DOKTRIN ALLAH TRITUNGGAL

                           

“ ALLAH TRITUNGGAL”
Dari semua doktrin Kristen, agaknya Allah Tritunggal menempati posisi tertinggi sebagai doktrin yang paling sukar untuk dimengerti. Bagaimana mungkin Allah yang esa dan tunggal (monoteisme) pada saat bersamaan diyakini sebagai tiga pribadi ilahi, tanpa terjerumus ke dalam keyakinan pada tiga Allah (triteisme)? Lalu, doktrin kedua yang paling sukar dipahami adalah Kristologi (ajaran mengenai Kristus). Bagaimana pada saat bersamaan Yesus Kristus dapat diterima sebagai Allah sepenuhnya dan manusia sepenuhnya (vere Deus et vere homo)? Kedua doktrin ini menunjuk pada misteri iman Kristen yang paling penting: misteri Allah Tritunggal dan misteri inkarnasi. Namun doktrin itu sendiri bukan dan tidak boleh dianggap misteri, karena doktrin (Lat. Docere: mengajar) berusaha untuk menjelaskan dan mengajarkan kehidupan di hadapan misteri itu, sekalipun tetap secara terbatas. Sebagai sebuah penjelasan dan pengajaran, doktrin harus bisa dipahami dengan baik.

Kata misteri harus dipahami secara benar di sini. Kata ini menunjuk pada realitas yang tak bisa diterangkan secara memadai lewat argumen rasional maupun diilustrasikan secara penuh lewat kenyataan empiris. Maka, misteri iman tidak sama dengan masalah atau teka-teki. Masalah harus diselesaikan, teka-teki dipecahkan. Sebuah doktrin terhadap sebuah misteri iman tidak berupaya untuk menyelesaikan dan memecahkan misteri itu, namun juga untuk merawat dan menjaganya, agar tetap menjadi misteri, namun sekaligus agar misteri itu memberi makna bagi kehidupan.

Yang menarik, di atas dasar kedua doktrin inilah seluruh iman Kristen dipertahankan, diajarkan, dihidupi dan dikembangkan. Itu sebabnya, Gereja Orthodoks Timur menegaskan bahwa hanya ada dua dogma, yang karena hidup di dalamnya manusia selamat dan karena menolaknya manusia binasa. Keduanya adalah doktrin Tritunggal dan doktrin dua-hakikat Yesus Kristus (Allah sepenuhnya dan manusia sepenuhnya). Di atas keduanyalah seluruh ajaran lain dikembangkan dan dijabarkan.
Harus disadari bahwa dari segi perumusan formalnya, doktrin Tritunggal dirumuskan menyusul setelah gereja perdana merumuskan secara formal doktrin Kristologinya. Jadi, pengakuan terhadap Allah Tritunggal merupakan konsekuensi logis dari doktrin Kristus sebagai Allah dan manusia yang menjadi mediator keselamatan bagi dunia. Untuk itulah, kita tak bisa tidak harus mulai dari pembicaraan mengenai Yesus Kristus terlebih dahulu.

YESUS KRISTUS: ALLAH SEPENUHNYA, MANUSIA SEPENUHNYA
Kekristenan mewarisi iman Israel yang meyakini bahwa hanya ada satu Allah yang menciptakan semesta dan segala isinya. Pencipta yang Satu itu haruslah berbeda secara kualitatif dan radikal dengan ciptaan yang beragam ini. Manusia sebagai ciptaan bisa berbicara tentang dan kepada Allah jika dan hanya jika Allah berkenan menyatakan diri-Nya melalui mediasi ciptaan (budaya, bahasa dan sebagainya). Di luar penyataan diri Allah itu, Allah adalah misteri yang tak terbayangkan, tak terkatakan dan tak terhampiri.
Dialah satu-satunya yang tidak takluk kepada maut, bersemayam dalam terang yang tak terhampiri. Seorangpun tak pernah melihat Dia dan memang manusia tidak dapat melihat Dia. Bagi-Nyalah hormat dan kuasa yang kekal! Amin. (1Tim. 6:16)
Konsekuensinya, ada dua hal yang harus dipertahankan bersama-sama. Pertama, apapun yang dikatakan manusia tentang Allah pastilah berada dalam wilayah ciptaan dan bukan Allah itu sendiri. St. Agustinus menyatakan: “Jika Anda memahaminya, maka itu pasti bukan Allah” (Si comprehendis, non est Deus). Maka, doktrin apa pun tentang Allah tak boleh dimutlakkan. Selain itu, sangat sering kita menamai Allah secara analogis, berdasarkan apa yang kita kenali dalam wilayah ciptaan. Misalnya, kita berkata bahwa Allah itu mahakasih, karena kita tahu dari hidup kita apa artinya kasih, lalu kita mengakui bahwa Tuhan pastilah penuh kasih hingga ke titik tertinggi (maha-). Itu sebabnya, kita tidak pernah mengatakan Allah itu “maha-xuxuxu,” karena kita tidak mengenali kata “xuxuxu” itu dalam kosakata bahasa kita.
Kedua, agar Allah dapat menyatakan diri-Nya kepada ciptaan dan tetap yang dikomunikasikan adalah diri-Nya sendiri, maka harus ada sebuah pribadi ilahi yang pada hakikatnya adalah Allah, bukan ciptaan, tetapi yang kemudian memasuki wilayah ciptaan, menjadi sama dengan ciptaan dan pada saat bersamaan tetaplah Allah. “Yang bukan ciptaan” namun “sama dengan ciptaan” itu adalah Kristus yang oleh Paulus disebut sebagai “yang sulung, lebih utama dari segala ciptaan” yang “di dalam Dia telah diciptakan segala sesuatu” (Kol. 1:15-16)
15 Ia adalah gambar Allah yang tidak kelihatan, yang sulung, lebih utama dari segala yang diciptakan, 16 karena di dalam Dialah telah diciptakan segala sesuatu, yang ada di sorga dan yang ada di bumi, yang kelihatan dan yang tidak kelihatan, baik singgasana, maupun kerajaan, baik pemerintah, maupun penguasa; segala sesuatu diciptakan oleh Dia dan untuk Dia. (Kol 1:15-16)
Singkatnya, haruslah ada satu mediator yang sekaligus ilahi dan manusiawi. Pribadi ilahi-manusiawi itulah yang kita kenal di dalam Yesus Kristus. Tanpa mempertahankan kedua hal ini monoteisme tidak bisa berjalan dengan baik.
Karena Allah itu esa dan esa pula Dia yang menjadi pengantara antara Allah dan manusia, yaitu manusia Kristus Yesus (1Tim. 2:5)
Yesus Kristus dengan demikian diakui oleh gereja sejak awal sebagai Allah dan manusia. Satu-satunya pengakuan iman yang secara eksplisit menyebut Yesus sebagai Allah muncul dari mulut Tomas si peragu, ketika ia berseru kepada Yesus yang bangkit: “Ya Tuhanku dan Allahku!” (Yoh. 20:28). Akan tetapi, sangat banyak teks lain di dalam Kitab Suci yang menggiring kita kepada kesimpulan bahwa Yesus Kristus memanglah Allah. Teks 1 Timotius 6:16 di atas menandaskan bahwa “Dialah satu-satunya yang tidak takluk kepada maut.” Hanya Allahlah satu-satunya yang tidak takluk kepada maut. Di dalam Roma 6:9, Paulus berkata, “Karena kita tahu, bahwa Kristus, sesudah Ia bangkit dari antara orang mati, tidak mati lagi: maut tidak berkuasa lagi atas Dia.” Anak kalimat “maut tidak berkuasa lagi atas Dia” berarti bahwa Ia pernah dikuasai oleh maut. Ini tidak berarti bahwa tadinya Yesus bukan Allah, namun diangkat menjadi ilahi setelah dibangkitkan. Namun, Ia merelakan diri ditaklukkan oleh maut (rela untuk mati) untuk memasuki kemanusiaan yang penuh dosa, untuk pada akhirnya mengatasinya.
Bapa mengasihi Aku, oleh karena Aku memberikan nyawa-Ku untuk menerimanya kembali. (Yoh. 10:17)
Pandangan yang menyatakan bahwa keilahian Yesus “diberikan” oleh Allah pada satu titik waktu tertentu (entah saat pembaptisan-Nya atau pembangkitan-Nya) sering disebut adopsionisme, yang ditolak sebagai bidat oleh gereja.
Jadi, di satu sisi, kebangkitan menegaskan dan membuktikan bahwa Yesus Kristus adalah Allah yang tidak takluk pada maut dan bahkan menaklukkan maut. Namun, bagaimana kita menunjukkan bahwa Yesus Kristus adalah Allah bahkan sebelum kebangkitan-Nya? Di dalam Doa Terakhir Yesus (Yoh. 17) keilahian Yesus ditandaskan dengan sangat kuat.
21 supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau, agar mereka juga di dalam Kita, supaya dunia percaya, bahwa Engkaulah yang telah mengutus Aku. 22 Dan Aku telah memberikan kepada mereka kemuliaan, yang Engkau berikan kepada-Ku, supaya mereka menjadi satu, sama seperti Kita adalah satu: 23 Aku di dalam mereka dan Engkau di dalam Aku supaya mereka sempurna menjadi satu, agar dunia tahu, bahwa Engkau yang telah mengutus Aku dan bahwa Engkau mengasihi mereka, sama seperti Engkau mengasihi Aku. 24 Ya Bapa, Aku mau supaya, di manapun Aku berada, mereka juga berada bersama-sama dengan Aku, mereka yang telah Engkau berikan kepada-Ku, agar mereka memandang kemuliaan-Ku yang telah Engkau berikan kepada-Ku, sebab Engkau telah mengasihi Aku sebelum dunia dijadikan.
Pertama, Yesus menyatakan bahwa Bapa di dalam Anak dan Anak di dalam Bapa secara sempurna, hingga keduanya menjadi satu (ay. 21; bdk. 10:30-33). Dinamika saling memasuki dan saling memberi ruang bagi pribadi ilahi lain ini disebut dengan istilah perichoresis. Kedua, Anak yang berada di dalam Bapa itu diutus oleh Sang Bapa ke dalam dunia dan berinkarnasi menjadi manusia sejati (ay. 21 & 23; bdk. Yoh. 1:14). Kesatuan Sang Anak dan Sang Bapa ini menunjukkan kesatuan hakikat atau esensi. Ketiga, relasi Sang Anak dan Sang Bapa begitu intimnya dan diwarnai dengan kasih “sebelum dunia diciptakan” (ay. 24).
Kristus Yesus, yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan (Fil 2:5-6)
Ia ada terlebih dahulu dari segala sesuatu dan segala sesuatu ada di dalam Dia (Kol 1:17)
maka pada zaman akhir ini Ia telah berbicara kepada kita dengan perantaraan Anak-Nya, yang telah Ia tetapkan sebagai yang berhak menerima segala yang ada. Oleh Dia Allah telah menjadikan alam semesta. (Ibr. 1:2)
Akan tetapi kepraadaan (pre-existence) Sang Anak “sebelum dunia diciptakan” sebenarnya belum sepenuhnya membuktikan keilahian Yesus yang sehakikat dengan Allah. Sebab, bisa saja Sang Anak diciptakan pertama-tama “sebelum dunia diciptakan” (dan karena itu Ia bukan Allah). Inilah dalil yang diberikan oleh Arius yang menentang keilahian Yesus yang sehakikat dengan Allah. Akan tetapi, Sang Anak tidak diciptakan oleh Sang Bapa, melainkan keluar dari Sang Bapa. Yesus sendiri berkata,
Kata Yesus kepada mereka: “Jikalau Allah adalah Bapamu, kamu akan mengasihi Aku, sebab Aku keluar dan datang dari Allah. Dan Aku datang bukan atas kehendak-Ku sendiri, melainkan Dialah yang mengutus Aku. (Yoh. 8:42)
Tetapi setelah genap waktunya, maka Allah mengutus Anak-Nya, yang lahir dari seorang perempuan dan takluk kepada hukum Taurat. (Gal. 4:4)
Jika Sang Anak keluar dari Allah maka Ia adalah Allah. Kemanusiaan Yesus keluar dari Maria, maka ia adalah manusia sejati. Keilahian Sang Anak keluar dari Sang Bapa, maka Ia Allah sejati. Bersama dengan iman Israel, penulis Injil Yohanes menegaskan bahwa tak seorang pun pernah melihat Allah selain Sang Anak dan karena itulah Ia dapat menyatakan Sang Bapa. Hanya jika Sang Anak adalah Allah maka Ia bisa melihat Allah dan menyatakan Allah.
Tidak seorangpun yang pernah melihat Allah; tetapi Anak Tunggal Allah, yang ada di pangkuan Bapa, Dialah yang menyatakan-Nya. (Yoh. 1:18)
Keilahian Sang Anak yang setara dengan Allah Bapa namun memiliki pribadi yang tak sama ini disaksikan dengan paling jelas dalam Yohanes 1:1.
Pada mulanya adalah Firman; Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah (Yoh. 1:1)
Di satu sisi diakui bahwa Sang Firman atau Sang Anak itu “bersama-sama dengan Allah” dan di sisi lain diakui bahwa Sang Firman itu “adalah Allah.” Artinya, keduanya berbeda dalam pribadi (bersama-sama dengan), namun satu dalam esensi (adalah). Kata “bersama-sama dengan Allah” aslinya berbunyi pros ton Theon, menuju Allah. Anak kalimat ini ingin menunjukkan relasi timbal-balik antara Sang Anak dan Sang Bapa. Allah merenungi dan memandang diri-Nya sendiri di dalam Sang Anak. Itu sebabnya, kadang kata Yunani theos (Allah) dianggap berasal dari kata kerja theein yang berarti “berlari” (Plato) atau theasthai yang berarti “melihat” (St. Basil Agung). Sang Bapa dan Sang Anak saling melihat secara kekal (bdk. Ibr. 1:3).
Karena kesatuan hakiki antara Sang Bapa dan Sang Anak dan karena perbedaan kedua person inilah maka Sang Bapa menjadi Bapa secara kekal bagi Sang Anak dan Sang Anak menjadi Anak secara kekal dari Sang Bapa. Sang Bapa adalah Bapa yang keibuan karena melahirkan Sang Anak, sekaligus Ibu yang kebapaan dan karenanya disebut Bapa.
ROH KUDUS DAN TRITUNGGAL
Jika sejak semula gereja perdana menggumuli persoalan Kristologi dan Tritunggal bersama-sama, percakapan mengenai keilahi Roh Kudus, pribadi ketiga Allah, muncul belakangan, sekalipun banyak teks Kitab Suci yang menyaksikan keilahian Roh Kudus pula. Saya tidak akan membahas panjang-lebar di sini; cukuplah menunjukkan beberapa teks Kitab Suci yang menarik untuk kita ingat. Misalnya, dalam 1 Yohanes 3:24 ditandaskan keilahian dari Roh Kudus yang adalah Allah. Juga dalam Yohanes 15:26, disaksikan bahwa Roh Kudus keluar dari Sang Bapa, sama seperti Sang Anak keluar dari Sang Bapa.
Barangsiapa menuruti segala perintah-Nya, ia diam di dalam Allah dan Allah di dalam dia. Dan demikianlah kita ketahui, bahwa Allah ada di dalam kita, yaitu Roh yang telah Ia karuniakan kepada kita. (1Yoh. 3:24)
Jikalau Penghibur yang akan Kuutus dari Bapa datang, yaitu Roh Kebenaran yang keluar dari Bapa, Ia akan bersaksi tentang Aku. (Yoh. 15:26)
Injil Yohanes juga mengajarkan bahwa Roh Kudus adalah Roh Kudus adalah Penolong atau Penghibur yang datang dari Sang Bapa.
16 Aku akan minta kepada Bapa, dan Ia akan memberikan kepadamu seorang Penolong yang lain, supaya Ia menyertai kamu selama-lamanya, 17
yaitu Roh Kebenaran. Dunia tidak dapat menerima Dia, sebab dunia tidak melihat Dia dan tidak mengenal Dia. Tetapi kamu mengenal Dia, sebab Ia menyertai kamu dan akan diam di dalam kamu. 18 Aku tidak akan meninggalkan kamu sebagai yatim piatu. Aku datang kembali kepadamu. (Yoh. 14:16-18)
Anak-anakku, hal-hal ini kutuliskan kepada kamu, supaya kamu jangan berbuat dosa, namun jika seorang berbuat dosa, kita mempunyai seorang pengantara [parakletos] pada Bapa, yaitu Yesus Kristus, yang adil. (1Yoh. 2:1)
Roh Kudus adalah “Penolong yang lain” (Parakletos) yang menunjuk pada Yesus Sang Penolong (1Yoh. 2:1). Dengan kehadiran Roh Kudus itulah, Yesus berkata, “Aku datang kembali kepadamu” (Yoh 14:18).
Paulus juga menegaskan keilahian Roh Kudus yang keluar dari Sang Bapa, dan karena itu ilahi sepenuhnya, dengan menyatakan bahwa Roh Kudus mengetahui yang tersembunyi di dalam Allah. Dan hanya Allah yang mengetahui yang tersembunyi di dalam Allah.

10 Karena kepada kita Allah telah menyatakannya oleh Roh, sebab Roh menyelidiki segala sesuatu, bahkan hal-hal yang tersembunyi dalam diri Allah. 11 Siapa gerangan di antara manusia yang tahu, apa yang terdapat di dalam diri manusia selain roh manusia sendiri yang ada di dalam dia? Demikian pulalah tidak ada orang yang tahu, apa yang terdapat di dalam diri Allah selain Roh Allah. (1Kor. 2:10-11).

Dengan penegasan keilahian Roh Kudus sebagai pribadi ketiga Allah itulah, doktrin Tritunggal makin diteguhkan dan siap dirumuskan secara formal. Kekekalan ketiga pribadi Allah inilah yang membentuk persekutuan cinta-kasih yang menjadi identitas dari Allah—”Allah adalah kasih” (1Yoh. 4:8, 16). Allah yang tunggal-sempurna seperti dalam monoteisme, tanpa perbedaan personal di dalam diri-Nya, tidak mungkin beridentitas kasih, karena kasih selalu menyiratkan adanya pribadi yang mengasihi, dikasihi dan kasih itu sendiri.

SATU HAKIKAT, TIGA PRIBADI
Sejak awal kehadiran Kekristenan, yaitu setelah kebangkitan Kristus dan pengalaman turunnya Roh Kudus, orang-orang percaya menegaskan dua hal penting dalam iman mereka: Yesus Kristus adalah penyelamat dan hanya Allah satu-satunya yang dapat menyelamatkan. Selain itu, juga dipahami bahwa Yesus bukanlah Sang Bapa. Dari situ muncullah kesimpulan tak terhindarkan bahwa Yesus adalah Tuhan (1Kor. 12:3). Benih iman yang berporos pada Kristus ini kemudian dirumuskan secara lebih kompleks dan mendalam melalui doktrin Tritunggal. Singkatnya, ajaran tentang Tritunggal adalah implikasi teologis dari ajaran tentang Kristus Sang Penyelamat.

Dalam perkembangan berikutnya, keilahian Roh Kudus pun ditegaskan bersamaan dengan keilahian Sang Bapa dan Sang Anak. Gereja mula-mula, sekalipun tidak pernah mengklaim mampu memahami dan menjelaskan iman mereka akan Allah Bapa, Anak Allah dan Roh Kudus, toh berusaha mengekspresikan iman tersebut lewat doktrin Tritunggal; sehingga, sekalipun kata “Tritunggal” tidak dijumpai di dalam Alkitab, namun ia diyakini telah mampu mengungkapkan secara cukup dan memadai iman Kristiani dan alkitabiah. Secara khusus iman Trinitaris ini dapat dirumuskan lewat enam proposisi berikut:
  1. Hanya ada satu Allah
  2. Sang Bapa adalah sepenuhnya Allah
  3. Sang Anak adalah sepenuhnya Allah
  4. Roh Kudus adalah sepenuhnya Allah
  5. Sang Bapa bukanlah Sang Anak dan Roh Kudus; Sang Anak bukanlah Sang Bapa dan Roh Kudus; Roh Kudus bukanlah Sang Bapa dan Sang Anak. Ketiganya merupakan pribadi yang berlainan
  6. Ketiga pribadi ilahi tersebut berelasi satu dengan yang lain dalam sebuah persekutuan ilahi.
Keenam proposisi iman ini kemudian disarikan lebih lanjut menjadi dua proposisi yang lebih mendasar:
  1. Allah itu satu
  2. Allah itu dikenal selaku tiga pribadi-dalam-relasi, sebagai Bapa, Anak dan Roh Kudus.
Perbedaan intonasi di gereja Barat yang berbahasa Latin dan gereja Timur yang berbahasa Yunani memang membuat perbedaan cara membahasakan kedua klaim ini, namun kedua tradisi ini tetap dengan setia mempertahankan keduanya, yaitu bahwa hanya ada satu Allah dan satu Allah yang sejati itu adalah tiga pribadi: Bapa, Anak dan Roh Kudus. Perbedaan intonasi tersebut, misalnya, terlihat dari titik pijak yang berbeda dari masing-masing tradisi. Di satu sisi, tradisi Barat (Katolik) mulai dari ketunggalan Allah dan bertanya, “Bagaimana Allah yang tunggal ini dapat dipahami sebagai tiga pribadi?” Di sisi lain, tradisi Timur (Orthodoks) mulai dari ketigaan Allah dan bertanya, “Bagaimana tiga pribadi ilahi yang bersekutu ini dapat disebut satu?” Perbedaan ini, menurut Leonardo Boff, muncul karena respons gereja yang kontekstual terhadap keyakinan-keyakinan religius di konteksnya masing-masing.

Gereja-gereja di Timur harus berhadapan dengan sistem politik monarkisme yang sangat kaku dan menindas, yang memakai monoteisme sebagai justifikasi atas sistem kekuasaan mereka. Akibatnya, religiusitas yang berkembang di masyarakat saat itu tentu saja menentang keilahian Yesus. Terhadap keyakinan-keyakinan religius seperti itulah bapa-bapa gereja Timur menandaskan persekutuan tiga pribadi Allah dan menemukan kesatuan melalui perbedaan tersebut. Sebaliknya, gereja Barat harus berhadapan dengan politeisme yang sangat kuat di daerah-daerah yang dikuasai oleh kekaisaran Romawi. Karena itulah, bapa-bapa gereja Barat mulai dari ketunggalan Allah yang berporos pada kesatuan esensi atau hakikat. Dari kesatuan tersebut dicari dan ditemukanlah keberagaman pribadi ilahi. Singkatnya, gereja Barat menemukan kesatuan ilahi pada hakikat Allah, sedang gereja Timur menemukan kesatuan ilahi pada Allah Bapa (bdk. 1Kor. 8:6). Akan tetapi, terlepas dari perbedaan tersebut, kedua gereja tetap menyaksikan pemahaman Trinitaris yang lurus.

PRIBADI VS. INDIVIDU
Gereja Latin memakai kata persona untuk menerjemahkan kata Yunani hypostasis untuk “pribadi.” Sayangnya, pemakaian kata “person” atau “pribadi” di dunia modern memiliki pengertian yang berbeda dengan pemakaian pada masa gereja mula-mula. Di dunia modern, kata tersebut menunjuk pada satu ego tunggal dengan kehendak, rasionalitas dan pusat hidupnya sendiri. Terpisah dari yang lainnya. Dengan demikian, kata “pribadi/person” identik dengan kata “individu.” Padahal, kata pribadi/person sesungguhnya bermakna trinitaris, karena kata tersebut sudah menyimpan pluralitas dan relasi di dalamnya. Maka, seperti kata Raimundo Panikkar, “pribadi/person” selalu berarti “masyarakat” atau “relasi antara beberapa pusat atau fokus.”
Dalam konteks itu, kata pribadi/person DAN relasi sesungguhnya menunjuk pada hal yang sama dari sudut yang berbeda. Pribadi selalu relasional; relasi selalu personal. Singkatnya, kekristenan tidak pernah bisa menerima kata “individu” dan senantiasa memahami setiap identitas-diri sebagai pribadi-dalam-persekutuan (person-in-community) atau priadi-dalam-relasi (person-in-relation). Hanya dengan memahami makna pribadi/person sedemikian, maka kita bisa memahami juga doktrin Tritunggal secara benar.

PAHAM-PAHAM YANG TERDISTORSI ATAU HETERODOKS
Di sepanjang sejarah kekristenan muncullah paham-paham yang ternyata gagal mempertahankan keseimbangan antara keesaan hakikat Allah dan ketigaan pribadi Allah. Saya cenderung menyebutnya sebagai paham yang terdistorsi atau heterodoks, ketimbang mengulangi penamaan “heretik” atau “sesat” yang dipakai sejak gereja perdana.
Aliran heterodoks yang pertama adalah monarkhianisme
(dari kata Yunani mone arkhe, prinsip tunggal). Monarkhianisme harus sungguh-sungguh dibedakan dari prinsip “monarkhi Sang Bapa” yang dipegang oleh gereja Timur. Prinsip monarkhi Sang Bapa menegaskan bahwa Sang Bapa adalah prinsip dan sumber keilahian bagi Sang Anak (yang diperanakkan oleh Sang Bapa) dan Roh Kudus (yang keluar dari Sang Bapa); namun prinsip ini tidak membuat pribadi Sang Anak dan Roh Kudus inferior dan berada di bawah Sang Bapa. Sedangkan monarkhianisme ditolak karena ingin mempertahankan secara berlebihan prinsip-tunggal ilahi yang berakibat pada penolakan atas kejamakan pribadi Allah (disebut monarkhianisme modalistis) atau penolakan atas kesetaraan hakiki ketiga pribadi (disebut monarkhianisme dinamis atau adopsionis).
Tipe monarkhianisme yang pertama adalah modalisme. Para pengajur paham ini adalah Noetus dan Praxeas (abad ke-2) dan yang paling terkenal adalah Sabellius (abad ke-3) dan karenanya kerap juga disebut Sabelianisme. Paham ini mengajarkan bahwa Bapa, Anak dan Roh Kudus bukanlah pribadi yang berbeda namun sekadar cara berada (modus) yang berbeda dari Allah yang monopersonal yang menyatakan diri terkadang sebagai Bapa, Anak atau Roh Kudus. Terhadap paham ini kerap muncul olok-olokan seperti berikut:
Ketika Yesus berdoa agar Sang Bapa menjauhkan cawan derita dari-Nya, ia berperan sebagai Anak. Kemudian, segera setelah mengucapkannya, Ia menjadi Roh Kudus yang menyampaikan doa Yesus ke surga. Sesampai di surga, Ia segera menjadi Sang Bapa untuk menerima doa Yesus yang dibawa oleh Roh Kudus. Lalu, setelah itu, Ia segera kembali ke bumi menjadi Roh Kudus untuk memberitahukan jawaban Sang Bapa. Kemudian, dengan segera Ia berubah lagi menjadi Sang Anak untuk menerima jawaban doa Sang Bapa, yang dibawa oleh Roh Kudus.
Jadi, tidak ada perbedaan yang otentik dan sempurna di antara pribadi-pribadi ilahi. Ketiganya hanyalah tampilan dari satu pribadi yang tunggal saja. Modalisme, dengan demikian, memang bermaksud mempertahankan ketunggalan Allah, namun dengan ongkos terhilangnya ketigaan pribadi Allah.
Yang mengejutkan, modalisme semacam ini tumbuh subur lewat beberapa ilustrasi popular yang kerap dipakai untuk menjelaskan Allah Tritunggal. Misalnya, kerap orang memakai analogi H2O yang dapat tampil dalam tiga wujud: cair, padat dan uap. Ketika sebuah partikel H2O berwujud cair, partikel itu tak bisa pada saat yang sama berwujud padat atau uap. Ini contoh terbaik yang ternyata menjelaskan modalisme. Atau, contoh pribadi Budi yang satu ternyata adalah seorang ayah, seorang sopir dan seorang pendeta; tetapi hanya ada satu Budi. Ini disebut modalisme fungsional. Contoh lain adalah pemakaian tiga kerangka sejarah keselamatan yang masing-masing menampilkan modus ilahi yang berbeda: Allah Bapa pada zaman Perjanjian Lama, Sang Anak pada masa Perjanjian Baru hingga Yesus naik ke surga dan dilanjutkan dengan masa gereja yang menampilkan Roh Kudus. Ini disebut modalisme kronologis.

Model monarkhianisme yang kedua disebut adopsionisme
karena mempercayai bahwa Yesus Kristus adalah manusia biasa yang kemudian diangkat/diadopsi menjadi ilahi pada saat pembaptisan-Nya.

Paham heterodoks kedua adalah triteisme. Sementara monarkhianisme, khususnya modalisme, ingin mempertahankan ketunggalan Allah secara berlebihan, triteisme menekankan kejamakan Allah secara berlebihan. Namun, berbeda dengan paham Trinitaris ortodoks yang mengakui kejamakan tiga pribadi Allah, triteisme memahami kejamakan pada esensi Allah. Sekalipun paham ini jarang dianut secara sadar, namun kerap ia merupakan implikasi dari formulasi yang tak tepat. Cukup banyak pendeta di kalangan gereja tertentu yang getol menyebut diri sebagai gereja paling lurus di Indonesia, serta menuduh gereja lain tidak Alkitabiah, justru yang paling sering terjebak ke dalam perumusan keliru: “Allah Bapa, Allah Anak dan Allah Roh Kudus.” Pertama, pemakaian formulasi ortodoks “Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus” adalah formulasi yang dipakai di dalam Alkitab. Alkitab tidak satu kalipun memakai istilah “Allah Anak” namun “Anak Allah.” Kedua, formulasi keliru “Allah Bapa, Allah Anak dan Allah Roh Kudus” dengan sangat mudah menggiring pendengar pada pemahaman adanya tiga Allah, yaitu “Allah Bapa” DAN “Allah Anak” DAN “Allah Roh Kudus.” Substansi yang seharusnya satu dan sama bagi semua pribadi disebut tiga kali, sehingga membuka peluang bagi pemahaman adanya tiga substansi.
Masih banyak paham terdistorsi lain, namun kedua paham di ataslah yang paling penting untuk dikenali dan dipahami.
MONARKHIANISME
Menekankan kesatuan-prinsip
dan ketunggalan Allah
TRITEISME
Menekankan kejamakan Allah.
Ada tiga Allah, masing-masing dengan hakikat yang berbeda
MODALISME
Pribadi-pribadi ilahi hanyalah cara berada (modus) dari Allah
ADOPSIONISME
Yesus Kristus adalah manusia yang bersifat ilahi karena diangkat sebagai Anak Allah, karena itu di bawah Bapa secara hakiki.
Mod. Kronologis
Pribadi-pribadi ilahi bekerja pada waktu yang berbeda-beda
Mod. Fungsional
Pribadi-pribadi ilahi memiliki fungsi yang berbeda-beda
PERICHORESIS DAN APPROPRIATIO
Lalu, bagaimana gereja menjawab pandangan-pandangan ini? Terhadap modalisme pada umumnya, kita harus menegaskan sebuah prinsip penting, bahwa “semua karya Allah Tritunggal yang keluar bagi dunia selalu tidak terpisahkan” (opera trinitatis ad extra sunt indivisa). Artinya, sebuah karya dari satu pribadi Allah merupakan karya dari kedua pribadi lainnya pula. Hal ini merupakan konsekuensi tak terhindarkan dari konsep perichoresis, yaitu bahwa pribadi-pribadi ilahi saling-masuk, saling-menyekitari, saling-memberi-ruang, sebagaimana Yesus berkata, “Aku di dalam Bapa dan Bapa di dalam Aku” (Yoh. 14:10-11).
Konsep yang awalnya berkembang di Gereja Timur ini diadopsi oleh Gereja Barat pula sebagai sebuah penjaga utama kesatuan dan ketigaan Allah. Bapa, Anak dan Roh Kudus merupakan tiga pribadi ilahi yang memiliki hakikat yang satu dan sama, namun tetap menjaga perbedaan personalitas. Setiap pribadi berada di dalam kedua pribadi lainnya. Ketiganya “menari” bersama, saling menyekitari, saling memberi, saling mengasihi—sedemikian akrabnya hingga kita tak bisa berkata: [1] terdapat tiga pribadi yang terpisah (karena hanya ada satu hakikat), atau [2] terdapat satu hakikat yang sendirian (karena ada tiga pribadi yang bersekutu sangat erat). Persekutuan tiga pribadi ilahi begitu erat dan akrab, hingga tak bisa tidak kita harus berkata ada satu Allah—Allah persekutuan.

Lalu, mengapa di dalam pengakuan-pengakuan iman universal kita mendapati kesan bahwa masing-masing pribadi memiliki fungsi yang berbeda-beda (Bapa mencipta, Anak menyelamatkan, Roh Kudus menguduskan)? Bukankah ini sama dengan modalisme fungsional? Agustinus menjelaskan hal ini dengan mengajarkan sebuah konsep yang disebut appropriatio. Melaluinya Agustinus berkata bahwa, di satu sisi, karya Allah Tritunggal tidak terpisahkan (perichoresis), namun di lain pihak, untuk memudahkan pemahaman kita, bolehlah kita mematutkan (appropriate) sebuah karya pada satu pribadi, tanpa meninggalkan kedua pribadi lainnya. Jadi ketika kita berkata, “Allah Bapa mencipta,” maka karya penciptaan dikerjakan selalu bersama dengan Sang Anak dan Roh Kudus; ketika kita berkata, “Yesus Kristus menyelamatkan,” maka karya penyelamatan itu bersama dengan Sang Bapa dan Roh Kudus; demikian juga dengan karya Roh Kudus yang menguduskan, yang berlangsung bersama Sang Bapa dan Sang Anak.

Nanti kita secara khusus akan masuk ke dalam tema perichoresis ini dengan lebih dalam. Kini, kita akan masuk ke formulasi Pengakuan Iman Athanasius yang paling tepat menggambarkan relasi antara Pribadi dan Hakikat Allah Tritunggal, khususnya dari Tradisi Barat.
RELASI PRIBADI DAN HAKIKAT: PENGAKUAN IMAN ATHANASIUS
Pengakuan Iman Athanasius sebenarnya bukan ditulis oleh Athanasius yang adalah seorang santo dari Gereja Timur. Itu sebabnya, pengakuan ini ditulis dalam Bahasa Latin, yang menunjukkan penulisnya adalah seorang dari tradisi Gereja Barat. Pengakuan Iman Athanasius ini secara gamblang menggambarkan cara Gereja Barat memformulasikan pemahaman Trinitarisnya.
  1. tidak mencampurbaurkan ketiga pribadi dan tidak memisah-misahkan hakikat-Nya yang satu.
  2. Setiap pribadi memiliki atribut keilahian yang sama secara penuh—tidak diciptakan (increatus), tidak terbatas (immensus), kekal (aeternus), Mahakuasa (omnipotens)—tetapi hanya ada Satu Allah yang tidak diciptakan, tidak terbatas, kekal dan Mahakuasa.
  3. Masing-masing pribadi adalah Allah, namun tidak ada tiga Allah, melainkan hanya satu Allah.
  4. Setiap pribadi memiliki keunikan tersendiri di dalam relasi internal Allah Tritunggal. Sang Bapa memperanakkan dan mengeluarkan; Sang Anak diperanakkan; Roh Kudus dikeluarkan.
  5. Semua pribadi setara (coaequales, coequal) dan sama kekalnya (coaeternae, coeternal), karena itu tak ada yang lebih dulu atau lebih terkemudian, tak ada yang lebih besar atau lebih kecil.
Sangat terlihat bahwa rumusan ini mencerminkan pemahaman Barat yang menemukan kesatuan ilahi pada esensi Allah yang satu dan sama. Rumusan di atas juga bisa diilustrasikan dengan gambar di samping ini.
PRO NOBIS—UNTUK KITA
Di Bagian Pertama, saya sudah memaparkan relasi yang sangat erat antara doktrin Kristologi dan Tritunggal. Kita berusaha memahami Tritunggal dalam rangka memahami lebih baik lagi siapa Kristus dan karya penyelamatan-Nya. Demikian juga sebaliknya. Dengan kata lain, doktrin Tritunggal tidak ada gunanya sama sekali jika dilepaskan dari relasi Allah Tritunggal dengan manusia. Itu sebabnya, kecenderungan teologi skolastik pada Abad Pertengahan untuk melihat “anatomi” Allah Tritunggal di dalam diri-Nya sendiri (ad intra) menjadi sangat spekulatif dan sia-sia. Sebaliknya, ketika doktrin Tritunggal dipahami dalam relasi ekonomis dengan keselamatan dunia (ad extra), ia menjadi prinsip dasar yang menyatukan, menaungi, serta memaknai seluruh doktrin lain dan seluruh dimensi hidup Kristiani. Singkatnya, Tritunggal menjadi punya arti ketika dipahami bahwa persekutuan ketiga pribadi ilahi tersebut selalu terarah kepada ciptaan-Nya—pro nobis, untuk kita.
Keterarahan Allah pada ciptaan ini dirumuskan oleh Catherine LaCugna sebagai sebuah “gerakan dinamis Allah, a Patre ad Patrem [dari Bapa menuju Bapa].” Sang Bapa mengirimkan Sang Anak melalui kuasa Roh Kudus, demi menyelamatkan seluruh ciptaan dan mempersekutukan ciptaan kembali dengan Sang Bapa, di dalam Sang Anak dalam kuasa Roh Kudus. LaCugna menulis begini,
Segala sesuatu datang dari Allah, dan segala sesuatu kembali kepada Allah, melalui Kristus di dalam Roh Kudus. Gerak keluar dan kembali (exitus-reditus) ini merupakan koreografi dari tarian ilahi yang berlangsung dari kekekalan dan menjadi nyata pada setiap momen di dalam ciptaan. Tidak terdapat dua kelompok persekutuan—yang satu di antara pribadi-pribadi ilahi, yang lain di antara pribadi manusia, seakan yang terakhir mereplika yang pertama. Perikhoresis yang satu, misteri persekutuan yang mencakup Allah dan umat manusia sebagai rekan-rekan terkasih di dalam tarian.
Gambaran yang indah ini hendak mengatakan bahwa Allah pada diri-Nya adalah persekutuan cinta-kasih yang menghidupi kasih di antara ketiga pribadi ilahi, namun yang kemudian memperluas cinta-kasih tersebut kepada ciptaan-Nya, hingga ciptaan dilibatkan ke dalam persekutuan, yang dilambangkan dengan tarian ilahi tersebut. Dengan cara berbeda dapat dikatakan bahwa identitas Allah adalah pemberian-diri (self-giving atau self-donation). Itulah makna kurban yang sejati. Kurban tidak dimulai dari manusia supaya Allah bereaksi. Namun, kurban justru mulai dari pemberian-diri Allah Bapa melalui pemberian-diri Sang Anak, di dalam kuasa kasih Roh Kudus, yang akhirnya membentuk kehidupan kristiani yang juga memberi-diri mereka. Yesus Kristus, dengan demikian, adalah kehadiran nyata dari Allah yang memberi-diri. Dengan atau tanpa kematian-Nya, Kristus tetap adalah kurban. Kata “kurban” secara etimologis berasal dari kata q-r-b, yang darinya kita memperoleh kata-kata Indonesia seperti karib, kerabat, dan akrab.

DOKTRIN PALING PRAKTIS!
Catherine M. LaCugna, berdasarkan prinsip keselamatan yang berpusat pada Allah Tritunggal itu, mengklaim bahwa Tritunggal merupakan doktrin yang paling praktis bagi orang-orang Kristen. Artinya, seluruh dimensi kehidupan kita harus mencerminkan dan mengantisipasi peran-serta seluruh ciptaan ke dalam persekutuan Allah Tritunggal. Jadi, ada dua dimensi dari hubungan Allah Tritunggal dan kehidupan manusia. Pertama, persekutuan Allah Tritunggal harus menjadi citra yang tercermin di dalam seluruh dimensi hidup kita. Dengan kata lain, kehidupan manusia sebenarnya mencerminkan kehidupan ilahi yang Trinitaris itu sendiri.

Kita sering berkata bahwa “manusia adalah gambar Allah.” Ungkapan ini sebenarnya tidak tepat. Pertama, di dalam Alkitab sebenarnya tidak pernah dikatakan bahwa manusia adalah gambar Allah. Alkitab setepatnya menyatakan bahwa manusia diciptakan menurut gambar Allah (Kej. 1:26-27).
26 Berfirmanlah Allah: “Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi.” Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka. (Kej. 1:25-26)
Artinya, Allah menciptakan manusia berdasarkan sebuah citra yang sudah ada terlebih dahulu, sebuah gambar Allah. Apakah yang dimaksud dengan gambar Allah di sini adalah “wujud” Allah, yang terhadap-Nya manusia dan seluruh ciptaan menyesuaikan diri. Gambar Allah itu adalah Sang Anak. Paulus menegaskan hal ini:

Ia adalah gambar Allah yang tidak kelihatan, yang sulung, lebih utama dari segala yang diciptakan (Kol. 1:15)
dan telah mengenakan manusia baru yang terus-menerus diperbaharui untuk memperoleh pengetahuan yang benar menurut gambar Khaliknya (Kol. 3:10)

Di lain pihak, banyak pula teolog yang memperluas makna “gambar Allah” ini dengan mengatakan bahwa, berkat Kristus Sang Gambar Allah, manusia hidup sebagai pribadi-dalam-persekutuan (person-in-community) dan dengan demikian menjadi “gambar Allah Tritunggal.” Inilah signifikansi pertama dari doktrin Tritunggal, yaitu ketika manusia mencerminkan persekutuan ilahi itu dalam kehidupan komunal dan sosialnya di dalam dunia.

Model kedua hubungan Allah Tritunggal dan ciptaan adalah partisipasi. Manusia dan seluruh ciptaan diundang untuk berpartisipasi, mengambil bagian, di dalam persekutuan Allah Tritunggal. Dan, sekali lagi, ini semua terjadi berkat Kristus. Sebab, segala sesuatu diciptakan di dalam Kristus. Bersama dan di dalam Kristus, oleh kuasa Roh Kudus, kita ikut menari dalam tarian ilahi, ikut berkarya dalam karya ilahi. Manusia dan seluruh ciptaan diundang untuk mengikuti alur a Patre ad Patrem,

Partisipasi atau peranserta manusia ke dalam persekutuan ilahi itu didasarkan pada sebuah pengharapan bahwa pada saatnya kelak, “Allah menjadi semua di dalam semua” (1Kor. 15:28). Dalam menjalankan peranserta atau partisipasinya itulah manusia diundang untuk hidup seturut dan sepadan dengan kualitas utama dari persekutuan ilahi tersebut: mutualitas, kesetaraan, kebebasan, serta inklusivitas.
Berdasarkan kedua model di atas itulah—citra dan partisipasi—orang-orang Kristen harus mengusahakan semua dimensi hidupnya. Mulai dari pernikahan, misi, ibadah, hingga politik; mulai dari masalah eklesiologi, etika sampai dengan ekologi. Dalam kesempatan ini, saya hanya akan memberi beberapa contoh saja.


1. Allah Tritunggal dan Keluarga
Kejadian 1:27 berbunyi, “Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka.” Secara eksplisit manusia yang diciptakan menurut gambar Allah itu adalah laki-laki dan perempuan. Di dalam persekutuan Trinitaris dan menurut Kristus sebagai gambar Allah, Allah menciptakan keluarga yang terdiri atas laki-laki dan perempuan, yang kemudian diberi mandat untuk mengelola kehidupan bumi ini (Kej. 1:28). Maka, sama seperti persekutuan Allah Tritunggal bercirikan kesetaraan, kebebasan, cinta-kasih, mutualitas dan inklusivitas, demikian pulalah keluarga harus dibangun. Kepala keluarga bukanlah laki-laki, melainkan Kristus sendiri, karena keluarga dibentuk “menurut gambar Allah,” yang adalah Sang Anak. Untuk ulasan lebih lanjut, lihat Marc Ouellet, Divine Likeness: Toward a Trinitarian Anthropology of the Family (2006).

2. Allah Tritunggal dan Misi
Misi dipahami pertama-tama sebagai misi Allah (missio Dei), bahkan misi Allah Tritunggal (missio Dei Trinitatis); bukan misi gereja (missio ecclesiae). Allah Bapa mengutus Sang Anak dalam kuasa Roh Kudus untuk menghasikan keselamatan yang berpusat pada cinta-kasih, agar seluruh ciptaan yang diciptakan oleh Allah (a Patre) kembali kepada Sang Bapa (ad Patrem). Gereja melakukan misinya sebagai partisipasi ke dalam misi Allah Tritunggal itu. Lihat Timothy C. Tennent, Invitation to world missions: A Trinitarian Missiology for the Twenty-first Century (2010).

3. Allah Tritunggal dan Gereja
Gereja dalam perspektif Trinitaris dipahami sebagai umat Allah, tubuh Kristus dan bait Roh Kudus. Sebagai persekutuan iman yang mencerminkan persekutuan ilahi, gereja harus menghadirkan kualitas yang kita imani muncul dalam persekutuan ilahi tersebut: inklusivitas, kesetaraan dan cinta-kasih. Jadi, kita harus mengusahakan sebuah gereja yang terbuka (open church), gereja sebagai persekutuan yang setara (equal community), serta gereja yang menjadi persekutuan cinta-kasih (community of love). Dalam terang itu, struktur gereja yang dibangun dengan prinsip hierarki dan subordinasi atas-bawah sama-sekali tidak mencerminkan persekutuan Trinitaris tersebut. Lihat, misalnya, Miroslav Volf, After Our Likeness: The Church as the Image of the Trinity (1998)

4. Allah Tritunggal dan Politik
Politik berbasis iman pada Allah Tritunggal menolak segala bentuk otoritarianisme dan monarkhianisme yang dilegitimasi oleh satu Allah yang tunggal (unitarian). Kekerasan yang dilakukan oleh banyak agama monoteis menunjukkan betapa politik monoteis atau unitaris tidak memadai. Sebaliknya, persekutuan Trinitaris menjadi model bagi hidup bersama pada ranah sosial dan politik, agar kehidupan bersama itu diwarnai oleh kesetaraan dan kebebasan. Lihat, misalnya, Jürgen Moltmann, Trinity and the Kingdom of God (1993).

5. Allah Tritunggal dan Keutuhan Manusia
Orang-orang Kristen Platonis selalu memisahkan tubuh dan roh manusia, hingga pada satu titik, ketika kematian menjemput, roh yang suci meninggalkan tubuh yang fana dan kembali kepada Allah. Pemahaman tentang manusia yang semacam ini sangat tidak Trinitaris. Kesatuan sekaligus perbedaan Roh Kudus dan Sang Anak (yang menjadi daging) menegaskan pentingnya memahami manusia sebagai makhluk yang utuh tanpa dikotomi (tubuh-roh) atau trikotomi (tubuh-roh-jiwa). Sama seperti Allah menghargai tubuh/daging, hingga Sang Anak menjadi daging (Yoh. 1:14), manusia juga harus menghargai seluruh dimensi hidupnya. Seluruhnya pada akhirnya dipersekutukan kepada dengan Allah Tritunggal, yaitu ketika “Allah menjadi semua di dalam semua” (1Kor. 15:28).

Masih banyak dimensi hidup manusia yang dapat dan harus diteropong dan dimaknai secara Trinitaris. Semoga lima contoh di atas cukup untuk menunjukkan betapa kita sungguh-sungguh harus meninggalkan pola-pola pikir Unitaris dan kembali ke semangat iman mula-mula: Allah Tritunggal. Hormat bagi Allah Bapa, hormat bagi Anak-Nya, hormat bagi Roh Penghibur; Ketiganya yang Esa. Haleluya!


Oleh ANDI RAHADIAN




1 Response to "DOKTRIN ALLAH TRITUNGGAL"

  1. "שמע ישראל יהוה אלהינו יהוה אחד "
    " ואהבתא את יהוה אלהיך בכל לבבך ובכל נפשך ובכל מאדך "
    " ואהבתא לרעך כמוך "

    " Shema Yisrael YHWH ( Adonai ) Eloheinu YHWH ( Adonai ) ekhad "
    " V'ahavta et YHWH ( Adonai ) Eloheikha bekol levavkha uvkol nafsheka uvkol meodekha "
    " V'ahavta lereakha kamokha "

    " Dengarlah, hai Israel :YHWH ( Adonai ) Elohim kita: YHWH ( Adonai ) itu satu "
    " Dan kasihilah YHWH ( Adonai ) Elohimmu dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu. "
    " Dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri "
    ( Ulangan 6 ay 4 - 5, Imamat 19 : 18, Markus 12 ayat 29 - 31 )

    ReplyDelete

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel