HUKUM TAURAT (WRITTEN LAW) VS HUKUM LISAN (ORAL LAW)
Injil Sinoptik menyaksikan mengenai eksistensi Yesus dan
relasi-Nya dengan hukum Taurat. Matius 5:16-19 secara eksplisit mengungkapkan
kebenaran ini sebagai sebuah kepastian, bahwa tujuan Yesus adalah untuk
menggenapi hukum Taurat, bukan malah sebaliknya untuk
menghancurkan/meniadakannya. Pendirian Yesus dalam hal ini sangat jelas.
Yesus menganggap hukum
Taurat sebagai ketetapan Allah yang bersifat wibawa dalam hal –hal agama; Ia
melihat kebutuhan untuk menembus kepada arti batiniahnya, yang membuatnya lebih
dari sekadar tuntutan hukum lahiriah; Ia tidak pernah menganggap bahwa hubungan
manusia dengan Allah sekarang, dapat didasarkan pada pemeliharaan hukum
Taurat karena ini
digantikan oleh kerelaan Allah mengampuni manusia berlandaskan misi Yesus dan
Perjanjian Lama digantikan oleh Perjanjian Baru (Mat. 26:26) dan yang baru
menggenapi yang lama.[1]
Yesus memiliki tindakan tegas bahwa kebenaran hukum Taurat adalah sesuatu
yang mulia, yang diberikan oleh Allah kepada umat-Nya Israel. Hukum Taurat bukanlah
kutuk bagi umat Israel. Mereka menerima kutuk ketika mereka tidak setia
melakukan apa yang menjadi tuntutan Hukum tersebut.
Tetapi bagaimana dengan Hukum
yang disampaikan dari mulut ke mulut, dengan tradisi Lisan yang telah tumbuh
bersamaan dengan hukum Taurat tertulis, yang bersisi banyak ketentuan dan
peraturan hukum baru yang merupakan tafsiran dan penerapan hukum Taurat tertulis
dalam kehidupan umat? Tidak bisa ada dua Taurat, sebab penyataan itu satu. Maka
jadilah dipercaya bahwa tradisi Lisan itu berwibawa.[2]
Tradisi Lisan bertahan bukan karena Allah yang
meneruskannya dari Musa ke Yosua dan akhirnya ke seluruh bangsa Israel dan
semua orang Yahudi. Tradisi Lisan bertahan atas hasil kerja keras orang-orang
yang setia meneruskannya ke setiap generasi dan ke generasi berikutnya.
Allah tidak terlibat dalam proses penyusunan hukum tersebut. Allah tidak pernah menyuruh untuk menuliskan hukum Lisan menjadi panduan hidup mereka.
Allah tidak terlibat dalam proses penyusunan hukum tersebut. Allah tidak pernah menyuruh untuk menuliskan hukum Lisan menjadi panduan hidup mereka.
The oral Torah is the authoritative interpretation of the Written Torah.
This means that the oral Law must have come from the same Divine Source as the
Torah itself. That’s why in the Mishnah – which is the written form of the oral
Law – The Rabbis gave us its geneology, they described how Moses got it from
God, and then, how it was transmitted to the scholars who wrote it down in the
Mishnah. (Taurat Lisan adalah interpretasi otoritatif dari hukum
Tertulis. Ini berarti bahwa hukum Lisan pasti berasal dari Sumber Ilahi yang
sama dengan Taurat itu sendiri. Itu sebabnya dalam Mishnah - yang merupakan bentuk tertulis dari hukum Lisan - Para Rabi
memberi kami silsilah, mereka menggambarkan bagaimana Musa mendapatkannya dari
Allah, dan kemudian, bagaimana itu ditransmisikan ke ulama yang menuliskannya
dalam Mishnah). [3]
Tradisi Lisan bertumbuh dan berkembang bersamaan dengan hukum Taurat.
Sumber utama tradisi Lisan ialah hukum Taurat itu sendiri, tanpanya tradisi
Lisan akan lumpuh total. Hukum yang berjumlah 613 poin, terus mengalami
perkembangan seiring dengan waktu. Bukan lagi ratusan melainkan ribuan hukum
yang terus ditambah dan dikembangkan sesuai dengan kebutuhan yang ada. Yahudi
mempunyai 613 hukum, bahkan kemudian hari, hingga tahun 200 M, bertambah lagi
beribu-ribu. Itulah yang dituliskan dalam kitab Misnah dan kemudian ditambah
lagi dan dikumpulkan dalam Talmud Yahudi (400 M).[4]
The Rabbis believed that their oral traditions of interpreting the Bible
was an integral part of the Holy Scriptures. They believed that God gave the
Torah in two parts. One part was the Written Torah, which God dictated to Moses
on mount Sinai. The other part was the oral tradition, the tradition of
interpretation that told Jews how to live by the Torah laws. (Para Rabi percaya bahwa tradisi Lisan mereka dalam menafsirkan Kitab
Suci adalah bagian tak terpisahkan dari Kitab Suci. Mereka percaya bahwa Allah
memberi Taurat dalam dua bagian. Salah satu bagian adalah Taurat Tertulis, yang
Allah didikte kepada Musa di atas gunung Sinai. Bagian lain adalah tradisi Lisan,
tradisi penafsiran yang mengatakan Yahudi bagaimana hidup oleh hukum Taurat)
[5]
Bagi orang Yahudi khususnya orang Farisi menganggap wibawa dari hukum
Taurat sama dengan tradisi Lisan. Mereka dengan ketat dan saksama melakukan detail
dari hukum Tersebut hingga lupa dan menyimpang dari hukum terutama dan yang
utama yaitu Kasih. Tradisi Lisan sangat sulit untuk dilepaskan dari kehidupan
orang Yahudi maupun orang Farisi. Tradisi Lisan menurut mereka memiliki
kewibawaan tersendiri.
Kewibawaannya bukan hanya
berasal dari pengajar-pengajar yang dipandang Suci, tetapi juga dari suatu
Garis penerusan tradisi yan panjang yang bermula bukan dari siapa-siapa tetapi
dari Musa sendiri sebagai sumber, bukan hanya Taurat tertulis tetapi juga tradisi
Lisan itu sendiri. Keduanya bersama-sama membentuk penyataan tunggal yang
dengannya Israel dapat tetap menjadi umat Perjanjian Allah.[6]
Melepaskan tradisi Lisan dari sistem keagamaan mereka, bagaikan melepaskan
meterai dari sebuah surat yang keduanya akan rusak bersama. Hal itu sungguh
mustahil! Oleh sebab itu salah satu kesalahan dari orang Farisi yaitu
meletakkan hukum Lisan (oral Law) setara
dan selevel dengan hukum Taurat. Bahkan mereka mengklaim bahwa Allah juga
memberikan hukum tersebut. Tentu pernyataan itu tidak memiliki dasar ayat yang
jelas, dan lebih kepada penafsiran yang dipaksakan. Namun yang lebih fatal dari
pernyataan tersebut ialah mengatakan bahwa tanpa tradisi Lisan maka seseorang
tidak akan mengetahui cara mengaplikasikan hukum Taurat dalam dimensi kehidupan
mereka.
Orang Farisi merasa lebih benar
dari orang lain. Kesalahan orang lain disoroti, tetapi kesalahan sendiri tidak
disadari. Mereka mengajarkan rupa-rupa hal yang baik, namun mereka sendiri
tidak menjalankannya. Sebab itu Tuhan Yesus berkata: “Turutilah dan lakukanlah
segala sesuatu yang mereka ajarkan kepadamu, tetapi janganlah kamu turuti perbuatan-perbuatan
mereka....” (Mat. 23:3).[7]
Kegagalan orang Farisi justru
sangat esensial. Mereka mengajarkan namun mereka tidak menerapkan apa yang
mereka ajarkan. Memang teori tidak semudah dengan apa praktik. Namun teori pada
akhirnya harus dilakukan. Jika sedemikian pentingnya posisi oral Law maka jelas bahwa mereka (orang Farisi)
memiliki alasan untuk terus berpegang dan memelihara bahkan terus menambahkan
jumlahnya.
Klaim bahwa
perlunya hukum yang lain untuk melengkapi hukum Allah, sama saja menghina hukum-Nya.
Implikasi dari eksisnya hukum Lisan ini, merupakan bukti devosi yang salah.
Harusnya Firman-Nya cukup menjadi panduan dan aturan yang mengikat setiap sisi
kehidupan dan dimensi kehidupan orang Yahudi. Sangat jelas bahwa orang Farisi,
sama sekali tidak memberikan penghargaan yang tinggi dan ketundukan yang patuh
kepada Firman-Nya. To perfect the Torah
the oral tradition had to provide for a variety of transactions left without
any law at all in Scripture. But that is the only the superficial aspect of how
the oral Torah perfected the Written one in this context.(Untuk
menyempurnakan Taurat, tradisi lisan harus menyediakan berbagai transaksi
dibiarkan sama sekali tanpa hukum dalam Alkitab. Tapi hal tersebut adalah
satu-satunya aspek yang dangkal mengenai bagaimana Taurat lisan menyempurnakan
yang Tertulis dalam konteks ini)
[8]
Siapakah
manusia yang berkata bahwa pekerjaan Allah tidak sempurna? Tidak ada bukti yang
sahih bahwa Allah memberikan kepada Musa 2 hukum Taurat. Di dalam keluaran pasal
24 Allah hanya memberikan kepada Musa hukum Taurat. Allah tidak memberikan dua.
Asumsi bahwa Allah memberikan dua hukum seperti yang dipercayai oleh orang
Farisi (walau tradisi sudah diturunkan dari generasi ke generasi) tidak benar.
Hukum Tertulis Lebih Berwibawa
Daripada Hukum Lisan
Orang Farisi adalah orang-orang yang memiliki tradisi yang berbeda dengan
orang Saduki, terutama dalam hukum Taurat yakni hukum
Tertulis. Di Bab dua sudah disinggung mengenai letak keduanya,
bahwa hukum Lisan adalah pengembangan dari Hukum Tertulis.
Talmud
pada awalnya adalah karya para Rabi (guru) yang berupa terjemahan bebas kitab
Suci sekaligus komentarnya (Midrash).
Komentar Kitab Suci yang lebih sistematis menyangkut segi moral dan hukum
disebut Mishnah. Kemudian komentar terhadap Mishnah disebut Talmud, yang selesai dikerjakan dalam abad 5 SM. Tulisan dan
pandangan para Rabi cukup memengaruhi kehidupan agama orang Yahudi. Talmud
dipandang sebagai bentuk Teologi sekaligus bersifat religius.[9]
Kekhasan kaum Farisi terletak pada hukum
Lisan mereka, suatu tambahan tak tertulis terhadap kitab Suci yang diklaim
dapat menyediakan tafsiran yang tepat atas ajaran-ajaran suci yang tertulis.[10] Dalam hal inilah terletak perbedaan yang tajam mengenai
kepercayaan akan hukum Lisan yang wibawanya dianggap sama oleh orang Farisi.
Orang Farisi benar-benar mengaplikasikan ajaran-ajaran dari hukum Lisan
tersebut.
The written law (Torah) was thus
to be supplemented by the oral Law (the traditions of the Elders) which
represented an interpretation and apllication of the Torah. Both written and
oral law were to be regarded as having equal authority. (Hukum tertulis (Taurat) itu
demikian harus dilengkapi oleh hukum Lisan (tradisi para Penatua) yang
merepresentasikan interpretasi dan aplikasi dari Taurat. Baik hukum tertulis
dan lisan yang dianggap dengan memiliki otoritas yang sama). [11] Tidak benar bahwa otoritas hukum Taurat dianggap
sama dengan dengan otoritas hukum Lisan. Bagaimana mungkin wibawa Allah sama
dengan wibawa manusia? Bagaimana mungkin karya Allah memiliki derajat yang sama
dengan karya manusia. Allah tidak dapat disamakan dengan manusia, karena memang
keduanya memiliki dimensi yang berbeda. Apa yang berikan oleh Allah yakni huku
Taurat, lebih berwibawa dari pada tradisi Lisan milik nenek moyang Farisi.
Jika dilihat proses hukum
Lisan menjadi setara dengan hukum Tertulis, pada mulanya berawal dari aktivitas
para Rabi Israel yang berusaha untuk memberikan terjemahan kepada hukum
Tertulis dan komentar terhadap ayat-ayatnya (Midrash).
The most important collection of rabbinic literature is the Mishnah.
Mishnah comes from the Hebrew root ‘shanah’ meaning “to repeat”. It signifies
that which is learned by repetition and thus from memory. Before its
codification by Judah the Patriarch the Mishnah was transmitted in oral form. (Koleksi yang paling penting dari literatur Rabinik adalah Mishnah.
Mishnah berasal dari bahasa Ibrani root 'SháNah' yang berarti "untuk
mengulangi". Ini berarti bahwa yang dipelajari oleh pengulangan dan karena
itu dari ingatan. Sebelum kodifikasi oleh Patriark Yehuda Mishnah ditransmisikan dalam bentuk lisan.) [12]
Proses yang terjadi kemudian mencapai kepada puncaknya yaitu terciptalah Mishnah yang berisi komentar kitab Suci
yang berisikan moral dan aturan-aturan hidup. Kemudian Mishnah berlanjut kepada Talmud karena berisikan komentar di
dalamnya. Talmud menjadi baku bagi kalangan para Rabi, sehingga sangat praktis
untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari orang Yahudi. Talmud merupakan
sebuah pagar yang mengelilingi Taurat, yang setiap saat menjelaskan tindakan
yang benar sehingga tidak ada pelanggaran terhadap hukum-hukum Allah. [13]
Midrash (Hebrew “exegesis”) a term routinely used to convey three distinct,
if related, meanings. In common use, the word Midrash may refer to : (1). A
distinctive process or method of interpretation. (2) a compilation of the
results of that process, that is, a book that collects a set of exegeses. (3) a
single unit of exegesis that uses that method, e.g., the interpretation or set
of interpretations of a single biblical verse. (Midrash
(Ibrani "penafsiran") istilah secara rutin digunakan untuk
menyampaikan tiga yang berbeda, jika terkait, artinya. Dalam penggunaan umum,
kata Midrash bisa merujuk ke: (1). Sebuah proses yang khas atau metode
penafsiran. (2) kompilasi dari hasil proses, yaitu, sebuah buku yang
mengumpulkan satu set tafsir. (3) satu unit penafsiran yang menggunakan metode
tersebut, misalnya, interpretasi atau serangkaian penafsiran dari ayat Alkitab
tunggal).[14]
Orang Farisi memiliki pendirian yang kokoh mengenai doktrin yang mereka
anut yakni hukum Lisan (oral Law).
Tuntutan untuk memberikan aturan-aturan main dalam menafsirkan Hukum ini
menjadi sesuatu yang dikerjakan dan diawasi penerapannya. Apa yang terjadi
dalam dialog dengan Yesus ialah bahwa ternyata Yesus memiliki pandangan yang
cukup berbeda dari orang Farisi. Jika orang Farisi selalu mendasarkan segala
sesuatu berdasarkan hukum Lisan (ajaran nenek moyang), lain halnya dengan
Yesus, Dia mengklaim dengan yakin bahwa ajaran orang Farisi bukanlah ajaran
dari Allah, melainkan dari manusia (para Rabi). Jika sumber ajaran orang Farisi
adalah dari manusia bukan dari Allah, tentu sudah jelas bahwa tidak patut
menyetarakan wibawa hukum Tertulis dengan wibawa hukum Lisan.
It was inevitable that an oral Law should develop in judaism simply because
the written Law did not cover all conceivable actions whether moral or ritual.
It was assumed by the rabbis that where the Torah was not specific on certain
laws governing conduct there must have been an oral tradition associated with
them. Some of the precepts of the Torah were clear and some were not. The
Rabbis believed that if the meaning of a regulation was uncertain, it had to be
clarified. If God made his will known in the Torah, there certainly was an
exact way to obey it, the rabbis viewed their task as one of expanding the
interpretation of the written Law to meet the changing circumstances of life.
Thus the oral Law was in a constant state of development. It was adapted,
modified, and expanded from time to time to meet the varying practical needs of
successive ages, and finally the tradition itself took a written form. (Tidak bisa
dihindari bahwa hukum Lisan harus mengembangkan dalam Yudaisme hanya karena Hukum
Tertulis tidak mencakup semua tindakan yang mungkin apakah moral atau ritual.
Diasumsikan oleh para Rabi yang mana Taurat tidak spesifik pada hukum-hukum
tertentu yang mengatur perilaku pasti ada suatu tradisi Lisan yang terkait
dengan mereka. Beberapa ajaran Taurat yang jelas dan ada yang tidak. Para Rabi
percaya bahwa jika arti dari peraturan itu pasti, itu harus diklarifikasi. Jika
Allah membuat kehendaknya diketahui dalam Taurat, ada pasti cara yang tepat
untuk menaatinya, Rabi dilihat tugas mereka sebagai salah satu memperluas
penafsiran hukum Tertulis untuk memenuhi perubahan keadaan hidup. Dengan
demikian hukum Lisan dalam keadaan konstan pembangunan. Itu disesuaikan,
diubah, dan berkembang dari waktu ke waktu untuk memenuhi kebutuhan praktis
berbagai usia berturut-turut, dan akhirnya tradisi itu sendiri mengambil bentuk
tertulis).[15]
Yesus menyuarakan dengan begitu lantang bahwa ajaran yang mereka lakukan
adalah dari manusia (nenek moyang) bukan dari sang Pencipta yaitu pemberi
hukum. Walau tampaknya mereka adalah orang yang beribadah, namun tidak pernah
tunduk kepada Allah yakni tunduk kepada otoritas penuh dari Hukum Tertulis. (Mrk.
7:7-9). Ketika orang Farisi berusaha memegang hukum Lisan, maka tentu mereka
tidak sedang meninggikan otoritas hukum Tertulis.
Malahan Yesus berkata bahwa mereka sedang berusaha
mengesampingkan Firman Allah. Jika mereka berusaha dengan cara demikian
bukankah mereka sedang berusaha menyingkirkan Allah? Seseorang yang taat kepada
Allah, maka pastilah dia akan taat kepada Firman-Nya, sebaliknya jika
ketidaktaatan terhadap Firman-Nya, maka hal itu membuktikan dengan jelas bahwa
sebenarnya dia tidak taat kepada Allah.
The oral Law in the form of oral traditions was eventually put into writing
after the Roman destruction of the Second Temple in 70 AD. These written oral
traditions or oral Law can now be found in such Jewish writings as the
“Talmud,” “Midrash”, or “Mishnah”. Thus, for the Jews who believe this, there
is both a written and an oral Torah which they believe have equally binding
legal force. (hukum Lisan dalam bentuk tradisi Lisan akhirnya
dimasukkan ke dalam tulisan setelah kehancuran Romawi Bait Suci Kedua di 70
Masehi. Tradisi Lisan tertulis atau hukum Lisan sekarang dapat ditemukan dalam
tulisan-tulisan Yahudi seperti "Talmud," "Midrash", atau
"Mishnah". Dengan demikian, untuk orang-orang Yahudi yang percaya ini
ada kedua kekuatan hukum mengikat sama tertulis dan Taurat Lisan yang mereka
percaya memiliki).[16]
Jika kita perhatikan
argumentasi Yesus terhadap orang-orang Farisi, maka tampak secara eksplisit
bahwa orang Farisi sebenarnya mengibarkan bendera yang lain yang bukan hukum
Taurat (hukum Tertulis). Tentu pendapat Yesus didasarkan atas fakta yang valid
dan tidak basa basi. Yesus tumbuh bersama orang Yahudi pada umumnya, dibesarkan
dengan hukum Taurat. Tidak asing bagi Yesus bahwa tujuan final dari memercayai hukum
Lisan ialah bukan menegakkan kebenaran hukum Allah, melainkan hukum/aturan
manusia. Orang-orang Farisi memercayai
peraturan-peraturan tradisi secara mendetail
dan saksama, sedangkan golongan Saduki hanya menerima hukum yang tertulis saja. Golongan Farisi mengakui
adanya predestinasi, sedangkan golongan Saduki percaya adanya kehendak bebas.[17]
Jika tradisi Lisan (oral
Law) adalah Firman Allah atau setara dengan hukum Tertulis (written Law), mengapa tidak ada bukti
yang sahih dalam Injil sinoptik atau dalam Perjanjian Lama? Atau mengapa
setidaknya Yesus dalam pelayanan-Nya di bumi setidaknya mengakui kebenaran hukum
Lisan ini? Talmud – (Ibr. ajaran). Kumpulan
tradisi Yahudi yang terdiri dari Mishnah
(pengajaran lisan) dan Gemara (diskusi mengenai Mishnah). Ada
dua versi, yakni Talmud Palestina dan Talmud Babilonia yang lebih panjang. Keduanya selesai
disusun selama abad ke-5 tetapi memuat bahan-bahan yang berasal dari waktu yang jauh sebelumnya.[18]
Misnah: hukum Rabinik seperti
yang dikumpulkan dan diatur menurut golongan sekitar 200 M. Misnah ini
merupakan puncak dari tradisi Lisan yang berabad-abad. Dikerjakan di Palestina,
Misnah menjadi dasar dari Talmud Palestina maupun Babel. Talmud itu adalah
komentar atas Misnah dan di dalamnya telah diadakan beberapa perubahan
(modifikasi). Hukum-hukumnya mencakup masalah-masalah keagamaan; sosial dan
ekonomi. Seluruhnya berjumlah enam puluh tiga traktat. Yang paling banyak
dikutip dalam komentar-komentar PB adalah “pirhe
abith, karena menerangkan Yudaisme pada zaman PB.
[19]
Keyakinan orang-orang Farisi ialah mereka percaya bahwa bukan saja hukum
Taurat yang diturunkan kepada Musa, melainkan juga hukum Lisan. Dua hukum ini
bagi mereka saling melengkapi satu dengan yang lain. David
L. Turner berkata :
The
Pharisees believed that God had revealed to Moses not only the written Law but
also the traditional oral Law that explained and applied the written Law. This oral
Law was handed down from generation to generation and could be deduced from the
written Law if it was properly interpreted. This oral tradition was eventually
redacted in written form as the Mishnah by the Rabbi Judah ha – Nasi (the
Patriarch) around 200BCE. (Orang-orang Farisi
percaya bahwa Allah telah mengungkapkan pada Musa tidak hanya Hukum yang
Tertulis tetapi juga hukum tradisi Lisan yang menjelaskan dan mengaplikasikan hukum
Tertulis. hukum Lisan ini diserahkan turun-temurun dari generasi ke generasi
dan dapat dideduksi dari hukum Tertulis jika diinterpretasikan dengan tepat. Tradisi
Lisan ini pada akhirnya dikumpulkan dalam bentuk tertulis seperti Mishnah oleh Rabi Judah – Nasi
(Patriakh) sekitar tahun 200 SM.) [20]
Kepercayaan ini yang membuat orang-orang Farisi merasa yakin bahwa mereka
berdiri pada posisi yang benar. Mereka tidak akan pernah menemukan bahwa mereka
sudah berada di jalan yang salah, sebaliknya mereka merasa bahwa mereka sedang
membela Allah dengan berpegang teguh kepada hukum Lisan. Hukum Lisan jelas
diturunkan dari generasi ke generasi sehigga terbukti bahwa orang-orang Yahudi
sudah terikat kepada hukum tersebut.
Mishnah
dan Gemara bersama-sama biasa disebut
sebagai Talmud. Talmud
Yerusalem yang memuat Mishnah beserta
himpunan Gemara dari Mazhab-mazhab
Palestina telah selesai kira-kira tahun 300 M; Talmud dari Babilonia yang jauh
lebih besar terus bertumbuh selama dua abad lagi, sebelum diciutkan dalam
bentuk tertulis kira-kira tahun 500.[21]
Penafsiran terhadap teks adalah wajar, karena kepentingan ini cukup
mendesak secara berjemaah. Orang Yahudi perlu memahami arti ayat-ayat yang
firman oleh Allah bagi umat-Nya, untuk melihat secara langsung korelasinya
dengan hidup sehari-hari mereka. Membuat buku tafsiran juga adalah wajar. Namun
batas kewajaran penafsiran sudah melampaui batasnya. Hukum yang sudah dibukukan
(Talmud) mencapai kulminasinya yaitu menjadi ‘setara’ dengan hukum Tertulis.
Implikasi dari dari kesetaraan wibawa hukum Lisan ialah
bahwa pada akhirnya perkataan Allah atau Sabda TUHAN, dianggap sama dengan
perkataan manusia. Tentu ini tampak serius, karena bagaimana mungkin perkataan
manusia bisa berubah menjadi setara dengan perkataan Allah? Di dalam Yesaya
55:8-11 berkata bahwa “rancangan TUHAN
bukanlah rancangan manusia” bahkan jarak yang terbentang yang memisahkan
antara manusia dengan Allah diibaratkan sejauh langit dari bumi. Bagaimana
mungkin wibawa perkataan manusia (hukum Lisan) lebih tinggi dari wibawa
perkataan Allah (hukum Tertulis)?
Inkripsi Yahudi yang lain ialah Talmud.
Perkataan ‘Talmud’ bermakna pengajaran atau ajaran. Karya-karya
yang disebut begitu adalah hasil kerja beberapa penganut mazhab Yahudi. Isinya mengenai kelakuan.Para ahli
mendakwa mereka memberi kepada Taurat Musa ‘pagar’ supaya ditepati dengan baik. Talmud-talmud itu sebenarnya adalah
hasil beberapa angkatan ahli. Oleh
karena tempo menyiapkan lama, bahan-bahan itu disampaikan oleh guru secara
lisan saja lalu dihapalkan oleh murid. Di
dalamnya terkandung diskusi-diskusi, keterangan-keterangan, tafsiran serta
penerapan dan contoh yang diberikan oleh ahli-ahli dari zaman dahulu dan terus
bertambah banyak.[22]
Teks kitab Suci memang harus ditafsirkan sehingga memudahkan pembaca atau
umat dalam menginterpretasikan ayat tertentu dengan demikian mudah untuk
dipraktikkan dalam kehiduapan sosial maupun dalam liturgi-liturgi orang
percaya. Namun yang menjadi problematika yang cukup memberikan pengaruh penting
ialah bahwa kitab Suci jelas memiliki perbedaan yang krusial dan signifikan
dengan penjelasan dari kitab Suci.
Para ahli yang
terjun dalam menafsirkan hukum Tertulis menjadi kunci untuk menentukan sikap
dalam memperlakukan Hukum tersebut dalam kehidupan. Yesus bertindak dengan
bijaksana, bahwa kedatangan-Nya ke dunia jelas ada kaitan dengan hukum Taurat,
sebab tentang Dia tertulis jelas di dalamnya. Yesus memberikan simpulan yang
tegas bahwa Dia bukan untuk menyirnakan hukum Taurat, sebaliknya Yesus
menghormati wibawanya sehingga jelas Dia ingin menggenapi Hukum tersebut.
Tradisi Lisan tidak menggantikan hukum Tertulis (written Law)
Orang Farisi dan orang Yahudi sama-sama mewarisi tradisi
Lisan dan menghidupinya dan menjadi gaya hidup yang sudah diterapkan.
Memasukkan ajaran dan menyebarluaskannya dalam setiap aspek kehidupan mereka baik
hidup secara personal, kelompok (bermasyarakat) maupun berbangsa. Mereka tidak
dapat melepaskan hukum Taurat dan
membiarkannya berjalan sendiri. Hukum Taurat adalah sesuatu yang harus diangkat
ke permukaan, dan didistribusikan kepada seluruh orang Israel.
The Rabbis believed that their oral traditions of interpreting the Bible
was an integral part of the Holy Scriptures. They believed that God gave the
Torah in two parts. One part was the Written Torah, which God dictated to Moses
on mount Sinai. The other part was the oral tradition, the tradition of
interpretation that told Jews how to live by the Torah laws. (Para Rabi percaya bahwa tradisi Lisan mereka dalam menafsirkan kitab
Suci adalah bagian tak terpisahkan dari Kitab Suci. Mereka percaya bahwa Allah
memberi Taurat dalam dua bagian. Salah satu bagian adalah Tertulis Taurat, yang
Allah didikte kepada Musa di atas gunung Sinai. Bagian lain adalah tradisi
Lisan, tradisi penafsiran yang mengatakan Yahudi bagaimana hidup oleh hukum
Taurat) .[23]
Tradisi Lisan, merupakan
tradisi yang sudah terjadi dalam proses yang panjang. Namun konflik internal
yang terjadi antara Yesus dan golongan orang Farisi dan Yahudi membuktikan
bahwa ternyata, bukan Taurat Musa yang mereka aplikasikan ke dalam hidup
keagamaan mereka.
Yesus
menyebutkan bahwa ajaran mereka berasal dari nenek moyang mereka. Yesus tidak
sedang mengklaim bahwa ajaran hukum Taurat Musa adalah sesuatu yang menyimpang.
Dengan jelas Dia berkata bahwa Dia datang untuk menggenapinya, bukan untuk
mengabaikannya. The Pharisees believed
that Moses received this tradition at Sinai, and that is was handed down in
oral fashion along with the written Torah, with which it shared an equal
authority. (Orang-orang Farisi percaya bahwa Musa menerima tradisi ini di
Sinai, dan yang diturunkan dalam cara lisan bersama dengan taurat Tertulis
dengan yang berbagi otoritas yang setara) [24] Perbedaan yang
paling mendasar mengenai otoritas antara tradisi Lisan dan huku Tertulis ialah
bahwa Allah yang langsung memberikannya kepada Musa di atas gunung Sinai.
Sedangkan tradisi berkembang dari hasil transmisi dari generasi ke generasi
oleh karya para rabi hingga orang-orang Farisi.
Apa yang ditentang oleh
Yesus bukanlah Firman Allah, namun tafsiran mereka terhadap hukum Tertulis (hukum
Taurat). Para Rabi terdahulu berusaha untuk menerjemahkan hukum Taurat,
sehingga memiliki, tafsiran-tafsiran yang mudah dimengerti. Apakah dengan
menafsirkan hukum Taurat, adalah sesuatu yang salah, dengan demikian Yesus
menentang mereka? Bukan! Masalah krusial yang terjadi, bukanlah pada soal
tafsiran nenek moyang mereka. Duduk permasalahannya terletak di dalam sikap
mereka yang menjadikan tradisi Lisan (oral
Law) menjadi berwibawa.
The oral Law is a legal commentary on the Torah,
explaining how its commandments are to be carried out. Common sense suggests
that some sort of oral tradition was always needed to accompany the written Law, because the Torah alone, even with its
613 commandments, is an insufficient guide to Jewish life. For example, the
fourth of the Ten Commandments, ordains, "Remember the Sabbath day to make
it holy" (Exodus 20:8). (hukum Lisan adalah komentar yang sah
terhadap kitab Taurat, yang menjelaskan
bagaimana perintah-perintah yang akan
dilakukan. Akal sehat menunjukkan bahwa semacam tradisi
Lisan
selalu diperlukan untuk menemani hukum
Tertulis, karena Taurat saja, bahkan dengan 613 perintah, adalah panduan yang cukup
untuk kehidupan Yahudi. Sebagai contoh, keempat dari Sepuluh Perintah Allah,
menahbiskan, "Ingatlah hari Sabat untuk membuatnya suci" (Keluaran
20: 8).[25]
Bagi orang Yahudi, tradisi Lisan dianggap sah dan tidak dapat dipisahkan
dari hukum Taurat. Penjelasan-penjelasan dari hukum Taurat berada dalam tradisi
Lisan. Bagi mereka, arti dari hukum Taurat tertuang dan terjabarkan di tradisi Lisan
yang mereka kembangkan.
Without an oral tradition, some of the Torah's laws would be
incomprehensible. In the Shema's first paragraph, the Bible instructs:
"And these words which I command you this day shall be upon your heart.
And you shall teach them diligently to your children, and you shall talk of
them when you sit in your house, when you walk on the road, when you lie down
and when you rise up. And you shall bind them for a sign upon your hand, and
they shall be for frontlets between your eyes.
(Tanpa tradisi Lisan, beberapa dari hukum kitab
Taurat itu akan tidak dapat dimengerti. Dalam paragraf pertama Shema, Alkitab
memerintahkan: "Dan kata-kata ini, yang kusampaikan kepadamu pada hari ini
haruslah engkau perhatikan Dan Anda akan mengajar mereka rajin kepada anak-anak
Anda, dan Anda akan berbicara dari mereka ketika Anda duduk di rumah Anda, kapan.
Anda berjalan di jalan, saat Anda berbaring dan ketika Anda bangkit. dan Anda
akan mengikat mereka untuk tanda tangan pada Anda, dan mereka akan menjadi
lambang antara mata Anda. ) [26]
Sikap orang Yahudi dan orang Farisi
ini jika dianalogikan dengan orang Kristen yaitu bahwa Alkitab tidak akan
lengkap tanpa tafsiran dari Alkitab itu sendiri. Ezra sebagai ahli kitab
melakukan interpretasi terhadap hukum Taurat, karena penting supaya umat
mengerti maksud dan tujuan atau makna di dalam teks yang akan dibacakan. Namun
bukan berarti interpretasi terhadap hukum Taurat adalah sama dengan atau
sejajar dengan hukum Taurat itu sendiri. Dua keadaan itu adalah berbeda satu
dengan yang lain.
Tradisi Lisan
menjadi setara dengan hukum Taurat Musa (written
Law). Bagi orang Farisi, tradisi Lisan, menjadi sesuatu yang mengikat dan
menjadi persoalan yang serius. Tradisi Lisan seolah-olah adalah firman Allah.
Namun kenyataannya ialah bahwa Alkitab tidak mencatat bahwa Yesus menggenapi
salah satu hukum dari tradisi Lisan mereka. Yesus tidak menyebutkan, bahwa
tujuan kedatangan-Nya ke bumi ini adalah sebagai bagian dari kegenapan apa yang
terdapat dalam tradisi Lisan (ajaran nenek moyang mereka) melainkan Yesus berkata
bahwa tentang Dia tertulis di kitab Taurat Musa dan kitab para nabi dan juga
kitab mazmur. Esensi dari hukum Tertulis tidak akan pernah berubah, esensi dari
tradisi Lisan juga demikian, dia tidak akan pernah menjadi berwibawa setara
dengan Hukum Musa
Tradisi Lisan Bukanlah Inspirasi Dari Allah
Rasul Paulus dalam suratnya yang ditujukan kepada
Timotius berkata bahwa “Segala Tulisan
diilhamkan oleh Allah......” (2 Tim. 3:16), gagasan Paulus bahwa tulisan/writings bersumber dari Allah. Kata
Yunani diilhamkan memakai istilah Yunani “Theopneustos”
pemikiran ini menunjuk kepada wibawa Kitab Suci yang mana Roh Allah
berperan untuk mengilhami para penulis Alkitab.
Orang Yahudi percaya bahwa hukum Lisan diturunkan oleh
Allah bersama-sama dengan hukum Tertulis. Alkitab tidak memberikan bukti-bukti
yang sahih mengenai Otoritas dari hukum Lisan. Penulis Injil Sinoptik hanya
mencatat beberapa diskusi antara Yesus dengan orang-orang Yahudi (Mat. 15:3).
Yesus mengamati bahwa orang Yahudi adalah pelanggar hukum Taurat (hukum Allah)
demi menegakkan hukum nenek moyang mereka (hukum Lisan). Ada sebuah kisah
tentang seorang Kafir yang ingin belajar Taurat:
Once a heathen came to Shammai and asked, “how many Torahs do the Jews
have?” Shammai answered, “we have two Torahs- the Written Law, which is
contained in the scroll of the Torah, and the Oral Law, which Moshe our teacher
received from God at mount Sinai. Moshe in turn taught the oral Law to
Yehoshua, and Yehoshua taught it to the elders, and thus it was handed down from
one generation to the next until it reached us.” The stranger said, “i would
like to study the Torah and become a Jew. But i will believe only in the
Written Law, for i can read that myself. I will not accept the oral Law since
there is no way for me to see if your teachings, handed down by word of mouth,
are correct. Therefore, teach me only the written Law. Shammi taught, “How can
a man who does not want to believe in the teachings of the Sages become a Jew?
A man who sets such conditions is not worthy of studying Torah at all.” (Satu kali, kafir datang ke Shammai dan bertanya, "berapa banyak
Taurat tidak orang-orang Yahudi?" Shammai menjawab, "kita memiliki
dua Torahs- hukum Tertulis, yang terkandung dalam kitab Taurat, dan hukum
Lisan, yang Musa guru kami terima dari Allah di gunung Sinai. Moshe pada
akhirnya mengajarkan hukum Lisan kepada Yehoshua, dan Yehoshua mengajarkannya
kepada para tua-tua, dan dengan demikian hal itu diturunkan dari satu generasi
ke generasi berikutnya sampai mencapai kita. "Orang asing itu
berkata," saya ingin mempelajari Taurat dan menjadi seorang Yahudi. Tetapi
saya akan percaya hanya dalam hukum Tertulis, untuk saya bisa membaca bahwa
diriku. Saya tidak akan menerima hukum Lisan karena tidak ada cara bagi saya
untuk melihat apakah ajaran Anda, diturunkan dari mulut ke mulut, benar. Oleh
karena itu, mengajari saya hanya hukum Tertulis. Shammi diajarkan,
"Bagaimana bisa seorang pria yang tidak mau percaya pada ajaran orang
bijak menjadi seorang Yahudi? Seorang pria yang menetapkan kondisi seperti ini
tidak layak belajar Taurat sama sekali) [27]
Dari kisah ini tampak bahwa hukum Lisan memang diajarkan oleh para rabi
kepada generasi penerus mereka. Kalau melihat sudut pandang dari Yesus ialah
bahwa Dia bahkan tidak pernah mengonfirmasi bahwa hukum Lisan adalah sesuatu
yang ilahi yang perlu untuk dijadikan pedoman hidup sama seperti hukum Taurat.
Yesus dalam sebuah kesempatan memberikan afirmasi mengenai tulisan nabi Yesaya
pasal 11. Yesus menggenapi apa yang disampaikan oleh Yesaya. Yesus dalam sebuah
kesempatan memberi jawab kepada seorang ahli Taurat bahwa pada kedua hukum
(mengasihi Tuhan dan sesama) tersebutlah hukum Taurat dan Kitab pada Nabi
terkandung.
Yesus jelas
tidak menambahi wibawa dari hukum Taurat, sebaliknya Yesus menandaskan bahwa Kitab
para nabi dan hukum Taurat adalah bersumber dari Allah (Mat. 5:17; 7:12; 22:40;
Luk. 16:16; 24:44; Yoh. 1:45). Tradisi Lisan merupakan penjelasan terhadap hukum
Tertulis, sehingga lebih memudahkan orang-orang
Yahudi dalam menerapkannya.
Tradisi Lisan bukanlah Perintah
Allah
Yesus tidak pernah mendasarkan ajaran-Nya dari tradisi
Lisan orang Farisi. Justru Yesus mengecam dengan kerasheathen bahwa ajaran yang
mereka ajarkan adalah perintah manusia bukan perintah Allah. (Mat. 15:9).
Di samping hukum Taurat yang
tertulis, para ahli Taurat dan orang Farisi memelihara tradisi Lisan (Yunani: parodosis). Tradisi ini terdiri dari
sejumlah besar peraturan yang oleh ahli-ahli Taurat disimpulkan dari hukum
Taurat, dengan maksud agar hukum Taurat dapat dilaksanakan secara lebih teliti
(tradisi itu dipandang sebagai pagar di sekitar Taurat, untuk menjamin
pelaksanaan Taurat). Peraturan tambahan yang sering bertele-tele itu umumnya
mendorong ke arah pelaksanaan hukum Taurat secara harfiah, tanpa terlalu
memerhatikan apa sesungguhnya maksud hukum itu.[28]
Jelaslah Yesus sangat membedakan antara hukum Taurat dengan adat istiadat (tradisi
Lisan). Yesus sama sekali tidak menaruh simpati kepada sikap orang-orang Farisi
yang berusaha menyingkirkan penerapan hukum Taurat dibandingkan dengan tradisi
Lisan. Jika seandainya tradisi Lisan adalah perintah Allah, tentu Yesus akan
berjalan ke arah sana. Pengakuan Yesus bahwa Dia tidak akan mengabaikan satu
iota dari Taurat menjadi kunci komitmen-Nya.
Namun ternyata orang
Yahudi dan orang Farisi sibuk dengan perintah manusia, yaitu perintah yang
diajarkan kepada mereka secara turun-temurun. Jika mereka berpegang adat
istiadat sedemikian ketat dan serius, bagaimanakah nasib perintah Allah?
Bukankah mereka harusnya lebih menaati perintah Tuhan, namun kenyataan tidak.
Mereka menyibukkan jam-jam mereka dengan menerapkan tradisi Lisan ke dalam
seluruh aspek kehiduan mereka.
Mereka akan
sangat sulit untuk melihat kebutuhan manusia demi keselamatan mereka, dibanding
ketegasan tradisi Lisan. Bagi orang Farisi, menegakkan tradisi Lisan serta
mengibarkannya bagi semua orang Yahudi tampaknya menjadi sasaran utama mereka.
Di sisi lain, perintah Allah tidak menjadi sentral dalam kehidupan mereka. The Jews actually paid far more heed to a
system of teaching and practice known as “the tradition of the elders”or“the
oral Law” (Orang-orang Yahudi benar-benar memerhatikan jauh lebih
memedulikan sistem pengajaran dan perlakuan yang disebut dengan "tradisi
istiadat nenek moyang" atau "Hukum lisan").[29]
Jika
seandainya ajaran manusia yang lebih diutamakan dan dijadikan panduan hidup
yang benar, maka apakah manfaat Firman Allah? Paulus pernah berkta bahwa
manusia harus lebih taat kepada Allah daripada taat kepada manusia (Kis. 5:29)
Ketaatan terhadap Allah harus melebihi ketaatan terhadap institusi yang
dibangun oleh manusia. Namun jika memang perintah itu bersumber dari Allah dan
memang merupakan anjuran dari Dia, maka semua manusia harus menaati dan harus
tunduk terhadap perintah tersebut. Namun karena esensi yang mendasar dari
tradisi Lisan ialah hasil buatan tangan manusia, ataupun hasil rumusan manusia,
maka pada dasarnya tradisi tersebut bukanlah keharusan yang mesti dilaksanakan.
Walau perintah dalam tradisi Lisan itu bermanfaat dan penting bagi kehidupan,
bahkan mumpuni dalam mengatur norma-norma etika hidup yang baik, namun hal
tersebut tidak dapat dikatakan bahwa itu adalah perintah Allah.
Tradisi Lisan Tidak Melengkapi
Hukum Taurat
Defini tradisi Lisan tidak
melengkapi hukum Taurat ialah, bahwa hukum Taurat itu sudah lengkap. Tidaklah
lengkap jika adanya tradisi Lisan. Implikasi bahwa tradisi Lisan melengkapi
hukum Taurat ialah bahwa keduanya saling membutuhkan. Orang Farisi memercayai
bahwa hukum Tertulis dan hukum Lisan (tradisi para pendahulu) diberikan satu
paket, artinya Musa menerima dua hukum Taurat. The Pharisees believed strongly that the Torah affected the entirely of
human existence, and they sought to develop rules for every area of human life
based on the Torah. (Orang-orang Farisi meyakini dengan kuat bahwa Taurat
memengaruhi sepenuhnya keberadaan manusia, dan mereka berusaha mengembangkan
aturan untuk setiap bidang kehidupan manusia berdasarkan Taurat).[30] Orang Farisi sangat percaya
bahwa tradisi Lisan memiliki kaitan langsung dengan seluruh aspek kehidupan
manusia. Kepercayaan orang Farisi berakar kuat terhadap tradisi para Rabi
terdahulu.
The Pharisees believed that the written and oral
Torah came directly from God and were therefore valid and binding. In
accordance with the Torah, the Pharisees began to codify Halakha (the Law),
insisting upon its strict observance. However, they encourage debate among
scholars regarding the finer points of the Law (Orang-orang Farisi percaya bahwa Taurat tertulis
dan lisan datang langsung dari Allah dan karena itu berlaku dan mengikat.
Sejalan dengan Taurat, orang-orang Farisi menyusun Halakha (hukum), bersikukuh
pada ketaatan yang ketat. Namun, mereka mendorong debat antar para ahli
mengenai poin-poin penting dari Hukum). [31]
Orang-orang Farisi menerapkan dual hukum karena
mereka menerima hukum Taurat dalam dua bentuk yakni tertulis dan lisan (written Law and oral Law). Di bab II
peneliti menyajikn data bahwa tanpa tradisi Lisan, maka Taurat tidak akan
lengkap. Namun hal yang mendasar yang jadi pertimbangan dari peneliti ialah
bahwa tidak disebutkan di dalam Alkitab bahwa tanpa tradisi Lisan maka hukum
Taurat tidak lengkap. Tidak ada catatatan selanjutnya dari Alkitab bahwa Musa
memang menerima tradisi Lisan.
Finally,
an oral Law was needed to mitigate certain categorical Torah laws that would
have caused grave problems if carried out literally. The Written Law, for
example, demands an "eye for an eye" (Exodus 21:24). Did this imply
that if one person accidentally blinded another, he should be blinded in
return? That seems to be the Torah's wish. But the Oral Law explains that the
verse must be understood as requiring monetary compensation: the value of an
eye is what must be paid.
(Akhirnya, hukum Lisan diperlukan untuk mengatasi hukum Taurat tertentu
kategorikal yang akan menyebabkan masalah serius jika dilakukan harafiah. Hukum
Tertulis, misalnya, menuntut "mata ganti mata" (Keluaran 21:24).
Apakah ini berarti bahwa jika satu orang sengaja dibutakan lain, ia harus
dibutakan balasannya? Yang tampaknya menjadi keinginan Taurat itu. Tapi hukum
Lisan menjelaskan bahwa ayat tersebut harus dipahami sebagai membutuhkan
kompensasi dalam bentuk uang: nilai mata adalah apa yang harus dibayar.) [32]
Jika hukum Taurat tidak lengkap mengapa Allah hanya
memberikan satu Taurat? Apakah tradisi Lisan yakni karya para Rabi dan guru
spiritual orang Yahudi yang pada akhirnya diteruskan dan dikembangkan oleh
orang Farisi adalah ketetapan Allah? tntu tidak!
Anyone who has ever tried to learn the Scriptures alone
knows that they are a closed book, full of confusing and
difficult-to-understand statements. The Torah is generally briefly worded, and
lacks detailed directions. Obviously, commentary is necessary. This commentary
is the Oral Tradition, also known as the Oral Law, or the oral Torah. The
Written Bible is completely incomprehensible without the Oral Tradition. (Siapa pun yang pernah mencoba untuk mempelajari
Alkitab sendiri tahu bahwa mereka adalah kitab tertutup, penuh pernyataan membingungkan
dan sulit dipahami. Taurat umumnya bernada singkat, dan tidak memiliki rinci
arah. Jelaslah, komentar diperlukan. Komentar ini adalah tradisi Lisan, juga
dikenal sebagai hukum Lisan, atau taurat Lisan. Tertulis Alkitab adalah
benar-benar tidak bisa dimengerti tanpa tradisi Lisan). [33]
Pernyataan
eksplisit ini membuktikan dua hal, pertama bahwa oleh karena Alkitab
membingungkan dan tidak detail, maka peran komentari sangat diperlukan. Kedua,
bahwa tradisi Lisan membantu memberikan pemahaman terhadap hukum Taurat.
Interpretasi
itu memang diperlukan untuk memahami arti teks Kitab Suci, namun interpretasi
sifatnya hanya membantu memberikan penjelasan, namun interpretasi bukanlah
firman Allah. esensinya sangat berbeda antara teks dan interpretasi. Anggapan
bahwa tradisi Lisan hanya dimengerti jika ada peran tradisi Lisan, tidaklah
benar. Ketika Allah berfirman kepada orang Israel, maka Allah ingin umat-Nya
melakukan kehendak-Nya. Hal ini membuktikan bahwa hal tersebut potensial untuk
dilakukan.
The oral Torah is needed in order to maintain the context
of the Written Torah. It therefore contains much more information than the
Written Torah. The Written Torah needs the oral Torah to make certain that the
correct meaning is conveyed and understood. (Taurat Lisan diperlukan untuk mempertahankan konteks taurat Tertulis.
Oleh karena itu berisi informasi jauh lebih banyak daripada taurat Tertulis.
Taurat Tertulis membutuhkan taurat Lisan untuk memastikan bahwa arti yang benar
disampaikan dan dipahami.) [34]
Praduga
berlebihan yang diberikan terhadap eksistensi hukum Taurat yang tidak akan
dapat dimengerti tanpa tradisi Lisan sangatlah tidak bijaksana. Alasan yang
mendasar ialah bahwa Allah akan mengajar umat-Nya mengenai hukum-Nya.
Tentu Allah akan menerangi hati mereka untuk dapat menerapkan firman-Nya
dalam kehidupan mereka. Pharisees
believed some significant things were wrong in Israel, and their solution as a
closer adherence not just to the Mosaic law but to the traditions of the
Elders, a whole series. (Orang Farisi percaya beberapa hal yang signifikan
keliru di Israel, dan solusi mereka sebagai kepatuhan terhadap lebih dekat
tidak hanya untuk hukum Musa tetapi tradisi penatua, keseluruhan rangkaian.).[35] Orang Farisi boleh berkata bahwa ada yang kekeliruan
yang terjadi bagi masyarakat orang Yahudi. Sehingga pendekatan tidak dilakukan
hanya terhadap hukum Tertulis namun juga tradisi Lisan.
BAB V
PENUTUP
Simpulan
[5]Stephen, M. Wylen. The
Seventy Faces of Torah: The Jewish Way of Reading the Sacred Scriptures (New Jersey: Paulist Press, 2005) 29.
[6]Ibid.
[10]Michael Wise, Martin
Abegg J.R., Edward Cook.
Naskah Laut Mati (Jakarta:Serambi Ilmu Semesta: ,2005) 33.
[12]Watson E. Mills,Roger. Aubrey Bullard. Mercer
Dictionary of the Bible (Georgia : Mercer
University Press,
1997)
732.
[14]J, Christopher Garrison. The
Judaism of Jesus: The Messiah's Redemption of the Jews (London: Routledge, 2004 ) 87.
[15]Watson, E. Mills,Roger Aubrey
Bullard. Mercer Dictionary of the Bible (Georgia : Mercer
University Press,
1997)
732.
[16]J, Christopher Garrison. The
Judaism of Jesus: The Messiah's Redemption of the Jews (Bloomington: WestBow
Press, 2014 ) 165.
[20]David, L. Turner. Matthew
Baker Exegetical Commentary On The New Testament (Grand Rapids:
Baker Pubishing Group, 2008) 379.
[22]Muhammad, Alexander. Yakjuj & Makjuj: Bencana di Sebalik Gunung (Batu Caves Selangor: BPK,
2009) 21 -22.
[23]Stephen, M. Wylen. The
Seventy Faces of Torah: The Jewish Way of Reading the Sacred Scriptures (New Jersey: Paulist Press, 2005) 29.
[24]J. Patrick
Mullen. Dining with Pharisees (Minnesota:
Liturgical Press, 2004) 65.
[25]http://www.jewishvirtuallibrary.org/jsource/Judaism/talmud_&_mishna.html. Dinduh tgl 23 April
2015
[27]Yochebed,
Segel. Our Sages Showed the Way (New
York:Wipf & Stock Publishers, 2015) 72-73.
[29]Steve
Atkerson. House Church - Simple,
Strategic, Scriptural (Georgia: NTRF, 2005) 20.
[30]Catherine Cory,
Michael Hollerich. Christian Theological
Tradition (London
: Routledge,
2009) 84.
[31]Richard D Bank. The Everything Jewish History and Heritage
Book (Massauchusetts : Adams Media, 2003)147.
[32]Emil L. Fackenheim. What is Judaism?: An Interpretation for the
Present Age (New York:Summit Books, 1987) 43. (https://www.jewishvirtuallibrary.org/jsource/Judaism/talmud_&_mishna.html.diundung tgl 23 September 2015)
[34]Ibid.
[35]Ben Witherington, III.
On the Road with Jesus: Teaching and
Healing (Nashville
:Abingdon Press,
2012) no page.
0 Response to "HUKUM TAURAT (WRITTEN LAW) VS HUKUM LISAN (ORAL LAW)"
Post a Comment