UCAPAN SULIT DALAM PERJANJIAN LAMA  “AKU MEMBENCI PERCERAIAN”


UCAPAN SULIT DALAM PERJANJIAN LAMA 73

AKU MEMBENCI PERCERAIAN”  

Maleakhi 2:16

"Sebab Aku membenci perceraian, firman TUHAN, Allah Israel -- juga orang yang menutupi pakaiannya dengan kekerasan, firman TUHAN semesta alam. Maka jagalah dirimu dan janganlah berkhianat"




Hidup Kristen -  Dalam seluruh Kitab Suci, Maleakhi 2,16 adalah satu-satunya pernyataan yang paling singkat dan jelas mengenai kepermanenan perkawinan. Sebagian kesulitan timbul dari teks bahasa Ibrani, yang oleh sebagian orang dikatakan paling tidak jelas dalam Perjanjian lama. 



Masalah-masalah berikutnya timbul dari upaya memahami sikap perkawinan dan perceraian Perjanjian Lama. Sudah terlalu banyak orang yang menduga secara keliru bahwa Maleakhi menyuarakan suatu pendapat yang bertentangan dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya dalam Kitab Suci.

Bagian ini dibuka dengan suatu pertanyaan rangkap yang mengandung pernyataan rangkap: (1) seluruh Israel memiliki satu Bapa, yaitu Allah; dan (2) Allah menciptakan bangsa itu (ayat 10). Namun, yang menyedihkan adalah bangsa itu saling mengkhianati dan itu sebabnya menajiskan perjanjian yang dibuat Allah dengan para leluhur mereka. 



Maleakhi 2:10-16 membicarakan ketidaksetiaan Israel terhadap bangsa mereka sendiri (ayat 10), keluarga rohani mereka (ayat 11-12) dan pasangan perkawinan mereka (ayat 13-16), yang terbukti melalui pelacuran rohani, perkawinan campur dengan pasangan yang tidak percaya, perzinaan dan yang terakhir perceraian.

Dalam ayat 11-12, bangsa Israel dituduh mengawini para wanita yang menyembah berhala dengan tanpa malu. Perkawinan campur dalam hal kepercayaan seperti itu menentang peringatan yang bertolak belakang (Keluaran 34:12-16; Bilangan 25:1-3; Ulangan 7:3-4; 1 Raja 11:1-13). Namun ada tuduhan-tuduhan lagi, yaitu "Yang kedua yang kamu lakukan" (ayat 13). Mereka telah menyebabkan mezbah Tuhan dibanjiri dengan air mata dan ratapan sehingga Tuhan tidak berkenan menerima persembahan-persembahan selanjutnya. Air mata yang diakibatkan oleh pelanggaran sumpah pernikahan yang terhadapnya Tuhan adalah saksinya, menjadi saksi dalam setiap perkawinan. Secara singkat, Tuhan berkata, "Aku membenci perceraian" (ayat 16).

Dua kata kunci yang mendominasi teks ini adalah: Kata satu (yang muncul empat kali dalam ayat 10, 15) dan kata berkhianat/ tidak setia (yang muncul lima kali dalam ayat 10, 11, 14, 15, 16).

Identitas dari kata "satu" dalam ayat 10 bukanlah Abraham, bapa leluhurmu (Yesaya 51 :2), sebagaimana yang dikira oleh Jerome dan Calvin, atau patriakh Yakub, yang banyak disebut oleh Maleakhi di bagian-bagian lain (Maleakhi 1:2; 2:12; 3:6). Sebaliknya, itu adalah Allah yang menciptakan Israel (Yesaya 43:1). Jadi mereka yang memiliki Bapa yang sama seharusnya tidak saling berkhianat.

Namun siapakah yang "satu" itu dalam ayat 15? Kembali itu bukanlah terhadap Abraham (seakan-akan kalimat tersebut terbaca: Bukankah yang esa, yaitu Abraham, berbuat demikian [mengambil seorang dari bangsa kafir Mesir yang dinamai Hagar untuk diperistri]?") nabi itu mengakui dan menjawab, "Ya, memang dia!" Namun Abraham tak pernah disebut "yang esa", juga tindakannya "mengusir Hagar" tak bisa dipermasalahkan di sini, sebab istri-istri yang diceraikan dalam konteks Maleakhi adalah istri-istri perjanjian, bukan istri-istri kafir.

Subjek dari ayat 15 pastilah Allah, dan 'yang esa' pasti adalah objek dari kalimat tersebut, bukan sebagai subjeknya. Seperti telah diketahui, yang 'esa' akan sejajar dengan "satu daging" dari Kejadian 2:24, sebab dengan kembali kepada perintah-perintah Allah yang asli akan menjadi cara yang wajar untuk menentang perceraian yang melanggar perjanjian. Dengan cara yang serupa, Tuhan kita, dengan merujuk pada Kitab Kejadian dalam Matius 19:4-6 berkata: ''Tidakkah kamu baca, bahwa Ia yang menciptakan manusia sejak semula menjadikan mereka laki-laki dan perempuan? Dan firman-Nya: Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya menjadi satu daging.' (lihat juga Markus 10:7-9).

Sekalipun bahasa Ibrani tidak secara tersurat menunjukkan bahwa anak kalimat pertama dari Maleakhi 2:15 merupakan kalimat tanya atau bahwa ia di sini berhubungan dengan Allah, kedua kemungkinan tersebut cocok dengan konteks, ayat sebelumnya dan norma tata bahasa dan sintaksis bahasa Ibrani yang diamati dalam bagian-bagian lainnya.

Maka pemikiran yang dihasilkan sebagai berikut: Mengapa Allah menjadikan Adam dan Hawa hanya satu daging pada hal Ia bisa memberikan kepada Adam istri yang banyak atau kepada Hawa suami yang banyak? Tentu saja Allah mempunyai kuasa kreatif yang lebih dari cukup untuk menyediakan pasangan seksual berlipat ganda! Jadi mengapa hanya 'satu' saja? Sebab Allah menginginkan satu tunas yang saleh, suatu proses yang bertentangan dengan pasangan yang lebih dari satu.

Dua contoh ketidaksetiaan yang dimunculkan bagian ini adalah: perceraian dan perkawinan yang tak seimbang dengan orang tidak percaya. Kedua-duanya menodai hukum Allah yang kudus. Status perjanjian perkawinan terlihat pada bagian-bagian lain dalam Perjanjian Lama, seperti Kejadian 31:50; Amsal 2:17; Yehezkiel 16:8; dan Hosea 1-2. Kejadian 2:24 paling Jelas mendefinisikan perkawinan: Yaitu terdiri dari peristiwa "meninggalkan" orangtua seseorang dan "bersatu" dengan istrinya. Meninggalkan dan bersatu berjalan seiring dan dengan tatanan seperti itu. Maka, perkawinan adalah tindakan pubhk (meninggalkan), dengan maksud untuk membentuk suatu hubungan yang permanen (bersatu), dan disempurnakan secara seksual (menjadi satu daging). Penodaan apa pun terhadap perjanjian ini merupakan pelanggaran perjanjian yang dibuat di hadapan Allah dan sesama pasangan.


Sedemikian penting dan tak bisa diganggu gugatnya kebersatuan yang diciptakan oleh perjanjian perkawman mi sehingga tak ada apapun kecuali keretakan kesetiaan seksual dapat mempengaruhi kelanggengan perkawman mi (perhatikan Matius 5:31-32; 19:3-12). 



Keretakan semacam itu bisa mengarah kepada salah satu dari dua dasar untuk memutuskan perjanjiaan perkawinan (1 Korintus 7 berbicara mengenai yang satunya lagi) tersirat dalam Yeremia 3:8, di mana Allah "menceraikan Israel, perempuan murtad itu, dan memberikan kepadanya surat cerai." Akibatnya, Allah menceraikan Israel. Namun perhahkanlah dasar-dasarnya! .

Oleh sebab itu, Alkitab tidak tinggal diam, baik mengenal perceraian atau mengenai alasan-alasan perceraian itu boleh diberikan. Namun sewaktu Allah tetap mengatakan bahwa Ia membenci perceraian, kita menarik kesimpulan betapa sungguh hasrat-Nya melihat perjanjian perkawinan terpelihara.

Hukum Musa tak pernah mendorong, melarang atau menyetujui perceraian dalam Ulangan 24:1-4. Sebaliknya, hukum itu hanya menggariskan tata cara tertentu jika dan tatkala perceraian terjadi secara tragis. Pengajaran utama dan Ulangan 24:1-4 melarang seseorang menikahi kembali istri pertamanya sesudah ia menceraikannya dan baik ia atau bekas istrinya pada waktu itu telah menikah kembali. 



Sayangnya, Alkitab dari Authorized Version (King James), The English Revised Version, The American Standard Version dan sejumlah terjemahan lain mengambil suatu terjemahan dari Ulangan 24: 1-4 yang menambah kebingungan. Dalam penerjemahan mereka yang tak benar, perceraian bukan hanya diizinkan atau ditolerir, bahkan diperintahkan jika ada "ketidaksucian!"

Kata bersyarat jika yang memulai ayat 1 dari Ulangan 24 berlanjut hingga ayat 3 dengan akibat kalimat bersyarat yang datang dalam ayat 4 (bertolakbelakang dengan semua penerjemahan yang tak benar yang diperhatikan di atas). Tak ada hukum Perjanjian Lama yang mengesahkan perceraian; hukum Ibrani hanya menolerir praktiknya namun mengutuknya secara teologis.

Mereka yang berkeberatan bahwa pernyataan mutlak dari Maleakhi 2:16 mencegah semua bantahan bagi adanya perceraian yang diperbolehkan oleh Alkitab tidak memegang Kitab Suci secara keseluruhan. Allah sesungguhnya sanggup memberikan pengajaran-Nya sendiri dengan penyataan lebih lanjut dalam konteks-konteks lain. 



Misalnya, dalam Roma 13:1-7 Allah menyatakan bahwa para warganegara harus tunduk pada kuasa sipil sedemikian, namun Ia memberikan kemutlakannya dalam Kisah 5:29 Warganegara harus lebih taat kepada Allah daripada kepada hukum sipil yang berdosa.

Kebencian Allah terhadap perceraian selanjutnya diungkapkan dalam pernyataan, "orang yang menutupi pakaiannya dengan kekerasan." "Pakaian" berhubungan dengan kebiasaan zaman dahulu yang menebarkan pakaian atas diri seorang wanita, sebagaimana yang diminta Rut untuk dilakukan oleh Boaz yang menyatakan bahwa ia adalah istrinya (Rut 3:9; lihat juga Ulangan 22:30; Yehezkiel 16:8). 



Jadi menutupi ranjang orang dengan kekerasan adalah tidak setia terhadap ranjang perkawinan itu dan kewajiban-kewajiban seseorang berkenaan dengan perkawinan. Lambang hukum perkawinan, yang hampir sama dengan cincin perkawinan pada zaman kita, menjadi pelaku kekerasan terhadap istri-istri ini.



Sumber:


Ucapan Yang Sulit Dalam Perjanjian Lama Walter C Kaiser, Jr., LITERATUR SAAT, 2015, p 254-258

0 Response to "UCAPAN SULIT DALAM PERJANJIAN LAMA  “AKU MEMBENCI PERCERAIAN”"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel