KOMUNIKASI RASUL PAULUS DALAM PENGINJILAN
“… ....hai orang-orang Atena, aku lihat
bahwa dalam segala hal kamu sangat beribadah kepada dewa-dewa” (Kis 17 : 22-34)
A. PENDAHULUAN
Paulus dalam
kesempatan perjalanan ke Atena, dia melihat
bahwa kota itu penuh dengan patung, serta orang-orang di situ pasti
menyembah patung berhala. Paulus sebenarnya sedang memasuki suatu dunia baru
yang belum pernah dikunjunginya. Paulus tidak sedang mengacaukan pikiran oleh
orang-orang di Atena, supaya mereka bimbang kepada allah-allah yang mereka
sembah.
Paulus sedang
mengatakan bahwa mereka sedang menyembah Allah yang mereka sendiri pada
hakikatnya tidak mereeka kenal. Paulus sebenarnya melakukan dua hal yang
rangkap yaitu dia sedang berkontekstualisasi tetapi di sisi lain faktor sosial
juga menjadi dorongan, yang membuat Paulus mengatakan demikian kepada
orang-orang Atena.
Dengan memerhatikan
struktur sosial dari orang-orang Atena itu, maka Paulus dapat menegur mereka
dengan keras yang bernada heran dan takjub. Pentinganya dimensi sosial
didasarkan dua faktor fundamental. Pertama,
bahwa manusia di lahirkan dalam suatu kebudayaan tertentu dengan pandangan
dunianya, cara berpikir, cara tingkah laku dan sebagainya. Kedua, bahwa manusia di lahirkan dalam suatu masyarakat tertentu
yang memiliki pengharapan dari tiap anggotanya dengan cara berinteraksi.
Situasi-situasi ini tidak hanya melibatkan usaha-usaha untuk mendapatkan
keuntungan dengan menyesuaikan diri dengan menggunakan perbedaan-perbedaan
kebudayaan, melainkan juga penyampain yang dilakukan secara sadar dan sengaja
dai suatu berita keagamaan yang jelas.[1]
Salah satu
antropolog mengatakan bahwa kebudayaan, masyarakat, dan persoanlitas secara
emperisit tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Untuk dapat memiliki
relasi-relasi sosial, kita harus memiliki kebudayaan sebagai alat untuk
mengekspresikannya. Juga kita harus
memilkki kepribadian yang mengatasi kebudayaan tersebut dan memainkan peranan
di dalam relasi-relasi sosial.[2]
Di dalam proses sosial ini, individu tidak terlalu
banyak menjadi subjek seperti objek bagi dirinya. Dengan kata lain individu
mengalami dirinya sendiri tidak secara langsung dari sudut pandang individu
masyarakatnya dan disamakan dengan kelompok-kelompok sosialnya sebagai satu
keseluruhan.[3]
Perbedaan antara ilmu agama dan ilmu pengetahuan
sosial menunjukan bahwa hakekat kebudayaan adalah sebagai fenomena sosial dan
sekaligus menyatakan bahwa kita membutuhkan pemahaman yang benar untuk
menjelaskan kebudayaan dan manusia sebagai suatu akibat.
Dalam masyarakat kebudayaan dan teori sosial
bersinggungan dan kehadiran teologi sangat diperlukan karena semakin banyak
orang yang menyangkal kebenaran. Teologi harus berani memasuki arena perdebatan
ini dengan bersenjatakan Firman Tuhan dan mandate budaya, lalu menyuarakan
pandangannya mengenai kebudayaan bersama dengan ahli-ahli sosial.
Rasul Paulus sudah menjadi segala-galanya bagi
orang-orang lain. Bagi orang Yahudi, dia telah menjadi seperti orang Yahudi,
supaya dia bisa memenangkan orang Yahudi untuk Kristus, dan Paulus melakukan
itu semua hanya untu Injil Kristus dan kemuliaanNya. Motivasi kedua pemacu dan
pendorong mengabarkan Injil adalah kewajiban dan tugas terhadap Injil.[4]
Bagi Paulus Injil adalah sesuatu yang penting dan mendesak sifatnya, sehingga
tidak dapat dianggap dengan enteng dan murahan.malah sebaliknya dia
mengatakan bahwa, “celakala aku jika aku tidak memberitakan Injil”, karena itu
merupakan keharusan dan itulah tanggung jawab yang harus dipikul oleh setiap
orang percaya. Agaknya tanpa Injil akan menyebabkan manusia tidak akan mengenal
Allah di dalam Yesus Kristus.
Zaman sekarang
ini agama sudah dijadikan alat pilitik untuk mengalihkan perhatian masa dari
ketidakadilan sosial dengan cara memproyeksikan harapan kepada dunia kekekalan.
Karena itu agama dengan secara sadar
tidak menjalakan fungsi ideologinya. Ideologi adalah seperangkat gagasan dan
kepercayaan yang membenarkan tatanan sosial tertentu. Ideologi mencakup
kepercayaan suqatu kelompok dan mencerminkan dalam filosofi, ekonomi, hukum dan
sebagainya. Juga dapat merupakan dalam sikap dan perasaan yang dipertunjukan
dalam drama, puisi dan lukisan.[5]
Sosiologi menghasilkan metode analisa observasi,
yang melibatkan institusi dan formasi produksi kebudayaan.[6] Hal inilah yang dihadapi Paulus di kota
Atena yang sejak dahulun sudah sarat akan kebudayaan dan kepercayaan yang
sangat kuat. Paulus membawa suatu perubahan besar tentang ideologi orang–orang
Atena mengenai Allah dan manusia serta alam semesta ini.
Dengan kehidupan sosial yang tinggi Paulus harus
menyesuaikan diri dengan orang-orang Atena, ia melakukan tukar pikiran dengan
para ahli pikir untuk menjelaskan tentang Yesus dan kebangkitanNya. Pendekatan
dilakukan oleh paulus dari segi agama yang dihubungkan dengan filosofi mereka.
Walaupun Paulus berlatar belakang seorang Yahudi
yang taat, ia tidak sulit untuk bersosialisasi dengan orang-orang kafir. Ia
bergaul dengan masyarakat yang paling rendah di pasar-pasar, golongan para
intelektuan (Epikuros dan Stoa) dan para anggota majelis (Kis 17:17-18). Dengan
memahami kebiasaan hidup orang-orang Atena yang suka bertukar pikiran, membuat
Paulus mudah mempengaruhi pola pikir mereka mulai dai golongan paling bawah
sampai golongan paling atas (Kis 17:21).
Proses sosiologi yang dilakukan oleh rasul Paulus,
bukanlah salah satu cara untuk membangun dan mendirikan jemaat. Proses
sosiologi yang dilakukan oleh rasul Paulus, adalah salah satu cara untuk
mengadakan pendekatan yang membawa kepada pemberitaan Inji yang berhasil
sepenuhnya proses sosiologi tidak semudah membalik kedua telapak tangan dan
kemudia menutupnya sesuka hati kita.
Penginjilan kita anggap seperti apa? Kalau kita
menganggap penginjilan adalah salah satu kebutuhan yang utama di antara kebutuhan
yang lain, maka kita sudah mulai mengerti bahwa proses sosiologi yang akan kita
praktikkan akan berhasil dan secara efektif berjalan dengan baik dan lancar.
Tanpa banyak tanya seorang rasul Paulus adalah
contoh penginjil yang memahami dengan benar, bahwa objek tujuan dan alat yang
dipakai itulah singkronisasi yang aktual dan up to date, untuk melakukan proses
pendekatan sosiologi misi rasul Paulus. Walaupun Paulus bukan salah seorang
dari kedua belas rasul Tuhan Yesus, namun ia sungguh rasul Kristus yang
diapanggil menurut kehendak Allah.[7]
B. TINGKATAN SOSIOLOGI DALAM MISI PAULUS
1. Tahap Teologis
Atena merupakan tempat para ahlI filsafat dan
pujangga-pujangga yang sangat mempengaruhi peradaban seluruh kerajaan Romawi.
Seluruh kota ini dipenuhi dengan rumah-rumah berhala dan patung dewa-dewa.
Ketika melihat keadaan kota ini hati Paulus sangat
sedih (Kis 17:16), lalu ia bertukar pikiran dengan orang-orang Yahudi dan
Orang-orang yang takut Tuhan di rumah Allah. Kepada orang Yahudi dan orang yang
takut Tuhan Paulus menjelaskan tentang Allah yang maha besar mulai dari PL
dengan segala janji-janjiNya yang sudah digenapi didalam Pribadi Tuhan Yesus
Kristus dalam kematian dan kebangkitanNya. Tetapi kepada orang Yunani Paulus
menjelaskan dari pandangan mereka tentang Allah sabagai pencipta, pemelihara,
dan kehadiranNya di dalam alam semesta ini.[8]
Paulus mengatakan bahwa orang-orang Atena sangat
beribadah kepada dewa-dewa. Tetapi mereka tidak mengenal Allah yang mereka
percayai “ kepada Allah yang tidak dikenal “ (KIs 17: 22-23). Dengan dasar
inilah Paulus menjelaskan tentang kebesaran dan karya Allah. Ia menciptakan
manusia, menentukan musim-musim bagi manusia, batas-baras kediaman
bangsa-bangsa dan menjelaskan bahwa Allah adalah sumber segalanya (Kis 17:22-27).
Pelus menganjurkan kepada mereka supaya mencari Allah, ia mengemukakan bahwa
didalam Allah kita hidup, kita bergerak, kita ada. Jadi setiap manusia di dunia
ini adalah berasal dari Allah.[9]
Allah adalah pusat segala sesuatu yang beradab
baik di sorga dan di alam semesta ini. Jadi manusia juga berada dalam garis
kekuasaan Allah. Allah menyatakan diriNya kepada manusia melalui Yesus Kristus.
Allah yang pernah bertindak dalam penciptaan “ Allah yang telah berfirman
biarlah terang terbit dari dalam gelap, Ia juga membuat terangNya bercahaya di
dalam hati manusia, supaya manusia beroleh keselamatan. Di dalam Allah
mendekati orang-orang berdosa dan mengulurkan tanganNya untuk menolong manusia.[10]
2. Tahap Metafisik
Pertanyaan untuk
apa kita beribadah kepada Allah, ini yang ada di benak rasul Paulus tentang
orang-orang Atena. Manusia berasal
dari keturunan Allah dan sungguh mulia, tetapi oleh dosa manusia kehilangan
kemuliaan Allah. Dengan keberdosaan munusia membuat orang Atena tidak dapat
mengenal Allah dengan benar. Mereka mengambil keilahian Allah dengan emas dan
perak buatan tangan manusia. Dengan demikian mereka membutuhkan penyelamat (Kis
17:28-34).
Hal yang memerlukan penyelamatan adalah dosa yang
bersarang didalam diri manusia yang kesalahan dilakukan bersama yang memisahkan
menusia dengan Allah. Dosa itu bukan hanya suatu kejadian kebetulan tanpa
kejadian-kejadian sebelumnya dan selanjutnya. Demikian dosa menimbulkan
persoalan begaimana orang berdosa itu boleh mendapat pengampunan dan kedudukan
yang baik dengan Allah. Dan inilah yang dibutuhkan oleh orang-orang Atena.
Dengan mendapat kembali persekutuan dengan Allah, inilah pusat kebahagian
manusia.[11]
Ketika menusia berdosa tidak dapat mengharapkan
apa-apa selain penghukuman, maka Allah menawarkan kepada mereka suatu kebenaran
ilahi di dalam Kristus. Dengan menerimaNya mendapat pengampunan dan kedudukan
baru dengan Allah. Pengampunan ini beralaskan perbuatan Allah di kayu salib.
Kristus telah mati dan bangkit bagi dosa-dosa manusia. Dengan kebangkitan Yesus
dari antara orang mati memberikan suasana dan pengharapan baru kepada manusia.
Pengampunan dapat diperoleh dengan percaya kepada
Yesus Kristus dan kebangkitanNya. Ketika mendengar tentang kebangkitan
Yesus dari antara orang mati, orang-orang Atena sangat anti akan hal itu. Bagi
mereka tidak ada kebangkitan tubuh, sehingga mereka menolak Paulus. Tetapi diantara para pendengar ada yang
percaya dan mengikut Paulus.
Karena pencipta dunia ini adalah Allah dan Ia
adalah Tuhan kita yang akhir penciptaan membuat manusia yang bereksistensi di
dalam dunia ini. Dengan cara yang tak terlihat menampung semua hal yang
diciptakan. Allah berfirman kepada manusia untuk mengatur dan merawat segala
yang diciptakan
3. Tahap Positif
Kebutuhan akan
pemikiran Teologis yang sedemikian mendalam membuat orang Atena salah. Hal ini
munculnya “gerakan lingkungan” dengan
kesadaran bahwa kita hidup di dalam dunia manusia. Maka karakteristik dari
gerakan lingkungan adalah kesadaran
bahwa kita hidup di atas bumi. Pentingnya arti manusia dan programnya
telah dipertanyakan secara radikal. Berbagai permasalahan yang dikaji oleh
gerakan lingkungan telah memunculkan suatu disiplin yang lengkap “ etika
lingkungan “ yaitu tanggung jawab etis atas seluruh planet berikut makhluk
hidup maupun yang tidak hidup didalamnya.
Salah satu buku
seorang filusuf Australia yang berjudul “ Toward
a Transpersonal Ecologi: Developing New Foundation For Environmentalism “
yang di dalamnya menjelasankan keseriusan moral dan asumsi atas kepentingan
manusia di dalam skema perihal-perihal.[12]
Upaya untuk menggantikan cara-cara berfikir mengenai bumi yang terwujud di
dalamnya suatu kecenderungan untuk mempersonifikasikan bahkan mempertuhankan alam semesta sebagai
kekuatan yang tidak terpahami.
Di zaman kuno
sampai zaman pertengahan alam merupakan suatu yang kudus, ibu yang misteri,
tetapi sekaligus memberikan pertumbuhan. Sehingga menusia sangat takut akan
keberadaan alam, membuat mereka menyembah dan hormat kepada isi alam yang
mereka agap mempunyai kekuatan gaib.[13]
Gambaran Allah
dengan kesan yang bisa muncul di dalam lingkungan alam ini sangatlah mustahi
sebab dunia materi ini merupakan milik si jahat. Sehingga setiap isi didalam
ini dikuasi oleh si jahat.
Tetapi Allah
hadir dengan begitu mendalamnya bagi manusia sehingga mustahil bagiNya untuk
tidak diidentifikasikan dengan semua hal tersebut. Mustahil bagiNya untuk hadir
sedemikian rupa dengan semua hal tersebut kalau bukan karena
ketidakterbatasNya. Tetapi Allah dalam keberadaanNya yang demikian intim hadir
dalam alam semesta ini dalam pribadi Yesus Kristus, yang akan diidentifikasikan
dalam kematian dan kebangkitanNya.
C. KELOMPOK SOSIOLOGI DALAM MISI PAULUS
1. Masyarakat Umum ( Yahudi dan orang-orang
yang takut Tuhan)
Berhadapan
dengan orang Yahudi, Paulus berangkat dari sudut pandang orang Yahudi mengenai
Allah dan keselamatan. Ia menunjukan
doktrin Taurat mengenai penebusan. Tetapi fungsi Taurat ini tidak muncul dalam
antitesis dengan Yudaisme, karena Paulus berfokus pada apa yang terjadi ketika
urutan-urutan keselamatan di balik, tetapi Taurat sendiri dijadikan sarana
keselamatan.
Paulus menunjukan apa yang terjadi pada Taurat dan
manusia dan apa yang harus terjadi dari sisi Allah. Jika kebenaran dan hidup
dicari dalam Taurat dan bukan dari janji, di dalam usaha manusia dan bukan
berdasarkan anugerah, tetapi justru hukum Taurat membawa kepada kematian.
Dalam antitesis dengan Yudaisme, ia melihat
keseluruhan dispensasi perjanjian lama dari sudut pandang ini “dasar hukum
Taurat bukanlah iman” tetapi siapa yang melakunnya. Paulus menyamakan konsep
Taurat dengan kosep nomisme Yahudi. Konsep ini berjuang untuk memperoleh
kebenaran melalui ketaatan kepada hukum Taurat. Ia bernalar dari nomisme Yahudi
menyebutkan bahwa jalan ketaatan terhadap hukum Taurat sebagai jalan kematian.[14]
Paulus menekankan arti keselamatan yang mereka
terima bukan untuk kepentingan diri sendiri, tetapi berlaku untuk semua orang.
Kaitannya supaya orang Yahudi dan orang yang takut Tuhan menyaksikan keselamatan
itu kepada orang-orang Atena. Banyaknya mazbah-mazbah di kota ini membuktikan
bahwa orang Yahudi dan orang yang percaya tidak hidup sebagaimana orang percaya
hidup.
2. Golongan Para Ahli Pikir
Beberapa
keyakinan Yunani kuno dapat menghasilkan suatu ilmu yang besar yang berbeda
dari pemahaman orang Kristen. Bangsa
Yunani kuno percaya pada suatu realita yang tak kelihatan, kekal, bersifat roh,
dam rasional. Kepercayaan ini mendasari usaha mereka untuk membawa ordo
rasional tak terlihat ini masuk ke dalam ordo dunia yang kelihatan. Tetapi
mereka tidak mempunyai sumber daya rohani untuk membuat visi mereka dapat di
lihat, juga tidak memiliki kasih karunia yang dibutuhkan untuk memampukan
mewujudkan kerohanian yang mereka ketahui.[15]
Hal inilah yang Paulus lihat dalam kehidupan para
ahli pikir di Atena, mempunyai pemahaman yang benar tentang roh dan kekekalan,
tetapi mereka tidak dapat membuktikan dalam suatu yang kelihatan. Paulus melakukan pendekatan dengan bersosialisasi
dengan mereka tentang kebangkitan orang mati, yang terlihat jelas dalam Yesus
dan kebangkitannya. Dengan pendekatan yang begitu baik, mereka menganggap
Paulus memberitakan ajaran dewa-dewa lain. Sebab bagi para ahli pikir dewa
mempunyai kuasa dalam alam semesta ini. Dewa-dewa mempunyai kuasa mutlak dalam
mengatur dan mengendalikan dunia ini termasuk manusia.
Perbedaan pemahaman tentang Allah yang mereka
percayai dengan pemberitaan paulus, mereka menganggap ajaran itu aneh. Sebab
bagi mereka tidak percaya akan kebangkitan orang mati. Pandangan mereka manusia
itu adalah satu fenomena alam dan semua manusia satu spesies. Kehidupan mereka
adalah suatu ekspresi dalam bentuk perkataan dan pekerjaan dari roh, manusia
yang hidup dalam ruang dam waktu. Mereka perpandangan bahwa roh mengeksprisikan
diri dengan cara mewujudkan dalam bentuk-bentuk yang nyata ( Baal, patung,
dewa).
Tetapi Paulus membawa pemberitaan yang sangat baru
bagi mereka, yang Walaupun mereka pada umumnya para ahli pikir yang dapat
memahami perilaku alam dan manusia.
Dengan keintelektualan mereka, Paulus mampu
membuat mereka penasaran akan isi pemberitaannya. Ini membuktikan bahwa Paulus
meleburkan diri dengan pemikiran yang sesuai dengan mereka, namun beda
pengenalan tentang Allah. Cara sosial Paulus sangat baik, mampu mengimbangi
tingginya pemikiran orang-orang Atena.[16]
Dan hal itu membuka pintu untuk memahami keadaan
sosial mereak, sehingga akan mempermudah untuk menyampaikan Injil Allah di
dalam anakNya Yesus Kristus, yang telah mati dan menebus kehiduoan orang-orang
yang percaya kepadaNya dengan iman melalui firman Allah yang disampaikan oleh
para hamba Tuhan dan penginjil, atau siapapun yang pasti dia adalah seorang
yang telah diregenarsikan hidupnya oleh Allah.
3. Golongan Anggota Majelis
Areopagus merupakan tempat para anggota majelis
untuk membicarakan dan memutuskan sesuatu. Tempat ini juga dipergunakan untuk
menyampaikan pemikiran- pemikiran yang baru sebagai pengetahuan bagi mereka.
Sebab pada umumnya orang- orang Atena terkenal dengan kejeniusan dan
keintelektualan mereka. Sehingga kota ini disebut kota pusat pengetahuan dan
pendidikan. Berita Paulus yang semakin luas menarik perhatian para anggota
majelis untuk mendengarkannya. Di tengah-tengah orang yang paling berpengaruh
di kota itu Paulus melakukan relasi sosial yang sangat baik. Menempatkan diri
setara dengan orang-orang Atena pada pemikiran yang tinggi.
Sementara interpretasi sosial Paulus mengarah pada
penjelasan kebudayaan mereka, yang selalu mempersembahkan korban saat melakukan
ibadah. Di setiap tampat-tempat ibadah mereka selalu mendirikan mezbah-mezbah
untuk membakar korban bakaran. Banyaknya pengetahuan yang dimiliki Paulus
tentang kebiasaan dan budaya orang Atena, mempermudah ia bersosialisasi dengan
para anggota majelis. Dari fakta-fakta yang ada dikota Atena tidak kenalnya
mereka kepada Allah, tugas Paulus menjelaskan hakikat Allah yang sebenaranya.
Ia menyidir kuil-kuil mereka yang dibanggakan mengatakan “Allah tidak tinggal
dikuil-kuil buatan manusia “hal ini mengajak mereka untuk berfikir dengan cara
berfikir Tuhan.[17]
Perkataan Paulus membuat filosofi mereka
tergoncangkan “ Yesus dibangkitkan dari kematian “mengutip pujangga-pujangga
mereka yang percaya bahwa manusia berasal dari Allah”. Ia mangarahkan mereka
supaya bertobat, sebab Allah telah menentukan hari penghakiman bagi setiap
orang. Karena pemberitaan tersebut bertentangan dengan filsafat mereka,
mengundang pemberontakan di tengah-tengah majelis, tetapi ada di antara mereka
yang menjadi percaya dan mengikut Yesus Kristus. Jadi kesimpulannya selalu ada
hasil yang bisa dilihat dari keaktifan dalam melakukan sesuatu untuk tujuan
Injil bisa diberitakan.
KESIMPULAN
Setiap manusia
adalah makhluk sosial yang hidup bermasyarakat, yang sifatnya saling
ketergantungan antara manusia yang satu dengan manusia yang lain. dimensi
sosial, merupakan bagian hidup dari seseorang selama di dunia ini.
Sebab social itu terbentuk dari perilaku kebiasaan
yang sudah baku dan diterima secara umum. Jika seorang tidak mengikuti social
di satu tempat dimana ia tinggal, maka ia akan tersingkir dari lingkungan
bermasyarakat dan akan terkucilkan. Dengan tingginya tingkat sosial seseorang,
akan semakin baiknya hubunganya dengan semua orang dan ia akan semakin
dibutuhkan ditempat itu.
Prinsip inilah yang dilakukan oleh Paulus ketika
berada di Atena, ia melakukan pendekatan dengan orang-orang Yahudi dan orang
yang takut akan Tuhan, juga kepada orang-orang yang dipasar dan para ahli
pikir. Tindakan ini merupakan sosialisasi kepada masyarakat untuk dapat
diterima dalam lingkungan mereka. Ketika Paulus berada di tengah-tengah mereka,
suatu kesempatan untuk menyampaikan pesan yang dibawanya.
Dengan bersosialisasi yang baik, akan mempermudah
pelaksanaan penyampaian pesan. Penempatan posisi yang baik dalam tingkatan
social di Atena membuat Paulus mudah untuk masuk dalam lingkungan anggota
majelis.
Sebab dengan masuknya Paulus di tengah-tengah
anggota majelis, membuktikan keberhasilannya didalam bersosial dari kalangan
paling rendah sampai kepada yang paling tinggi. Demi kelangsungan hidup
dalam suatu tempat, perlu tingkat sosial yang baik.
Proses
pendekatan sosiologi sebenarnya secara sadar dan tidak sadar, manusia semua
melakukannya dan tidak satu pun yang hidup tanpa memberikan kehidapan sosial
yang eksis dalam bermasyarakat dan berbangsa dan bertanah air.
Mengabarkan
Injil adalah hal yang vital yang perlu proses sosiologi yang bertujuan membuat
suatu jembatan untuk Injil bisa diterima melalui pemberitaan Injil.
Bibliografi
1. Bavinck. J.H, Sajarah
Kerajaan Allah, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996.
2.
Bohannan. Paul, Social
Antropology , New York : Holtt, Rinehart and Wiston, 1963.
3. Drane. John, Memahami Perjanjian Baru, Jakarta : BPk. Gunung Mulia, 2003.
4.
Ellis, D W. Metode
Penginjilan (Jakarta: OMF, 1999)
5.
Fox, Toward a
Transpersonal Ecologi, Boston: Shamabala, 1990.
6.
Hesselgrave. David J, Communicating Christ Cross-Culturally, Malang : Literatur SAAT, 2005.
7.
Hunter. A.M, Memperkenalkan
Teologi Perjanjian Baru, Jakarta :
BPK Gunung Mulia, 2004.
8.
John D.Woodbridge. D.A. Carson, Allah Dan Budaya, Surabaya :
Momentum Christian Literatur, 2002.
9. Ridderbos. Herman, Paulus Pemikiran Utama Teologianya, Surabaya: Momentum, 2008.
10. Williams.
Raymond, Culture, London: Fontana,
1981.
11. J,Wesley
Brill Tafsiran Surat Korintus Pertama
(Bandung: Kalam Hidup, 2003)
[1]David,
C Hasselgrave. Kontekstualisasi, Makna,
Metode (Jakarta:BPK, 2006) 25.
[8]John
Drane, Memahami Perjanjian Baru (
Jakarta: BPk. Gunung Mulia, 2003) 335.
[9]J.H.
Bavinck, Sajarah Kerajaan Allah (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996) 810.
[11]A.M.
Hunter, Memperkenalkan Teologi Perjanjian
Baru, 89.
[12]Fox,
Toward a Transpersonal Ecologi
(Boston: Shamabala, 1990) 10.
[13]D.A.
Carson and John D.Woodbridge, Allah Dan
Budaya, 364
[14] Herman Ridderbos, Paulus Pemikiran Utama Teologianya (Surabaya: Momentum, 2008)158.
[15]D.A.
Carson and John D.Woodbridge, Allah Dan
Budaya, 2.
[16] Herman Ridderbos, Paulus Pemikiran Utama Teologianya, 159.
[17]
David J. Hesselgrave, Communicating
Christ Cross-Culturally, 254.
0 Response to " KOMUNIKASI RASUL PAULUS DALAM PENGINJILAN"
Post a Comment