KRISTOLOGI INJIL-INJIL SINOPTIK






PENDAHULUAN

Perjanjian Baru ditulis oleh para pengikut Yesus yang percaya kepadaNya.  Fakta ini sangat jelas terlihat dalam seluruh nafas tulisan Perjanjian Baru.  Karena itu sajian sistematis tentang pribadi Yesus dalam Perjanjian Baru adalah sama dengan menyajikan secara sistematis kepercayaan para penulis Perjanjian Baru.

Sejak abad ke 18 di bawah pengaruh rasionalisme, para pengarang teologi Barat telah bertanya-tanya apakah kepercayaan para penulis Perjanjian Baru itu benar atau apakah sebetulnya Yesus dalam kenyataan sangat berbeda dibandingkan dengan gambaran yang mereka berikan.  Apakah penulis-penulis Perjanjian Baru sedang mengisahkan cerita fiksi atau tidak.  Orang-orang skeptis yang ekstrim berpikir bahwa para penulis kitab-kitab Injil ”menceritakan fiksi”.  Dan bahwa kitab-kitab Injil tidak bernilai sejarah.  

Penulis-penulis yang tidak begitu ekstrim ingin menghilangkan beberapa bagian dari Injil yang mereka anggap tidak benar.  Pandangan tradisional yaitu pandangan orang-orang Kristen yang percaya menyebutkan bahwa para penulis kitab-kitab Injil mencatat apa yang mereka alami secara tepat dan dengan demikian kepercayaan mereka mengenai siapa Yesus itu betul-betul tepat dan sesuai dengan apa yang Yesus sendiri inginkan agar para pembaca percaya mengenai diri-Nya.[1]

Dalam penulisan makalah ini, penulis akan menyajikan suatu penyelidikan dari data-data dalam Perjanjian Baru khususnya dalam kitab-kitab Injil Sinoptik tentang apa siapakah Yesus itu.  Di sini penulis akan membahas tentang apakah pikiran Yesus tentang diriNya sendiri, apakah pandangan-pandangan orang-orang lain mengenai Yesus, dan apakah hubungan di antara keduanya.  Penulis akan mempelajari sebutan-sebutan yang dipakai Yesus terhadap diriNya dan bagaimana orang-orang lain menyebut Dia.  Pendekatan pada pokok ini yang dilakukan dengan cara menyelidiki gelar-gelar Kristus akan memberikan pandangan yang berharga.  Pertanyaan yang harus ditanyakan adalah, ”Apakah artinya gelar-gelar tersebut dalam pelayanan Yesus, yaitu bagi orang-orang yang Ia layani?”  Seringkali arti gelar-gelar tertentu dalam pelayanan Yesus berbeda dengan artinya dalam penjelasan-penjelasan para ahli teologi sistematis dalam sejarah gereja.


  
YESUS SEBAGAI MANUSIA

Dalam kitab-kitab Injil sinoptik akan didapatkan tiga gambaran mengenai Yesus dari Nazaret.  Dalam masing-masing gambaran tersebut terdapat perbedaan dalam banyak hal, namun semua berpusat pada manusia yang sama di antara tiga kitab Injil sinoptik, hanya Markus yang memberikan petunjuk dalam kata-kata pembukaannya dengan memperkenalkan seseorang yang lebih dari seorang manusia; namun di antara ketiga penulis lainnya itu, Markuslah yang lebih memusatkan perhatiannya kepada Yesus sebagai manusia. 

Pentingnya Kemanusiaan Yesus
Pentingnya kemanusiaan Yesus tidak dapat diremehkan sifatnya soteriologis, maksudnya berkenaan dengan karya keselamatan manusia.  Persoalan yang dihadapi oleh manusia ialah jurang yang memisahkan dirinya dengan Allah.  Memang jurang ini bersifat ontologis.  Allah berada begitu tinggi di atas manusia sehingga Ia tidak dapat dikneal oleh akal manusia yang tidak dibimbing.  Jikalai Allah harus dikenal dan diketahui maka Allah harus mengambil inisiatif untuk memperkenalkan diri-Nya kepada manusia.  Namun masalahnya bukan sekadar ontologis.[2] 
Di antara Allah dan manusia juga terdapat jurang yang lain, yaitu jurang yang rohani dan moral.  Jurang ini tercipta oleh dosa manusia.  Kedatangan Yesus sebagai manusia dengan misi penyelamatan nampak sangat kental dalam keseluruhan Injil-injil sinoptik.  Kemanusiaan Yesus tidak pernah diragukan oleh para penulis Injil.  Keabsahan pekerjaan Yesus dalam karya penyelamatan-Nya uamh dikerjakan dalam kematian Yesus sangat tergantung pada kenyataan kemusiaan-Nya.
Kemanusiaan Yesus yang sejati telah diserang secara terutama dari dua arah yaitu dari ajaran sesat Doketisme dan Appolinarisme.  Ajaran-ajaran sesat ini memaksa gereja untuk merenungkan dengan teliti serta mengucapkan pemahaman mereka dengan sangat cermat mengenai pokok ini.  Gereja mula-mula telah menghadapi serangan bidat doketisme, yang mengajarkan bahwa Yesus tidak benar-benar memiliki tubuh fisik atau natur manusia.  Bidat ini berusaha untuk menyangkal kemanusiaan Yesus.  Mereka mengajarkan bahwa Yesus hanya ”kelihatannya” memiliki suatu tubuh tetapi pada kenyataannya hanya seperti suatu keberadaan yang memakai topeng.  Yohanes melawan ajaran ini dengan mengatakan bahwa mereka yang menyangkali kedatangan Yesus yang menjadi daging adalah anti-Kristus. 
Ajaran bidat lain, yaitu ajaran sesat Apolinarisme menerima kemanusiaa yang sejati dari Yesus tetapi tidak seluruhnya.  Apolinarisme merupakan sebuah contoh terlalu membesar-besarkan sesuatu yang baik.  Menurut Apolinarius, Yesus merupakan sebuah persenyawaan, sebagian dari persenyawaan itu (beberapa unsur Yesus) adalah manusiawi dan sisanya merupakan unsur ilahi.[3]  Jadi sekalipun Yesus itu manusia biasa, Ia agak berbeda dengan manusia lainnya karena Dia tidak memiliki apa yang dimiliki manusia.  Jadi di dalam Yesus sama sekali tidak mungkin terjadi pertentangan di antara manusia dengan yang ilahi.  Yang ada hanyalah pusat kesadaran, dan pusat kesadaran itu bersifat ilahi.  Yesus tidak memiliki kehendak manusia. Karenanya ia tidak dapat berbuat dosa karena pribadi-Nya dikuasai oleh jiwa yang ilahi.[4]  Bidat monofisit telah sejak lama ditentang oleh gereja.  Bidat ini menyatakan bahwa sebenarnya Yesus bukan memiliki dua natur tetapi hanya satu natur, yaitu percampuran antara manusia dan ilahi yang disebut natur ”theanthropic” (ilahi-manusiawi).  Bidat monofisit memanusiakan yang ilahi dan mengilahikan yang manusia.[5]  Pengajaran bidat-bidat ini tidaklah benar.  Karena para penulis Injil-injil dengan tanpa keraguan sedikitpun menyajikan Yesus sebagai manusia.


Yesus sebagai Manusia Sejati

Yesus sebagai manusia sejati dipaparkan secara luas dan gambalang dalam seluruh Injil Sinoptik.  Yesus sepenuhnya manusia seperti manusia lainnya.  Ia memiliki segala unsur kemanusiaan yang perlu yang terdapat di dalam diri manusia.  Bukti pertama yang patut diperhatikan ialah bahwa Yesus memiliki tubuh jasmani seperti manusia lainnya.  Dia dilahirkan.  Yesus tidak turun dari surga dan dengan tiba-tiba menampakkan diri di bumi.
Para penulis Injil Sinoptik memiliki keyakinan yang kokoh dan tak tergoyahkan bahwa Yesus adalah seorang manusia sejati.  Hal ini didukung oleh tulisan-tulisan tentang kelahiranNya sebagai manusia biasa meskipun benihNya berbeda dari manusia biasa, karena kelahiran Yesus dari anak dara[6], namun Yesus tetap memiliki garis keturunan manusia dan kelahiranNya dari manusia biasa.  Matius dan Lukas keduanya menekankan bahwa kemanusiaan Kristus dikandung dalam Roh Kudus (Mat. 1:18; Luk. 1:35).  Matius memberikan penekanan yang cukup jelas tentang Maria tidak bersetubuh dengan seorang laki-laki sebelum kelahiran Yesus (Mat. 1:18-25).  Demikian pula dengan Markus menekankan bahwa Yesus adalah ”anak Maria” daripada mengatakan anak Yusuf (kebiasaan Yahudi biasanya menggunakan nama ayah).[7]  Catatan mengenai kelahiranNya menggambarkan Yesus dalam keluarga manusia yang biasa.
Ketiga injil menekankan kemanusiaan Yesus.  Matius menekankan garis keturunan manusia-Nya (Mat. 1:1-17), kelahiran-Nya sebagai manusia (Mat. 1:25), dan masa kanak-kanak-Nya (Mat. 2:1-23).  Demikian pula dengan Lukas yang menekankan kelahiran-Nya dan status-Nya yang rendah (Mat. 2:1-20) ia menyesuaikan diri dengan tradisi orang yahudi (Mat. 2:21-24) , dan pertumbuhan sebagai anak laki-laki muda (Mat. 2:41-52).  Markus menekankan kemanusiaan Yesus lebih dari Matius dan Lukas melalui penekanannya pada karya, kehidupan, dan aktivitas Yesus. 
Ketiganya menekankan kemanusiaan-Nya pada karya, kehiduan, dan aktivitas Yesus.  Letiganya menekankan kemanusiaan-Nya dalam pencobaan (Mat. 4;1-11; mrk 1:12-13; Luk 4:1-13).  Hal-hal seperti mengatur kapal-kapal nelayan, membayar pajak, berbicara pada orang yang berbeda, berkeringat darah, menangis karena ditinggalkan di atas kayu salib, semua mencerminkan kemanusiaan Yesus.  Namun Ia bukan manusia biasa; Ia mengampuni dosa, Ia memiliki otoritas atas alam, menyatakan Shekinah allah, semua itu ”menempatkan Ia pada kelas-Nya sendiri.”[8]
Satu-satunya peristiwa pada masa kanak-kanak Yesus yang diceritakan memperlihatkan keadaan keluarga yang bersifat manusia biasa.  Kecemasan orang tua karena kehilangan anaknya dilukiskan Lukas dengan gamblang.  Demikian juga komentar Lukas bahwa Yesus patuh kepada orangtuanya merupakan kesimpulan mengenai kehidupan Yesus dalam seluruh masa pertumbuhanNya (Lukas 2:51).  Penuturan Lukas selanjutnya bahwa Yesus ”makin bertambah besar dan bertambah hikmatNya dan besarNya” (Lukas 2:40-52) memperlihatkan perkembangan manusia biasa secara normal.  Tidak ada suatu tandapun yang menunjukkan perkembangan yang luar biasa.
Ketiga kitab Injil sinoptik menganggap pembaptisan Yesus sebagai permulaan pelayanannya.  Hal ini dimaksudkan untuk memperlihatkan kesamaan Yesus dengan orang-orang yang datang untuk dibaptis oleh Yohanes, tetapi pada saat itu juga suara dari surga dengan jelas membedakan Yesus dari orang-orang di sekitarnya.  Pencobaan–pencobaan yang dialamiNya selanjutnya sekali lagi diceritakan dengan maksud untuk memperlihatkan bahwa Yesus sama seperti semua orang lain diperhadapkan dengan pencobaan-pencobaan moral.[9]  Jika pencobaan-pencobaan yang dicatat itu sungguh-sungguh terjadi[10] dan tidak ada catatan yang menunjukkan hal yang bertentangan – maka itu menunjukkan bahwa Yesus sungguh-sungguh seorang manusia tetapi harus diingat bahwa pencobaan-pencobaan yang terjadi pada Yesus ada hubunganNya dengan misiNya sebagai Mesias dan jenis pencobaan yang dihadapiNya adalah pencobaan yang khusus bagiNya.  Penulis-penulis kitab Injil tidak menyatakan bahwa pencobaan-pencobaan yang dialami Yesus itu sama dengan pencobaan-pencobaan yang menimpa kita (seperti dikatakan juga dalam Ibrani 4:15).[11]
Semua kitab Injil sinoptik menggambarkan Yesus dengan latar belakang kehidupan orang-orang Yahudi, bersama dengan ahli-ahli Taurat dan orang-orang farisi, orang-orang Saduki dan pengikut-pengikut Herodes.  Masa hidup-Nya termasuk dalam kehidupan Palestina pada abad pertama.  Orang-orang yang disembuhkan-Nya dan yang diajar-Nya adalah orang-orang yang menghadapi ketegangan-ketegangan sosial dan politik yang dihadapi Yesus juga.  Hal-hal yang biasa dilakukan oleh orang-orang pada waktu itu, seperti makan bersama-sama dengan orang-orang lain dalam rumah-rumah mereka, mempersiapkan perahu-perahu nelayan penangkap ikan, membayar pajak, bercakap-cakap dengan bemacam-macam orang; semuanya itu membuktikan bahwa para penulis kitab-kitab Injil menggambarkan Yesus sebagai manusia di antara manusia-manusia lain, yang melakukan perbuatan yang lazim dilakukan oleh orang-orang biasa. Mereka semua mencatat keprihatinan-Nya yang dalam terhadap orang-orang yang hidup dalam keadaan sosial yang tidak beres, kritik-Nya terhadap kemunafikan, percakapan-percakapan-Nya dengan para pemimpin agama.  Mereka juga menyebutkan pergumulan-Nya yang berat di taman Getsemani.  Lukas khususnya menaruh perhatian pada keringat darah, yang menandakan adanya pertentangan batin manusia yang hebat yang tidak dapat dihindari.  Matius dan Markus juga menuliskan tentang teriakan-Nya dari kayu salib pada waktu ditinggalkan Bapa.  Namun demikian, tetap pada perbedaan hakiki antara Yesus dengan orang-orang lain.  Setiap penulis kitab-kitab injil mengemukakan dengan cara mereka masig-masing.  Manusia yang ini membuat pernyataann-pernyataan yang paling luar biasa mengenai diri-Nya sendiri.  Ia menyatakan dosa, memerintah alam, mengusir setan. Ia dimuliakan dihadapan ketiga murid-Nya dengan cara yang tidak mungkin dapat dilakukan oleh manusia lainnya.  Ia menggunakan dan menerima gelar-gelar yang menempatkan Dia pada tingkat tersendiri.
Para penulis kitab injil sinoptik tidak mencoba untuk memecahkan persoalan antara kesamaan Yesus dengan manusia dan perbedaan-Nya dari orang-orang lain. Bahkan,nampaknya mereka tidak sadar akan adanya persoalan ini.
Yesus sebagai Manusia yang Tidak Berdosa
Dalam rangka menyelidiki kemanusiaan Yesus penelis harus memikirkan juga keterangan Perjanjian Baru yang jelas mengenai keadaan –Nya yang tidak berdosa.  Ada beberapa macam bukti mengenai hal ini, sebagaimana yang diuraikan di bawah ini.
Meskipun Injil Sinoptik menyajikan Yesus sebagai seorang manusia, mereka juga mengindikasikan Ia bukan manusia biasa, Ia lahir dari seorang anak dara dan tidak berdosa.  Karena lahir dari seorang perawan, Ia tidak memiliki natur dan kecenderungan pada dosa (perhatikan Yak. 1:14-15).  Yesus memanggil manusia untuk bertobat tetapi tidak ada catatan yang khusus dalam kitab-kitab injil sinoptik mengenai pernyataan Yesus sendiri sebagai bahwa Ia tidak berdosa, tetapi ada tanda-tanda di dalam yang mendukung ketidakberdosaan Yesus itu.[12]  Para peneliti Perjanjian baru akan dapat segera berkata bahwa tidak ada bukti yang bertentangan dengan kesaksian rasul-rasul pada waktu-waktu selanjutnya mengenai ketidakberdosa-Nya itu.  Yesus tidak pernah membuat pengakuan dosa.  Ia memulai pelayanan-Nya dengan memanggil orang-orang untuk bertobat, walaupan Ia sendiri tidak pernah menyatakan kebutuhan-Nya untuk bertobat pada waktu ia dibaptiskan oleh Yohanes, pada mulanya Yohanes ragu-ragu (menurut Mat 3:14), tetapi akhirnya ia setuju untuk membaptiskan-Nya.  Yesus menyatakan bahwa Ia dibaptis ”untuk menggenapi seluruh kebenaran ”, bukan untuk menyatakan pertobatan dari dosa[13].
            Tuhan Yesus memperlihatkan sikap penolakan yang peka terhadap yang jahat misalnya pada waktu Ia menghardik usaha Petrus yang salah yang ingin membelokkan Dia dari konsekuensi misi-Nya sebagai Mesias.  Hal ini menyatakan secara tidak langsung bahwa tidak ada pikiran yang jahat dalam diri Yesus (Mat 16:23).  Memang kata-kata pada waktu itu menghardik petrus, ”Enyahlah Iblis”, memperlihatkan reaksi yang tajam terhadap kehadiran iblis, terutama ketika Iblis hadir dalam kata-kata yang diucapkan oleh salah seorang murid-Nya yang terdekat.[14]  Mungkin lebih baik bila hardikan itu ditafsirkan bahwa Petrus seolah-olah bertindak sebagai Iblis daripada memperkirakan bahwa Iblis menguasai Petrus.
            Mengenai hal pencobaan, Matius dan Lukas memberi kesan yang kuat bahwa Yesus memperoleh kemenangan yang lengkap.  Tidak ada tanda apapun bahwa Yesus bersikap bimbang terhadap si pencoba,  karena pencobaan-pencobaan itu dapat dianggap mewakili segala pencobaan yang terjadi sepanjang pelayanan Yesus, maka kemenangan atas yang jahat ini pula dapat dianggap terjadi dalam seluruh kehidupan-Nya.  Tentu saja pencobaan-pencobaan yang dicatat itu berhubungan dengan permulaan pelayanan Yesus, tetapi semuanya itu memberi pengaruh untuk keseluruhan.[15]   Pencobaan itu juga menekankan bahwa meskipun Ia diuji dalam semua area seperti orang-orang lainnya, namun Ia tidak berdosa (Mat. 4:1-11; Mrk. 1:12-13; Luk. 4:1-13).
Dia mengajarkan murid-muridNya untuk mengakui dosa mereka serta memohon pengampunan, namun tidak ada laporan bahwa Ia mengaku dosa dna mohon pengampunan untuk diri-Nya sendiri.  Sekalipun Ia pergi ke Bait Suci, namun tidak ada laporan bahwa Ia mempersembahkan kurban untuk diri-Nya dan dosa-dosa-Nya.  Selain dituduh menghujat, tidak ada dosa lain yang dituduhkan kepada-Nya; dan tentu saja, apabila Dia memang Allah, maka hal-hal yang dilakukan-Nya itu (misalnya: mengampuni dosa) bukanlah hujat.  Sekalipun bukan merupakan bukti yang mutlak, namun terdapat juga banyak bukti mengenai ketidakbersalahan-Nya atas tuduhan-tuduhan yang menyebabkan Dia disalibkan.  Isteri Pilatus menasihati, ”Jangan engkau mencampuri perkara orang benar itu” (Mat. 27:19); penjahat yang disalib di sebelahnya mengatakan, ”Orang ini tidak berbuat sesuatu yang salah” (Luk 23:41); dan bahkan Yudas pernah mengatakan, ”Aku telah berdosa karena menyerahkan darah yang yang tak bersalah” (Mat 27:4).
Ketidak berdosaan Yesus juga dikuatkan oleh kisah-kisah dalam Injil.  Terdapat laporan mengenai pencobaan yang dialami-Nya, namun tidak pernah tercatat bahwa Dia berbuat dosa.  Tidak ada sesuatupun yang dilaporkan mengenai diri-Nya yang bertentangan dengan hukum Allah tentang hal yang benar dan yang salah; segala sesuatu yang dilakukan-Nya adalah selaras dengan kehendak Allah.  Dengan demikian, berdasarkan pernyataan tertulis maupun kebungkaman tentang pokok-pokok tertentu, mau tidak mau berkesimpulan bahwa Alkitab bersaksi tentang keadaan Yesus yang tidak berdosa.[16]  Yesus pernah dengan tajam menuduh para ahli Taurat dan orang-orang farisi karena kemunafikan mereka, dan tidak adanya tuduhan balik terhadap Yesus mendukung pandangan bahwa tidak seorangpun dapat menuduh Dia sebagai seorang yang munafik.  Yesus sendiri dapat melakukan apa yang Ia harapkan dari orang lain.  Ia mendorong orang-orang agar menjadi sempurna sama seperti Bapa sorgawi yang sempurna (mat. 5:48).  Pasti Ia sendiri munafik jika ada keraguan sedikit saja mengenai peringatan itu, mungkin akan timbul pertanyaan apakah Ia sendiri perlu menjadi lebih sempurna. Tetapi peringatan itu ditujukan-Nya kepada orang-orang lain, bukan kepada diri-Nya sendiri. 
Seluruh pengajaran Yesus dalam kitab-kitab Injil Sinoptik disusun dengan nada moral yang tetap tinggi dan tidak ada seorang pun dari pengdengarnya menuduh bahwa Dia tidak hidup sesudai dengan ajaran-Nya sendiri.  Ia membedakan diri-Nya dengan para pendengar-Nya pada waktu Ia menyebutkan bahwa mereka, walaupun jahat, mengetahui bagaimana memberi pemberian yang baik kepada anak-anak mereka (Mat 7:11, Luk 11:13).
Ada satu pernyataan Yesus yang seringkali menimbulkan debat dan pertanyaan di kalangan teolog ataupun orang-orang Kristen adalah perkataan Yesus kepada seorang pemimpin muda yang memanggil Dia dengan perkataan ”Guru yang Baik” (Mrk 10:17-18, Luk 18:18-19).   Jawab Yesus: "Mengapa kaukatakan Aku baik? Tak seorangpun yang baik selain dari pada Allah saja.”  Di sini Ia menegaskan bahwa hanya ada satu yang baik, yaitu Allah.  Pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah Yesus sedang menyatakan bahwa Ia sendiri juga tidak baik?  Beberapa orang berpendapat bahwa Yesus sebagai manusia mengakui tidak memiliki kebaikan mutlak dari Allah yang tak dapat dicobai, kebaikan-Nya sebagai manusia merupakan hasil dari pertahanan terhadap pencobaan dan ketaatan sempurna yang mencakup penderitaan.  Tetapi pandangan demikian menimbulkan perkiraan tentang adanya tingkat-tingkat kebaikan, dan hal ini hanya mengaburkan masalah.[17]
Pendapat yang lebih baik ialah, bahwa Yesus sedang menantang orang muda itu tentang dasar dari penilaiannya mengenai kebaikan, dengan maksud agar penghormatannya kepada Yesus mempunyai dasar yang benar. Penekanan diberikan pada kata sifat, jadi hanya ditanyakan Yesus ialah tentang arti ’kebaikan’.  Kata ’baik’ jangan digunakan sebagai istilah pujian yang kosong.  Tidak terlihat adanya kesan untuk membuat perbedaan antara Yesus dengan Allah.[18]  Dengan perkataan lain, maksud Yesus bertanya, ”Mengapa kaukatakan Aku baik?”, ialah agar orang muda itu memberikan alasan dari pernyataannya.  Catatan Matius yang menyatakan ”Apakah sebabnya engkay bertanya kepadaKu tentang apa yang baik?” (Mat 19:16), menggeser penekanan dan mengurangi kesulitan moral yang diperkirakan ada.  Pandangan mengenai kebaikan tidak dibicarakan dan hal itu hanyalah merupakan awal dari tantangan langsung kepada orang muda itu tentang hukum Taurat.
KEILAHIAN YESUS
            Keilahian Yesus dapat dilihat dari perbuatan-perbuatan yang hanya bisa dilakukan oleh Allah saja, seperti: mengampuni dosa, dan demonstrasi kuasa dan mujizat yang hanya bisa dilakukan oleh Allah.  Tetapi keilahian Yesus dapat dipelajari dari keberadaannya sebagai pribadi yang memiliki gelar-gelar yang dipakai Yesus sendiri bagi diriNya dan orang-orang di sekitarnya memandangNya saat itu.
A.  Yesus sebagai Mesias


Istilah Mesias banyak sekali dipakai dalam Gereja Kristen bagi pribadi Yesus.  Istilah ini sama dengan istilah Kristus atau κρίστος  dalam bahasa Yunani yang berarti “Yang diurapi”.  Hal ini nyata dengan adanya fakta bahwa orang-orang yang percaya kepada Yesus pada masa-masa permulaan disebut sebagai orang-orang Kristen; dan hal ini merupakan kesaksian yang mengesankan akan konsep Kristus dalam pemikiran mereka.  Mereka begitu yakin bahwa Yesus adalah Mesias dan mereka begitu giat dalam memberitakan hal itu hingga orang-orang lain menyebut mereka “pengikut-pengikut Kristus.”  Hal ini terjadi di Antiokia karena di sanalah pertama kali murid-murid itu disebut Kristen.  Di sanalah pertama kali jemaat di bangun di tengah-tengah orang-orang bukan yahudi (KPR 11:26). 

Orang-orang Yahudi tidak akan menyebut orang-orang percaya sebagai pengikut Mesias, karena mereka tidak pernah mengakui bahwa jemaat Kristen memiliki hak untuk mempergunakan istilah itu bagi Yesus.  Tetapi bagi orang-orang bukan Yahudi tidak ada keberatan seperti itu dan mereka sebenarnya tidak memperdulikan dampak dari nama itu.  Pemakaian kata ”Kristus” secara terus menerus kelihatannya tidak berarti bagi mereka.  Mereka seharusnya pada sumber-sumber orang Yahudilah didapat keterangan tentang betapa pentingnya gelar itu bagi Yesus dan bagi orang-orang pada zamannya.  Baru setelah itu keterangan dari kitab-kitab Injil akan dapat dimengerti dengan benar.

1.  Latar Belakang dalam Perjanjian Lama
Ada empat sumber utama untuk agama Yahudi pada zaman itu yaitu Perjanjian lama, tulisan-tulisan Apokrifa dan Pseudepigrafa, naskah-naskah Laut Mati (Qumran) dan tulisan-tulisan para rabi.  Gagasan tentang Mesias harus dipelajari dari masing-masing sumber tersebut.
Mempelajari kebenaran Yesus sebagai Mesias perlu diperhatikan dua topik berkenaan dengan latar belakang pengharapan mesianis dalam PL.  Yang pertama, pemahaman pemakaian  x;yvim'  / meshiah (diterjemahkan ke dalam Bahasa Yunani sebagai cristo.j / kristos) dalam Perjanjian Lama.  Yang kedua adalah pengertian yang tepat tentang konsep “Anak Daud” dalam Perjanjian Lama.  Kedua topik tersebut sangat penting dalam perkembangan pengharapan mesianis orang-orang Yahudi.


Sebenarnya arti dari kata  x;yvim' dalam Perjanjian Lama adalah sangat luas dan dalam prakteknya dapat dipakaikan untuk siapapun yang diurapi Allah, yaitu orang yang mendapatkan panggilan dan misi istimewa dari Allah.  Istilah tersebut paling sering dipakai untuk raja bangsa Israel (contohnya, 1 Sam 2:10, 35: 24:6; 26:9, 11, 16, 23), tetapi juga dipakai untuk imam-imam (contohnya, Imamat 4:3,5, 16; 8:12; Mazmur 84:10), nabi-nabi (contohnya 1 Raja 19:16), dan bapa-bapa leluhur (I Tawarikh 16:22; Mazmur 105:15). Bahkan istilah ini dipakai dalam Yes 45: I untuk Koresy, raja Persia, yang diberi peranan sebagai agen keselamatan bagi umat Allah.  Dalam Daniel 9:25 istilah tersebut (dalam konteks ini dygIn" x:yvim ) dipakai sebagai terminus technicus untuk Mesias yang akan menyelematkan umat Allah pada akhir zaman.[19]

Selain pemakaian kata  x:yvim dalam Perjanjian Lama, ada juga beberapa nas yang, menurut kebanyakan penafsir injili, menubuatkan kedatangan seorang Raja yang akan datang pada akhir zaman (Mesias).   Contoh yang dapat disebutkan adalah: Kejadian 49:10; Bilangan 24:17; Yesaya 9:6-7; Mikha 5:2; Zakharia 9:9.  Juga, beberapa ayat dan Kitab Mazrnur, yaitu 2:2 dan 110:1, ditafsirkan dalam Perjanjian Baru sebagai nubuatan tentang Yesus sebagai Mesias (KPR 4:25-26; Matius 22:44; Markus 12:36; Lukas 20:42; KPR 2:34).

Walaupun hanya beberapa ayat dalam Perjanjian Lama menyebutkan seorang Raja yang akan datang pada akhir zaman, beberapa pasal dalam Perjanjian Lama menggambarkan zaman mesianis dan aktivitas Allah pada waktu itu (contohnya Yesaya 26-29; 40-42; Yehezkiel 40-48: Daniel 12; YoeI 2:28-3:21).  Kenyataan ini konsisten dengan kecenderungan orang-orang dari Timur Tengah untuk lebih mengutamakan fungsi dari pada agen.

Dalam Perjanjian Lama, terutama dalam kitab nabi-nabi, banyak disebutkan tentang masa kemesiasan yang akan datang yang menawarkan masa depan yang cerah bagi umat Allah (Yes 26-29; 40; Yeh 40-48; dan 12; Yl 2:28-3:21), tetapi hanya sedikit dikatakan tentang Mesias.  Gelar itu tidak dipakai untuk penyelamar yang akan datang, bahkan tokoh yang akan membuka zaman yang akan datang adalah Allah sendiri.  Tetapi, walaupun istilah ”Mesias” itu tidak muncul secara tersendiri, ada bermacam-macam penggunaannya dalam rangkaian kata seperti Mesias Tuhan (yaitu yang diurapi Tuhan).  Gagasan mengenai pengurapan seseorang untuk suatu misi khusus muncul beberapa kali, terutama bagi raja-raja dan imam-imam (Im 4:3), juga nbai0nabi (I Raj 19:16) dan bapak-bapak leluhur Israel (Mzm 105:15), dan bahkan bagi seorang raja kafir, yaitu Koresy (Yes 45:1).  Pengurapan yang menunjukkan tugas khusus ini kemudia digunakan dalam hal yang lebih teknis, khususnya bagi seseorang yang akan dipilih Allah sebagai alat-Nya untuk menyelamatkan umat-Nya.  Dapat dikatakan bahwa Perjanjian lama mempersiapkan jalan bagi Mesias dan banyak perikop Perjanjian lama mengenai Mesias itu dikutip dalam Perjanjian Baru.



2.  Latar Belakang pada Masa Perjanjian Baru
Selama masa transisi antara masa Perjanjian Lama dan Perjanjian baru, arti dari istilah itu mengalami beberapa perubahan, dan arti teknis dari orang-orang yang diurapi Tuhan menjadi lebih menonjol (Mazmur salomo 17-18).  Pengharapan akan kedatangan Mesias mempunyai bentuk yang berbeda-beda, tetapi yang paling menonjol ialah gagasan mengenai Raja keturunan Daud, yang akan mendirikan kerajaan di dunia bagi umat Israel dan akan menghancurkan musuh-musuh Israel.  Mesias akan merupakan tokoh politik, tetapi dengan kecenderungan ke arah agama.  Konsep itu merupakan gabungan yang aneh dari pengharapan bersifat nasional dan pengharapan rohani.[20]

Dari naskah-naskah Laut Mati disebutkan adanya dua orang Mesias, seorang dari harun dan seorang dari Israel (Bdg 1 QS 9:11).  Karena persekutuan di Qumran itu merupakan suatu masyarakat imam, tidaklah mengherankan bila ditemukan bahwa Mesias dari Harun lebih penting daripada Mesias dari Israel.  Sampai sejauh mana pentingnya pandangan yang berbeda tentang Mesias ini bagi penetapan penggunaan istilah dalam Perjanjian baru masih diperdebatkan, tetapi sedikitnya hal itu membuktikan adanya pandangan yang berbeda-beda mengenai karakter yang tepat dari jabatan Mesias.

Perlu dicatat bahwa tidak ada bukti tentang penggunaan istilah ”Mesias” oleh para rabi sebelum tahun 70 sM, tetapi keterangan tentang ajaran rabi pada itu sedikit sekali.[21]  Di samping itu istilah ini tidak pernah dipakai oleh Yosefus dalam usahanya untuk membuat agama Yahudi dapat lebih diterima oleh orang-orang Roma.  Istilah itu muncul dalam Apokalipsis ezra dan Barukh, yang keduanya sejaman dengan masa terbentuknya jemaat kristus; dan seperti pada masa antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru.  Kelihatannya gelar itu dihubungkan dengan gagasan seorang Anak Daud terutama dalam IV Ezra 12:32-34. 

Dari penyelidikannya yang singkat tentang latar belakang ini, jelaslah bahwa gagasan tentang Mesias yang akan datang sudah tersebar luas di antara orang-orang Yahudi, tetapi asal mula dan watak dari Mesias yang akan datang itu tidak dimengerti dengan jelas.  Kelompok yang  berbeda-beda cenderung untuk membayangkan Mesias sesuai dengan keyakinan mereka sendiri, misalnya kelompok iman di Qumran menafsirkannya dengan istilah-istilah imam, kelompok-kelompok nasionalis dengan istilah-istilah politik, dan sebagainya.  Dalam memikirkan bagaimana Yesus menggunakan istilah Mesias, harus diingat bahwa ia memperhatikan pengertian yang paling populer dari istilah itu.  Sudah tentu pemikiran populer cenderung pada kedatangan seorang pemimpin politik yang akan membebaskan orang-orang Yahud dari beban tekanan Roma.  Dengan mengingat gagasan populer tersebut, dapat dimengerti mengerti mengapa Yesus menghindari penggunaan istilah ini.

Ada beberapa sumber informasi tentang pengharapan mesianis orang-orang Yahudi pada masa Perjanjian Baru yang paling penting yaitu Mazmur-mazmur Solomo 17-18 yang ditulis antara tahun 70-45 S.M. di Yerusalem, karena dalam kedua pasal tersebut Mesias digambarkan dengan lengkap.  Selain itu ada beberapa ayat dalam tulisan-tulisan dan Qumran yang bernilai (IQS 9:11; IQS 4QPaIr. 3; CDC 19:10—11; 20:1; 12:23-24; 14:19), tetapi pandangan berbagai tulisan tersebut tidak selalu sama. Juga konsep Mesias muncul dalam Benediction 14 dan Shemoneh Esreh, beberapa nas dalam Targum, IV Ezra 12:32,11 Bar. 29:3; 30:1, dan I Henokh 48:10; 52:4, tetapi relevansi pengajaran dokumen-dokumen ini terhadap kepercayaan orang-orang Yahudi belum disetujui oleh semua penafsir, karena mungkin waktu penulisannya sesudah masa Perjanjian Baru.[22]

Tulisan-tulisan dari masa Perjanjian Baru menggambarkan pengharapan mesianis orang-orang Yahudi bahwa Mesias adalah seorang tokoh yang sangat diurapi oleh Allah. Ia memiliki suatu hubungan yang sangat dekat dengan Allah, sehingga kehidupannya suci.  Ia tidak sombong, tetapi bengantung pada Allah, dan ia penuh belas kasihan terhadap orang-orang yang lain.  Ia juga sangat kuat di dalam Tuhan sehingga kata-katanya berkuasa.  Jelas ia adalah seorang tokoh yang unik, tetapi orang-orang Yahudi tidak pernah membayangkan bahwa ia akan menyamakan diri-nya dengan Allah sehingga ia layak disebut Allah Anak.  Ide itu di luar bayangan orang-orang Yahudi pada zaman Perjanjian Baru.

Sang Mesias juga mempunyai pelayanan yang unik.  Dari semua pengharapan pelayanan Mesias yang paling penting bagi orang-orang Yahudi yang sedang dijajah oleh Roma ialah bahwa Mesias akan mengalahkan, menghukum dan memerintahkan musuh-musuh bangsa orang-orang Yahudi (yaitu bangsa-bangsa lain).  Mesias akan membawa kemerdekaan bagi orang-orang Yahudi.  Namun yang tidak disadari orang-orang Yahudi adalah bahwa pelayanan Mesias bukan hanya pelayanan militer, karena ia juga akan menghakimi, mendisiplin dan menyempurnakan bangsa Yahudi, kemudian membimbing serta memerintah mereka dan memberkati mereka sebagai umat Allah.

Pengharapan mesianis ini berkembang pada masa penjajahan bangsa Yahudi, sehingga banyak orang Yahudi pada masa Perjanjian Baru menantikan kedatangan Mesias.  Ada banyak unsur pengharapan tersebut yang benar, tetapi pengertian orang-orang Yahudi terhadap Mesias kurang lengkap, kurang seimbang, dan kurang Alkitabiah sehingga ada tabrakan antara pengharapan mereka dengan pengajaran Yesus mengenai diri-Nya sendiri.

3.  Pemakaian Mesias dalam Kitab-kitab Injil Sinoptik
Markus menggunakan istilah ”Mesias” hanya tujuh kali dalam seluruh Injilnya.  Bisa diduga bahwa Yesus tidak menganjurkan pemakaian istilah tersebut selama hidup-Nya di dunia, mengingat pemakaian istilah tersebut di Palestina pada jamanNya.  Ia bukanlah Mesias dalam arti yang sesuai dengan pengertian orang pada umumnya ketika mendengar istilah itu.  Dan karenanya, memakai istilah tersebut akan mengundang kesalalahpahaman.

Pengertian orang-orang Yahudi kurang lengkap mengenai hakekat dan fungsi Mesias.  Yesus tidak memakai istilah tersebut untuk menggambarkan diri-Nya sendiri. Memang jika Ia memakai istilah tersebut, maka hal itu dapat menyebabkan salah pengertian mengenai hakekat dan pelayananNya.  Itu sebabnya roh-roh jahat dilarang berbicara “karena mereka tahu bahwa Ia adalah Mesias” (Lukas 4:41), dan orang-orang yang disembuhkanNya tidak diperbolehkan untuk bersaksi kepada orang-orang lain tentang apa yang dilakukanNya kepada mereka (contohnya Markus 1:44; 5:43; 7:36 dan ayat-ayat yang sejajar dalam Injil Matius dan Lukas).  Itu sebabnya juga pertanyaan Yohanes Pembaptis mengenai kemesiasan Yesus dijawab secara tidak langsung (Matius 11:2-6; Lukas 7:18-23).

Walaupun demikian ketika Petrus menyebut Yesus “Mesias” (“Kristus”), maka Ia tidak menyangkal hal itu; melainkan Ia menerima pengakuannya (Matius 16:13-20; bdg. Markus 8:27-30; Lukas 9:18-21), asal kemesiasan-Nya tidak diberitahukan kepada orang-orang lain, yang belum menjadi murid-murid-Nya.

Dari data-data di atas dapat diambil suatu kesimpulan bahwa Yesus memang adalah “Mesias”, raja bangsa Yahudi yang sangat diurapi Allah.  Namun kemesiasan  Nya tidak sama dengan yang diharapkan oleh orang-orang Yahudi.  Oleh karena itu, sebelum Yesus mati dan bangkit Ia tidak terbiasa mengakui secara langsung kepada orang-orang yang belum percaya kepada-Nya bahwa Ia adalah Mesias.  Ketika Ia sudah bangkit, baru Ia mengambil inisiatif untuk menjelaskan kemesiasan-Nya dengan para murid-Nya (Lukas 24:26, 46).[23]

Tujuan Injil Matius ada dua yaitu: pertama, untuk membuktikan bahwa Yesus adalah Mesias.  Mesias adalah suatu sebutan Yahudi bagi raja Israel yang akan membawa keselamatan bagi Israel pada akhir zaman.  Matius menyajikan Yesus sebagai Mesias Israel (Yang Diurapi) yang menggenapi peran dari nabi, imam dan raja dalam satu Pribadi.  Kedua untuk menyajikan kerajaan sesuai dengan rencana Allah.  Yesus adalah Mesias Israel dan bangsa itu telah menolak sang Mesias.  Matius menjelaskan bahwa kerajaan yang telah ditawarkan kepada orang Yahudi telah ditunda oleh karena penolakan Israel.  Kerajaan Mesias di dunia akan didirikan pada saat Kedatangan-Nya Kedua.[24]


Matius juga memberikan tekanan Yesus sebagai Anak Daud (Mat. 9:27; 12:23; 15:22; 20:30, 31; 21:9 15; 22:42).  Di Matius 9:27 sangatlah jelas orang buta itu mengerti Anak Daud adalah Mesias yang dapat melakukan pekerjaan Mesias, seperti mencelikkan mata orang buta (Yes. 35:5), yang merupakan pekerjaan Allah (Mzm. 146:8).  Penggunaan nama dalam Matisu 21:9 menyatakan signifikansinya sebagai datangnya Penebus yang akan membawa keselamatan kepada bangsa itu dan membebaskannya, pada waktunya akan membawa berkat (Mzm. 118:25-26).
B.  Yesus sebagai Anak Manusia
Dalam keempat Injil, Yesus senantiasa menyebut diri-Nya ”Anak Manusia.”  ungkapan ini muncul lebihd ari delapan puluh kali.  Hal menarik dalam studi Kristologi Injil-injil sinoptik adalah bahwa istilah “Anak Manusia” sering dipakai oleh Yesus untuk diri-Nya sendiri, tetapi tidak pernah dipakai oleh orang lain untuk Yesus.  Mengapa? Apa arti istilah tersebut? 

Banyak pengajar injili suka membedakan antara Yesus sebagai “Anak Allah” dan “Anak manusia”.  Menurut mereka “anak Allah” menunjukkan kepada ke-Allahan Yesus, sedangkan “Anak Manusia” menekankan kemanusiaan-Nya.  Penjelasan ini sangat sederhana sehingga mudah dijelaskan dan dipahami, tetapi kurang akurat sebagai tafsiran dalam konteks pelayanan Yesus, karena untuk dapat menafsirkan secara akurat pengertian tersebut, maka diperlukan suatu studi yang benar tentang latar belakang pemahaman tersebut.
1.  Sumber-sumber Informasi Mengenai ”Anak Manusia”
Ada tiga sumber informasi yang sering dipelajari dengan tujuan supaya lebih mengerti arti gelar “anak manusia”.  Yang pertama, “anak manusia” dipakai beberapa kali dalam Perjanjian Lama.  Misalnya dalam ayat-ayat tertentu “anak manusia”  ( ~d"a'-!b,) berarti “manusia” (misalnya Bilangan 23: 19a, “Allah bukanlah manusia, sehingga Ia berdusta, bukan anak manusia, sehingga Ia menyesal”; bdg. Mazmur 144:3). Tetapi “anak manusia” juga dipakai dalam Kitab Daniel dengan arti yang lain, dan latar belakang ini jauh lebih penting.



Asal mula istilah Anak Manusia bermula dari Daniel 7:13 dimana Ia digambarkan sebagai yang penuh dengan kemenangan membawa kerajaan kepada bapa.  Posisi Anak Manusia di sebelah kanan Bapa menghubungkan pada Mazmur 110:1 dan Ia yang adalah Tuhan.  Matius 26:63-64 menunjukkan bahwa istilah itu pada dasarnya sinonim dengan Anak Allah.  Istilah itu menekankan berbagai tema: otoritas (Mrk. 2:10), pemuliaan (Mat 25:31); kerendahan (Mat. 8:20); penderitaan dan kematian (Mrk. 10:45); relasi dengan Roh Kudus (Mat. 12:32); keselamatan (Luk. 19:10).[25]  Yesus memikirkan diri-Nya dalam pengertian Mesias surgawi yang menggenapi pelayanan di dunia atas manusia yang puncaknya dapat dilihat dalam gambaran kemuliaan akhir.[26]

Dalam Daniel pasal 7 nabi Daniel menggambarkan suatu penglihatan yang ia terima.  Daniel menggambarkan “Yang Lanjut Usianya” dalam beberapa ayat yang sangat penting yaitu:
Aku terus melihat dalam penglihatan malam itu, tampak datang dengan awan-awan dari langit seorang seperti anak manusia; datanglah ia kepada Yang Lanjut Usianya itu, dan ia dibawa ke hadapan-Nya. Lalu diberikan kepadanya kekuasaan dan kemuliaan dan kekuasaan sebagai raja, maka orang-orang dari segala bangsa, suku bangsa dan bahasa mengabdi kepadanya. Kekuasaannya ialah kekuasaan yang kekal, yang tidak akan lenyap, dan kerajaannya ialah kerajaan yang tidak akan musnah.[27]

Dari beberapa nats singkat di atas didapatkan beberapa hal untuk diperhatikan yaitu: pertama, “seorang seperti anak manusia” datang dari sorga.  Kedua, Ia dibawa ke hadapan “Yang Lanjut Usianya itu”.  Ketiga, semua orang mengabdi kepadanya.  Keempat, Ia diberi kuasa untuk memerintah atas semua bangsa untuk selama-lamanya.  Kelima, “Anak manusia” ditemukan dalam suatu konteks yang menegaskan bahwa “orang-orang kudus” akan dimuliakan melalui penderitaan (7:15-27).

Selain informasi yang terdapat dalam Perjanjian Lama, istilah “anak manusia’ muncul di dalam beberapa nas dalam tulisan-tulisan Yahudi dan masa Perjanjian Baru (khususnya  Pseudepigrapha).  Yang paling penting ialah 1 Henokh 37-71.  Di situ sifat dan fungsi “anak manusia” digambarkan dengan cara yang jauh lebih lengkap dari pada dalam Perjanjian Lama.

Apakah informasi tersebut dapat digunakan untuk menjelaskan latar belakang pemakaian “anak manusia” oleh Yesus?  Para ahli PB berbeda pendapat, karena mereka kurang yakin akan masa penulisan 1 Henokh 37-71.  Ada banyak ahli PB yang berpendapat bahwa bagian tersebut ditulis sesudah masa PB, sehingga tidak boleh dipakai untuk menjelaskan latar belakang PB.  Sappington menerangkan bahwa ada beberapa argumen yang sering dikemukakan untuk mendukung pendapat tersebut yaitu: pertama,  Naskah-naskah I Henokh yang tertua yang meliputi pasal 37-71 berasal dari abad 16.  kedua, walaupun naskah-naskah bagian-bagian yang lain dan 1 Henoch telah ditemukan di Laut Mati (Qumran), di situ belum terdapat satupun naskah yang meliputi pasal 37-71.  Ketiga, ada beberapa ahli PB yang berpendapat bahwa sudah nyata ajaran mengenai “anak manusia” yang terdapat dalam I Henokh 37-71 dipengaruhi oleh ajaran-ajaran Kristen mengenai Yesus.[28]

Pada hal banyak ahli PB berpendapat bahwa 1 Henokh ditulis sesudah masa PB, banyak juga ahli PB yang lain berbeda pendapat.  Mengapa? Ada dua macam argumen yang sering dikemukakan, yaitu: pertama, persamaan antara pasal-pasal tersebut dengan bagian-bagian yang lain dan 1 Henokh; dan kedua, persamaan antara pasal-pasal tersebut dengan tulisan-tulisan Yahudi dari abad pertama S.M.[29]

Jika pasal 37-71 memang ditulis sebelum masa PB, maka informasi mengenai arti “anak manusia” yang terdapat di dalam pasal—pasal tersebut banyak sekali: pertama, air muka “anak manusia” penuh keanggunan seperti di antara para malaikat kudus; kedua, jelas ia berasal dari sorga dan diutus oleh Allah ke dalam dunia; ketiga, fungsinya adalah untuk mengalahkan orang-orang jahat yang berkuasa dalam dunia sekarang ini; keempat,  Ia akan menguduskan dan membimbing orang-orang kudus; dan kelima, Ia akan memerintah atas segala bangsa.

Selain I Henokh 37-71 istilah “anak manusia” juga terdapat dalam 4 Ezra 13 (bukan Kitab Ezra dalam PL; 4 Ezra ialah salah satu tulisan Yahudi yang disebut “Pseudepigrapha”).  Jelas bukti ini tidak sebobot yang lain, karena ahli Pseudepigrapha setuju berpendapat bahwa 4 Ezra ditulis antara tahun 1OO-2OO, sehingga PB ditulis lebih dahulu.  Informasi yang terdapat dalam sumber ini agak menarik: Allah menyebut ”ia yang seperti anak manusia” sebagai “anakKu”.   “Anak manusia” tersebut akan mengalahkan dan membinasakan bangsa-bangsa yang melawan ia dengan kuasa kata-kata yang keluar dan mulutnya.  Ia akan membela orang-orang yang baik dan damai, dan ia akan mengajarkan kepada mereka banyak rahasia.[30]

Kesimpulannya dari pembahasan mengenai penggunaan informasi dari I Henokh dan IV Ezra adalah bahwa informasi dari I Henokh atau IV Ezra tidak dapat dipakai untuk menafsirkan istilàh “anak manusia” dalam PB.  Tinggal hanya informasi terdapat dalam Daniel 7.  Informasi dalam Daniel 7 sangat terbatas sehingga kemungkinan besar arti istilah “anak manusia” tidak terlalu jelas bagi kebanyakan orang Yahudi pada masa PB (bdg. Yohanes 12:34).  Namun istilah “anak manusia” sangat tepat bagi Yesus, karena jelas dari Daniel pasal 7 bahwa “anak manusia” adalah figur dari sorga yang sangat tinggi.  Itu sebabnya Yesus sering memakai istilah tersebut untuk diri-Nya, karena dengan demikian Ia dapat menjelaskan dengan persis hakekat, kehidupan dan pelayanan-Nya.  Strategi-Nya sangat menarik: Yesus memakai suatu istilah yang artinya kurang pas bagi para pendengar-Nya dengan arti tersendiri-Nya untuk menggambarkan diri-Nya.
2.  Arti “Anak Manusia” Menurut Yesus Kristus
Karena Yesus sering memakai “anak manusia” untuk diri-Nya sendiri, hakekat dan fungsi-Nya sangat jelas.  Ia mengisi istilah tersebut dengan banyak pengajaran tentang diri-Nya.  Pertama, keadaan “Anak Manusia” di dalam dunia ini: sangat miskin.  Matius 8:20 (bdg. Lukas 9:58) menuliskan: ”Yesus berkata kepadanya: “Serigala mempunyai liang dan burung mempunyai sarang, tetapi Anak Manusia tidak mempunyai tempat untuk meletakkan kepala-Nya.”  Kedua, hati “Anak Manusia” terbeban untuk orang-orang yang masih tersesat.  Lukas 19: 10 menuliskan: “Sebab Anak Manusia datang untuk mencari dan menyelamatkan yang hilang.”  Ketiga, otoritas “Anak Manusia” dinyatakan dalam Matius 12:8 (bdg. Markus 2:28) sebagai berikut: “Karena Anak Manusia adalah Tuhan atas hari Sabat.”  Keempat, “Anak Manusia” diutus ke dalam dunia untuk menderita sampai mati; kemudian Ia akan bangkit kembali.  Matius 12:40: “Sebab seperti Yunus tinggal di dalam perut ikan tiga hari tiga malam, demikian juga Anak Manusia akan tinggal di dalam rahim tiga hari tiga malam.”  Matius 20: 18-19 menuliskan:

Sekarang kita pergi ke Yerusalem dan Anak Manusia akan diserahkan kepada imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat, dan mereka akan menjatuhi Ia hukuman mati.  Dan mereka akan menyerahkan Ia kepada bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah, supaya Ia diolok-olokkan, disesah dan disalibkan, dan pada hari  ketiga Ia  akan dibangkitkan.[31]


Matius 20:28 menuliskan: “Sama seperti Anak Manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang.”   Kelima, “Anak Manusia” akan menghakimi bangsa-bangsa pada akhir zaman.  Matius 16:27 menyatakan: “Sebab Anak Manusia akan datang dalam kemuliaan Bapa-Nya diiringi malaikat-malaikat-Nya; pada waktu itu Ia akan membalas setiap orang menurut perbuatannya.”  Keenam, “Anak Manusia” akan mengumpulkan orang-orang kudus pada akhir zaman.  Matius 24:30-31 mencatat:

Pada waktu itu akan tampak tanda Anak Manusia di langit  dan semua bangsa di bumi akan meratap dan mereka akan melihat Anak Manusia itu datang di atas awan-awan di langit dengan segala kekuasaan dan kemuliaan-Nya. Dan Ia akan menyuruh keluar malaikat-malaikat-Nya dengan meniup sangkakala yang dahsyat bunyinya dan mereka akan mengumpulkan orang-orang pilihan-Na dari keempat penjuru bumi, dari ujung langit yang satu ke ujung langit yang lain.

Matius 25:31-33 melanjutkan:

Apabila Anak Manusia datang dalam kemuliaan-Nya dan semua malaikat bersama-sama dengan Ia, maka ia akan bersemayam di atas takhta kemuliaan-Nya. Lalu semua bangsa akan dikumpulkan di hadapan-Nya dan Ia akan memisahkan mereka seorang dari pada seorang, sama seperti gembala memisahkan domba dan kambing, dan Ia akan menempatkan domba-domba di sebelah kanan-Nya dan kambing-kambing di sebelah kiri-Nya.

Leon menuliskan bahwa nampaknya Yesus memakai ungkapan ”Anak Manusia” untuk menunjukkan aspek-aspek tertentu dari karya yang untuk melakukannya Ia datang ke dunia.  Dari hasil penelitian yang seksama disimpulkan ada empat alasan mengapa istilah itu dipakai Yesus untuk diri-Nya sendiri.  Pertama, karena istilah itu jarang dipakai orang dan tidak mengacu  pada suatu bangsa.  Istilah tersebut tidak akan menimbulkan kesulitan politis.  ”Umum akan...menafsirkan-nya sesuai dengan apa yang sudah mereka pahami tentang Yesus, dan tidak lebih dari itu.”[32]  Kedua, karena istilah tersebut mengandung konotasi ilahi.  J. P. Hickinbotham bahkan berkata demikian: ”Anak Manusia lebih merupakan gelar ilahi daripada manusiawi.”[33]  Ketiga, karena implikasi-implikasi kemasyarakatan nya.  Anak Manusia secara tak langsung berarti umat Allah yang ditebus.  Keempat, karena istilah tersebut mengandung nuansa-nuansa manusiawi.  Ia menanggung kelemahan orang-orang percaya.

            Sejauh mana gelar ini dipakai Markus, dapat dibedakan dalam tiga kelompok ucapan.  Pertama, Markus menggunakan gelar ini ketika ia berbbicara tentang kuasa Yesus sebagai Anak Manusia dalam pelayanan-Nya di depan umum.  Dalam ucapan-ucapan ini, Yesus berbicara dengan penuh kuasa dalam bidang-bidang di mana para pendengar-Nya tidak menduga Yesus akan mengatakan demikian.  Ia berkata kepada orang lumpuh yang diturunkan di hadapan-Nya, ”Dosamu sudah diampuni.”  Ketika orang memandang hal ini sebagai penghujatan, Yesus berkata, ”Di dunia ini, Anak Manusia berkuasa mengampuni dosa.”  Lalu Ia membuat mujizat untuk membuktikan fakta tersebbut (Mrk 2:5 10-12).  Anak Manusia melakukan suatu pekerjaan yang oleh semua orang diketahui sebagai pekerjaan Allah, dan tentu saja ini yang membuat orang tidak terima.  Pada kesempatan lain Yesus menyatakan bahwa ”Anak Manusia adalah juga Tuhan atas hari Sabat” (Mrk 2:28).  Sabat ditetapkan oleh Allah (Kej 2:3; Kel 20:8); menyatakan diri berkuasa atas suatu penetapan Allah sungguh merupakan pernyataan yang dinilai sombong.

Penggunaan kedua dari ayat-ayat tentang ”Anak Manusia” oleh Yesus mengacu pada akhir zaman dan memandang Anak Manusia sebagai tokoh yang berkuasa pada waktu tersebut.  Mengenai orang yang malu karena Kristus dan karena perkataan-Nya di tengah-tengah angkatan ini, Yesus berkata, ”Anak Manusia pun akan malu karena orang itu apabila Ia datang kelak dalam kemuliaan Bapa-Nya, diiringi malaikat-malaikat kudus” (Mat 8:38).  Yesus juga berbicara tentang Anak Manusia sebagai ”datang dalam awan-awan dengan segala kekuasaan dan kemuliaan-Nya” (Mat 13:26) dan menanggapi pertanyaan Imam Besar, Yesus menjawab, ”Kamu akan melihat Anak Manusia duduk di sebelah kanan Yang Mahakuasa dan datang di tengah-tengah awan-awan di langit” (Mat 14:62), suatu pandangan yang oleh Imam Besar dipandang sebagai penghujatan dan yang langsung membuat Yesus dijatuhi hukuman oleh Mahkamah Agama (ay 63-64).  Ayat-ayat tersebut menunjukkan kepastian bahwa Yesus pada saatnya akan dibenarkan dalam lingkungan surgawi, meskipun di dunia ini Ia mungkin ditolak oleh para pemimpin.

Injil Matius mempunyai persamaan dengan hampir semua pemakaian ”Anak Manusia” dalam Injil Markus, dan ia mempertahankan pembagian ungkapan tersebut menjadi tiga kelompok oleh MarkusL dalam penyataan mengenai pelayanan Yesus di dunia ini, dalam pernyataan yang berbicara tentang penderitaan dalam pernyataan mengenai kedatangan-Nya dalam kemuliaan.
C.  Yesus sebagai Anak Allah
Salah satu gelar Yesus Kristus yang paling sering dipakai-Nya dan yang paling disukai oleh penulis-penulis Injil-injil Sinoptik ialah “Anak Allah”.   Yesus adalah Anak Allah dalam pengertian unik yang absolut.  ”Yesus berbicara kepada Allah sebagai ’Bapa’, ’Bapa-Ku’, ’Bapa Surgawi-Ku’, dan ’Bapamu di Surga’, kesemuanya lima puluh satu kali.”[34]  Yesus mengindikasikan kesadaran pada relasi unik itu (Mat. 11:27), sebagaimana Bapa (Mat. 3:17; Mrk. 1:11).  Seorang putra memiliki natur dan esensi sama dengan Bapa; mengafirmasi Yesus sebagai Putra-Nya, Allah Bapa mengatakan bahwa Yesus, Putra-Nya, adalah ilahi karena Ia memiliki esensi yang sama dengan Bapa.[35]

Di bawah ini akan dibahas tentang arti gelar tersebut dalam Injil-injil Sinoptik dan implikasinya dalam pelayanan Yesus.
1.  Latar Belakang dalam Perjanjian Lama
Istilah “Anak Allah” dalam Perjanjian Lama dipakai untuk (1) malaikat-malaikat (Kejadian 6:2: Ayub 1:6; Daniel 3:25), (2) bangsa Israel (Keluaran 4:22-23; Hosea 11:1; Maleakhi 2:10, dan (3) raja bangsa Israel (2 Raja-Raja 7:14; Mazmur 2:7; 89:26-27), khususnya sebagai gelar untuk Raja Daud dan keturunannya dan inilah yang paling relevan untuk mempelajari latar belakang Perjanjian Baru.  Memang nas-nas tertentu ada rasa mesianis (2 Sam 7: 14; Mazmur 2:7; 89:27-29), dan Mazmur 2:7 ditafsirkan sebagai nubuatan kedatangan Yesus dalam beberapa ayat dalam PB (KPR 13:33; Ibrani 1:5)
Berhuhungan dengan Raja Daud dan keturunannya, gelar “anak Allah” mempunyai dua arti.  Yang pertama, raja Israel memegang kuasa sebagai “anak Allah”.  Yang kedua, pemakaian gelar “anak Allah” berarti ada hubungan khusus antara raja Israel dengan Allah karena pemerintahannya didasarkan atas ketentuan dan perjanjian Allah.
1.      Latar Belakang pada Masa Perjanjian Baru

Berdasarkan atas latar belakang ini, tidak mengherankan jika “anak allah” seringkali dipakai untuk Mesias pada masa Perjanjian Baru.  Tetapi justru gelar tersebut jarang dipakai untuk Mesias dalam tulisan-tulisan Yahudi dari periode ini.  Gelar ini dipakai untuk Mesias dalam 1 Henokh 105:2, tetapi karena ayat itu tidak ditemukan dalam naskah-naskah Bahasa Yunani (hanya dalam naskah-naskah Bahasa Etiopia), tidak bisa yakin bahwa ayat itu termasuk dalam yang sah.  Mesias juga disebut “anak Allah” dalam 4 Ezra pasal 7 dan pasal 13-14, dan dalam 2 Barukh 70:9 (kedua tulisan ini ditulis pada akhir abad pertama atau awal abad kedua).  Banyak ahli Pseudepigrapha berpendapat bahwa yang ditekankan dalam 4 Ezra dan 2 Barukh ialah Mesias sebagai hamba Allah’ (berdasarkan atas istilah παις bukan  υίος) jadi kesimpulan ini tidak pasti.[36]

Selain bukti yang ditemukan dalam tulisan-tulisan dan Pseudepigrapha, ada tiga tulisan yang sangat penting dari Qumran.  Yang pertama adalah 4Q Florilegium. di mana dikumpulkan beberapa ayat mesianis.  Salah satu ayat yang dikutip disana ialah 2 Sam 7: 14: “Aku akan menjadi Bapanya, dan ia akan menjadi anak-Ku.” Jadi, jelas bahwa masyarakat di Qumran telah menafsirkan ayat itu mesianis, sehingga kemungkinan besar mereka mempunyai konsep Mesias sebagai ‘‘anak Allah’’.  Yang kedua ialah I Q2: 11-12 yang menurut satu tafsiran, mengajar bahwa Allah Sendiri yang menghasilkan Mesias. Yang ketiga, menurut penafsir - penafsir tertentu tertulis dalam 4QpsDan A (4Q246) bahwa “ia [yaitu Mesias] akan disebut anak Allah, dan mereka akan memanggilnya anak Allah yang Mahatinggi”[37]

Berdasarkan atas bukti yang di atas, beberapa ahli PB dan ahli Pseudepigrapha[38]  berpendapat bahwa “anak Allah’ sudah mulai dipakai sebagai gelar mesianis pada masa Perjanjian Baru.  Kesimpulan ini konsisten dengan pernyataan-pernyataan tertentu di dalam Perjanjian Baru, termasuk pengakuan Petrus di dalam Matius 16: 16: “Lalu Yesus bertanya kepada mereka: ‘tetapi apa katamu, siapakah Aku ini?’ Maka jawab Simon Petrus: ‘Engkau adalah Mesias, Anak Allah yang hidup!” (bdg. Matius 26:63; Markus 14:61; Ia’, 4:41; Yohanes 11:27; 20:31; KPR 9:20-22).
3.  Pemakaian ”Anak Allah” bagi Yesus Menurut Injil-injil Sinoptik

Injil Markus, yang dimulai dengan mengatakan secara langsung bahwa Yesus adalah ”Anak Allah” (Markus 1:1).  Kemudian, sama seperti dalam Injil Matius dan Lukas (Matius 3:17; Lukas 3:22), status Yesus dinyatakan pada saat Ia dibaptis:

Pada saat Ia keluar dari air, Ia melihat langit terkoyak, dan Roh seperti burung merpati turun ke atas-Nya. Lalu  terdengarlah suara dari sorga: “Engkaulah Anak-Ku yang Ku-kasihi, kepada-Mulah Aku berkenan”[39] 

Berdasarkan pernyataan Allah dalam ayat 11, dua kesimpulan dapat diambil, yaitu: pertama, Yesus layak disebut “Anak Allah” karena hubungan-Nya dengan Allah unik.  Allah sangat mengasihi-Nya sehingga Ia mengatakan kepada Yesus, “kepada-Mulah Aku berkenan”.  Kedua, sebagai “Anak Allah” Yesus selalu menaati Bapa-Nya di sorga dan melakukan hanya apa yang berkenan kepadaNya.  Dalam Kitab Injil dijelaskan bahwa Yesus menaati BapaNya sampai mati, bahkan sampai Ia mati pada kayu salib. Dalam Injil Markus rahasia status Yesus sebagai “Anak Allah” dijaga dengan baik-baik. Ketika roh-roh jahat berteriak-teriak karena mereka mengetahui bahwa Ia adalah “Anak Allah”, mereka diperintahkan untuk berdiam diri (Markus 3: I I 5:7: bdg. I :24, 34). Di dalam Markus pasal 9, ketika Yesus dimuliakan di atas gunung. statusNya sebagai ”Anak Allah” dinyatakan kepada Petrus,  Yakobus, dan YohanesKemudian, di dalam ayat 9, Yesus melarang mereka membicarakan apa yang mereka lihat di atas gunung:

Pada waktu mereka turun dari gunung itu, Yesus berpesan kepada mereka supaya jangan menceritakan kepada seorang pun apa yang telah mereka lihat itu, sebelum Anak Manusia bangkit dari antara orang mati.[40]

Di dalam ayat 9 ada indikasi mengapa Yesus menjaga status-Nya sebagai “Anak Allah”. Murid-murid-Nya -Nya tidak diperbolehkan untuk bercerita kepada orang lain “apa yang telah mereka lihat itu,” khususnya pernyataan Allah tentang status Yesus sebagai Anak-Nya yang dikasihi-Nya, “sebelum Anak Manusia bangkit dari antara orang mati.”


Mengapa status Yesus sebagai “Anak Allah tidak boleh dibicarakan sebelum Yesus mati dan bangkit, sedangkan hal tersebut boleh diumumkan setelah kebangkitan-Nya?  Kemungkinan besar Yesus ingin menghindari adanya salah pengertian di antara “orang banyak itu” mengenai arti istilah “Anak Allah”.  Jika identitas Yesus sebagai “Anak Allah” diumumkan sebelum Ia mati dan bangkit, maka mereka dapat mengambil kesimpulan bahwa sebagai “Anak Allah” Ia hanya melakukan mujizat-mujizat yang mengesankan semua orang.  Suatu kemungkinan yang lain ialah mereka berpusat pada pengharapan mesianis mereka sebagai orang-orang Yahudi, sehingga peran utama Yesus sebagai “Anak Allah” adalah untuk mengalahkan musuh-musuh bangsa Yahudi.  Namun setelah Ia mati dan bangkit peranan-Nya sebagai “Anak Allah” sudah jelas: Ia harus menderita dulu, baru Ia dapat dimuliakan sesuai dengan rencana dan kehendak Allah.

Selain Injil Markus, tema Yesus sebagai “Anak Allah” juga penting dalam Injil Matius dan Lukas, dan pada umumnya makna gelar tersebut sama.  Namun ada satu sub-tema dalam Injil Matius yang menarik.  Matius lebih sering menggunakan konsep ”Anak Allah” daripada Markus.  Seperti Markus, Matius memakai istilah itu pada saat baptisan (3;17), transfigurasi (mat 17:5), dan kematian Yesus (Mat 27:54).  Kalau Markus memakai sebutan Anak Allah dalam pembukaan Injilnya, Matius menyebut ”Yesus Kristus, Anak Daud, Anak Abraham” (1:1). 

Dalam Injil Matius sangat ditekankan bahwa Yesus sebagai “Anak Allah” menaati dengan sempurna kehendak Bapa-Nya di sorga, khususnya ketika Ia menderita sampai mati.  Memang Yesus digoda oleh setan (Matius 4: 1 -11) dan oleh Petrus sebagai agennya (Matius 16:22-23), serta oleh “orang-orang yang lewat di sana” pada waktu Ia disalibkan (Matius 27:39-40), untuk menyatakan status-Nya sebagai “Anak Allah” melalui mujizat-mujizat yang mengesankan.  Namun Ia memilih jalan yang lain, yaitu untuk menyatakan status-Nya melalui ketundukan kepada kehendak Bapa-Nya di sorga.  Di taman Getsemani Ia sangat bergumul dengan penderitaan-penderitaan yang harus dialami-Nya, tetapi Ia tunduk sampai akhirnya kepada kehendak Bapa-Nya:

Maka Ia maju sedikit, lalu sujud dan berdoa, katanya: “Ya Bapa-Ku, jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu dari padaku, tetapi jangan lah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki.

Oleh karena ketaatan AnakNya, Allah membuktikan kebenaran pengakuan Yesus melalui tanda-tanda (Matius 27:51-53) sehingga “kepala pasukan dan prajurit-prajuritnya yang menjaga Yesus menjadi sangat takut lalu berkata: “sungguh Ia ini adalah Anak Allah” (Matis 27:54).

Lukas menggunakan sejumlah gelar bagi Yesus yang juga digunakan dalam Injil Matius dan Markus.  Kadang-kadang ia menyebut Yesus sebagai ”Anak Allah.”  gelar ini sudah ada sejak awal Injilnya.  Malaikat bagirel menjumpai Maria dan mengatakan kepadanya bahwa ia akanmelahirkan seorang anak, yang harus ia beri nama ”Yesus.”  kemudian Gabrriel berkata, ”Ia akan menjadi besar dan akan disebut ’Anak Allah Yang Mahatinggi.”  Lalu ucapan ini disusul dengan informasi mengenai keagungan rajawi-Nya, suatu hal yang membuat Maria bertanya, ”Bagaimana hal itu mungkin terjadi...karena aku belum bersuami?”  Jawab Gabriel, ”Roh Kudus akan turun atasmu dan kuasa Allah Yang Mahatinggi akan menanungi engkau; sebab itu anak yang akan kaulahirkan itu akan disebut ’Kudus, Anak Allah’” (1:31-35).  Selama ini banyak dibicarakan tentang konsepsi perawan, suatu pandangan yang ditolak oleh banyak pakar modern.[41]  Namun jelas Lukas menerima hal itu, yang dianggap penting olehnya.  Hal itu menentukan pemahamannya mengenai istilah ”Anak Allah” dan menjelaskan bahwa ia tidak menggunakan istilah tersebut dengan arti yang minimal.  Bagi Lukas hubungan Yesus dengan Bapa-Nya itu unik.  Kadang-kadang murid-murid yesus disebut ”anak-anak Allah Yang Mahatinggi” (6:35) oleh Lukas, tetapi ia tidak memandang Yesus hanya sebagai salah satu dari antara anak-anak tersebut. Dari ucapan malaikat Gabriel itu jelas sekali bahwa Yesus adalah Anak Allah dalam arti belum dan tidak pernah ada orang lain dapat mempunyai kedudukan tersebut.

Dengan cara yang mirip sekali dengan Matius, Lukas memakai gelar tersebut dalam kisah mengenai pencobaan (4:3, 9; bdg Mat 4:3,6); hal yang sama bisa dikatakan mengenai beberapa nas lainnya.  Akan tetapi mungkin perlu diperhatikan juga bahwa ketika peristiwa Tuhan Yesus dipermuliakan di atas gunung, suara yang datang dari awan-awan berkata, ”Inilah Anak-Ku yang Kupilih” (9:35; sedangkan menurut Matius dan Markus ”Inilah Anak yang Kukasihi”).  Dan masih ada dua nas lain, dimana hanya Lukas yang memakai ungkapan itu.  Salah satunya adalah ketika keluarnya setan-setan dari banyak orang, sambil berteriak, ”Engkau adalah Anak Allah” (4:42).  Di mata Lukas, setan-setan itu benar-benar mengetahui hal ini lama sebelum para murid menyadari siapakah Yesus itu.  Peristiwa lainnya adalah dalam arena pengadilan di mana penginjil ini mencatat pertanyaan para anggota Mahkamah Agama kepada yesus, ”Kalau begitu, Engkau ini Anak Allah?” (22:70)

Dalam Injilnya, Lukas mencatat pemakaian istilah ”Anak Allah” oleh Yesus sendiri bagi dirinya sendiri dapat dipahami dalam tiga aspek: yaitu yang mengacu pada Yesus (1) yang sedang menjalankan pelayanan di depan piblik, (2) dalam penderitaan-Nya, dan (3) pada saat kedatangan-Nya kembali dalam kemuliaan.[42]

Dari berbagai pembahasan di atas, maka dapatlah disimpulkan bahwa arti gelar “Anak Allah dalam pengajaran Yesus meliputi dua hal: pertama, istilah “Anak Allah” menekankan hubungan Yesus dengan Allah, bukan hakekat-Nya sebagai seseorang yang layak menyamakan diri-Nya dengan Allah.  Doktrin tersebut jelas-jelas diajar dalam Perjanjian Baru, tetapi bukan dalam pemakaian gelar “Anak Allah” untuk Yesus dalam Injil-Injil Sinoptik.  Kedua, hubungan antara gelar ‘Mesias” dengan gelar “Anak Allah” dalam pengajaran Yesus tentang diri-Nya.  Dalam kitab-kitab Injil Sinoptik Yesus tidak disebut “Anak Allah” karena Dia adalah Mesias, tetapi karena hubunganNya dengan Allah yang unik sehagai Anak-Nya.  Hubungan-Nya dengan Allah adalah dasar kemesiasan-Nya, bukan sebaliknya.[43]
D.  Yesus sebagai Tuhan

Gereja Tuhan masa kini seringkali memakai gelar “Tuhan” untuk Yesus, misalnya pada waktu berdoa kepada “Tuhan Yesus”, dan arti gelar tersebut sangat tinggi bagi orang-orang percaya, bahkan di beberapa denominasi gereja di Indonesia, ketika mereka membaca ayat-ayat Alkitab, mereka menambahkan kata ”Tuhan” setiapkali bertemu dengan nama ”Yesus”.  Dan kenyataannya memang pemakaian ”Tuhan” dalam pengajaran Yesus adalah sangat nyata penting.  Namun selain mengerti latar belakang istilah “Tuhan” pada masa Perjanjian Baru, harus juga memperhatikan konteks ayat-ayatnya, supaya penafsiran istilah tersebut dapat dilakukan dengan tepat.
1.  Latar belakang dalam Bahasa Yunani
            Pemakaian istilah “Tuhan” (κύριος) dalam bahasa Yunani di luar Alkitab memiliki dua arti yang penting sebagai latar belakang pemakaian istilah tersebut dalam Injil-Injil Sinoptik.  Pertama, baik agama nasional maupun permujaan misteri (‘‘mystery religions”) memakai  κύριος  (atau κύρια ) untuk dewa-dewa dan dewi-dewi (seperti Isis atau Serapis) yang dapat menolong manusia dan layak menerima pengucapan syukur atas pertolongan mereka.  Kedua, pada masa PB κύριος seringkali dipakai untuk Kaisar Roma (misalnya Kaisar Nero), yang dianggap sebagai dewa sekaligus manusia.

Dalam konteks-konteks di atas κύριος  jelas-jelas dipakai untuk tokoh-tokoh yang dianggap lebih daripada manusia.  Namun istilah tersebut tidak selalu berarti demikian, karena dapat dipakai juga (khususnya dalam bentuk vokatic κύριε) untuk sesama manusia.  Istilah ini seringkali dipakai sebagai sambutan untuk menghormati orang yang disambut, sehingga dapat dibandingkan dcngan “tuan” dalam Bahasa Indonesia atau “sir” dalam Bahasa Inggris.
2.  Latar belakang dalam Perjanjian Lama (Septuaginta)

Dalam Perjanjian Lama versi Bahasa Yunani yang disebut Septuaginta (LXX) istilah κύριος dipakai lebih dari 9.000 kali.  Dari jumlah ini istilah tersebut dipakai 6156 kali sebagai kata ganti nama Allah Israel, yaitu Yahweh.  Dalam ayat-ayat ini kata κύριος  dipakai bukan sebagai terjemahan Yahweh tetapi untuk menghindari pemakaian nama Allah.  Kenyataan ini konsisten dengan kecenderungan banyak orang Yahudi pada masa Perjanjian Baru untuk berbicara dan menulis secara tidak langsung agar menghindari pemakaian nama Allah yang dianggap terlalu Suci untuk dibicarakan.

Selain pemakaian κύριος dalam Septuaginta, κύριος  juga seringkali dipakai untuk Yahweh dalam tulisan-tulisan Josephus dan Philo, dan dalam Hikmat Salomo.
3.  Pemakaian κύριος dalam Injil – injil Sinoptik
Jika kita mempelajari pemakaian istilah κύριος dalam Injil—Injil Sinoptik, maka kita akan memperhatikan bahwa arti istilah tersebut sangat tergantung pada konteksnya. Sama seperti dalam Perjanjian Lama versi Bahasa Yunani (Septuaginta), κύριος seringkali dipakai untuk Allah Sendiri (yaitu Allah bangsa Israel; bdg. misalnya Mãtius 1:20, 22, 24; 2:13, 15, 19; 4:7. 10; 5:33), dan dalam dua ayat kurio" dipakai untuk Allah Bapa (Matius 11:25; Lukas 10:21).
Pemakaian di atas terdapat dalam satu nas di mana para penulis Injil-Injil Sinoptik mengutip Yesia 40:3 (Matius 3:3; Markus 1:3; Lukas 3:4; bdg. Lukas 1:76) di mana κύριος dipakai untuk menterjemahkan “Yahweh”.  Namun dalam Injil- injil Sinoptik, κύριος menyebutkan Yesus Kristus, bukan Yahweh.  Memang beberapa penulis Perjanjian Baru merasa bebas untuk menerapkan ayat-ayat dari Perjanjian Lama yang menyebutkan ‘Yahweh’ kepada Yesus.  Kecenderungan tersebut berarti posisi Yesus dalam pikiran pra penulis lnjil-injil Sinoptik sangat tinggi, sehingga mereka berani mengidentifikasikan Yesus dengan Yahweh.
Namun arti istilah tersebut tidak selalu menunjukkan seorang figur yang melebihi manusia.  Dalam banyak ayat κύριος dapat diterjemahkan dengan tepat sebagai “tuan” bukan “tuhan”.  Istilah ini berarti ”tuan seorang hamba” (Matius 10:24-25; 13:27; 18:25, 27,31,32, 34; 24:45, 46, 48, 50; 25:18, 19,20, 21, 22, 23, 24, 26; Mankus 13:35; Lukas 12:35, 36, 37, 42, 43, 45, 47; 14:2 1, 22. 23; 16:3, 5, 8, 13; 19: 16, 18, 20, 25), “tuan kebun anggur” (Matius 20:8, 40; Markus 12:9; Lukas 13:8; 20:13, 15), “bapa seorang anak yang bekerja untuknya“ (Matius 2 1:30), ”seorang mempelai” (Matius 25:11), dan “seorang tuan rumah” (Lukas 13:25).  Istilah tersebut juga dipakai dengan arti “tuan” (bahasa Inggris “sir” ) untuk menghormati Pontius Pilatus (Matius 27:63).
Istilah κύριος juga dipakai dalam Matius 12:8 (par. Markus 2:28; Lukas 6:5) untuk menegaskan kuasanya sebagai seorang penafsir Hukum Taurat: ”Karena manusia adalah Tuhan atas hari Sabat.”  Selain pemakaian di atas, istilah κύριος seringkali dipakai untuk Yesus sendiri dalam Injil-Injil Sinoptik, tetapi artinya dalam banyak ayat kurang jelas. 
Penggunaan istilah κύριος bagi Yesus, apakah istilah tersebut dipakai untuk menghormati Yesus sebagai seorang guru agama  Yahudi (yaitu dengan arti ‘tuan”) atau sebagai suatu indikasi bahwa posisinya melebihi manusia (yaitu dengan arti “tuhan”; bdg. Matius 8:2, 6, 8, 21, 25, l4:28,30; 16.22; 17:4, 15; 18:21;26:22: Markus 7:28; Lukas 5:8, 12; ;9:54, 61; 10: 17, 40; Ii: 1; 12:41 )?” Jawabannya tidak pasti, walaupun dalam beberapa ayat istilah κύριος dikaitkan dengan gelar “anak Daud” sehingga artinya jelas-jelas mesianis.  Namun harus diingat bahwa Mesias bagi orang-orang Yahudi adalah tokoh manusiawi yang sangat diurapi Allah, bukan seorang figur yang layak menyamakan diri dengan Allah.
Meskipun arti dalam beberapa ayat kurang jelas, harus disadari beberapa hal: Yang pertama, pengertian orang-orang terhadap Yesus, khususnya pengertian murid Yesus, tidak statis.  Memang pengertian mereka dapat disebut dinamis karena berkembang terus, meskipun mereka tidak dapat memahami banyak hal sebelum Yesus mati dan bangkit.  Jadi, tidak mengherankan jika istilah κύριος dipakai dengan arti yang lebih dalam dan lebih tinggi dalam pasal-pasal terakhir Injil-Injil Sinoptik dari pada dalam pasal-pasal pertama, tetapi perkembangan ini sulit dibuktikan.
Yang kedua, istilah κύριος tidak hanya dipakai oleh Yesus dan orang-orang lain yang berbicara dengan-Nya, tetapi juga oleh penulis injil Lukas yang selalu menyebutkan Yesus sebagai  κύριος (Lukas 7:13, 19; 10:1, 39; 11:39; 12:42; 13:15: 18:6; 19:8; 22:6 1). Gelar ini yang paling sering dipakai Lukas untuk Yesus (103 kali dalam Injilnya dan 107 kali dalam Kisah Para Rasul).  Tentu saja gelar ini memiliki macam-macam arti.  Tidak diketahui dengan persis pengertian Lukas terhadap istilah tersebut, tetapi pengertiannya jelas-jelas melebihi pengertian para murid Yesus karena ia menulis dan pandangan pos-kebangkitan.
Yang ketiga, dalam Injil Matius, dan pada umumnya Injil Markus dan Lukas ikut prinsip ini juga, para musuh Yesus dan Yudas Iskariot selalu menyambut Yesus dengan didaskale  atau rabbi (“guru”), sedangkan para murid-Nya dan orang-orang yang datang kepada-Nya dengan Iman menyambut-Nya dengan κύριε.  Jadi, meskipun pengertian mereka terhadap ke-Tuhanan Yesus belum berkembang, orang-orang yang beriman ingin menghormati dan memuliakan nama-Nya.
Selain pengamatan-pengamatan di atas, ada beberapa nas yang perlu kita perhatikan karena di dalam nas-nas tersebut kita melihat ke-Tuhanan Yesus dengan lebih jelas.  Nas yang pertama ialah Matius 22:42-45, di mana Yesus mengutip dari Mazmur 110:
Apakah pendapatmu  tentang Mesias ?Anak siapakah Dia?’ Kata mereka kepadaNva: ‘Anak Datid. ‘ KataNya kepada mereka: ‘Jika demikian, bagaimanakah Daud oleh pimpinan Roh dapat menyebut Dia Tuannya (κύριον), ketika ía berkata: Tuhan (κύριος ) telah berfirman kepada Tuanku (του κύριου μου): duduklah di sebelah kananKu, sampai musuh-musuhMu Kutaruh di bawah kakiMu. Jadi jika Daud menyebut Dia Tuannya, bagaimana mungkin Ia anaknya pula?
Asumsi Yesus dalam ayat-ayat ini adalah dua: (1) bahwa Mazmur 110 ditulis  Daud sendiri, dan (2) bahwa ayat-ayat yang dikutip adalah mesianis. Asumsi-Nya yang pertama didukung oleh superscription Mazmur 110, yaitu kata-kata yang ditulis di atas Mazmur 110 dalam Alkitab kita (“Mazmur Daud”), sedangkan asumsi-Nya yang kedua konsisten dengan tafsiran Mazmur 110 oleh orang-orang Yahudi pada masa PB [44]
Menurut Yesus Sang Mesias, yang seringkali disebut “Anak Daud” oleh orang-orang Yahudi, layak disebut κύριος oleh Raja Daud sendiri, sehingga Mesias lebih tinggi dari pada posisi Raja Daud.  Memang Allah mengatakan kepada Sang Mesias, “Duduklah di sebelah kananKu, sampai Kutaruh di bawah kakiMu.”  Orang-orang percaya mengetahui bahwa posisi tersebut adalah posisi kuasa dan kemuliaan, sehingga Sang Mesias jelas-jelas melebihi keterbatasan manusiawi.
Selain Matius 22:42-45 ada nas-nas yang lain yang sangat penting untuk topik ini. Dalam dua ayat, yaitu Markus 16: 19 dan dalam Lukas 24:3, Yesus disebut “Tuhan Yesus” (κύριος  Іήσους).  Yang menarik ialah bahwa kedua ayat ini terdapat pada akhir Injil-Injil tersebut, sehingga menjadi jelas bagi si pembaca bahwa setelah Yesus bangkit para murid-Nya baru mulai mengerti implikasi-implikasi keTuhanan-Nya.
Hanya satu kali dalam Injil Markus Yesus menyatakan status-Nya sebagai Anak Allah di hadapan umum, yaitu dalam 12:6. Namun penyataan ini tidak langsung, karena dalam konteks perumpamaan tentang penggarap-penggarap kebun anggur.
            Gelar ”Tuhan” adalah gelar yang paling sering dipakai Lukas untuk Yesus (103 kali dalam Injilnya dan 1107 kali dalam Kisah Para Rasul).  Tentu saja gelar itu memiliki bermacam-macam arti.  Gelar itu (The Lord) dipakai untuk pemilik dari sesuatu misalnya keledai (Luk. 19:33) atau kebun anggur (Luk. 20:13).  Gelar itu sering dipakai sebagai bentuk sapaan yang sopan seperti jika seorang pelayan menyapa manjikannya (Luk. 13:8; 14:22).  Penggunaan-penggunaan tersebut dapat dengan cepat membuat gelar itu menjadi cara biasa untuk nyapa atau berbicara tentang seseorang yang lebih mulia, dan dengan demikian gelar itu lalu dipakai untuk orang-ornag yang berkedudukan tinggi.   Tidak hanya mereka yang berkedudukan tinggi disebut ”tuan”.  Tetapi istilah itu digunakan juga untuk para dewa.  Ini tidak berarti bahwa gelar itu tidak dipakai untuk manusia meskipun begitu hampir tidak ada masalah dengan pemakaian gelar ini, kecuali penafsiran yang tepat atas teks-teks tertentu.  Membedakan ”tuan” manusiawi dari tuan illahi tidak pernah sampai merupakan kesulitan yang tak teratasi.
Dalam septuaginta, yakni terjemahan Perjanjian Lama ke dalam Bahasa Yunani, kata tersebut adalah cara untuk menyebut kata illahi ”Yahweh”.  Lukas mempertahankan pemakaian ini: dapat ditemukan paling sedikit 25 kali pada kedua pasal pembukaan dari Injilnya: ia berbicara tentang ”segala perintah dan ketetapan Tuhan” (Luk.1:6) ”perbuatan Tuhan” (Luk. 1:25), dan sebagainya.  Ia memakainya juga dalam Kisah Para rasul, khususnya dalam kaitannya dengan ”malaikat Tuhan” (Kisah 5:19; 8:26).  Jadi, berbicara tentang Yesus sebagai ”Tuhan” berarti memberikan kepada-Nya sesuatu gelar yang sangat berarti. Fitmyer menulis: ”dengan memakai kurios baik untuk yahweh maupun untuk Yesus dalam tulisan-tulisannya, Lukas melestarikan makna gelar itu yang sudah dipakai di kalangan jemaat Kristen mula-mula yang dalam hal tertentu memandang Yesus sebagai setara dengan Yahweh.”[45]

KESIMPULAN
Para penulis Injil-injil Sinoptik sangat menghormati dan mengagungkan pribadi Yesus.  Pribadi Yesus di mata mereka adalah suatu pribadi yang luar biasa dan dihormati.  Mereka percaya tanpa keraguan sedikitpun akan kemanusiaan Yesus dan keberadaan-Nya sebagai manusia yang tanpa dosa.  Dimulai dari kelahiran Yesus sebagai manusia pada umumnya, dilanjutkan dengan kehidupan-Nya sebagai manusia biasa.  Segala yang dilakukan manusia juga dilakukan Yesus kecuali berbuat dosa.  Pencobaan-pencobaan yang dialami Yesus dicatat bukan untuk membuktikan bahwa Ia berdosa, melainkan untuk membuktikan keberadaan-Nya yang tanpa dosa.  Tidak ada keinginan dalam diri-Nya untuk berdosa.  Ketaatan-Nya dibuktikan ketika Ia mati di kayu salib.
                  Para penulis Injil-injil Sinoptik juga meyakini bahwa Yesus adalah Allah sejati sementara Ia di dunia ini mengemban tugas-tugas keselamatan yang ditaruh di atas pundak-Nya.  Kenyataan akan keilahian Yesus terlihat dari penggunaan gelar-gelar bagi Yesus baik oleh diri-Nya sendiri maupun oleh orang-orang di sekeliling-Nya.  Gelar-gelar tersebut adalah Yesus sebagai Mesias, Yesus sebagai Anak Manusia, Yesus sebagai Anak Allah, dan Yesus sebagai Tuhan.  Semua gelar ini menyatakan keilahian Yesus dan tugas-tugas-Nya dalam karya penyelamatan manusia.




[1] Donald Guthrie, Teologi Perjanjian Baru Jilid 1  (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006), p. 243.
[2] Millard J. Erickson, Teologi Kristen Volume 2  (Malang: Penerbit Gandum Mas, 2003), p. 348.
[3] Millard J. Erickson, Teologi Kristen Volume 2, p. 360.
[4] J.N.D. Kelly, Early Christian Doctrines  (New York: Harper and Row, 1960), p. 293.
[5] R.C. Sproul, Kebenaran-kebenaran Dasar Iman Kristen  (Malang: Seminari Alkitab Asia Tenggara, 2008) p. 111.
[6] Doktrin kelahiran Kristus dari anak dara menyatakan bahwa kelahiran Kristus adalah akibat dari suatu mujizat pada waktu dikandung oleh Maria. Anak dara Maria mengandung seorang bayi dengan kuasa Roh Kudus, tanpa peran sertia dari seorang bapa.  Mujizat kelahiran Kristus menjelaskan kepada kita mengenai natur yang dimilikiNya.  KelahiranNya dari seorang perempuan menunjukkan bahwa Dia adalah benar-benar manusia dan menjadi sama dengan manusia biasa tetapi kemanusiaan Kristus tidaklah sama dengan manusia biasa yang lahir dengan dosa asal sedangkan Kristus tidak demikian.
[7] Paul Enns, The Moody Handbook of Theology, Buku Pegangan Teologi  (Malang: Literatur SAAT, 2008), p. 101.
[8] Donald Guthrie, New Testament Theology  (Downers Grove, III.: InterVarsity, 1981), p. 222.
[9] Donald Guthrie Teologi Perjanjian Baru Jilid 1, p. 246.
[10] Pencobaan yang dialami oleh Tuhan Yesus adalah pencobaan yang sungguh-sungguh terjadi karena Ia adalah manusia yang sejati. keadaanNya yang tidak berdosa tidak berarti bahwa Ia tidak mungkin mengalami pencobaan yang sebenarnya.
[11] Ada pendapat (misalnya Tinsley 1960) bahwa baptisan dan pencobaan Kristus merupakan pengulangan dari pengalaman bangsa Israel sesudah meninggalkan Mesir (lihat kitab Keluaran). Yesus adalah Israel yang baru. Murid-muridNya harus mengikuti teladanNya dan mereka akan mengalami pengalaman yang serupa.
[12] Dengan maksud membela ajaran bahwa Yesus tidak berdosa, Gereja RK mengajarkan bahwa Maria juga dilahirkan tanpa dosa.  Ajaran tersebut sama sekali tidak didasari oleh bukti yang alkitabiah. Juga harus diperhatikan bahwa ajaran tentang kelahiran Yesus dari seorang anak dara tidak menjamin bahwa Yesus tidak berdosa.  Namun apa yang dapat dikatakan ialah bahwa melalui kelahiran yang ajaib ini tidak dapat mengharapkan seseorang yang demikian luar biasa sehingga ketidakberdosaan-Nya bukanlah hal yang mengherankan. 
[13] Yohanes merasa ragu-ragu mungkin karena ia sadar bahwa Yesus lebih unggul daripada dia, sehingga ia menganggap bahwa Yesuslah yang harus membaptis dia dengan Roh, bukan dia yang membaptis Yesus dengan air.
[14] E. Best, The Temptation and the Passion: The Markan Soteriology  (Cambridge: CUP, 1965), p. 29.
[15] Donald Guthrie, p. 256.
[16] Tentu saja ada orang-orang yang mengganggap bahwa Yesus berbuat dosa.  Antara lain, Nels Ferre, yang menemukan dalam perilaku Yesus kurangnya percaya yang sempurna pada Allah Bapa, yang merupakan dosa tida percaya.  Bagaimanapun juga, tafsiran Ferre itu salah, dan pandangannya tentang dosa sangat dipengaruhi oleh pengertian eksistensial dan bukan pengertian alkitabiah.  Baca Christ and the Christian  (New York: Harper and Row, 1958) p. 110-114.
[17] Donald Guthrie, Teologi Perjanjian Baru Jilid 1, p. 257.
[18] R.P. Martin, Mark: Evangelist and Theologian, (Exeter: Paternoster, 1972), p. 124.
[19]Tom Sappington, “Diktat Kuliah Teologi Perjanjian Baru”  (Jogyakarta: Sekolah Tinggi Teologi Injili Indonesia, t.t.), p. 27.
[20] Donald Guthrie, Teologi Perjanjian baru Jilid 1 p. 267.
[21] Dalam tulisan-tulisan para rabi, Mesias dari keturunan Raja Daud merupakan tokoh utama dalam pengharapan akan datangnya seorang Mesias, sedangkan gelar “Anak Manusia” tidak dipakai lagi (Ladd, 1974, p. 138).
[22] Tom Sappington, p. 28.
[23] Untuk pembahasan yang lebih detil, coba baca Richard N. Longenecker, The Christology of Early Jewish Christianity (Grand Rapids: Baker, 1970), hal 63-82 (dari sudut pandang injili), atau dan sudut pandang non-injili bacalah artikal—artikal dalam James H. Charlesworth, ed., The Messiah (Minneapolis: Fortress, 1992).
[24] Paul Enns, The Moody Handbook of Theology, Buku Pegangan Teologi  (Malang: Literatur SAAT, 2008), p. 97.
[25] Donald Guthrie, New testament Theology (Downers Grove, III.: InterVarsity, 1981), p. 280-281.
[26] Ibid., p. 281.
[27] Daniel 7
[28]Tom Sappington, p. 31.
[29]Ibid.
[30]Tom Sappington, p. 32.
[31]Matius 20:18-19.
[32] Reginald H. Fuller.  The Mission and Achievement of Jesus  (London, 1954), p. 106.
[33] Leon Morris, p. 139.
[34] Donald Guthrie, New Testament Theology, p. 303-304.
[35] Paul Eens, The Moody Handbook of Theology Volume 1  (Malang: Literatur SAAT, 2008), p. 102.
[36] Tom Sappington, p 34.
[37]  (coba lihat D.R. Bauer, “Son of  God” dalam Dictionary of Jesus and the Gospels, ed. Joel B. Green et al [Downers Grove, IL: InterVarsity Press, 1992], hal. 770.
[38] misalnya R.H. Fuller: RN. Longenecker.
[39] Markus 1:10-11.
[40] Markus 9:9
[41] Ada banyak sekali tulisan mengenai kelahiran dari seorang perawan itu. Beberapa buku yang bisa disebutkan: J. Gresham Machen, The Virgin Birth of Christ  (London: 1958); Thomas Boslooper, The Virgin Birth  (London, 1962); Hans von Campenhausen, The Virgin Birth in the Theology of the Ancient Church, (London, 1964); Raymond E. Brown, The Virgin Conception and Bodily Resurrection of Jesus, (London, 1973).
[42] Leon Morris, Teologi Perjanjian Baru  (Malang: Penerbit Gandum Mas, 2006), p. 221.
[43] Untuk pembahasan topik ini yang lebih detil, coba baca Longenecker, christology, hal. 93-99, dan D. R. Bauer, “Son of God’, in Dictionary of Jesus and the Gospels, ed. Joel B. Green et. Al. (Downers Grove, IL: InterVarsity Press, 1992), hal. 769-775.
[44] David M. Hay, Glory at the Right Hand: Psalm 110 in Early Christianity  (Nashville: Abingdon, 1973), p. 11-13.
[45] The Gospel According to Luke , p. 203.

0 Response to "KRISTOLOGI INJIL-INJIL SINOPTIK"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel