah yang dimaksud dengan gambar Allah di sini adalah “wujud” Allah,
yang terhadap-Nya manusia dan seluruh ciptaan menyesuaikan diri. Gambar Allah
itu adalah Sang Anak. Paulus menegaskan hal ini:
Ia adalah gambar Allah yang tidak kelihatan, yang sulung,
lebih utama dari segala yang diciptakan (Kol. 1:15)
dan telah mengenakan manusia baru
yang terus-menerus diperbaharui untuk memperoleh pengetahuan yang benar menurut
gambar Khaliknya (Kol. 3:10)
Di lain pihak, banyak pula
teolog yang memperluas makna “gambar Allah” ini dengan mengatakan bahwa, berkat
Kristus Sang Gambar Allah, manusia hidup sebagai pribadi-dalam-persekutuan (person-in-community)
dan dengan demikian menjadi “gambar Allah Tritunggal.” Inilah signifikansi
pertama dari doktrin Tritunggal, yaitu ketika manusia mencerminkan persekutuan
ilahi itu dalam kehidupan komunal dan sosialnya di dalam dunia.
Model kedua hubungan Allah Tritunggal
dan ciptaan adalah partisipasi. Manusia dan seluruh ciptaan diundang
untuk berpartisipasi, mengambil bagian, di dalam persekutuan Allah Tritunggal.
Dan, sekali lagi, ini semua terjadi berkat Kristus. Sebab, segala sesuatu
diciptakan di dalam Kristus. Bersama dan di dalam Kristus, oleh kuasa Roh
Kudus, kita ikut menari dalam tarian ilahi, ikut berkarya dalam karya ilahi.
Manusia dan seluruh ciptaan diundang untuk mengikuti alur a Patre ad Patrem,
Partisipasi atau peranserta
manusia ke dalam persekutuan ilahi itu didasarkan pada sebuah pengharapan bahwa
pada saatnya kelak, “Allah menjadi semua di dalam semua” (1Kor. 15:28). Dalam
menjalankan peranserta atau partisipasinya itulah manusia diundang untuk hidup
seturut dan sepadan dengan kualitas utama dari persekutuan ilahi tersebut:
mutualitas, kesetaraan, kebebasan, serta inklusivitas.
Berdasarkan kedua model di atas
itulah—citra dan partisipasi—orang-orang Kristen harus mengusahakan semua
dimensi hidupnya. Mulai dari pernikahan, misi, ibadah, hingga politik; mulai
dari masalah eklesiologi, etika sampai dengan ekologi. Dalam kesempatan ini,
saya hanya akan memberi beberapa contoh saja.
1. Allah Tritunggal dan
Keluarga
Kejadian 1:27 berbunyi, “Maka
Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah
diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka.” Secara
eksplisit manusia yang diciptakan menurut gambar Allah itu adalah laki-laki
dan perempuan. Di dalam persekutuan Trinitaris dan menurut Kristus sebagai
gambar Allah, Allah menciptakan keluarga yang terdiri atas laki-laki dan
perempuan, yang kemudian diberi mandat untuk mengelola kehidupan bumi ini (Kej.
1:28). Maka, sama seperti persekutuan Allah Tritunggal bercirikan kesetaraan,
kebebasan, cinta-kasih, mutualitas dan inklusivitas, demikian pulalah keluarga
harus dibangun. Kepala keluarga bukanlah laki-laki, melainkan Kristus sendiri,
karena keluarga dibentuk “menurut gambar Allah,” yang adalah Sang Anak. Untuk
ulasan lebih lanjut, lihat Marc Ouellet, Divine Likeness: Toward a
Trinitarian Anthropology of the Family (2006).
2. Allah Tritunggal dan
Misi
Misi dipahami pertama-tama
sebagai misi Allah (missio Dei), bahkan misi Allah Tritunggal (missio
Dei Trinitatis); bukan misi gereja (missio ecclesiae). Allah Bapa
mengutus Sang Anak dalam kuasa Roh Kudus untuk menghasikan keselamatan yang
berpusat pada cinta-kasih, agar seluruh ciptaan yang diciptakan oleh Allah (a
Patre) kembali kepada Sang Bapa (ad Patrem). Gereja melakukan
misinya sebagai partisipasi ke dalam misi Allah Tritunggal itu. Lihat Timothy
C. Tennent, Invitation to world missions: A Trinitarian Missiology for the
Twenty-first Century (2010).
3. Allah Tritunggal dan
Gereja
Gereja dalam perspektif
Trinitaris dipahami sebagai umat Allah, tubuh Kristus dan bait Roh Kudus.
Sebagai persekutuan iman yang mencerminkan persekutuan ilahi, gereja harus
menghadirkan kualitas yang kita imani muncul dalam persekutuan ilahi tersebut:
inklusivitas, kesetaraan dan cinta-kasih. Jadi, kita harus mengusahakan sebuah
gereja yang terbuka (open church), gereja sebagai persekutuan yang
setara (equal community), serta gereja yang menjadi persekutuan
cinta-kasih (community of love). Dalam terang itu, struktur gereja
yang dibangun dengan prinsip hierarki dan subordinasi atas-bawah sama-sekali
tidak mencerminkan persekutuan Trinitaris tersebut. Lihat, misalnya, Miroslav
Volf, After Our Likeness: The Church as the Image of the Trinity
(1998)
4. Allah Tritunggal dan
Politik
Politik berbasis iman pada Allah
Tritunggal menolak segala bentuk otoritarianisme dan monarkhianisme yang
dilegitimasi oleh satu Allah yang tunggal (unitarian). Kekerasan yang dilakukan
oleh banyak agama monoteis menunjukkan betapa politik monoteis atau unitaris
tidak memadai. Sebaliknya, persekutuan Trinitaris menjadi model bagi hidup
bersama pada ranah sosial dan politik, agar kehidupan bersama itu diwarnai oleh
kesetaraan dan kebebasan. Lihat, misalnya, Jürgen Moltmann, Trinity and the
Kingdom of God (1993).
5. Allah Tritunggal dan
Keutuhan Manusia
Orang-orang Kristen Platonis
selalu memisahkan tubuh dan roh manusia, hingga pada satu titik, ketika
kematian menjemput, roh yang suci meninggalkan tubuh yang fana dan kembali
kepada Allah. Pemahaman tentang manusia yang semacam ini sangat tidak
Trinitaris. Kesatuan sekaligus perbedaan Roh Kudus dan Sang Anak (yang menjadi
daging) menegaskan pentingnya memahami manusia sebagai makhluk yang utuh tanpa
dikotomi (tubuh-roh) atau trikotomi (tubuh-roh-jiwa). Sama seperti Allah
menghargai tubuh/daging, hingga Sang Anak menjadi daging (Yoh. 1:14), manusia
juga harus menghargai seluruh dimensi hidupnya. Seluruhnya pada akhirnya
dipersekutukan kepada dengan Allah Tritunggal, yaitu ketika “Allah menjadi
semua di dalam semua” (1Kor. 15:28).
Masih banyak dimensi hidup
manusia yang dapat dan harus diteropong dan dimaknai secara Trinitaris. Semoga
lima contoh di atas cukup untuk menunjukkan betapa kita sungguh-sungguh harus
meninggalkan pola-pola pikir Unitaris dan kembali ke semangat iman mula-mula:
Allah Tritunggal. Hormat bagi Allah Bapa, hormat bagi Anak-Nya, hormat bagi
Roh Penghibur; Ketiganya yang Esa. Haleluya!
"שמע ישראל יהוה אלהינו יהוה אחד "
ReplyDelete" ואהבתא את יהוה אלהיך בכל לבבך ובכל נפשך ובכל מאדך "
" ואהבתא לרעך כמוך "
⬇
" Shema Yisrael YHWH ( Adonai ) Eloheinu YHWH ( Adonai ) ekhad "
" V'ahavta et YHWH ( Adonai ) Eloheikha bekol levavkha uvkol nafsheka uvkol meodekha "
" V'ahavta lereakha kamokha "
⬇
" Dengarlah, hai Israel :YHWH ( Adonai ) Elohim kita: YHWH ( Adonai ) itu satu "
" Dan kasihilah YHWH ( Adonai ) Elohimmu dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu. "
" Dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri "
( Ulangan 6 ay 4 - 5, Imamat 19 : 18, Markus 12 ayat 29 - 31 )