GEREJA SEBAGAI PERAWAN SUCI-NYA KRISTUS-SEBUAH TINJAUAN BIBLIKA






Sekapur Sirih

Di era abad ke-21 sekarang ini, istilah gereja tidak asing lagi. Tulisan-tulisan mengenai topik ini pun sangat banyak berserakan di zaman pesatnya perkembangan dunia teknologi. Opini dan ulasan mengenai topik ini begitu luas disorot oleh para Sarjana Kristen maupun non-Kristen. Apa yang menarik dari kata Gereja ialah karena istilah ini sedemikian unik terangkum di dalam Alkitab orang Kristen. Menoleh balik ke belakang, meninjau sejarah Gereja menjadi poin penting dalam hidup orang percaya. Setidaknya setiap orang percaya hendaknya tidak ‘amnesia’ sejarah, namun peristiwa-peristiwa yang lampau tetap terukir dan tertoreh dengan jelas menjadi cerminan bagi umat masa kini.

Menurut data statistik Keagamaan Kristen Protestan tahun 1992 yang diterbitkan Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Kristen bahwa jumlah Organisasi gereja Kristen Protestan sebanyak 275 Organisasi dan juga 400-an Yayasan Kristen Protestan yang bersifat Gerejawi.[1] Dalam bukunya Jan Aritonang juga menyebutkan denominasi Kristen yang beragam seperti: Adventis, Anglican, Baptis, Bethel, Kharismatik, Lutheran, Metodis, Pentakosta, Presbyterian, Reformed dan lain-lain. [2]

Namun topik mengenai Gereja yang akan kita ditelusuri di sini,  tidak akan membahas mengenai aliran Gereja di dunia atau aliran Gereja dalam konteks Nusantara (Indonesia). Dalam analisis mengenai Gereja difokuskan pada hakikat Gereja itu sendiri. Kendatipun denominasi Gereja makin bertambah, namun pada prinsipinya hingga kini Gereja tetap eksis dan bertahan, berapapun jumlah dan doktrin Gereja sekarang ini, terbukti bahwa Tuhan masih memelihara tubuh-Nya yaitu Gereja-Nya. 

Namun istilah klasik mengenai eksistensi Gereja sebagai mempelai atau pengantin Kristus, merupakan topik yang tetap harus diperbicangkan hingga kini dan sebaiknya Gereja juga mengangkat topik ini ke permukaan tanpa mengubur topik ini hingga menjadi usang. Baik para tokoh intelektual Kristen, aktivis gerejawi, maupun yang terlibat langsung dalam pelayanan Pastoral (Gembala atau Pendeta). Hendaknya setidaknya memiliki pemahaman yang mendasar bahwa Gereja adalah tubuh Kristus. Pertalian antara Gereja dengan Kristus menuntut sebuah doktrin yang harus diracik sedemikian rupa namun tetap bersumber dari Alkitab yang adalah Firman Allah.

Pengertian Gereja

Istilah ini bukanlah istilah baru lagi, ibarat pecahan uang yang lama yang sudah sering dipakai dan ketahui. Boleh jadi pemahaman atau makna Gereja itu bagi kaum awam hanya sebatas Gedung Gereja atau orang-orang yang berada di Gereja.  Para pakar teologi belum tentu sepakat untuk menyetujui satu definisi dari kata ‘Gereja’. Para Intelektual Kristen memiliki sudut pandang yang berbeda-beda pula untuk memutuskan definisi Gereja itu sendiri.

Namun semestinya orang percaya tidak perlu dipusingkan dan berkutat pada poros definisi yang kaku dan stagnan. Kita percaya bahwa Gereja adalah orang-orang yang beriman kepada Kristus Yesus. Gereja dalah orang-orang yang dilahirbarukan oleh Roh Kudus. Oleh karena itu kata Inggris ‘church’ merupakan terjemahan yang tepat untuk ekklesia. Kata tersebut, seperti kata Scotlandia kirk dan kata Jerman Kirche.[3]
Istilah Gereja merupakan penyesaian dari kata Portugis ‘igreja’ yang berasal dari kata Yunai ‘ekklesia’ yang aslinya berarti kumpulan atau himpunan, paguyuban, kaum, atau jemaat dsb. Jadi mula-mula kata gereja berarti himpunan atau paguyuban: orang-orang yang percaya kepada Yesus Kristus berkumpul untuk berdoa dan memuji Allah (beribadat).[4]

Menurut Kamus Teologi kata Gereja memiliki definisi komunitas yang didirikan oleh Yesus Kristus dan diurapi oleh Roh Kudus sebagai tanda terakhir kehendak Allah untuk menyelamatkan seluruh umat manusia.[5] Ekklesia bukan berasal dari istilah Yahudi, melainkan berakar kuat dala, budaya Yunani.  Stephen Tong berkata:

Istilah ekklesia secara umum menunjuk kepada Gereja, walaupun dalam beberapa bagian kata itu sekadar menunjukkan pertemuan secara umum, Kis 19:32, 39, 41. Kata depan ek dalam ekklesia (ekkaleo) sering ditafsirkan sebagai ‘ke luar dari sekumpulan orang-orang’ dan dalam hubungan dengan pemakaian Alkitab untuk kata ekklesia, kata ini menyatakan arti bahwa Gereja terdiri dari orang-orang pilihan yang keluar dari masyarakat. [6]

Gereja terdiri dari orang-orang yang telah 'dipanggil' ini  adalah arti yang mendasar. Kata ekklesia berasal dari dua kata Yunani, ek 'keluar' dan 'kaleo' 'memanggil' maka gereja terdiri dari ' orang-orang yang telah keluar'. [7] Definisi tampaknya cocok dengan salam pembuka dari rasul Paulus dalam suratnya kepada jemaat Korintus (1 Kor. 1:2). Kepada jemaat Galatia nada dengan maksud yang sama dengan istilah “….untuk melepaskan kita dari dunia yang jahat yang sekarang ini…Bapa kita (Gal. 1:4).

Menurut Eka Darmaputera Gereja atau jemaat persekutuan di dunia Yunani –Romawi abad pertengahan Masehi. Ada banyak pesekutuan atau masyarakat keagamaan namun umat Kristen mengambil alih kata ‘ekklesia’ dari LXX yang menunjukkan persekutuan umat Israel.[8] Ada pula yang melihat definisi dari segi pemakaian dalam Perjanjian Baru yang memiliki dimensi yang lebih luas.[9] Namun jika kita menilik secara sepintas namun dengan pemahaman yang mendalam akan eksistensi Gereja bahwa adalah Gereja Tuhan adalah Gereja yang Am.[10]

Sifat Am Gereja mengandung pernyataan, bahwa keselamatan Allah bukanlah diperuntukkan hanya Gereja saja, akan tetapi diperuntukkan bagi bagi seluruh dunia (Yoh. 3:16), dan bahwa yang didamaikan oleh dengan Allah oleh Kristus bukan hanya  Gereja melainkan juga dunia (2 Kor. 5:19), dan bahwa Alah di dalam Kristus adalah Juruselamat Dunia ( 1 Tim. 4:10), dan bahwa yang didamaikan adalah segala sesuatu, baik yang ada di bumi, maupun yang ada di Surga (Kol 1:20). [11]


Penggunaan Simbolisme Perkawinan

Pemikiran mengenai relasi antara Allah dengan umat-Nya tentu berakar kuat dalam Perjanjian Lama yaitu antara orang Isreal dan Allah.[12] Ketika kita menjelajah sejarah Alkitab khususnya Perjanjian Lama, akan sangat banyak fakta bahwa Allah menyatakan diri-Nya secara unik di dalam sebuah relasi. Para nabi selain menjadi juru bicara Allah kepada umat Israel, beberapa kali mengemukakan bahwa Israel adalah pengantin yang dipilih oleh Allah secara khusus. Dalam hal ini kita mendapatkan sebuah konklusi bahwa Allah bertindak secara personal dan menjalin hubungan yang personal pula. Dalam Hosea pasal 2:18 Allah berkata bahwa Israel adalah istri-Nya untuk selama-lamanya..

Rupa-rupanya nabi Hosea (+-th750 SM). Di bagian utara negeri, kerajaan Israel , untuk pertama kalinya memakai analogi tersebut, yaitu kemiripan antara hubungan Allah dengan Israel dan hubungan suami dan istri (Hos. 2:1.6.13-15; 1:9; 2:22) Analogi ini terinspirasikan oleh pengalaman Hosea sendiri dalam perkawinannya yang tidak bagus (Hos. 1:2-9; 3:1-3) kemudian analogi ini diangkat kembali oleh nabi Yesaya (1:21), Yeremia (54:4-6; 62:4-5).[13] 
Gambaran hubungan antara Israel dengan Allah sudah terproyeksikan pada zaman dulu. Nenek moyang bangsa Israel yakni nabi Hosea menjadi representasi dari hubungan yang sudah mengalami keretakan.

Asal-usul analogi itu dalam pengalaman negatif Hosea kiranya menjelaskan mengapa analogi itu terutama dipakai secara negative, yaitu dalam konteks ketidaksetiaan Israel kepada Allah. Analogi itu pun menjelaskan mengapa ketidaksetiaan Israel kepada Allah (dengan menyembah dewi-dewi) disebutkan dengan istilah khusus ‘zinah’ (Ibr. na’ap), artinya ketidaksetiaan istri kepada suaminya yang menuntut kesetiaan eksklusif (bdk. Im. 20:5; 2 Raj. 9:22; Yer. 2:20-28; 13:27; Yeh. 16; Hos. 1:2; 2:1 dst. ; 3:1).[14]

Ada beberapa tanda cinta kasih yang Allah ikrarkan kepada pengantin-Nya itu yaitu tanda keadilan, kebenaran, kasih setia dan kasih sayang. Nabi Yesaya juga menuturkan ide yang sama yaitu bahwa Allah adalah sebagai suami bagi Israel (Yes. 54:5.) Simbolisme ini dipakai secara bergantian (interchangeable) dalam Perjanjian Baru. Hubungan Perwakinan ini menjadi sesuatu yang amat bermakna dan sakral baik di antara manusia sendiri, maupun ketika analogi ini dipakai untuk konteks antara Allah dan umat-Nya.

Oleh karena itu, jika para penulis Injil maupun dalam surat-surat kiriman Paulus dalam Perjanjian Baru memiliki gaya penulisan yang identik, hal tersebut sangat wajar. Ide itu pertama kali berasal dari Allah dalam konteks umat Israel. Paulus adalah seorang Farisi, tentu sangat memahami latarbelakang sejarah Israel sekalipun dia sudah menjadi murid Kristus atau sudah menjadi rasul. Tidak terlalu mengherankan mengapa Paulus memiliki konsep tentang perkawinan di beberapa tulisannya kepada para jemaat.

Konsep Paulus mengenai perkawinan memiliki 3 poin utama yakni pertama, perkawinan menjadi sebuah institusi legal yang dibangun oleh Allah di antara seorang laki-laki dan perempuan. Kedua, perwakinan memformulasikan eratnya ikatan yang terdapat dalam kedua pasangan, sehingga menjadi bukti konkret bagi orang lain bahwa mereka merupakan pasangan yang unik dan sah di mata orang lain. Ketiga, intisari konsep ini dipakai Paulus juga untuk menggambarkan hubungan yang dipakai oleh Allah dalam sebuah relasi yang intim dengan umat-Nya (orang percaya)

Jemaat Sebagai Pengantin Perempuan-Nya

Setiap perempuan boleh saja suatu saat menjadi pengantin perempuan bagi calon penganti lelaki di masa depan. Namun tidak semua perempuan akan menempuh pengalaman tersebut. Hanya perempuan yang sudah menjalin hubungan dengan kekasih dan yang sudah memupuk jalinan kasih yang tidak sebentar. Jemaat sebagai pengantin, sudah pasti bukan untuk pihak lain (Iblis, Dosa) melainkan terhadap Kristus sendiri. Gereja (jemaat) adalah tubuh-Nya (2 Kor. 1:23) Paulus di dalam surat-Nya kepada orang Efesus juga mendeklarasikan hal yang sama dan lebih lagi bahwa peran sebagai kepala yaitu menyelamatkan tubuh (Ef. 5:23).

Rasul Paulus memakai bahasa kiasan dalam menyatakan rahasia yang ingin diketahui oleh orang Korintus. Penggunaan kiasan tentang pernikahan mendapat dukungan dari pengajaran Yesus. Kiasan tersebut ditemukan dalam perumpamaan tentang gadis-gadis , tetapi arti dari perumpamaan itu tidak bergantung pada identifikasi dari pengantin itu (Mat. 25:1-13).[15] Jika kita memerhatikan dengan saksama, pemakaian ide yang identik, terdapat  juga dalam perumpamaan mengenai perjamuan kawin. Namun tidak secara eksplisit menggambarkan hubungan antara mempelai wanita dengan mempelai prianya. Dalam sebuah kesempatan Yohanes merekam peristiwa menarik yaitu, gambaran mengenai mempelai laki-laki dan mempelai perempuan. Namun dalam hal ini pun, Yohanes tampaknya hanya ingin membedakan dirinya dari mempelai laki-laki dan perempuan, tanpa mendeskripsikan secara rinci siapa dan bagaimana mempelai wanita tersebut (Yoh. 3:29-30).

Namun setelah selang beberapa surat yang dikirim oleh Paulus, dia mulai mempertajam ide mengenai realitas hubungan antara Kristus dengan umat-Nya. Namun tidak menyebutkan secara eksplisit bahwa jemaat itu ialah mempelai perempuan seperti halnya dalam tulisannya di 2 Korintus 12:2-3. Pemakaian tersebut hanya jembatan atau analogi untuk membentangkan relasi antara Gereja dengan Kristus sebagai kepala. Peran Kristus sebagai kepala bukan saja hanya sebatas pasangan dari Gereja, namun juga sebagai penyelamat Gereja tersebut.

One of the most beautiful biblical images emerges here – the marriage covenant. God’s everlasting communion with His elect portrayed as the bond between a bridegroom and his bride. Marital imagery is brought to it fullness in the incarnation of the God-Man Jesus Christ. God’s immense love is shown in that He gave His only begotten Son for the redemption of the worldJesus sheds his precious blood for His Bride the church. [16]

Gambaran mengenai eratnya hubungan yang tercipta antara mempelai wanita dan mempelai lelaki menjadi gambaran bagi perkawinan jasmani antara seorang lelaki dan seorang perempuan. Bahwa nanti keduanya akan menjadi satu daging (Kej. 2:24; Mat. 19:5; Mrk. 10:8; 1 Kor. 6:16; Ef. 5:38)

Paulus dalam introduksi suratnya yang perdana kepada orang Korintus berkata bahwa mereka sudah dikuduskan dalam Kristus Yesus dan dipanggil menjadi orang-orang Kudus (1 Kor. 1:2). Apa yang Paulus coba sampaikan dalam tulisannya ialah bahwa jemaat Korintus sebelumnya sudah memiliki relasi dengan Kristus bukan hubugan di antara sahabat dekat, namun sebuah hubungan yang amat sakral. 

Penggunaan kata ‘orang-orang kudus’ (saints) menjadi identitas yang jelas bagi mereka terlepas dari segala permasalahan internal jemaat tersebut. Di suratnya yang ke-2 pasal 11:2, Paulus dengan gamblang menyampaikan sebuah kenyataan yang indah yaitu bahwa dia (sebagai seorang pemberita Injil) telah mempertunangkan mereka (jemaat Korintus) kepada satu laki-laki.  Dalam hal ini Paulus ‘tidak sedang’ mempertunangkan jemaat Korintus dengan Kristus, namun dia ‘sudah’ mempertunangkan mereka kepada kekasih dan penebus mereka yaitu Kristus.

Sebuah Intimasi Di Dalam Relasi

Intimacy is the connection we make in spirit through the will of God and the choice to be close. It moves deeply to where a couple knows that they are to be together, and they work to practice what strengthens their relationship.[17] Tidak ada sebuah keintiman tanpa sebuah relasi. Relasi pasti sudah mendahului intimasi. Di dalam sebuah relasi akan memungkinkan adanya intimasi yang konstan dam stabil. Di dalam Perjanjian Lama tidak ada istilah relasi tanpa Perjanjian. Perjanjian Allah menjadi bukti bahwa Israel pada dasarnya memiliki hubungan yang unik dari antara segala bangsa di sekitar mereka dengan Sang Pencipta yakni Yahweh. Kata Perjanjian searti dengan ikatan relasi timbal balik…. Dan perjanjian itu mengatur relasi.[18]

The intimate connection between Jesus and the church is expressed by Paul by the idea of the church as the body of Christ.[19] Gereja sebagai tubuh Kristus dalam Roma pasal 12 dan 1 Korintus pasal 12, merupakan sebuah fellowship di antara para anggota tubuh Kristus. Namun hal ini bukan berarti Gereja menjadi per individu (perorangan). 

Istilah Paulus sifatnya lebih mendasar lagi dengan menyebutkannya secara kolektif dan bukan personal (pribadi). Tubuh tidak akan pernah terlepas dari kepala, Gereja sebagai tubuh Kristus menekankan sebuah kondisi yang memadai mengenai relasi yang intim yang dimiliki keduanya. The matrimonial image of loving intimacy and commitment is developed by Paul when he speaks of Christ’s love for the church.[20] Tidak ada intimasi yang begitu akrab selain intimasi antara mempelai wanita dan mempelai laki-laki (suami-istri). 

Adam dan Hawa memiliki relasi dengan Allah di taman Eden, Allah berbicara secara langsung terhadap mereka. Namun bukan dalam konteks antara mempelai laki-laki dan wanita. Adamlah yang memiliki relasi yang intim itu dengan Hawa, karena keduanya sepasang suami istri. Begitu juga dengan cintanya Kristus terhadap Gereja yang adalah tubuh-Nya. Gereja hanya bisa intim dengan Kristus hanya dalam nuansa sebuah relasi.

Apa yang Paulus coba kemukakan dalam 2 Korintus 11:2  ialah bukan sebuah imbauan untuk mengajak jemaat Korintus untuk memiliki relasi atau membangun relasi dengan Kristus. Jika demikian maka maksud tulisan Paulus dan isi suratnya akan berubah total. Paulus tidak sedang menghubungkan sebuah tali putus untuk diikatkan kembali. Paulus sudah melakukan hal tersebut ketika mereka sudah pertama kali menerima Injil (1 Kor. 1:1-3)  Apa yang rasul Paulus ingin coba paparkan kepada jemaat Korintus ialah, bahwa relasi yang kini sudah dimiliki oleh jemaat Korintus dengan Kristus membuat kecemburuan personal di dalam diri Paulus.

Paulus memahami apa makna sebuah relasi yang intim dengan Kristus. Sehingga Paulus memiliki kecemburuan yang membuat dirinya serius di dalam mengurus jemaat Korintus sebagai milik-Nya Tuhan. Bisa saja metafora yang dipakai oleh rasul Paulus bagi beberapa orang tampak aneh. Namun secara teologis kebenaran ini mempertahankan makna perkawinan yang sebenarnya. Di dalam Perjanjian Lama Allah mengadakan Perjanjian dengan orang Israel (Kel. 19) Israel menjadi Allah mereka demikian sebaliknya Allah (Elohim) menjadi Allah-nya orang Israel. Hubungan ini terus berlanjut dengan pemberian hukum Taurat untuk membedakan mereka dengan bangsa sekitar mereka.


Kristus Adalah Adam Yang Akhir
(Husband-Wife Christ-Church-Bridegroom-Bride)

Sejarah kelam dari dunia purba menjadi saksi hidup umat manusia. Adam dan Hawa sebagai manusia pertama yang diciptakan oleh Tuhan gagal dalam melakukan perintah Allah. Pasal 1 dan pasal 2 kitab Kejadian adalah sebuah keadaan yang baik dan damai. 

Namun pasal 3 merupakan sebuah kondisi yang terbalik dan mencekam bagi sejarah manusia sepanjang abad. Namun selang ribuan tahun, Paulus sebagai Rasul Kristus mengangkat tema kejatuhan Adam sebagai analogi untuk mengungkap jati diri Kristus.

For Paul Christ is the ‘second Adam’ and it is logical for the church to be compared Eve, the Corinthian Christians were betrothed to Christ as “ a pure bride to her one husband but there was always the danger that the serpent who deceived Eve would lead the church away from pure devotion to Christ.[21]

Paulus sebagai orang Yahudi tulen tentu tidak lupa akan sejarah yang diwariskan dari nenek moyang, tentang kisah kejatuhan Adam dan Hawa. Bagi Paulus Kristus bukan Adam yang kedua dan bukan Adam yang ketiga, melainkan Adam yang terakhir (1 Kor. 15:45). Sejak jemaat Korintus sudah dibawa kepada Kristus dalam sebuah hubungan pertunangan (2 Kor. 11:2), Paulus takut mengenang sejarah kelam umat manusia (Kejatuhan) terjadi pada jemaat Korintus (2 Kor. 11:3). Pelanggaran dan ketidaktaatan satu orang (Adam) diperhadapkan dengan kebenaran dan ketaatan satu orang (Kristus) kesimpulannya tidak dapat dihindarkan, yaitu apa yang Adam hilangkan, diperoleh, diperoleh kembali oleh Kristus. [22]

Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Roma menuturkan kebenaran ini secara mendalam. Seoalah-olah Paulus sedang membandingkan 2 tokoh yakni Adam dan Kristus. Paulus sangat memahami proses dosa asali (original sin) masuk ke dalam dunia ini yakni melalui Adam (Rom. 5:1). Pendekatan analogi yang Rasul Paulus pakai ialah untuk menjelaskan keunikan dari anugerah keselamatan yang Agung. Betapa lebih besarnya lagi jika oleh satu orang saja (Kristus) karunia dilimpahkan melalui diri-Nya. Paulus sedikitnya membawa konsep ‘perbandingan’ apa yang dilakukan Adam dan apa yang dilakukan Kristus serta implikasi dari perbuatan Adam dan Kristus.

Namun dalam 2 Korintus 11:4 Paulus tahu bahwa akan terjadi hal yang sama kepada Gereja Tuhan oleh kelicikan sang ular. Kekhawatiran Paulus akan semakin menjadi ‘tampak jelas’ sebab ternyata jemaat Korintus kedapatan ‘tidak tegas’ terhadap orang-orang yang membawa berita/ajaran lain (ayat. 4). Bagi Paulus Kristus adalah Adam yang akhir, tidak akan ada Adam yang lain selain Kristus. Di ayat 2, Paulus sebagai saksi hidup dari relasi tersebut.

Kecemburuan Rohani Sang Pekabar Injil (The Divine Jealousy)

Di dalam Perjanjian Lama isu tentang “kecemburuan Allah terhadap umat-Nya’  memang sudah ada. Di dalam Keluaran 20:5 Allah secara blak-blakan berbicara bahwa Dia adalah ‘Allah pencemburu’, kecemburuan Allah dikaitkan dengan jadi diri Allah yang harus disembah sebagai satu-satunya TUHAN di bawah kolong langit ini. Sehingga implikasi dari kecemburuan-Nya menuntut sebuah perlakuan yang bertanggungjawab dan dengan moralitas yang tinggi. Tentu dasar dari kecemburan Allah tidak secara membabi-buta. Sebelumnya Allah sudah mengikat perjanjian dengan orang Israel di gunung Sinai (Keluaran 19).

Umat Allah terikat pada suatu kesetiaan mutlak kepada Tuhan, Allah yan tidak kelihatan, yang sudah melepaskan umat-Nya dari Mesir, mengadakan hubungan perjanjian dengan mereka \. Itulah tema dari ketiga ungkapan pertama, tidak ada ‘ilah lain’, tidak ada ‘patung pahatan’ dan tidak ‘menyebut nama Tuhan dengan sembarangan’[23]

‘Tidak ada ruang untuk toleransi terhadap kecembuaruan Allah’ sekali Allah cemburu terhadap umat-Nya, maka selamanya kecemburuan itu akan mengikat mereka, sehingga perlakuan yang wajar dan berakhlak kepada Tuhan tetap dapat dijalani oleh umat Tuhan.

Sesuatu yang baik dan benar tidak mungkin tidak akan ternodai. Sama halnya dengan kondisi jemaat Korintus, kewaspadaan tingkat tinggi dari Paulus bukanlah sesuatu yang fiktif dan abstrak namun merupakan sebuah realita. Dalam ayat 3 merupakan sisi gelap dari kebenaran yang dibentangkan oleh Paulus Sang Penginjil. Kalimat “tetapi aku takut, kalua-kalau pikiran kamu disesatkan dari kesetiaan yang sejati kepada Kristus, sama seperti Hawa diperdayakan oleh ular itu dengan kelicikannya[24] Paulus mengungkapkan secara langsung unsur ketakutan dan kekhawatirannya sebagai pemberita Injil.

Tentu bagi Paulus, persoalan atau isu tentang ‘penyesatan’ bukanlah merupakan hal baru. Di dalam pembukaan suratnya kepada jemaat di Galatia, dia dengan nada kencang mengutuk jika ada seorangpun yang memberitakan Injil yang lain. Paulus tidak pernah menunjukkan sikap permisif dan longgar terhadap kesesaatan. Bagi Paulus ‘penyesatan’ adalah musuf bebuyutan yang tak akan pernah habis diperangi selama menjadi seorang Kristen. Oleh sebeb itu, jika ketegasan rasul Paulus memiliki pola yang sama denga nisi suratnya terhadap jemaat Korintus, hal ini memang wajar dan menjadi sangat krusial dalam sepanjang hidupnya. Paul stresses the seriousness and permanency of the Corinthians’ past encounter with God ‘s elective love revealed in Christ and declared in the Gospel and reminds this church of their acceptance of faith. [25]

Poin penting apa yang ada dalam benak Paulus sehingga dia merasa takut? Tentu ketakutan Paulus berdasar pada ayat sebelumnya yaitu dalam ayat 2 “karena aku telah mempertunangkan kamu kepada satu laki-laki untuk membawa kamu sebagai perawan suci kepada Kristus” Paulus memegang kuat doktrin mengenai predestinasi (konsep pemilihan) bagi orang percaya. Hal tersebut tertuang dalam suratnya kepada jemaat Efesus. Dia percaya bahwa pemilihan Allah memiliki aspek futuristik yang kentara dengan kekudusan dan ketak bercacatan (Ef. 1:3-4) Paulus juga menyadari bahwa tujuan pemilihan tidak lagi dan tidak bukan untuk mencapai hal-hal mulia tersebut. Jika tidak, maka pemilihan Allah tidak sinkron dengan apa yang terjadi dalam diri Gereja (orang percaya).

Di zaman ini pun semangat dari para pekabar Injil harus memiliki sikap yang sama. Paulus takut bukan karena persoalan duniawi yang berpotensi untuk merusak tubuh mereka. Paulus memiliki konsentrasi yang mendalam kepada “presentasi’ kepada Allah. Paulus memiliki kerinduan untuk membawa jemaat Korintus untuk dipersembahkan kepada Allah ketika Kristus dating kedua kali dalam keadaan yang diinginkannya. This godly jealousy in the apostle was a mixture of love and fear; and faithful ministers can not but be afraid and concerned for their people, lest they should lose that which they have embraced, especially when deceivers have gone abroad or have crept in among them. [26]

Semestinya ketegasan para Pekabar Injil, bisa meniru integritas yang tinggi terhadap jemaat oleh karena Injil yang diberitakan. Benih yang ditabur hendaknya tetap bertumbuh dengan baik dan ketika tiba waktunya untuk menuai maka akan menghasilkan buah yang diiginkan. Kecemburuan Paulus memang terlihat personal, karena dia berperan sebagai seorang rasul yang memiliki tanggungjawab yang besar terhadap kepercayaan Tuhan. The reasons for what the apostle did, to preserve the Corinthians from being corrupted by the insinuations of the false apostles.[27] Satu-satunya alasan mengapa Paulus di satu sisi cemburu dan di sisi lain takut merupakan perpaduan antara ‘kebanggaan’ dan ‘kekhawatiran’. Paulus ingin sekali melihat jemaat Korintus hingga pada akhirnya dapat dipersembahkan kepada sang mempelai laki-laki yaitu Kristus (aspek Eskatologis)

Penyatuan Di Masa Depan

Paulus memakai istilah kata kerja “mempertunangkan” dalam bahasa  Inggris di beberapa versi terjemahan memakai istilah kata ‘betrothed & espoused’[28] di dalam bahasa Yunani memakai kata ‘hermosamen’[29] kata ini dipakai sekali saja dalam seluruh Alkitab baik perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru. Kata ‘hermosamen’ memiliki bentuk penggunaan waktu yaitu Aorist Indicative Middle.[30] Penggunaan Aoris Aktif indikatif ini merupakan, tindakan dari si Subjek yang dampaknya mengenai dirinya sendiri.[31] Penggunaan Aorist memiliki penekanan bahwa tindakan tersebut terjadi di masa lampau. Kata tersebut berasal dari kata ἁρμόζω (harmozó) yang arti to fit, join, hence to join oneself to (in marriage)[32] kata ini secara khusus dan unik hanya dipakai dalam istilah perkawinan.

Jika kita ingin mengungkap kebenaran dalam teks ini ayat 2 Korintus 11:2 maka akan kelihatan maksud dari pernyataan pertama dari Paulus yaitu untuk mempersembahkan jemaat Korintus sebagai perawan suci kepada Kristus. Tentu pendekatan rasul Paulus tidak mengarah kepada pertemuan Kristus untuk pertama kali dengan jemaat Korintus. Apa rasul Paulus maksudkan ialah aspek furistik antara perawan suci dengan Kristus di masa mendatang. Paulus sebagai pihak yang mempertunangkan, memainkan perannya sebagai seorang bapak terhadap anaknya, ingin untuk menampilkan jemaat Korintus kelak di hari kedatangan Kristus yang kedua kali. Dari aspek ini jelas bahwa jemaat Korintus secara terang-terangan merupakan mempelai perempuan Kristus.

Paul’s metaphor of the church as Bride implies that the End has begun. The church is the Eschatological community whose betrothal is a past fact. Effected by the acceptance in the faith  of Jesus as the Christ and Lord. [33] Sebutan terhadap Gereja sebagai mempelai Kristus memiliki dua implikasi. Pertama, bahwa setiap orang percaya yang sudah menerima Kristus sudah menjadi mempelai Kristus, sebab Paulus memakai kalimat dalam 2 Korintus 11:2 ‘aku sudah mempertunangkan kamu kepada …..yaitu Kristus’ dan kedua, bahwa maksud Paulus dengan kata mempertunangkan memiliki aspek, bahwa di masa depan hal tersebut akan digenapkan, mengapa? Karena tidak ada mempelai yang nantinya tidak saling berjumpa. Hubungan logis ini akan sinkron juga dengan maksud Alkitab, bahwa nanti akan ada pesta kawin Anak Domba (Wahyu 19:9).

As the nation of Israel was God’s bride, He, as their Husband, had a  right to be jealous over them, and desire complete devotion, as any natural man would from his wife. So the same applies here, as Christ is our betrothed husband, we are His bride, waiting for Him to consummate the marriage, by His second coming. [34]

Untuk seorang mempelai laki-laki dan mempelai perempuan secara fisik, perlu meninggalkan orang tua mereka untuk masuk kepada hubungan yang lebih serius dan mandalam di dalam ikatan perkawinan (Kej. 2:24; Mat. 19:5). Sama halnya dengan orang percaya sebagai mempelai (perawan suci-Nya) perlu bersatu dengan Kristus dan meninggalkan segala ikatan-ikatan yang menghalangi penyatuan itu. Kita mempelai Kristus yang sudah terikat dalam sebuah pertunangan ilahi, maka secara legal orang percaya menjadi miliknya dan sebagai milik-Nya, harus menunaikan satu tugas penting yaitu menanti kedatangan-Nya.

Ketegasan Sang Perawan terhadap Injil

Ketika berbicara mengenai ketegasan dari jemaat/gereja sebagai mempelai, tidak lain dan tidak bukan karena posisi yang dimiliki sekarang. Sama  seperti makna yang terkandung dari kata ekklesia, bahwa posisi orang percaya sebagai tubuh Kristus (mempelai) bukan di dunia lagi dalam arti bahwa status yang dimiliki oleh orang percaya sudah berubah, yakni telah menjadi milik Kristus. Bukti kepemilikan-Nya yang sah yaitu dengan menempatkan Roh-Nya di dalam setiap orang percaya (Ef. 1:13-14). Tubuh ini sepenuhnya adalah milik Kristus memiliki implikasi bahwa kita harus bertanggungjawab kepada Dia yang memiliki kita (1 Kor. 6:19)

Tubuh ini sudah menjadi milik orang lain, yakni Kristus seorang. Rasul Paulus flash back kepada penciptaan yakni Adam dan Hawa, di mana oleh karena kelicikan ular dengan segala tipa daya, bisa merongrong ketulusan dari manusia pertama tersebut. Kekhawatiran Paulus sebagai Bapak rohani mereka memiliki tujuan supaya jemaat Korintus memiliki sikap waspada terhadap kesesatan. Bukan saja terjadi pada zaman Yesus yang diwakili oleh orang Farisi dan Ahli Taurat[35] namun juga mereka

The serpent works to corrupt the minds of Christians. He can corrupt the mind and easily influence one to move in a direction that is not of the Lord’s Choosing. The unsuspecting Christian can shift from singleness of the Gospel and begin to walk down a path toward compromise and worldly thinking.[36] Tentu bagi Paulus sebagai Rasul dan Pemberita Kebenaran, sangat menyayangkan jika ada orang Korintus yang sabar saja dan mau menerima ajaran selain ajaran yang sudah diterima mereka dari Paulus. Semua orang Kristen harus memiliki keinginan yang kuat atau intens untuk melakukan segala sesuatu dalam kekuasaan mereka untuk membantu sesama orang Kristen untuk tetap eksklusif dalam iman mereka kepada Allah dan taat kepada Kristus. [37]

Keinginan rasul Paulus tertuang secara gamblang bahwa mereka sudah ditunangkan kepada pribadi yang menebus mereka yaitu Kristus. Mengizinkan ajaran-ajaran yang berbau menyesatkan akan memiliki dampak buruk terhadap jatidiri mereka yang sudah menjadi mempelai Kristus. Bagaimana mungkin ajaran sesat dapat membawa mereka hingga kepada Kristus dan tampil dalam keadaan murni? Tentu akan sangat fatal dan memalukan bagi mempelai yang tidak kedapatan kudus dan tak bercacat pada hari kedatangan Sang Mempelai. Ketegasan dari Gereja Tuhan sebagai Perawan Suci sangat dibutuhkan. Semua orang Kristen harus memiliki keinginan yang kuat atau intens untuk melakukan segala sesuatu dalam kekuasaan mereka untuk membantu sesama orang Kristen untuk tetap eksklusif dalam iman mereka kepada Allah dan taat kepada Kristus.[38]

Bukan saja Paulus sebagai rasul di dalam zamannya memiliki semangat tinggi terhadap jemaat, namun bagi orang Kristen masa kini harus memiliki sikap yang sama. Khawatir untuk sebuah hal yang positif dan krusial itu wajar dan perlu.

APLIKASI BAGI GEREJA MASA KINI SEBAGAI PERAWAN SUCI-NYA

Gereja adalah mempelai perempuan-Nya Kristus adalah jelas dan bukan merupkan sebuah opini semata. Aplikasi atau penerapan menjadi poin yang teramat penting untuk diperhatikan dalam hidup sebagai orang percaya. Ketika kita mengamati tulisan Rasul Paulus dalam 2 Korintus 11:2-4 yakni bahwa Paulus takut jika pikiran jemaat Korintus disesatkan sehingga kesetiaan mereka ternoda sama seperti ular memperdaya Hawa dengan kelicikannya.

Alasan utama yang mendasari hal tersebut ialah karena Paulus ingin membawa jemaat Korintus pada hari kedatangan-Nya kelak, sebagai pengantin yang siap sedia dan sebagai perawan suci kepada Kristus.
Sebagai Pemberita Injil Yang Militan[39]
Ada saatnya Paulus dalam suratnya berbicara bagaikan seorang ayah terhadap anak-anaknya, sehingga pemakaian kalimat pun tidak sekencang ketika Yesus menghadapi lawannya orang Farisi dan ahli Taurat. Namun hal yang menarik dalam ayat 2 tersebut ialah bahwa Paulus sebagai pemberita Injil dan sebagai pendiri Jemaat Korintus, memiliki antusiasme yang tinggi dan patut dipertaruhkan. Paulus tidak ‘salah alamat’ ketika mempertunangkan jemaat Korintus terhadap Kristus. 

Kristus sebagai kepala jemaat dan penyelamatlah yang memiliki kualifikasi yang mumpuni untuk dipasangkan kepada jemaat yang adalah milik-Nya sendiri. Penggunaan kata-kata Paulus baik kata sifat dan kata kerja [40] menunjukkan bahwa Paulus sangat memiliki keinginan yang kuat dan kokoh bahwa sebagai Pemberita Injil harus ‘mempertunangkan’ orang lain kepada Kristus saja.

Sebagai pewarta Injil, mesti memiliki sikap militan, bahwa setiap orang yang sudah menerima Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat, harus tetap menjaga kualitas hidup spiritual. Seorang Ayah Kristen tidak akan rela mempertunangkan anak perempuannya kepada lelaki bajingan[41] namun kepada lelaki terhormat yang memiliki kualifikasi tertentu. 

Paulus benar-benar telah mempersembahkan jemaat Korintus kepada pribadi yang tepat dan pribadi yang memenuhi kualifikasi yang layak sebagai mempelai. Paulus berkata  dalam Efesus 5:23 bahwa “Kristus lah yang menyelamatkan tubuh” jadi, bagaimana mungkin Paulus tidak akan membawa jemaat yang adalah tubuh-Nya sendiri kepada Kristus!

Kesan kecemburuan Paulus adalah kecemburuan yang sama yang dimiliki oleh Allah terhadap orang percaya (baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru) ayat-ayat yang berkata bahwa Allah adalah ‘Allah yang cemburu’ ingin mengungkapkan betapa Allah itu menginginkan perlakuan yang istimewa dan bukan sebuah hubungan yang main-main. Paulus bukanlah ‘cemburu lahiriah’ terhadap jemaat Korintus, sebaliknya Paulus memiliki kecemburuan yang Ilahi, yakni sebuah kecemburuan yang mengarah kepada kualitas spiritual dalam relasi dengan Allah. 

Kecemburuan jasmani hanyalah membawa kepada sebuah penyakit yang semakin memperparah keadaan, namun kecemburuan ilahi, tidaklah demikian. Kecemburuan ilahi, akan membawa si pecemburu dan yang dicemburui lebih mendekat dan lebih mendalam atau lebih intim dengan Tuhan. Kecemburuan ilahi ini jugalah yang membawa Paulus untuk menghantarkan sang mempelai wanita-Nya hingga kedatangan Sang Mempelai lelaki yakni Kristus.

Menyadari status sebagai sebuah Identitas

Ketika Paulus berkata ‘aku telah mempertunangkan kamu’[42] hal ini menunjuk pada dimensi waktu bahwa peristiwa tersebut sudah terjadi di masa lampau, Alkitab tidak mencatat detail kejadian jemaat Korintus menerima Injil. Namun dari aspek tersebut, sedikitnya kita mengetahui bahwa Allah sudah terlebih dahulu menyelamatkan mereka. 

Di pasal sebelumnya Paulus berkata bahwa Allah memeteraikan tanda miliknya atas jemaat Korintus dan memberikan Roh Kudus sebagai jaminan dari semua yang telah disediakan. (2 Kor. 1:21-22). Walaupun dalam surat Paulus yang perdana penuh dengan beragam masalah internal maupun eksternal, Paulus sebagai Bapak Rohani bagi mereka menyadari bahwa posisi mereka sudah menjadi orang percaya (1 Kor. 1:2).  In Ephesians 5:22-23, the relationship between Christ and His Church is compared to a relationship between a husband and wife. The church submission to Christ is compared with the wife’s submission to the husband. [43]

Gereja masa kini juga harus melihat aspek masa lampu dan masa kini sebagai 2 hal yang berbeda namun tidak dapat dipisahkan. Sebagai orang orang percaya yang adalah pengantin-Nya, memiliki sejarah yang kelam, yang tak dapat dilupakan ialah keberdosaan (sinner) yang berubah status di masa kini menjadi orang kudus (Saints).[44] Namun poin yang penting dalam tulisan Rasul Paulus dalam 2 Korintus 11:2 ialah bukan pada keselamatan mereka, namun pada kehidupan mereka yang tengah mereka jalani ketika surat ini dituliskan kepada mereka.

Gereja Harus memerangi segala bentuk Penyesatan

Menegaskan pelayanan Paulus, membela otoritas kerasulannya, dan menentang guru-guu Palsu di Korintus,[45] adalah merupakan tujuan penulisan Surat 2 Korintus. Gereja sekarang tentu bukan Gereja seperti masa di mana Paulus melayani  dengan segala bentuk penyesatan dan oknum penyesat yang merupakan figur yang membuat benih kekhwatiran dalam diri Paulus. 2 Corinthians reflects a community under siege from false apostles and still struggling with moral issues, and also Paul’s commitment to ensure its members continued devotion to Christ. [46]

Paulus menghadapi ancaman yang mengerikan dan brutal, betapa tidak, bahwa kesabaran yang keliru dari jemaat Korintus membuka pintu bagi para penyesat dengan kedok membawa berita mengenai Yesus dan Injil (2 Kor. 11:4). In this epistle, which reflects the intense concern of his heart, Paul’s goal was to edify the Corinthians and redirect their hearts away from the poisonous lies of the false teachers. [47] Paulus tidak akan tinggal diam jika ada serangan-serangan dari pihak luar terhadap Gereja Tuhan. Pelayanan yang dihasilkan dengan segala jerih lelah dan membuahkan hasil yang tidak memuaskan akan terasa sia-sia.

Paulus tidak pernah santai bila penyesatan menyusupi Gereja. Penyesatan selalu menjadi musuh bebuyutan dari rasul yang satu ini. Paulus dengan tegas sekali dengan suara lantang berkata bahwa “terkutuk jika ada orang yang membertiakan injil yang lain, selain Injil yang sudah mereka terima (Gal. 1:6-9)
Bagi Paulus, tidak akan tempat atau ruang sedikitpun untuk kesesatan itu tinggal berdampingan dengan Gereja. Bagi Paulus hal tersebut harus menjadi sebuah perhatian serius. Gereja masa kini, semestinya juga harus memiliki sikap yang sama. Gereja tidak boleh terlibat atau melibatkan diri sengaja maupun tidak sengaja untuk mendukung penyesatan baik internal maupun eksternal Gereja. Penyesatan akan selalu ada dalam setiap era. Sama seperti apa yang disampaikan oleh Yesus bahwa ‘tidak mungkin tidak ada penyesatan’ (Luk. 17:1) Adanya aktivitas dan eksistensi para penyesat membuat Gereja harus ekstra hati-hati dan selalu waspada. Garis akhir yang belum tercapai di masa depan, harus menjadi garis yang tetap harus dilalui dengan tetap membawa diri sebagai perawan Suci bagi Kristus.

Di satu sisi Gereja harus menutup pintu bagi penyesatan dan di sisi lain, Gereja juga harus siap untuk memerangi segala bentuk penyesatan yang dilancarkan oleh pihak lawan. Jika saja zaman Yesus penyesatan dari kalangan tokoh rohaniwan (orang Farisi dan ahli Taurat)  dan Paulus menghadapi guru-guru dan rasul-rasul Palsu, maka bisa dipastikan bahwa eksistensi penyesatan akan berkembang dan menggunakan metode yang lebih canggih dan mutakhir lagi seiring dengan perkembangan zaman. Jika Paulus memiliki semangat untuk mempertahankan ajaran yang benar dan menolak segala penyesatan, maka Gereja juga haruslah demikian adannya. Gereja tidak hanya menegakkan yang benar, namun juga harus meruntuhkan yang tidak benar.

Tuntutan sebagai mempelai wanita Kristus yang tampil dalam kekudusan dan kemurnian harus berpadanan dengan hidup yang dijalani. Masa sekarang Gereja harus berada dalam rel yang sudah disediakan melalui kebenaran Firman Allah, maka hingga nanti pun Gereja harus tiba di Rel yang benar pula. Tidak mungkin mencapai tempat perhentian yang benar, jika jalur perjalanan sudah tersesat. Demikian juga sebagai Gereja masa kini dengan segala bentuk tantangan yang ada, naik internal maupun eksternal, Gereja harus tetap tampil layaknya sebagai seorang perawan suci kepada pasangannya. Dalam penentian ini, biarlah Gereja tetap memegang kokoh kebenaran Injil dan hidup dalam kebenaran tersebut. Christ of often used the analogy of a bride and bridegroom to explain the sacred nature of our covenants with Him. [48]  




[1]Dikutip dari buku “Berbagai aliran di dalam dan di sekitar gereja, oleh Jan S. Aritonang, BPK Gunung Mulia. Hal. 1
[2]Jan Aritonang juga menambahkan bahwa jumlah jumlah denominasi Gereja di seluruh dunia ini sekitar 700-an organisasi. Sudah termasuk Gereja yang berada di luar negeri yang membuka cabang di Indonesia.
[3]Eka Darmaputera. Pergulatan kehadiran Kristen di Indonesia: teks-teks terpilih Eka Darmaputera (Jakarta: BPK, 2005 ) 118.
[4]Edward D. Andrews. Kamus Liturgi Sederhana (Yogyakarta: Kanisius, 2004 ). 4.
[5]Gerald, O Collins. Kamus Teologi, (Yogyakarta: Kanisius, 1996 ). 86
[6]Lousi Berkhof. Teologi Sistematika : Doktrin Gereja (Surabaya: Momentum, 2008) 7.
[7]John Rodman Williams. Renewal Theology: Systematic Theology from a Charismatic Perspective. (Michigan: Grand Rapids 1988 ). 17.
[8]Eka Darmaputera. Pergulatan kehadiran Kristen di Indonesia: teks-teks terpilih Eka Darmaputera (Jakarta: BPK, 2005 ) 118.
[9]Dalam surat-surat Paulus kata Gereja (ekklesia) dipakai paling banyak dibandingkan dengan tulisan Perjanjian Baru lainnya. Dipandang dari segi ekstensi, luas dan cakupannya, kata ini pada Paulus sering berarti jemaat setempat tetapi kadang-kadang juga Gereja semesta. Baik Gereja lokal maupun Gereja universal dapat ditunjukkan dengan sebutan ekklesia (Nico, Syukur Dister. Teologi sistematika: kompendium sepuluh cabang berakar biblika dan berbatang  (Yogyakarta: Kanisius, 2004 ) 219.
[10]Gereja yang Am adalah salah satu poin penting dalam pengakuan iman Rasuli. Pernyataan tersebut dimulai dengan kepercayaan akan Roh Kudus. Menurut catatan sejarah kredo ini secara berangsur-angusr dikumpulkan, pada abad ke-6 atau abad ke-7 (dikutip dari buku Runtut Pijar: Sejarah Pemikiran Kristiani, karangan Tony Lane, (Jakarta: BPK, 2007) 52.
[11]Harun, Hadiwijono. Williams. Iman Kristen. (Jakarta: BPK, 2007) 380.
[12]The church as the Bride of Christ is an idea rooted in the teachings of the Old Testament prophets who spoke of Israel as the unfaithful wife of Yahweh and in a poetic passages, such as Psalm 45 dan the songs of Songs.
[13]Edward D. Andrews. Pustaka Teologi PERKAWINAN SAKRAMENTAL (Yogyakarta: Kanisius, 1993 ). 75.
[14]Ibid. 75.
[15]Donald, Guhtrie. Teologi Perjanjian Baru 3. (Jakarta: Gunung Mulia, 2009 ). 73.
[16]Andreas Hoeck, Laurie Watson Manhardt. Come and See: Ezekiel, Hebrews, Revelation (Grand Rapids: Emmaus Road Publishing, 2010) 201.
[17]Alex Delpercio. Preparing the Bride of Christ (Bloomington: WestBow Press, 2012) 89.
[18]Stefan, Leks. Tafsir Injil Lukas (Yogyakarta: Kanisius, 2003) 563.
[19]Harald Hegstad. The Real Church: An Ecclesiology of the Visible (Oregon: Wipf and Stock Publishers., 2013) 25.
[20]Stephen J. Binz. The Names of Jesus (London: Twenty-Third Publications,2006) 94.
[21]Dale Moody. The Word of Truth: A Summary of Christian Doctrine Based on Biblical Revelation (Grand Rapids: Wm. B. Eerdmans Publishing, 1990) 446.
[22]Donald Guthrie. Teologi Perjanjian Baru 1. (Jakarta: Gunung Mulia, 2008) 380.
[23]Robert, Davidson. Alkitab Berbicara (Jakarta: BPK,2001 ) 70.
[24]Di dalam versi terjemahan Inggris (NIV, NET, NLT, ESV, KJV, ISV) dipakai kata ‘ I fear atau I’m afraid’ secara bergantian sedikit agak berbeda dengan terjemahan LAI (Bahasa Indonesia) yang memulai dengan kata ‘tetapi aku takut’. Sedangkan dalam versi inggris tanpa kata ‘but’
[25]Richard A. Batey. New Testament Nuptial Imagery (Netherlands: Brill Archive, 1971) 13.
[26]C.H. Spurgeon. An Exposition of the Nerw Testament (London: Baker Book House , 1983) 216-217.
[27]Matthew Henry, dkk. The Bethany Parallel Commentary on the new testament (Minnesota: Bethany House Publishers, 1983) 1085.
[28]Terjemahan New King James Version memakai kata ‘Betrothed’ sedangkan versi New English Translation memakai istilah ‘promised’
[29]Interlinear Yunani online. http://biblehub.com/interlinear/2_corinthians/11-2.htm. Diakses tgl 25 Juli 2016
[30]Interlinear Yunani online. http://biblehub.com/interlinear/2_corinthians/11-2.htm. Diakses tgl 26 Juli 2016

[31]When the Greek middle voice verb form is used, the subject of the verb is seen as acting upon itself or for its own benefit. http://greek-language.com/grammar/20.html
[32]http://biblehub.com/greek/718.htm
[33]Richard A. Batey. New Testament Nuptial Imagery (Netherlands: Brill Archive, 1971) 13.
[34]J. Goodman III, Laurie Watson Manhardt. Exodus from the Church: Why the Christian Church Has Failed You (Pennslyvania: Dorrance Publishing, 2016) 46.
[35]Perdebatan antara orang-orang Farisi dan Ahli Taurat ini dengan Yesus dapatlah kita simpulkan bahwa yang digambarkan Alkitab bukan hanya kedudukan orang-orang itu dalam menentang dan tidak mengakui Yesus sebagai Tuhan Allah, tetapi juga suatu kenyataan adanya ketegangan antara para Ahli Taurat, orang-orang Farisi……satu sisi Yesus menekankan mengenai hukum Taurat namun di sisi lain orang Farisi dan Ahli Taurat mengembangkan tradisi lisan.  Harjawiyata, Frans, OCSO. Yesus dan Situasi Zamannya  (Yogyakarta: Kanisius, 1998) 35.
[36]Alex Delpercio. Preparing the Bride of Christ (Bloomington: WestBow Press, 2012) 85.
[37]Edward D. Andrews. Christian Theology: The Evangelism Study Tool  (Ohio: Christian Publishing House, 2016 ). 62.
[38]Ibid.
[39]Militan menurut Kamus KBBI online versi Android memilik definisi “besemangat tinggi; penuh gairah; berhaluan keras’
[40]Misalkan ketika Paulus memakai kata kerja ‘mempertunangkan’; dan kata ‘satu laki-laki’ ‘perawan suci’ ;
[41]Bajingan artinya penjahat atau pencopet (KBBI Elektronik)
[42]Terjemahan Inggris juga memakai penggunaan waktu lampau  untuk kata ‘betrothed atau promised dan espoused
[43]Shannon Ethridge. Completely His: Loving Jesus Without Limits (Colorado: Water Brook Press, 2007 ). 37.
[44]Alkitab menunjuk orang Kristen sebagai orang kudus. Paulus sekalipun tidak pernah menyebut ‘kepada orang berdosa yang ada di Filipi’ namun dia menuliskan ‘kepada jemaat Allah di Korintus, yaitu mereka yang dikuduskan dalam Kristus Yesus dan yang dipanggil menjadi orang-orang kudus……Tuhan kita (1 Kor. 1:2 LAI). Sharon Jaynes, Becoming Spiritually Beautiful. Oregon: Harvest House Publishers, 2010 Hal. 53
[45]LAI, Alkitab Penuntun Hidup Berkelimpahan. (Malang: Gandumg Mas, 2014) 2448.
[46]Colin G. Kruse. 2 Corinthians: An Introduction and Commentary (USA: InterVarsity Press, 2015) 23.
[47]John F. MacArthur. 2 Corinthians MacArthur New Testament Commentary (Chicago: Moody Publishers House, 2003 ). 442.
[48]Randal S. Chase. New Testament Study Guide, Pt. 3: The Epistles and Book of Revelation (Washington: Plain & Precious Publishing, 2011) 113.

0 Response to "GEREJA SEBAGAI PERAWAN SUCI-NYA KRISTUS-SEBUAH TINJAUAN BIBLIKA"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel