HUKUM TAURAT (WRITTEN LAW) VS HUKUM LISAN (ORAL LAW)



Tidak Mungkin Ada Dua Taurat

Injil Sinoptik menyaksikan mengenai eksistensi Yesus dan relasi-Nya dengan hukum Taurat. Matius 5:16-19 secara eksplisit mengungkapkan kebenaran ini sebagai sebuah kepastian, bahwa tujuan Yesus adalah untuk menggenapi hukum Taurat, bukan malah sebaliknya untuk menghancurkan/meniadakannya. Pendirian Yesus dalam hal ini sangat jelas.
Yesus menganggap hukum Taurat sebagai ketetapan Allah yang bersifat wibawa dalam hal –hal agama; Ia melihat kebutuhan untuk menembus kepada arti batiniahnya, yang membuatnya lebih dari sekadar tuntutan hukum lahiriah; Ia tidak pernah menganggap bahwa hubungan manusia dengan Allah sekarang, dapat didasarkan pada pemeliharaan hukum Taurat karena ini digantikan oleh kerelaan Allah mengampuni manusia berlandaskan misi Yesus dan Perjanjian Lama digantikan oleh Perjanjian Baru (Mat. 26:26) dan yang baru menggenapi yang lama.[1]

Yesus memiliki tindakan tegas bahwa kebenaran hukum Taurat adalah sesuatu yang mulia, yang diberikan oleh Allah kepada umat-Nya Israel. Hukum Taurat bukanlah kutuk bagi umat Israel. Mereka menerima kutuk ketika mereka tidak setia melakukan apa yang menjadi tuntutan Hukum tersebut.
Tetapi bagaimana dengan Hukum yang disampaikan dari mulut ke mulut, dengan tradisi Lisan yang telah tumbuh bersamaan dengan hukum Taurat tertulis, yang bersisi banyak ketentuan dan peraturan hukum baru yang merupakan tafsiran dan penerapan hukum Taurat tertulis dalam kehidupan umat? Tidak bisa ada dua Taurat, sebab penyataan itu satu. Maka jadilah dipercaya bahwa tradisi Lisan itu berwibawa.[2]

Tradisi Lisan bertahan bukan karena Allah yang meneruskannya dari Musa ke Yosua dan akhirnya ke seluruh bangsa Israel dan semua orang Yahudi. Tradisi Lisan bertahan atas hasil kerja keras orang-orang yang setia meneruskannya ke setiap generasi dan ke generasi berikutnya. 

Allah tidak terlibat dalam proses penyusunan hukum tersebut. Allah tidak pernah menyuruh untuk menuliskan hukum Lisan menjadi panduan hidup mereka.
The oral Torah is the authoritative interpretation of the Written Torah. This means that the oral Law must have come from the same Divine Source as the Torah itself. That’s why in the Mishnah – which is the written form of the oral Law – The Rabbis gave us its geneology, they described how Moses got it from God, and then, how it was transmitted to the scholars who wrote it down in the Mishnah. (Taurat Lisan adalah interpretasi otoritatif dari hukum Tertulis. Ini berarti bahwa hukum Lisan pasti berasal dari Sumber Ilahi yang sama dengan Taurat itu sendiri. Itu sebabnya dalam Mishnah - yang merupakan bentuk tertulis dari hukum Lisan - Para Rabi memberi kami silsilah, mereka menggambarkan bagaimana Musa mendapatkannya dari Allah, dan kemudian, bagaimana itu ditransmisikan ke ulama yang menuliskannya dalam Mishnah). [3]
Tradisi Lisan bertumbuh dan berkembang bersamaan dengan hukum Taurat. Sumber utama tradisi Lisan ialah hukum Taurat itu sendiri, tanpanya tradisi Lisan akan lumpuh total. Hukum yang berjumlah 613 poin, terus mengalami perkembangan seiring dengan waktu. Bukan lagi ratusan melainkan ribuan hukum yang terus ditambah dan dikembangkan sesuai dengan kebutuhan yang ada. Yahudi mempunyai 613 hukum, bahkan kemudian hari, hingga tahun 200 M, bertambah lagi beribu-ribu. Itulah yang dituliskan dalam kitab Misnah dan kemudian ditambah lagi dan dikumpulkan dalam Talmud Yahudi (400 M).[4]
The Rabbis believed that their oral traditions of interpreting the Bible was an integral part of the Holy Scriptures. They believed that God gave the Torah in two parts. One part was the Written Torah, which God dictated to Moses on mount Sinai. The other part was the oral tradition, the tradition of interpretation that told Jews how to live by the Torah laws. (Para Rabi percaya bahwa tradisi Lisan mereka dalam menafsirkan Kitab Suci adalah bagian tak terpisahkan dari Kitab Suci. Mereka percaya bahwa Allah memberi Taurat dalam dua bagian. Salah satu bagian adalah Taurat Tertulis, yang Allah didikte kepada Musa di atas gunung Sinai. Bagian lain adalah tradisi Lisan, tradisi penafsiran yang mengatakan Yahudi bagaimana hidup oleh hukum Taurat) [5]
Bagi orang Yahudi khususnya orang Farisi menganggap wibawa dari hukum Taurat sama dengan tradisi Lisan. Mereka dengan ketat dan saksama melakukan detail dari hukum Tersebut hingga lupa dan menyimpang dari hukum terutama dan yang utama yaitu Kasih. Tradisi Lisan sangat sulit untuk dilepaskan dari kehidupan orang Yahudi maupun orang Farisi. Tradisi Lisan menurut mereka memiliki kewibawaan tersendiri.
Kewibawaannya bukan hanya berasal dari pengajar-pengajar yang dipandang Suci, tetapi juga dari suatu Garis penerusan tradisi yan panjang yang bermula bukan dari siapa-siapa tetapi dari Musa sendiri sebagai sumber, bukan hanya Taurat tertulis tetapi juga tradisi Lisan itu sendiri. Keduanya bersama-sama membentuk penyataan tunggal yang dengannya Israel dapat tetap menjadi umat Perjanjian Allah.[6]
Melepaskan tradisi Lisan dari sistem keagamaan mereka, bagaikan melepaskan meterai dari sebuah surat yang keduanya akan rusak bersama. Hal itu sungguh mustahil! Oleh sebab itu salah satu kesalahan dari orang Farisi yaitu meletakkan hukum Lisan (oral Law) setara dan selevel dengan hukum Taurat. Bahkan mereka mengklaim bahwa Allah juga memberikan hukum tersebut. Tentu pernyataan itu tidak memiliki dasar ayat yang jelas, dan lebih kepada penafsiran yang dipaksakan. Namun yang lebih fatal dari pernyataan tersebut ialah mengatakan bahwa tanpa tradisi Lisan maka seseorang tidak akan mengetahui cara mengaplikasikan hukum Taurat dalam dimensi kehidupan mereka.
Orang Farisi merasa lebih benar dari orang lain. Kesalahan orang lain disoroti, tetapi kesalahan sendiri tidak disadari. Mereka mengajarkan rupa-rupa hal yang baik, namun mereka sendiri tidak menjalankannya. Sebab itu Tuhan Yesus berkata: “Turutilah dan lakukanlah segala sesuatu yang mereka ajarkan kepadamu, tetapi janganlah kamu turuti perbuatan-perbuatan mereka....” (Mat. 23:3).[7]
Kegagalan orang Farisi justru sangat esensial. Mereka mengajarkan namun mereka tidak menerapkan apa yang mereka ajarkan. Memang teori tidak semudah dengan apa praktik. Namun teori pada akhirnya harus dilakukan. Jika sedemikian pentingnya posisi oral Law maka jelas bahwa mereka (orang Farisi) memiliki alasan untuk terus berpegang dan memelihara bahkan terus menambahkan jumlahnya.
Klaim bahwa perlunya hukum yang lain untuk melengkapi hukum Allah, sama saja menghina hukum-Nya. Implikasi dari eksisnya hukum Lisan ini, merupakan bukti devosi yang salah. Harusnya Firman-Nya cukup menjadi panduan dan aturan yang mengikat setiap sisi kehidupan dan dimensi kehidupan orang Yahudi. Sangat jelas bahwa orang Farisi, sama sekali tidak memberikan penghargaan yang tinggi dan ketundukan yang patuh kepada Firman-Nya. To perfect the Torah the oral tradition had to provide for a variety of transactions left without any law at all in Scripture. But that is the only the superficial aspect of how the oral Torah perfected the Written one in this context.(Untuk menyempurnakan Taurat, tradisi lisan harus menyediakan berbagai transaksi dibiarkan sama sekali tanpa hukum dalam Alkitab. Tapi hal tersebut adalah satu-satunya aspek yang dangkal mengenai bagaimana Taurat lisan menyempurnakan yang Tertulis dalam konteks ini) [8]
Siapakah manusia yang berkata bahwa pekerjaan Allah tidak sempurna? Tidak ada bukti yang sahih bahwa Allah memberikan kepada Musa 2 hukum Taurat. Di dalam keluaran pasal 24 Allah hanya memberikan kepada Musa hukum Taurat. Allah tidak memberikan dua. Asumsi bahwa Allah memberikan dua hukum seperti yang dipercayai oleh orang Farisi (walau tradisi sudah diturunkan dari generasi ke generasi) tidak benar.




Hukum Tertulis Lebih Berwibawa Daripada Hukum Lisan
            Orang Farisi adalah orang-orang yang memiliki tradisi yang berbeda dengan orang Saduki, terutama dalam hukum Taurat yakni hukum Tertulis. Di Bab dua sudah disinggung mengenai letak keduanya, bahwa hukum Lisan adalah pengembangan dari Hukum Tertulis.
Talmud pada awalnya adalah karya para Rabi (guru) yang berupa terjemahan bebas kitab Suci sekaligus komentarnya (Midrash). Komentar Kitab Suci yang lebih sistematis menyangkut segi moral dan hukum disebut Mishnah. Kemudian komentar terhadap Mishnah disebut Talmud, yang selesai dikerjakan dalam abad 5 SM. Tulisan dan pandangan para Rabi cukup memengaruhi kehidupan agama orang Yahudi. Talmud dipandang sebagai bentuk Teologi sekaligus bersifat religius.[9]

Kekhasan kaum Farisi terletak pada hukum Lisan mereka, suatu tambahan tak tertulis terhadap kitab Suci yang diklaim dapat menyediakan tafsiran yang tepat atas ajaran-ajaran suci yang tertulis.[10] Dalam hal inilah terletak perbedaan yang tajam mengenai kepercayaan akan hukum Lisan yang wibawanya dianggap sama oleh orang Farisi. Orang Farisi benar-benar mengaplikasikan ajaran-ajaran dari hukum Lisan tersebut.
The written law (Torah) was thus to be supplemented by the oral Law (the traditions of the Elders) which represented an interpretation and apllication of the Torah. Both written and oral law were to be regarded as having equal authority. (Hukum tertulis (Taurat) itu demikian harus dilengkapi oleh hukum Lisan (tradisi para Penatua) yang merepresentasikan interpretasi dan aplikasi dari Taurat. Baik hukum tertulis dan lisan yang dianggap dengan memiliki otoritas yang sama). [11] Tidak benar bahwa otoritas hukum Taurat dianggap sama dengan dengan otoritas hukum Lisan. Bagaimana mungkin wibawa Allah sama dengan wibawa manusia? Bagaimana mungkin karya Allah memiliki derajat yang sama dengan karya manusia. Allah tidak dapat disamakan dengan manusia, karena memang keduanya memiliki dimensi yang berbeda. Apa yang berikan oleh Allah yakni huku Taurat, lebih berwibawa dari pada tradisi Lisan milik nenek moyang Farisi.

            Jika dilihat proses hukum Lisan menjadi setara dengan hukum Tertulis, pada mulanya berawal dari aktivitas para Rabi Israel yang berusaha untuk memberikan terjemahan kepada hukum Tertulis dan komentar terhadap ayat-ayatnya (Midrash).
The most important collection of rabbinic literature is the Mishnah. Mishnah comes from the Hebrew root ‘shanah’ meaning “to repeat”. It signifies that which is learned by repetition and thus from memory. Before its codification by Judah the Patriarch the Mishnah was transmitted in oral form. (Koleksi yang paling penting dari literatur Rabinik adalah Mishnah. Mishnah berasal dari bahasa Ibrani root 'SháNah' yang berarti "untuk mengulangi". Ini berarti bahwa yang dipelajari oleh pengulangan dan karena itu dari ingatan. Sebelum kodifikasi oleh Patriark Yehuda Mishnah ditransmisikan dalam bentuk lisan.) [12]
Proses yang terjadi kemudian mencapai kepada puncaknya yaitu terciptalah Mishnah yang berisi komentar kitab Suci yang berisikan moral dan aturan-aturan hidup. Kemudian Mishnah berlanjut kepada Talmud karena berisikan komentar di dalamnya. Talmud menjadi baku bagi kalangan para Rabi, sehingga sangat praktis untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari orang Yahudi. Talmud merupakan sebuah pagar yang mengelilingi Taurat, yang setiap saat menjelaskan tindakan yang benar sehingga tidak ada pelanggaran terhadap hukum-hukum Allah. [13]
Midrash (Hebrew “exegesis”) a term routinely used to convey three distinct, if related, meanings. In common use, the word Midrash may refer to : (1). A distinctive process or method of interpretation. (2) a compilation of the results of that process, that is, a book that collects a set of exegeses. (3) a single unit of exegesis that uses that method, e.g., the interpretation or set of interpretations of a single biblical verse. (Midrash (Ibrani "penafsiran") istilah secara rutin digunakan untuk menyampaikan tiga yang berbeda, jika terkait, artinya. Dalam penggunaan umum, kata Midrash bisa merujuk ke: (1). Sebuah proses yang khas atau metode penafsiran. (2) kompilasi dari hasil proses, yaitu, sebuah buku yang mengumpulkan satu set tafsir. (3) satu unit penafsiran yang menggunakan metode tersebut, misalnya, interpretasi atau serangkaian penafsiran dari ayat Alkitab tunggal).[14]
Orang Farisi memiliki pendirian yang kokoh mengenai doktrin yang mereka anut yakni hukum Lisan (oral Law). Tuntutan untuk memberikan aturan-aturan main dalam menafsirkan Hukum ini menjadi sesuatu yang dikerjakan dan diawasi penerapannya. Apa yang terjadi dalam dialog dengan Yesus ialah bahwa ternyata Yesus memiliki pandangan yang cukup berbeda dari orang Farisi. Jika orang Farisi selalu mendasarkan segala sesuatu berdasarkan hukum Lisan (ajaran nenek moyang), lain halnya dengan Yesus, Dia mengklaim dengan yakin bahwa ajaran orang Farisi bukanlah ajaran dari Allah, melainkan dari manusia (para Rabi). Jika sumber ajaran orang Farisi adalah dari manusia bukan dari Allah, tentu sudah jelas bahwa tidak patut menyetarakan wibawa hukum Tertulis dengan wibawa hukum Lisan.
It was inevitable that an oral Law should develop in judaism simply because the written Law did not cover all conceivable actions whether moral or ritual. It was assumed by the rabbis that where the Torah was not specific on certain laws governing conduct there must have been an oral tradition associated with them. Some of the precepts of the Torah were clear and some were not. The Rabbis believed that if the meaning of a regulation was uncertain, it had to be clarified. If God made his will known in the Torah, there certainly was an exact way to obey it, the rabbis viewed their task as one of expanding the interpretation of the written Law to meet the changing circumstances of life. Thus the oral Law was in a constant state of development. It was adapted, modified, and expanded from time to time to meet the varying practical needs of successive ages, and finally the tradition itself took a written form.  (Tidak bisa dihindari bahwa hukum Lisan harus mengembangkan dalam Yudaisme hanya karena Hukum Tertulis tidak mencakup semua tindakan yang mungkin apakah moral atau ritual. Diasumsikan oleh para Rabi yang mana Taurat tidak spesifik pada hukum-hukum tertentu yang mengatur perilaku pasti ada suatu tradisi Lisan yang terkait dengan mereka. Beberapa ajaran Taurat yang jelas dan ada yang tidak. Para Rabi percaya bahwa jika arti dari peraturan itu pasti, itu harus diklarifikasi. Jika Allah membuat kehendaknya diketahui dalam Taurat, ada pasti cara yang tepat untuk menaatinya, Rabi dilihat tugas mereka sebagai salah satu memperluas penafsiran hukum Tertulis untuk memenuhi perubahan keadaan hidup. Dengan demikian hukum Lisan dalam keadaan konstan pembangunan. Itu disesuaikan, diubah, dan berkembang dari waktu ke waktu untuk memenuhi kebutuhan praktis berbagai usia berturut-turut, dan akhirnya tradisi itu sendiri mengambil bentuk tertulis).[15]
Yesus menyuarakan dengan begitu lantang bahwa ajaran yang mereka lakukan adalah dari manusia (nenek moyang) bukan dari sang Pencipta yaitu pemberi hukum. Walau tampaknya mereka adalah orang yang beribadah, namun tidak pernah tunduk kepada Allah yakni tunduk kepada otoritas penuh dari Hukum Tertulis. (Mrk. 7:7-9). Ketika orang Farisi berusaha memegang hukum Lisan, maka tentu mereka tidak sedang meninggikan otoritas hukum Tertulis.
Malahan Yesus berkata bahwa mereka sedang berusaha mengesampingkan Firman Allah. Jika mereka berusaha dengan cara demikian bukankah mereka sedang berusaha menyingkirkan Allah? Seseorang yang taat kepada Allah, maka pastilah dia akan taat kepada Firman-Nya, sebaliknya jika ketidaktaatan terhadap Firman-Nya, maka hal itu membuktikan dengan jelas bahwa sebenarnya dia tidak taat kepada Allah.
The oral Law in the form of oral traditions was eventually put into writing after the Roman destruction of the Second Temple in 70 AD. These written oral traditions or oral Law can now be found in such Jewish writings as the “Talmud,” “Midrash”, or “Mishnah”. Thus, for the Jews who believe this, there is both a written and an oral Torah which they believe have equally binding legal force. (hukum Lisan dalam bentuk tradisi Lisan akhirnya dimasukkan ke dalam tulisan setelah kehancuran Romawi Bait Suci Kedua di 70 Masehi. Tradisi Lisan tertulis atau hukum Lisan sekarang dapat ditemukan dalam tulisan-tulisan Yahudi seperti "Talmud," "Midrash", atau "Mishnah". Dengan demikian, untuk orang-orang Yahudi yang percaya ini ada kedua kekuatan hukum mengikat sama tertulis dan Taurat Lisan yang mereka percaya memiliki).[16]
Jika kita perhatikan argumentasi Yesus terhadap orang-orang Farisi, maka tampak secara eksplisit bahwa orang Farisi sebenarnya mengibarkan bendera yang lain yang bukan hukum Taurat (hukum Tertulis). Tentu pendapat Yesus didasarkan atas fakta yang valid dan tidak basa basi. Yesus tumbuh bersama orang Yahudi pada umumnya, dibesarkan dengan hukum Taurat. Tidak asing bagi Yesus bahwa tujuan final dari memercayai hukum Lisan ialah bukan menegakkan kebenaran hukum Allah, melainkan hukum/aturan manusia. Orang-orang Farisi memercayai peraturan-peraturan tradisi secara mendetail dan saksama, sedangkan golongan Saduki hanya menerima hukum yang tertulis saja. Golongan Farisi mengakui adanya predestinasi, sedangkan golongan Saduki percaya adanya kehendak bebas.[17]
Jika tradisi Lisan (oral Law) adalah Firman Allah atau setara dengan hukum Tertulis (written Law), mengapa tidak ada bukti yang sahih dalam Injil sinoptik atau dalam Perjanjian Lama? Atau mengapa setidaknya Yesus dalam pelayanan-Nya di bumi setidaknya mengakui kebenaran hukum Lisan ini? Talmud – (Ibr. ajaran). Kumpulan tradisi Yahudi yang terdiri dari Mishnah (pengajaran lisan) dan Gemara (diskusi mengenai Mishnah). Ada dua versi, yakni Talmud Palestina dan Talmud Babilonia yang lebih panjang. Keduanya selesai disusun selama abad ke-5 tetapi memuat bahan-bahan yang berasal dari waktu yang jauh sebelumnya.[18]
Misnah: hukum Rabinik seperti yang dikumpulkan dan diatur menurut golongan sekitar 200 M. Misnah ini merupakan puncak dari tradisi Lisan yang berabad-abad. Dikerjakan di Palestina, Misnah menjadi dasar dari Talmud Palestina maupun Babel. Talmud itu adalah komentar atas Misnah dan di dalamnya telah diadakan beberapa perubahan (modifikasi). Hukum-hukumnya mencakup masalah-masalah keagamaan; sosial dan ekonomi. Seluruhnya berjumlah enam puluh tiga traktat. Yang paling banyak dikutip dalam komentar-komentar PB adalah “pirhe abith, karena menerangkan Yudaisme pada zaman PB. [19]
Keyakinan orang-orang Farisi ialah mereka percaya bahwa bukan saja hukum Taurat yang diturunkan kepada Musa, melainkan juga hukum Lisan. Dua hukum ini bagi mereka saling melengkapi satu dengan yang lain.  David L. Turner berkata :
The Pharisees believed that God had revealed to Moses not only the written Law but also the traditional oral Law that explained and applied the written Law. This oral Law was handed down from generation to generation and could be deduced from the written Law if it was properly interpreted. This oral tradition was eventually redacted in written form as the Mishnah by the Rabbi Judah ha – Nasi (the Patriarch) around 200BCE. (Orang-orang Farisi percaya bahwa Allah telah mengungkapkan pada Musa tidak hanya Hukum yang Tertulis tetapi juga hukum tradisi Lisan yang menjelaskan dan mengaplikasikan hukum Tertulis. hukum Lisan ini diserahkan turun-temurun dari generasi ke generasi dan dapat dideduksi dari hukum Tertulis jika diinterpretasikan dengan tepat. Tradisi Lisan ini pada akhirnya dikumpulkan dalam bentuk tertulis seperti Mishnah oleh Rabi Judah – Nasi (Patriakh) sekitar tahun 200 SM.) [20]
Kepercayaan ini yang membuat orang-orang Farisi merasa yakin bahwa mereka berdiri pada posisi yang benar. Mereka tidak akan pernah menemukan bahwa mereka sudah berada di jalan yang salah, sebaliknya mereka merasa bahwa mereka sedang membela Allah dengan berpegang teguh kepada hukum Lisan. Hukum Lisan jelas diturunkan dari generasi ke generasi sehigga terbukti bahwa orang-orang Yahudi sudah terikat kepada hukum tersebut.
Mishnah dan Gemara bersama-sama biasa disebut sebagai Talmud. Talmud Yerusalem yang memuat Mishnah beserta himpunan Gemara dari Mazhab-mazhab Palestina telah selesai kira-kira tahun 300 M; Talmud dari Babilonia yang jauh lebih besar terus bertumbuh selama dua abad lagi, sebelum diciutkan dalam bentuk tertulis kira-kira tahun 500.[21]
Penafsiran terhadap teks adalah wajar, karena kepentingan ini cukup mendesak secara berjemaah. Orang Yahudi perlu memahami arti ayat-ayat yang firman oleh Allah bagi umat-Nya, untuk melihat secara langsung korelasinya dengan hidup sehari-hari mereka. Membuat buku tafsiran juga adalah wajar. Namun batas kewajaran penafsiran sudah melampaui batasnya. Hukum yang sudah dibukukan (Talmud) mencapai kulminasinya yaitu menjadi ‘setara’ dengan hukum Tertulis.
Implikasi dari dari kesetaraan wibawa hukum Lisan ialah bahwa pada akhirnya perkataan Allah atau Sabda TUHAN, dianggap sama dengan perkataan manusia. Tentu ini tampak serius, karena bagaimana mungkin perkataan manusia bisa berubah menjadi setara dengan perkataan Allah? Di dalam Yesaya 55:8-11 berkata bahwa “rancangan TUHAN bukanlah rancangan manusia” bahkan jarak yang terbentang yang memisahkan antara manusia dengan Allah diibaratkan sejauh langit dari bumi. Bagaimana mungkin wibawa perkataan manusia (hukum Lisan) lebih tinggi dari wibawa perkataan Allah (hukum Tertulis)?
Inkripsi Yahudi yang lain ialah Talmud. Perkataan ‘Talmud’ bermakna pengajaran atau ajaran. Karya-karya yang disebut begitu adalah hasil kerja beberapa penganut mazhab Yahudi. Isinya mengenai kelakuan.Para ahli mendakwa mereka memberi kepada Taurat Musa ‘pagar’ supaya ditepati dengan baik. Talmud-talmud itu sebenarnya adalah hasil beberapa angkatan ahli. Oleh karena tempo menyiapkan lama, bahan-bahan itu disampaikan oleh guru secara lisan saja lalu dihapalkan oleh murid. Di dalamnya terkandung diskusi-diskusi, keterangan-keterangan, tafsiran serta penerapan dan contoh yang diberikan oleh ahli-ahli dari zaman dahulu dan terus bertambah banyak.[22]
Teks kitab Suci memang harus ditafsirkan sehingga memudahkan pembaca atau umat dalam menginterpretasikan ayat tertentu dengan demikian mudah untuk dipraktikkan dalam kehiduapan sosial maupun dalam liturgi-liturgi orang percaya. Namun yang menjadi problematika yang cukup memberikan pengaruh penting ialah bahwa kitab Suci jelas memiliki perbedaan yang krusial dan signifikan dengan penjelasan dari kitab Suci.
Para ahli yang terjun dalam menafsirkan hukum Tertulis menjadi kunci untuk menentukan sikap dalam memperlakukan Hukum tersebut dalam kehidupan. Yesus bertindak dengan bijaksana, bahwa kedatangan-Nya ke dunia jelas ada kaitan dengan hukum Taurat, sebab tentang Dia tertulis jelas di dalamnya. Yesus memberikan simpulan yang tegas bahwa Dia bukan untuk menyirnakan hukum Taurat, sebaliknya Yesus menghormati wibawanya sehingga jelas Dia ingin menggenapi Hukum tersebut.
Tradisi Lisan tidak menggantikan hukum Tertulis (written Law)
Orang Farisi dan orang Yahudi sama-sama mewarisi tradisi Lisan dan menghidupinya dan menjadi gaya hidup yang sudah diterapkan. Memasukkan ajaran dan menyebarluaskannya dalam setiap aspek kehidupan mereka baik hidup secara personal, kelompok (bermasyarakat) maupun berbangsa. Mereka tidak dapat melepaskan hukum Taurat  dan membiarkannya berjalan sendiri. Hukum Taurat adalah sesuatu yang harus diangkat ke permukaan, dan didistribusikan kepada seluruh orang Israel.
The Rabbis believed that their oral traditions of interpreting the Bible was an integral part of the Holy Scriptures. They believed that God gave the Torah in two parts. One part was the Written Torah, which God dictated to Moses on mount Sinai. The other part was the oral tradition, the tradition of interpretation that told Jews how to live by the Torah laws. (Para Rabi percaya bahwa tradisi Lisan mereka dalam menafsirkan kitab Suci adalah bagian tak terpisahkan dari Kitab Suci. Mereka percaya bahwa Allah memberi Taurat dalam dua bagian. Salah satu bagian adalah Tertulis Taurat, yang Allah didikte kepada Musa di atas gunung Sinai. Bagian lain adalah tradisi Lisan, tradisi penafsiran yang mengatakan Yahudi bagaimana hidup oleh hukum Taurat) .[23]
Tradisi Lisan, merupakan tradisi yang sudah terjadi dalam proses yang panjang. Namun konflik internal yang terjadi antara Yesus dan golongan orang Farisi dan Yahudi membuktikan bahwa ternyata, bukan Taurat Musa yang mereka aplikasikan ke dalam hidup keagamaan mereka.
Yesus menyebutkan bahwa ajaran mereka berasal dari nenek moyang mereka. Yesus tidak sedang mengklaim bahwa ajaran hukum Taurat Musa adalah sesuatu yang menyimpang. Dengan jelas Dia berkata bahwa Dia datang untuk menggenapinya, bukan untuk mengabaikannya. The Pharisees believed that Moses received this tradition at Sinai, and that is was handed down in oral fashion along with the written Torah, with which it shared an equal authority. (Orang-orang Farisi percaya bahwa Musa menerima tradisi ini di Sinai, dan yang diturunkan dalam cara lisan bersama dengan taurat Tertulis dengan yang berbagi otoritas yang setara) [24] Perbedaan yang paling mendasar mengenai otoritas antara tradisi Lisan dan huku Tertulis ialah bahwa Allah yang langsung memberikannya kepada Musa di atas gunung Sinai. Sedangkan tradisi berkembang dari hasil transmisi dari generasi ke generasi oleh karya para rabi hingga orang-orang Farisi.
            Apa yang ditentang oleh Yesus bukanlah Firman Allah, namun tafsiran mereka terhadap hukum Tertulis (hukum Taurat). Para Rabi terdahulu berusaha untuk menerjemahkan hukum Taurat, sehingga memiliki, tafsiran-tafsiran yang mudah dimengerti. Apakah dengan menafsirkan hukum Taurat, adalah sesuatu yang salah, dengan demikian Yesus menentang mereka? Bukan! Masalah krusial yang terjadi, bukanlah pada soal tafsiran nenek moyang mereka. Duduk permasalahannya terletak di dalam sikap mereka yang menjadikan tradisi Lisan (oral Law) menjadi berwibawa.
The oral Law is a legal commentary on the Torah, explaining how its commandments are to be carried out. Common sense suggests that some sort of oral tradition was always needed to accompany the written Law, because the Torah alone, even with its 613 commandments, is an insufficient guide to Jewish life. For example, the fourth of the Ten Commandments, ordains, "Remember the Sabbath day to make it holy" (Exodus 20:8). (hukum Lisan adalah komentar yang sah terhadap kitab Taurat, yang menjelaskan bagaimana perintah-perintah yang akan dilakukan. Akal sehat menunjukkan bahwa semacam tradisi Lisan selalu diperlukan untuk menemani hukum Tertulis, karena Taurat saja, bahkan dengan 613 perintah, adalah panduan yang cukup untuk kehidupan Yahudi. Sebagai contoh, keempat dari Sepuluh Perintah Allah, menahbiskan, "Ingatlah hari Sabat untuk membuatnya suci" (Keluaran 20: 8).[25]
Bagi orang Yahudi, tradisi Lisan dianggap sah dan tidak dapat dipisahkan dari hukum Taurat. Penjelasan-penjelasan dari hukum Taurat berada dalam tradisi Lisan. Bagi mereka, arti dari hukum Taurat tertuang dan terjabarkan di tradisi Lisan yang mereka kembangkan.
Without an oral tradition, some of the Torah's laws would be incomprehensible. In the Shema's first paragraph, the Bible instructs: "And these words which I command you this day shall be upon your heart. And you shall teach them diligently to your children, and you shall talk of them when you sit in your house, when you walk on the road, when you lie down and when you rise up. And you shall bind them for a sign upon your hand, and they shall be for frontlets between your eyes. (Tanpa tradisi Lisan, beberapa dari hukum kitab Taurat itu akan tidak dapat dimengerti. Dalam paragraf pertama Shema, Alkitab memerintahkan: "Dan kata-kata ini, yang kusampaikan kepadamu pada hari ini haruslah engkau perhatikan Dan Anda akan mengajar mereka rajin kepada anak-anak Anda, dan Anda akan berbicara dari mereka ketika Anda duduk di rumah Anda, kapan. Anda berjalan di jalan, saat Anda berbaring dan ketika Anda bangkit. dan Anda akan mengikat mereka untuk tanda tangan pada Anda, dan mereka akan menjadi lambang antara mata Anda. ) [26]
Sikap orang Yahudi dan orang Farisi ini jika dianalogikan dengan orang Kristen yaitu bahwa Alkitab tidak akan lengkap tanpa tafsiran dari Alkitab itu sendiri. Ezra sebagai ahli kitab melakukan interpretasi terhadap hukum Taurat, karena penting supaya umat mengerti maksud dan tujuan atau makna di dalam teks yang akan dibacakan. Namun bukan berarti interpretasi terhadap hukum Taurat adalah sama dengan atau sejajar dengan hukum Taurat itu sendiri. Dua keadaan itu adalah berbeda satu dengan yang lain.
Tradisi Lisan menjadi setara dengan hukum Taurat Musa (written Law). Bagi orang Farisi, tradisi Lisan, menjadi sesuatu yang mengikat dan menjadi persoalan yang serius. Tradisi Lisan seolah-olah adalah firman Allah. Namun kenyataannya ialah bahwa Alkitab tidak mencatat bahwa Yesus menggenapi salah satu hukum dari tradisi Lisan mereka. Yesus tidak menyebutkan, bahwa tujuan kedatangan-Nya ke bumi ini adalah sebagai bagian dari kegenapan apa yang terdapat dalam tradisi Lisan (ajaran nenek moyang mereka) melainkan Yesus berkata bahwa tentang Dia tertulis di kitab Taurat Musa dan kitab para nabi dan juga kitab mazmur. Esensi dari hukum Tertulis tidak akan pernah berubah, esensi dari tradisi Lisan juga demikian, dia tidak akan pernah menjadi berwibawa setara dengan Hukum Musa
Tradisi Lisan Bukanlah Inspirasi Dari Allah
Rasul Paulus dalam suratnya yang ditujukan kepada Timotius berkata bahwa “Segala Tulisan diilhamkan oleh Allah......” (2 Tim. 3:16), gagasan Paulus bahwa tulisan/writings bersumber dari Allah. Kata Yunani diilhamkan memakai istilah Yunani “Theopneustos” pemikiran ini menunjuk kepada wibawa Kitab Suci yang mana Roh Allah berperan untuk mengilhami para penulis Alkitab.
Orang Yahudi percaya bahwa hukum Lisan diturunkan oleh Allah bersama-sama dengan hukum Tertulis. Alkitab tidak memberikan bukti-bukti yang sahih mengenai Otoritas dari hukum Lisan. Penulis Injil Sinoptik hanya mencatat beberapa diskusi antara Yesus dengan orang-orang Yahudi (Mat. 15:3). Yesus mengamati bahwa orang Yahudi adalah pelanggar hukum Taurat (hukum Allah) demi menegakkan hukum nenek moyang mereka (hukum Lisan). Ada sebuah kisah tentang seorang Kafir yang ingin belajar Taurat:
Once a heathen came to Shammai and asked, “how many Torahs do the Jews have?” Shammai answered, “we have two Torahs- the Written Law, which is contained in the scroll of the Torah, and the Oral Law, which Moshe our teacher received from God at mount Sinai. Moshe in turn taught the oral Law to Yehoshua, and Yehoshua taught it to the elders, and thus it was handed down from one generation to the next until it reached us.” The stranger said, “i would like to study the Torah and become a Jew. But i will believe only in the Written Law, for i can read that myself. I will not accept the oral Law since there is no way for me to see if your teachings, handed down by word of mouth, are correct. Therefore, teach me only the written Law. Shammi taught, “How can a man who does not want to believe in the teachings of the Sages become a Jew? A man who sets such conditions is not worthy of studying Torah at all.” (Satu kali, kafir datang ke Shammai dan bertanya, "berapa banyak Taurat tidak orang-orang Yahudi?" Shammai menjawab, "kita memiliki dua Torahs- hukum Tertulis, yang terkandung dalam kitab Taurat, dan hukum Lisan, yang Musa guru kami terima dari Allah di gunung Sinai. Moshe pada akhirnya mengajarkan hukum Lisan kepada Yehoshua, dan Yehoshua mengajarkannya kepada para tua-tua, dan dengan demikian hal itu diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya sampai mencapai kita. "Orang asing itu berkata," saya ingin mempelajari Taurat dan menjadi seorang Yahudi. Tetapi saya akan percaya hanya dalam hukum Tertulis, untuk saya bisa membaca bahwa diriku. Saya tidak akan menerima hukum Lisan karena tidak ada cara bagi saya untuk melihat apakah ajaran Anda, diturunkan dari mulut ke mulut, benar. Oleh karena itu, mengajari saya hanya hukum Tertulis. Shammi diajarkan, "Bagaimana bisa seorang pria yang tidak mau percaya pada ajaran orang bijak menjadi seorang Yahudi? Seorang pria yang menetapkan kondisi seperti ini tidak layak belajar Taurat sama sekali) [27]
Dari kisah ini tampak bahwa hukum Lisan memang diajarkan oleh para rabi kepada generasi penerus mereka. Kalau melihat sudut pandang dari Yesus ialah bahwa Dia bahkan tidak pernah mengonfirmasi bahwa hukum Lisan adalah sesuatu yang ilahi yang perlu untuk dijadikan pedoman hidup sama seperti hukum Taurat. Yesus dalam sebuah kesempatan memberikan afirmasi mengenai tulisan nabi Yesaya pasal 11. Yesus menggenapi apa yang disampaikan oleh Yesaya. Yesus dalam sebuah kesempatan memberi jawab kepada seorang ahli Taurat bahwa pada kedua hukum (mengasihi Tuhan dan sesama) tersebutlah hukum Taurat dan Kitab pada Nabi terkandung.
Yesus jelas tidak menambahi wibawa dari hukum Taurat, sebaliknya Yesus menandaskan bahwa Kitab para nabi dan hukum Taurat adalah bersumber dari Allah (Mat. 5:17; 7:12; 22:40; Luk. 16:16; 24:44; Yoh. 1:45). Tradisi Lisan merupakan penjelasan terhadap hukum Tertulis, sehingga lebih memudahkan  orang-orang Yahudi dalam menerapkannya.
Tradisi Lisan bukanlah Perintah Allah
Yesus tidak pernah mendasarkan ajaran-Nya dari tradisi Lisan orang Farisi. Justru Yesus mengecam dengan kerasheathen bahwa ajaran yang mereka ajarkan adalah perintah manusia bukan perintah Allah. (Mat. 15:9).
Di samping hukum Taurat yang tertulis, para ahli Taurat dan orang Farisi memelihara tradisi Lisan (Yunani: parodosis). Tradisi ini terdiri dari sejumlah besar peraturan yang oleh ahli-ahli Taurat disimpulkan dari hukum Taurat, dengan maksud agar hukum Taurat dapat dilaksanakan secara lebih teliti (tradisi itu dipandang sebagai pagar di sekitar Taurat, untuk menjamin pelaksanaan Taurat). Peraturan tambahan yang sering bertele-tele itu umumnya mendorong ke arah pelaksanaan hukum Taurat secara harfiah, tanpa terlalu memerhatikan apa sesungguhnya maksud hukum itu.[28]
Jelaslah Yesus sangat membedakan antara hukum Taurat dengan adat istiadat (tradisi Lisan). Yesus sama sekali tidak menaruh simpati kepada sikap orang-orang Farisi yang berusaha menyingkirkan penerapan hukum Taurat dibandingkan dengan tradisi Lisan. Jika seandainya tradisi Lisan adalah perintah Allah, tentu Yesus akan berjalan ke arah sana. Pengakuan Yesus bahwa Dia tidak akan mengabaikan satu iota dari Taurat menjadi kunci komitmen-Nya.
            Namun ternyata orang Yahudi dan orang Farisi sibuk dengan perintah manusia, yaitu perintah yang diajarkan kepada mereka secara turun-temurun. Jika mereka berpegang adat istiadat sedemikian ketat dan serius, bagaimanakah nasib perintah Allah? Bukankah mereka harusnya lebih menaati perintah Tuhan, namun kenyataan tidak. Mereka menyibukkan jam-jam mereka dengan menerapkan tradisi Lisan ke dalam seluruh aspek kehiduan mereka.
Mereka akan sangat sulit untuk melihat kebutuhan manusia demi keselamatan mereka, dibanding ketegasan tradisi Lisan. Bagi orang Farisi, menegakkan tradisi Lisan serta mengibarkannya bagi semua orang Yahudi tampaknya menjadi sasaran utama mereka. Di sisi lain, perintah Allah tidak menjadi sentral dalam kehidupan mereka. The Jews actually paid far more heed to a system of teaching and practice known as “the tradition of the elders”or“the oral Law” (Orang-orang Yahudi benar-benar memerhatikan jauh lebih memedulikan sistem pengajaran dan perlakuan yang disebut dengan "tradisi istiadat nenek moyang" atau "Hukum lisan").[29]
Jika seandainya ajaran manusia yang lebih diutamakan dan dijadikan panduan hidup yang benar, maka apakah manfaat Firman Allah? Paulus pernah berkta bahwa manusia harus lebih taat kepada Allah daripada taat kepada manusia (Kis. 5:29) Ketaatan terhadap Allah harus melebihi ketaatan terhadap institusi yang dibangun oleh manusia. Namun jika memang perintah itu bersumber dari Allah dan memang merupakan anjuran dari Dia, maka semua manusia harus menaati dan harus tunduk terhadap perintah tersebut. Namun karena esensi yang mendasar dari tradisi Lisan ialah hasil buatan tangan manusia, ataupun hasil rumusan manusia, maka pada dasarnya tradisi tersebut bukanlah keharusan yang mesti dilaksanakan. Walau perintah dalam tradisi Lisan itu bermanfaat dan penting bagi kehidupan, bahkan mumpuni dalam mengatur norma-norma etika hidup yang baik, namun hal tersebut tidak dapat dikatakan bahwa itu adalah perintah Allah.
Tradisi Lisan Tidak Melengkapi Hukum Taurat
Defini tradisi Lisan tidak melengkapi hukum Taurat ialah, bahwa hukum Taurat itu sudah lengkap. Tidaklah lengkap jika adanya tradisi Lisan. Implikasi bahwa tradisi Lisan melengkapi hukum Taurat ialah bahwa keduanya saling membutuhkan. Orang Farisi memercayai bahwa hukum Tertulis dan hukum Lisan (tradisi para pendahulu) diberikan satu paket, artinya Musa menerima dua hukum Taurat. The Pharisees believed strongly that the Torah affected the entirely of human existence, and they sought to develop rules for every area of human life based on the Torah. (Orang-orang Farisi meyakini dengan kuat bahwa Taurat memengaruhi sepenuhnya keberadaan manusia, dan mereka berusaha mengembangkan aturan untuk setiap bidang kehidupan manusia berdasarkan Taurat).[30] Orang Farisi sangat percaya bahwa tradisi Lisan memiliki kaitan langsung dengan seluruh aspek kehidupan manusia. Kepercayaan orang Farisi berakar kuat terhadap tradisi para Rabi terdahulu.
The Pharisees believed that the written and oral Torah came directly from God and were therefore valid and binding. In accordance with the Torah, the Pharisees began to codify Halakha (the Law), insisting upon its strict observance. However, they encourage debate among scholars regarding the finer points of the Law (Orang-orang Farisi percaya bahwa Taurat tertulis dan lisan datang langsung dari Allah dan karena itu berlaku dan mengikat. Sejalan dengan Taurat, orang-orang Farisi menyusun Halakha (hukum), bersikukuh pada ketaatan yang ketat. Namun, mereka mendorong debat antar para ahli mengenai poin-poin penting dari Hukum). [31]
Orang-orang Farisi menerapkan dual hukum karena mereka menerima hukum Taurat dalam dua bentuk yakni tertulis dan lisan (written Law and oral Law). Di bab II peneliti menyajikn data bahwa tanpa tradisi Lisan, maka Taurat tidak akan lengkap. Namun hal yang mendasar yang jadi pertimbangan dari peneliti ialah bahwa tidak disebutkan di dalam Alkitab bahwa tanpa tradisi Lisan maka hukum Taurat tidak lengkap. Tidak ada catatatan selanjutnya dari Alkitab bahwa Musa memang menerima tradisi Lisan.
Finally, an oral Law was needed to mitigate certain categorical Torah laws that would have caused grave problems if carried out literally. The Written Law, for example, demands an "eye for an eye" (Exodus 21:24). Did this imply that if one person accidentally blinded another, he should be blinded in return? That seems to be the Torah's wish. But the Oral Law explains that the verse must be understood as requiring monetary compensation: the value of an eye is what must be paid. (Akhirnya, hukum Lisan diperlukan untuk mengatasi hukum Taurat tertentu kategorikal yang akan menyebabkan masalah serius jika dilakukan harafiah. Hukum Tertulis, misalnya, menuntut "mata ganti mata" (Keluaran 21:24). Apakah ini berarti bahwa jika satu orang sengaja dibutakan lain, ia harus dibutakan balasannya? Yang tampaknya menjadi keinginan Taurat itu. Tapi hukum Lisan menjelaskan bahwa ayat tersebut harus dipahami sebagai membutuhkan kompensasi dalam bentuk uang: nilai mata adalah apa yang harus dibayar.) [32]
Jika hukum Taurat tidak lengkap mengapa Allah hanya memberikan satu Taurat? Apakah tradisi Lisan yakni karya para Rabi dan guru spiritual orang Yahudi yang pada akhirnya diteruskan dan dikembangkan oleh orang Farisi adalah ketetapan Allah? tntu tidak!
Anyone who has ever tried to learn the Scriptures alone knows that they are a closed book, full of confusing and difficult-to-understand statements. The Torah is generally briefly worded, and lacks detailed directions. Obviously, commentary is necessary. This commentary is the Oral Tradition, also known as the Oral Law, or the oral Torah. The Written Bible is completely incomprehensible without the Oral Tradition. (Siapa pun yang pernah mencoba untuk mempelajari Alkitab sendiri tahu bahwa mereka adalah kitab tertutup, penuh pernyataan membingungkan dan sulit dipahami. Taurat umumnya bernada singkat, dan tidak memiliki rinci arah. Jelaslah, komentar diperlukan. Komentar ini adalah tradisi Lisan, juga dikenal sebagai hukum Lisan, atau taurat Lisan. Tertulis Alkitab adalah benar-benar tidak bisa dimengerti tanpa tradisi Lisan). [33]
Pernyataan eksplisit ini membuktikan dua hal, pertama bahwa oleh karena Alkitab membingungkan dan tidak detail, maka peran komentari sangat diperlukan. Kedua, bahwa tradisi Lisan membantu memberikan pemahaman terhadap hukum Taurat.
            Interpretasi itu memang diperlukan untuk memahami arti teks Kitab Suci, namun interpretasi sifatnya hanya membantu memberikan penjelasan, namun interpretasi bukanlah firman Allah. esensinya sangat berbeda antara teks dan interpretasi. Anggapan bahwa tradisi Lisan hanya dimengerti jika ada peran tradisi Lisan, tidaklah benar. Ketika Allah berfirman kepada orang Israel, maka Allah ingin umat-Nya melakukan kehendak-Nya. Hal ini membuktikan bahwa hal tersebut potensial untuk dilakukan.
The oral Torah is needed in order to maintain the context of the Written Torah. It therefore contains much more information than the Written Torah. The Written Torah needs the oral Torah to make certain that the correct meaning is conveyed and understood. (Taurat Lisan diperlukan untuk mempertahankan konteks taurat Tertulis. Oleh karena itu berisi informasi jauh lebih banyak daripada taurat Tertulis. Taurat Tertulis membutuhkan taurat Lisan untuk memastikan bahwa arti yang benar disampaikan dan dipahami.) [34] 
Praduga berlebihan yang diberikan terhadap eksistensi hukum Taurat yang tidak akan dapat dimengerti tanpa tradisi Lisan sangatlah tidak bijaksana. Alasan yang mendasar ialah bahwa Allah akan mengajar umat-Nya mengenai hukum-Nya.
Tentu Allah akan menerangi hati mereka untuk dapat menerapkan firman-Nya dalam kehidupan mereka. Pharisees believed some significant things were wrong in Israel, and their solution as a closer adherence not just to the Mosaic law but to the traditions of the Elders, a whole series. (Orang Farisi percaya beberapa hal yang signifikan keliru di Israel, dan solusi mereka sebagai kepatuhan terhadap lebih dekat tidak hanya untuk hukum Musa tetapi tradisi penatua, keseluruhan rangkaian.).[35] Orang Farisi boleh berkata bahwa ada yang kekeliruan yang terjadi bagi masyarakat orang Yahudi. Sehingga pendekatan tidak dilakukan hanya terhadap hukum Tertulis namun juga tradisi Lisan.





BAB V
PENUTUP

Simpulan




[1]Donal, Guthrie. Teologi Perjanjian Baru 2 (Jakarta: BPK, 2008) 340.
[2]D.S, Russel. Penyingkapan Ilahi  (Jakarta: Gunung Mulia, 2007)  86.
[3]Harry, Gersh. Mishnah: The oral Law (New Jersey : Behrman House, 1984) 12.
[4]Cyrellus, Simanjuntak.  Pendidik, Misionaris, Dan Motivator (Jakarta: Gunung Mulia, 2008) 289.
[5]Stephen, M. Wylen. The Seventy Faces of Torah: The Jewish Way of Reading the Sacred Scriptures (New Jersey: Paulist Press, 2005) 29.
[6]Ibid.
[7]Andar, Ismail. Selamat Pagi Tuhan  (Jakarta: Gunung Mulia, 2008 ) 39.
[8]Jacob Neusner. The perfect Torah [electronic resource] (Netherlands: Brill Leiden, 2003)  2.
[9]Jacobus, Tarigan. Religiositas, agama dan Gereja Katolik (Yogykarta:Kanisius, 2006 ) 42.
[10]Michael Wise, Martin Abegg J.R., Edward Cook. Naskah Laut Mati (Jakarta:Serambi Ilmu Semesta: ,2005) 33.
[11]Alister E. McGrath. Christianity: An Introduction (UK: Blackwell Publishing, 2006) 13.
[12]Watson E. Mills,Roger. Aubrey Bullard. Mercer Dictionary of the Bible (Georgia : Mercer University Press, 1997) 732.
[13]David, W. Shenk. Ilah-ilah Global (Yogyakarta: Kanisius,2007) 270.
[14]J, Christopher Garrison. The Judaism of Jesus: The Messiah's Redemption of the Jews (London: Routledge, 2004 ) 87.
[15]Watson, E. Mills,Roger Aubrey Bullard. Mercer Dictionary of the Bible (Georgia : Mercer University Press, 1997) 732.
[16]J, Christopher Garrison. The Judaism of Jesus: The Messiah's Redemption of the Jews (Bloomington: WestBow Press, 2014 ) 165.
[17]William, Barclay. Pemahaman Alkitab Setiap Hari  Kitab Kisah Para Rasul (Jakarta:BPK, 2007)  247.
[18]Gerald, O'C, SJ. & Edward G Farrugia, SJ..Kamus Teologi. (Yogyakarta: Kanisius, 1996)  311.
[19]W, R.F.Browning. Kamus Alkitab A Dictionary of The Bible (Jakarta: Gunung Mulia, 2009) 273.
[20]David, L. Turner. Matthew  Baker Exegetical Commentary On The New Testament (Grand Rapids: Baker Pubishing Group, 2008)  379.
[21]Bruce, F.F..Dokumen-dokumen Perjanjian Baru (Jakarta: BPK, tanpa tahun)  100.
[22]Muhammad, Alexander. Yakjuj & Makjuj: Bencana di Sebalik Gunung (Batu Caves Selangor: BPK, 2009)  21 -22.
[23]Stephen, M. Wylen. The Seventy Faces of Torah: The Jewish Way of Reading the Sacred Scriptures (New Jersey: Paulist Press, 2005) 29.
[24]J. Patrick Mullen. Dining with Pharisees (Minnesota: Liturgical Press, 2004) 65.
[26]Ibid.
[27]Yochebed, Segel. Our Sages Showed the Way (New York:Wipf & Stock Publishers, 2015) 72-73.
[28]Martin, Harun. Inilah Injil Yesus Kristus (Yogykarta:Kanisius, 2000) 166.
[29]Steve Atkerson. House Church - Simple, Strategic, Scriptural (Georgia: NTRF, 2005) 20.
[30]Catherine Cory, Michael Hollerich. Christian Theological Tradition (London : Routledge, 2009) 84.
[31]Richard D Bank. The Everything Jewish History and Heritage Book (Massauchusetts : Adams Media, 2003)147.
[32]Emil L. Fackenheim. What is Judaism?: An Interpretation for the Present Age (New York:Summit Books, 1987) 43. (https://www.jewishvirtuallibrary.org/jsource/Judaism/talmud_&_mishna.html.diundung tgl  23 September 2015)

[34]Ibid.
[35]Ben Witherington, III. On the Road with Jesus: Teaching and Healing (Nashville :Abingdon Press, 2012) no page.

0 Response to "HUKUM TAURAT (WRITTEN LAW) VS HUKUM LISAN (ORAL LAW)"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel