UCAPAN SULIT - DOSA SATU ORANG BERARTI KEMATIAN SAYA
UCAPAN
PAULUS YANG SULIT 02
“DOSA SATU
ORANG BERARTI KEMATIAN SAYA?
Roma 5:12
“Sebab itu, sama seperti dosa
telah masuk ke dalam dunia oleh satu orang, dan oleh dosa itu juga maut,
demikianlah maut itu telah menjalar kepada semua orang, karena semua orang
telah berbuat dosa.”
Mengapa dosa dari manusia pertama harus
menjadi kejatuhan seluruh umat manusia? Mengapa semua manusia sesudahnya harus
berada di bawah hukuman Allah karena dosa pertama yang tidak seorangpun dati
kita bertanggung-jawab atas hal tersebut? Menghadapi pertanyaan semacam ini,
bagaimanakah kita dapat percaya bahwa Allah itu adil?
Dari teks di atas muncul masalah ini dan
masalah-masalah lai nyang telah menjadi dasar dari doktrin-doktrin yang
dipegang secara umum mengenai hakikat kesulitan manusia. Tetapi banyak masalah
semacam itu merupakan hasil dari tafsiran yang tidak tepat atau pemahaman yang
salah tentang teks.
Kata dosa
(dan sinonimnya, pelanggaran) adalah kata kunci dalam Roma 5:12, dan
juga dalam gambaran Paulus mengenai kondisi manusia dalam tiga pasal pertama
surat ini. Apa yang dimaksudkan oleh Paulus dengan istilah tersebut? Bagaimana
pemahamannya mengenai asal mula situasi manusia yang digambarkannya dengan
istilah ini?
Dosa bukan sebuah masalah. Dosa juga bukan kelemahan
genetis. Gagasan bahwa dosa itu diturunkan, dan dengan demikian menjadi
.milik setiap individu melalui keturunan, pada akhirnya mengarah kepada
pandangan yang rendah tentang seks.
Seks dipandang sebagai penyebab utama
dosa manusia yang dapat ditoleransi untuk tujuan menghasilkan keturunan, tetapi
bukan bag ian dari pengaturan Allah untuk keutuhan dan kebahagiaan manusia.
Dosa juga bukan hakikat batin yang menyimpang. Masalahnya dengan pemahaman dosa
semacam ini adalah dosa itu membagi individu menjadi sejumlah kotak yang
terpisah.
Ini berasal dari gagasan bahwa kejatuhan
manusia berakibat pada penyimpangan satu bagian yang penting dari diri kita.
Sejumlah kemungkinan telah diusulkan.
Menurut beberapa orang, bagian yang
menyimpang itu adalah kehendak. Menurut orang-orang lain, bagian itu adalah
emosi atau gairah. Menurut yang lainnya lagi, bagian itu adalah akal budi.
Suasana anti intelektualisme yang meresap
dalam beberapa kalangan Kristen dapat ditelusuri pada pemahaman semacam ini.
Karena pikiran manusia dipen garuhi oleh kejatuhan, maka kapasitas pemikiran
kita menjadi menyimpang dan rusak dan cara kerja pikiran kita tidak dapat
dipercaya.
Tetapi pandangan semacam ini tidak sesuai
dengan semua data Alkitab. Kita jatuh sebagai manusia secara mutlak dan berada
di bawah hukuman Allah. Baik kepala maupun[.i] hati kita berada di bawah tanda
kematian. Keduanya adalah debu.
Dari sudut pandang Alkitab, istilah dosa
menunjukkan hubungan khusus antara ciptaan dan Pencipta. Dan sebuah hubunqan
tidak dapat diwariskan; hubunqan hanya dapat diba¬ngun atau dihancurkan,
dikokohkan atau diingkari. Dengan demikian dosa adalah realitas hubungan.
Kita adalah orang-orang berdosa selama
kita tidak berhubungan dengan Allah. Pertanyaan yang timbul dari kalimat di
atas adalah: Mengapa kita seperti itu? Mengapa seperti itu keadaan kita?
Mengapa berada dalam dilema semacam ini? Jawaban Paulus terhadap
pertanyaan-pertanyaan tersebut terdapat dalam Roma 5: 12-13.
Secara tradisional, teks di atas telah
dipandang sebagai dasar Alkitabiah untuk doktrin Kristen tentang dosa asal,
"Kita semua berada di bawah
kejatuhan manusia pertama; itulah sebabnya kita berada dalam keadaan kita
sekarang lnl!"
Tetapi pandangan ini tidak memadai.
Karena Paulus tidak berkata bahwa kita berdosa karena Adam berdosa. la tidak
mengatakan bahwa kita mati karena Adam berdosa.
Yang dikatakannya adafah: Dosa
(keterasingan dari Allah) memasuki sejarah pada pemberontakan manusia pertama
("dosa telah masuk ke dalam dunia
oleh satu orang").
Akibat dari keterpisahan itu adalah
kehancuran dan kematian. Tetapi perembesan secara universal dari kondisi
tersebut disebabkan semua orang telah berdosa; semua orang telah memberontak
terhadap Allah ("karena semua orang
telah berbuat dosa'').
Ada perspektif yang mendua dalam surat
Paulus ini yang harus dipelajari dengan serius jika kita ingin memahaminya dengan
benar. Satu sisi dari dua perspektif ini adalah gagasan Ibrani mengenai
solidaritas manusia, pengakuan bahwa setiap individu ikut mengambil bagian
dalam sesuatu yang bersifat umum.
Sisi lainnya adalah pengakuan tentang
tanggung jawab individu. Menurut yang pertama, kita berada dalam suatu ikatan;
menurut yang terakhir, kita bertanggung jawab mengambil bag ian dalam ikatan
tersebut. Mari kita melihat dualitas ini secara lebih terinci.
Solidaritas manusia. Paulus adalah
pewaris sebuah tradisi mengenai kondisi manusia yang berakar dalam pada kepercayaan
Yahudi. Tradisi itu mengakui saling ketergantungan yang erat dari individu dan
akibat yang mungkin ditimbulkan oleh solidaritas semacam itu, baik secara
positif maupun negatif.
Konsep Perjanjian Lama bahwa dosa orang
tua akan mempengaruhi beberapa generasi berikutnya mengungkapkan gagasan kitab
Ibrani mengenai solidaritas bersama ini.
Latar belakang langsung dari
pernyataan Paulus mengenai hubungan antara manusia pertama dan sefuruh umat
manusia (Roma 5:12-21) secara jelas dapat dilihat dalam karya seorang
Yahudi pada abad pertama Sesudah Masehi.
(Adam) melakukan
pelanggaran... Engkau menetapkan kematian untuknya dan untuk keturunannya ...
Karena Adam manusia
pertama, yang memiliki hati yang jahat, melakukan petanggaran dan ditaklukkan,
demikian juga semua orang yang merupakan keturunannya. Jadi kerusakan itu
menjadi permanen.
(II Esdras 3:7,21-22) .
Oh Adam, apa yang
tetah kau lakukan? Karena walaupun engkau yang berdosa, kejatuhan itu bukan
kejatuhanmu saja, melainkan juga kejatuhan kami yang merupakan keturunanmu (II Esdras 7:118).
Paulus dengan jelas menggambarkan
pemahaman orang Yahudi ini dalam Roma 5:12-13. Adam, manusia pertama
yang khas dan mewakili manusia lain menyerah kepada godaan untuk menentukan
hidup dan tujuannya sendiri (yaitu, ia berdosa).
Akibat dari sikap menentukan nasib
sendiri ini adalah kematian. Kematian adalah keterpisahan, karena mahkluk yang
terpisah dari Peneipta tidak memiliki kehidupan.
Kematian jasmani jelas merupakan bagian
dari gambaran ini dalam pemahaman Paulus sebagai orang Ibrani. Keterpisahan
dari sumber kehidupan mengakibatkan pembusukan dan kehancuran.
Tetapi bagi Perjanjian Lama maupun
Paulus, kematian juga merupakan realitas, kondisi hidup yang nyata. Karena itu
Yehezkiel menerima visi tentang "tulang-tulang
kering" yang menggambarkan kegagalan Israel untuk tetap menjadi umat
Allah (Yehezkiel 37).
Hosea dapat berbieara mengenai
kebangkitan Israel dari kubur kejatuhannya (Hosea 6:2). Dan Paulus dapat
berbicara tentang orang Kristen sebagai orang-orang "yang dahulu mati,
tetapi yang sekarang hidup" (Roma 6:13).
Penegasan yang sama dari tradisi
Alkitabiah ini adalah adanya hubungan yang misterius antara penentuan nasib
manusia sendiri dan kematian, dan antara keputusan manusia pertama dan kematian
kita. Kita saling memiliki, dan kondisi dari satu orang memiliki konsekuensi
yang tidak terhindarkan untuk yang lainnya.
Studi sosiologis dan psikologis telah
mengokohkan pemahaman Kitab Suci tentang 'solidaritas manusia. Kita telah
mengetahui bagaimana keturunan, latar belakang pendidikan, dan lingkungan
memainkan peranan yang penting dalam pembentukan kepribadian kita.
Dalam banyak hal saya merupakan produk
dari dunia saya. Diri saya sekarang ini adalah hasil dari segala sesuatu yang
telah saya jalani seeara sadar dan tidak sadar pada masa lalu saya.
Dengan demikian seorang anak yang
dibesarkan dalam sebuah lingkungan yang memberi contoh kekerasan lebih mung kin
untuk terlibat dalam tingkah laku yang penuh kekerasan dibandingkan anak-anak
yang tidak dibesarkan dengan cara semacam itu.
Seorang anak yang memiliki orangtua yang
terganggu seeara psikologis lebih memiliki kemungkinan untuk menjadi neurotis
dibandingkan anak yang memiliki orangtua yang sehat mentalnya.
Seorang anak yang tumbuh dalam keluarga
yang berantakan kemungkinan keeil menjadi manusia yang utuh dan sehat
dibandingkan anak yang dibesarkan dalam sebuah keluarga dengan cinta kasih dan
perhatian yang tutus dari kedua orangtua dalam sebuah hubungan yang konsisten
dan stabi!.
Kita semua dilahirkan dalam sebuah
masyarakat yang dibayangi oleh beratnya dosa manusia, struktur yang menekan,
prasangka, ketidakadilan.
Kita semua sedikit banyak dipengaruhi
oleh bayangan-bayangan yang dilemparkan awan ini terhadap motif dan orientasi
kita, sikap dan prioritas kita.
Tanggung jawab
Individu. Dalam Roma 5:12-21, Paulus tidak hanya merefleksikan pemikiran
agama orang Yahudi bahwa kita merupakan bag ian dari kelompok manusia dan
dipengaruhi oleh saling ketergantungan tersebut, melainkan juga mengungkapkan
keyakinan orang Yahudi bahwa sebagai individu kita bertanggung jawab dan akan
diminta pertanggungjawaban atas hubungan kita dengan manusia lain.
Pada zaman Yehezkiel, sudah dilakukan
prates terhadap gagasan Ibrani kuno bahwa dosa orangtua akan diwariskan kepada
anak-anak dan anak-anak akan dianggap bertanggung jawab atas pelanggaran
orangtua mereka. Dalam Yehezkiel 18, nabi tersebut berbicara tentang
Firman Allah yang menentukan tentang tanggung jawab individu:
Tetapi kamu berkata: "Mengapa anak tidak turut menang¬gung
kesalahan ayahnya?" Karena anak itu melakukan keadilan dan kebenaran,
melakukan semua ketetapan-Ku dengan setia, ... la pasti hid up. Orang yang
berbuat dosa, itu yang harus mati. Anak tidak akan turut menanggung kesalahan
ayahnya. (Yehezkiel 18: 19-20)
Konsep tentang tanggung jawab individu
ini semakin dirasakan dan dengan jelas dinyatakan dalam tulisan-tulisan Yahudi
sekitar jaman Paulus. Dalam Amsal Sotaiman, mulai abad pertama Sebelum Masehi,
penulis mendiskusikan adanya kejahatan di dunia dalam hubungan yang jelas
dengan Kejadian 2:
Jangan mengundang
kematian karena kesalahan dalam hidupmu, jangan menimbulkan kehancuran karena
pekerjaan tanganmu;
karena Allah tidak
menciptakan kematian ...
Tetapi orang-orang
yang tidak saleh melalui perkataan dan perbuatan mereka menimbulkan kematian (Amsal 1: 12-13,
16 Alkitab versi RSV).
Kesejajaran antara pemahaman mengenai
tanggung jawab individu dan pernyataan Paulus dalam Roma 5:12 ini tidak
mung kin salah. Gagasan yang sama dituliskan dalam buku Yahudi pada abad
pertama Sesudah Masehi, Kitab Wahyu dari Barukh:
Karena itu Adam bukanlah penyebab, yang selamat
karena jiwanya sendiri, tetapi kita masing-masing telah menjadi Adam dari
jiwanya sendiri (II Barukh 54:19).
Hal yang ditegaskan Paulus dalam Roma
5:12 dengan latar belakang Yahudinya adalah bahwa masing-masing orang
meneruskan pemberontakan dan kehendak pribadi dari Adam dalam kehidupannya.
Dalam pengertian inilah kita
masing¬masing menjadi bagian dari sejarah yang menentukan itu, yang berada di
bawah tanda kematian. Masing-masing individu ikut mengambil bagian dalam
kemanusiaan Adam dan bertanggung jawab atas partisipasinya itu.
Kematian terus terjadi sepanjang sejarah
manusia karena manusia secara individual telah berdosa. Mereka melakukan apa
yang dilakukan Adam. Dan usaha untuk menentukan keberadaan kita sendiri,
walaupun bisa terjadi dalam kehidupan sehari-hari, mengarah pada keterpisahan
dari Allah.
Dalam teks kita, Paulus menegaskan kedua
bagian dari pengajaran Ibrani tentang asal usul dan hakikat dosa : Kita berdiri
dalam solidaritas yang misterius dengan Adam (Adam dan Hawa) dalam dosa; dan
kita juga bertanggung jawab secara individu.
Dalam pengertian tertentu kita terikat,
dalam pengertian lain kita mutlak bebas. Tetapi karena kita berada dalam kedua
posisi tersebut, maka kedua-duanya bukan merupakan kata final.
Pemahaman Paulus tentang dosa sebagai
realitas hubungan yang dinamis secara langsung mengarah kepada apa kata finalnya;
yaitu bahwa realitas yang bertentangan mengenai keterikatan dan kebebasan kita
dari dosa diatasi dalam hubungan yang
baru yaitu dengan Yesus Kristus. Melalui hubungan itu, kita diperdamaikan
dengan Allah dan dalam Kristus kita menjadi anggota manusia baru.
Sumber :
“Ucapan Paulus Yang
Sulit” Manfred T. Brauch. LITERATUR SAAT, 2019, halaman 20-27
0 Response to "UCAPAN SULIT - DOSA SATU ORANG BERARTI KEMATIAN SAYA"
Post a Comment