INTRODUKSI KITAB KIDUNG AGUNG






A. INTRODUKSI KITAB


Kidung Agung merupakan satu-satunya kitab dalam Perjanjian Lama yang paling membingungkan. Bebarapa kesulitan yang membingungkan para penafsir antara lain :

1. Pokok atau tema serta bahasa yang dipakai dalam kitab ini membingungkan, mengejutkan   dan “memalukan” para pembaca, sehingga kanonisasi kitab ini dalam Perjanjian lama menjadi perdebatan yang tidak ada habis-habisnya.
2. Strukturnya tidak jelas, dari satu pokok kepada pokok yang lain tidak memiliki alur atau peralihan yang jelas, sehingga sulit memberikan pembagian kepada tiap-tiap pokok.
3. Latar belakang yang tidak jelas serta peranan tokoh-tokoh yang dilakonkan dalam kitab ini sulit diidentifikasi 

Kesulitan untuk memahami kitab ini melahirkan beberapa pandangan yang berbeda satu dengan yang lainnya. Pandangan-pandangan ini  antara lain : Pendekatan drama, pendekatan tipologis, pendekatan mitologis atau fiksi, pendekatan didaktis, alegoris dan pendekatan harafiah - didaktis

B. NAMA KITAB

Dalam bahasa Ibrani kitab ini disebut “shir hashirim” (1;1) yang dapat berarti, “kidung dari segala kidung” ditulis dalam bentuk superlativ dan berbicara tentang nyanyian Salomo yang paling indah.

Dalam bahasa Yunani (LXX) diberi judul “asma asmaton” dan dalam bahasa Latin “ canticum canticorum” yang juga berarti kidung dari segala kidung atau nyanyian yang terbaik. Karena Salomo disebut dalam 1:1, kitab ini juga dikenal dengan “nyanyian Salomo”.

C. PENDEKATAN-PENDEKATAN TERHADAP KITAB KIDUNG AGUNG

1. Pendekatan Drama

Pendekatan ini sudah dimulai sejak Abad ketiga  AD, dimana Kidung Agung dipentaskan sebagai suatu hiburan di istana . Pendekatan ini mengetengahkan kisah cinta antara seorang raja dengan seorang perawan desa yang diperankan oleh dua atau tiga tokoh yaitu; Salomo (gembala), gadis Sulam dan Anak-anak perempuan dari Yerusalem (harem).

Pendekatan drama terhadap kitab ini mengalami kesulitan untuk menentukan jumlah tokoh-tokoh yang pasti dalam kitab ini. Ada orang yang berpegang kepada teori dua tokoh dan ada juga yang tiga tokoh. Pandangan yang mengidentikkan dua tokoh yaitu Salomo dan gadis Sulam, hanya dibedakan oleh saudara-saudara perempuan dari Yerusalem yang melayani sebagai anggota paduan suara dalam teori tiga tokoh.


Alur cerita berpusat kepada cinta antara seorang Raja dengan seorang gadis desa yang sangat cantik, yang memiliki budi bahasa yang baik. Ia memikat hati sang raja yang sangat berhikmat dan sang raja tidak berdaya di hadapannya. Cerita ini berkembang dari perkenalan kepada pernikahan, tantangan cinta tetapi pada akhirnya (8:5-14) mereka dipertalikan dengan cinta yang sangat dalam.

Pendekatan drama menyajikan suatu alur cerita, yang mencatat kemurnian cinta Salomo yang diberikannya kepada gadis Sulam. Jalan cerita ini bergerak dari poligami dan cinta yang merosot (antara cinta Salomo dengan para haremnya)  kepada monogamy atau cinta yang murni, erotis tetapi penuh dengan kesetiaan.

Beberapa kesulitan melalui pendekatan drama terhadap kitab Kidung Agung antara lain:

a. Tidak mungkin untuk menentukan secara spesifik bagian-bagian dalam kitab ini merupakan bagian-bagian yang diperankan oleh tokoh itu.
b. Drama merupakan jenis sastra yang tidak teruji baik dalam Alkitab maupun dalam karya-karya sastra Timur Tengah Kuno.
c. Kitab ini tidak menunjukkan ciri-ciri yang biasanya dihubungkan dengan suatu narasi.
d. Secara positif, Kidung Agung memiliki metafor-metafor yang sama dengan sajak-sajak Mesopotamia dan Mesir.

Pendekatan drama tidak dapat diterapkan sepenuhnya oleh karena pendekatan ini tidak dapat menunjukkan alur cerita secara jelas. Kitab ini tidak dibaca seperti suatu narasi yang dimulai dengan suatu pendahuluan yang membangun suatu klimaks kepada suatu kesimpulan.

Meskipun demikian, dalam kitab Kidung Agung ada kesinambungan tema, karakter, gagasan-gagasan yang dalam bagian-bagian tertentu dapat memiliki arti ganda. Jika kita menerima atau melakukan pendekatan drama  terhadap kitab Kidung Agung, maka pandangan kita terhadap kidung Agung adalah suatu kumpulan sajak cinta atau suatu bunga rampai yang erotis

2. Pendekatan fiksi,

Pendekatan bertitik tolak dengan suatu asumsi bahwa  kitab Kidung Agung merupakan karya sastra yang disadur dari kepercaayaan orang-orang Mesopotamia, direvisi, diberi makna yang baru sehingga dapat diterima oleh bangsa Israel. fiksi yang menggambarkan Istana Salomo dan perkawinannya dengan seorang gadis Sulam (perawan desa). Cerita ini bukan suatu peristiwa yang benar-benar terjadi, tetapi hanya merupakan suatu fiksi yang ditulis untuk tujuan tertentu.      

3. Pendekatan tipologis

Pendekatan ini dimulai dengan asumsi bahwa Kidung Agung merupakan peristiwa sejarah antara gadis Sulam dan raja Salomo, tetapi penafsirannya lebih menekankan kepada pengertian tipologi. Pendekatan ini lebih melihat penggenapan Tipe-anti Tipe baik dalam Perjanjian lama maupun dalam Perjanjian Baru. Kidung Agung dilihat sebagai hubungan antara Allah dan Israel (Perjanjian Lama), sebagaimana hubungan Kristus dengan Gereja-Nya.

Indentifikasi genre ini didukung oleh berbagai paralel-paralel yang digambarkan dalam kitab. Hal ini merupakan sesuatu yang lazim terdapat baik dalam puisi-puisi kuno maupun dalam puisi moderen.

4. Pendekatan didaktis

Tanpa mengabaikan fakta sejarah, Kidung Agung disusun dengan tujuan untuk menyampaikan pengajaran moral. Pendekatan ini tidak berfokus kepada peristiwa atau konteksnya tetapi untuk pengajaran moral, keajaiban cinta seksual, kesetiaan, kesuciaan dan lain-lain.

5. Isu-isu terhadap Penafisiran Algoris


Klasifikasi terhadap Kidung Agung sebagai suatu koleksi sajak cinta, tidak sepenuhnya menunjuk cara penafsiran kitab ini. Alegori adalah suatu metode penafsiran yang lebih sering dipakai dalam memahami kitab Kidung Agung. Kidung Agung ditafsirkan scara Alegoris selama bertahun-tahun dalam sejarah kekristenan.

Penafsiran ini dipakai baik oleh orang Yahudi maupun orang Kristen. Orang-orang Yahudi sampai saat ini menafsirkan kitab Kidung Agung sebagai suatu alegori tentang cinta antara Yahweh dengan Israel, seperti para teolog Kristen menafsirkannya sebagai cinta antara Kristus dengan pengantin wanita yaitu gereja.(Ef.5:22-23).

Pujian dalam Targum (Abad-7 AD) adalah suatu contoh penafsiran Alegori bangsa Yahudi. Yang mencintai adalah Allah dan yang dicintai adalah Israel. Dalam Targum, Kidung Agung juga ditafsirkan secara alegoris yaitu sebagai sejarah keselamatan.

Sejarah Israel digambarkan melalui cinta Israel terhadap Allah dan keinginan mereka akan kehadiran Allah. Bagaimanapun keinginan ini dipisahkan oleh dosa pembrontakan Israel terhadap Allah. Kitab ini menurut tafsiran alegoris dibagi kepada lima bagian yang menceritakan lima periode sejarah yang berbeda.

Sebagai contoh, kita dapat mencatat bagaimana Targum menafsirkan 1:2-4, Bagian ini dilihat sebagai peristiwa Exodus dimana Allah membawa Israel keluar dari Mesir ke dalam kamarnya sendiri yaitu Tanah Perjanjian. Orang Yahudi menjelaskan “orang yang mencintai” dengan “orang yang dicintai”sebagai gambaran keaktifan maupun kefasifan pikiran manusia. Cinta di antara keduanya merupakan suatu mistik tentang dua aspek intelektual manusia.

Orang Kristen mula-mula juga menafsirkan kitab ini secara alegoris. Kesalahan penafsiran orang Kristen mula-mula terhadap Kidung Agung dapat ditemukan dalam beberapa fragmen yang ditulis Hippolytus (kira-kira tahun 200 AD). Dia menafsirkan 1:2-4, sebagai referensi kepada “Kristus yang membawa orang-orang kudus ke dalam gereja”.

Contoh lebih lanjut adalah berasal dari Cyril dari Alexandria. Dia menafsirkan 1:13, “buah dadaku” sebagai symbol bagi Perjanjian Lama dengan Perjanjian Baru, di mana “sebungkus mur” adalah Kristus yang menghubungkan kedua Perjanjian itu.


D.  ANALISA (MELALUI PENDEKATAN HARAFIAH-DIDAKTIS)

Dalam Perjanjian Lama “perkawinan” sering dipakai sebagai gambaran hubungan antara Allah dengan umat-Nya. Ketika bangsa Israel memberontak melawan Dia dengan jalan berzinah dengan ilah-ilah lain, maka dikatakan mereka telah menceraikan atau berzinah. (band.Yeh.16, 23, Hos.1-3).

Kita harus melihat bahwa pengulangan pemakaian “perkawinan” ini sebagai suatu gambaran hubungan antara Allah dengan umat-Nya, tidak mengimformasikan kepada kita pemahaman secara fisik. Sebaliknya “perkawinan” dalam kitab Kidung Agung tidak mengharuskan kita melihat arti dibaliknya dengan mengabaikan referensi kepada fisik manusia yang digambarkan oleh kitab.

Dari faktanya, tidak ada dalam kitab ini yang memberi kesan suatu penafsiran yang mentransfer makna dari suatu bahasa yang erotis kepada kenyataan spiritual. Oleh karena itu mengapa Gereja sampai pada masa kini menafsirkannya dengan cara demikian (alegoris)?

Penafsiran gereja mula-mula terhadap kitab ini kemungkinan dipengaruhi oleh cara berpikir Helenistic (Platonic-dualism,Stoicism, Helenistic, Ilah-Ilah Roma) tentang hubungan antara tubuh dan roh. Pandangan ini telah mempengaruhi pemikir-pemikir Kristen sampai abad Pertengahan yang menganggap bahwa tubuh dan segala aktivitasnya adalah sesuatu yang bersifat sementara, berdosa dan jahat.

Perlakuan yang keras terhadap tubuh (puasa, menyiksa diri atau askese) sangatlah dianjurkan. Pantangan seksualitas dianggap sebagai kebajikan, cara pandang ini mencapai puncaknya pada monostic movement.

Berangkat dari cara pandang atau pengaruh pola pikir Helenistic itu, maka isi kitab Kidung Agung yang penuh dengan puisi erotis, adalah sesuatu yang memalukan dan menjijikkan. Jika kitab ini dipandang secara harafiah maka hal itu hanyalah merupakan pemuasan dari  keinginan hawa nafsu yang jahat.

Anggapan yang salah terhadap seksualitas menghasilkan dua ekstrim. Pada satu sisi, masyarakat kita membuat seksualitas sebagai idol (tuan). Seks menjadi suatu obsesi yang terutama dalam kehidupan manusia. Manusia tidak mempersoalkan jenis hubungan seks, apakah itu heteroseks, homoseks,biseks perzinahan dan lain-lain.

Masyarakat membuat propaganda bahwa kehidupan tanpa seks adalah sesuatu yang membosankan dan tidak memiliki arti. Seksualitas dijadikan  sebagai “tuan” . Banyak orang yang menolak penciptanya dan mencoba memenuhi kekosongan hidupnya dengan hubungan seksual.

Pada sisi yang lain, gereja memberikan pandangan yang salah terhadap seks dan menganggapnya sebagai sesuatu yang tabu. Masyarakat memiliki prasangka buruk secara terus-menerus. Gereja memberikan kesan bahwa seksualitas adalah dasar bagi sebuah perkawinan, tetapi sekaligus menjadi sumber malapetaka di tengah-tengah keluarga. 


Oleh karena itu kitab Kidung Agung sebenarnya merupakan suatu kitab yang bersifat korektif kepada anggapan yang salah terhadap seksualitas dan untuk menghindarinya dipakai pendekatan alegoris. Kidung Agung mengingatkan kita bahwa seks adalah baik. Seks tidak jahat atau salah ketika dinikmati dalam parameter perkawinan.

Bagaimanapun kitab Kidung Agung lebih dari sekedar pedoman bagi masalah seksualitas sebagaimana juga banyak orang memperlakukannya seperti itu. Kitab ini memberikan kontribusi teologis tentang seks. Perkawinan yang dijelaskan dalam kitab ditempatkan atau terjadi  di taman (2:3-13; 4:12-5:1; 5:2-6:3; 6:11; 7:10-13; 8:13-14) hal ini mengingatkan kita tentang taman Eden.

Kej.2:18-25 adalah cerita tentang penciptaan wanita dan yang menghasilkan hubungan yang intim antara manusia itu dengan isterinya. Keintiman dalam pengertian seksualitas dicatat dalam ay.25, “ manusia dan isterinya keduanya telanjang, tetapi mereka tidak malu”

Bagaimanapun dalam bagian berikutnya Adam dan Hawa diperhadapkan dengan pencobaan yang mengakibatkan rusaknya hubungan manusia itu dengan Allah. Dosa mengakibatkan permusuhan antara Allah dengan manusia itu. Pengasingan manusia itu juga nampak atau berakibat dalam hubungan Adam dan Hawa dalam masalah seksualitas mereka. Dalam Kej.3:7 dikatakan, “.. maka terbukalah mata mereka dan mereka tahu, bahwa mereka telanjang…”

Ketika kita kembali kepada kitab Kidung Agung, kita melihat manusia dan isterinya telanjang di taman  mereka tidak merasa malu. Kidung Agung adalah suatu kitab yang, “ mendapatkan  kembali suatu cinta yang telah pergi”. Kitab ini menggambarkan pembaharuan cinta manusia yang sebelumnya merupakan kebahagiaan mereka.

Tetapi kitab Kidung Agung tidak berhenti pada bagian ini saja. Dimana kitab ini juga mengajarkan hubungan manusia dengan Allah. Meskipun nama Allah tidak pernah disebut (mungkin satu kali), metafor perkawinan dapat juga menunjukkan hal itu. Allah memiliki perjanjian dengan umat-Nya seperti perjanjian perkawinan. Janji-janji dan permohonan bangsa Israel tercerai dari Allah ketika bagsa itu melupakan Allah dan menyembah ilah-ilah asing. Akibatnya Allah menceraikan mereka.(Yeh.16,23,Hos.1-3)     

E. PENULIS

Isu-isu tentang penulis dan tanggal kitab Kidung Agung  masih merupakan pokok perdebatan penting pada saat ini. Solusinya tergantung kepada suatu analisa dan kesimpulan terhadap jenis sastra kitab ini.

Kesimpulan yang paling banyak dipakai ialah bahwa kitab Kidung Agung merupakan kumpulan nyanyian dan bukan kesatuan  narasi. Kidung Agung adalah suatu antologi puisi oleh penulis yang berbeda dari waktu yang berbeda sama halnya seperti kitab Mazmur.
     
Dalam terjemahan Alkitab moderen, Kidung agung mendapat tambahan yang ditulis  pada
bagian margin yang menunjuk kepada pembicara-pembicara yang terdapat dalam kitab. Salah satu contoh dalam terjemahan NIV menghubungkan ayat pembukaan  (1:1-4) dengan  menulis,
“orang yang dikasihi” dan dalam terjemahan lain juga dipakai kata “sahabat” dan “kekasih”.
Tambahan-tambahan ini tidak ada sejak semula, dan baru ditambahkan kemudian yang baru
muncul dalam Codex Sinaiticus pada tahun 400 AD.  Tambahan-tambahan ini tidak mempunyai pengaruh terhadap penafsiran-penafsiran yang  ada.

Kitab Kidung Agung merupakan kitab yang sulit dipahami dan biasanya kitab ini  Bagaimanapun kita harus memulai dari pendahuluan kitab yang mencatat; Kidung Salomo”. Judul ini adalah suatu bentuk superlativ Ibrani (pujian yang dilebih-lebihkan) yang mengakui bahwa pujian ini sebagai puncak dari semua pujian atau dapat disebut, “kidung dari  seluruh kidung” sama halnya ketika kita mengungkapkan, “Raja dari segala Raja”.


Pokok yang lebih penting ialah bagaimana Salomo dihubungkan dengan kitab ini. Dalam bahasa Ibrani, nama Salomo dihubungkan denga judul kitab dengan memakai preposisi ’le’ yang memiliki arti yang luas dan banyak fungsi. Preposisi ini dapat berarti ‘bagi’, ‘tentang’ atau ‘oleh’, ‘menurut’ dan lain-lain.

Seperti dalam 1:1, disini kita tidak menemukan suatu konteks yang dapat memimpin kita untuk memahami maknanya  Problem yang sama  kita temukan dalam melihat bukti-bukti tentang kepenulisan Daud atas kitab-kitab yang lain.

Kelompok-kelompok kritis (Sarjana Alkitab moderen) pada umumnya menempatkan kitab ini kepada tanggal yang “terkemudian”. Pandangan ini diletakkan di atas dasar asumsi bahwa kitab ini memakai gaya bahasa dan perbendaharaan katanya dari masa yang terkemudian yaitu masa sesudah pembuangan

Masalah lain yang dapat kita amati jika kita menghubungkan kitab ini dengan Salomo ialah kontras antara cinta Salomo yang dijelaskan dalam kitab ini dengan cinta Salomo yang digambarkan dalam kitab I Raja-Raja.

Kitab Salomo menjelaskan tentang kehidupan Salomo yang hidup dengan banyak (bahkan kelewat banyak) isteri dan gundik. Kitab-kitab sejarah ini dengan jelas mencatat bagaimana kehidupan seksual Salomo yang tidak normal, menjadi sumber malapetaka baginya dan bagi bangsa yang dipimpinnya. Isteri-isteri dan gundik-gundiknya telah menyeret hati Salomo untuk menjauh dari Allah. Dalam bagian lain juga kita dapat melihat kontras antara 3:6-11 dimana Salomo dipuji, dengan 8:10-12, dimana Salomo ditolak

Di satu sisi banyak terdapat ciri-ciri kitab yang menunjuk kepada salomo. Minat Salomo terhadap dunia binatang (fauna) dan dunia tumbuhan (flora) nampak tercermin dalam kitab ini. Kecintaan Salomo terhadap dunia binatang dan tumbuhan  menjadi sumber penulisan bagi Salomo.

Tidak kurang dari 21 jenis tumbuhan dan 15 jenis hewan (tolong dicari) nampak dalam kitab ini. Dalam bagian yang lain juga dijelaskan bahwa Salomo menggubah kurang lebih 1005 nyanyian. Apakah tidak mungkin sebagian nyanyian yang diciptakannya itu merupakan nyanyian cinta yang ditulis dalam kitab ini?

Informasi penting yang dicatat dalam kitab ini berhubungan dengan rujukan terhadap letak-letak geografis. Paling kurang ada 15 nama tempat yang disebutkan antara lain : Kedar (1:5); Mesir (1:9); En-gedi (1:14); Sharon (2:1); Yerusalem (2:7); Lebanon (3:9); Gunung Gilead (4:1); Amana (4:8); Senir (4:8); Hermon (4:8); Tirzah (6:4); Hesybon (7:4); Damsyik (7:4); Carmel (7:5) dan Baal-Hamon (8:11).

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, memang siapa penulis kitab  dan tanggal penulisannya tidak diberikan oleh Alkitab secara eksplisit. Pandangan-pandangan yang timbul tentang issu ini merupakan sesuatu yang wajar dan tidak mengurangi otoritas kitab Kidung Agung sebagai Firman Allah (tentu bagi orang yang percaya Alkitab). Secara Tradisional kitab ini ditulis oleh Salomo, kemungkinan ditulis dalam masa pemerintahannya yaitu tahun 965 BC.


F. TEMA DAN TUJUAN KITAB KIDUNG AGUNG

Kitab kidung Agung menjelaskan tentang kebaikan dan kesucian cinta seksual antar laki-laki dan perempuan dalam parameter perkawinan (2:3-7, 16; 7:9-12). Kitab ini sekaligus merupakan  koreksi terhadap kehidupan sekssual yang tidak wajar (heteroseks, homoseks,  biseks, perzinahan dan lain-lain) di dalam maupun di luar perkawinan.  Kehidupan  seksual dan kasih sayang di antara manusia harus berada di dalam batas-batas yang telah ditetapkan oleh Allah (Kej.2:23-24; Rm.1:24-32; Ibr.13:4; Ams.18:22).

Selain perkawinan sebagai parameter dan sekaligus wadah hubungan sekssual yang sebenarnya, Kidung Agung juga menunjukkan bahwa hubungan seksual itu adalah sesuatu yang patut dan harus dinikmati sekaligus sebagai pengikat atau pemupuk hubungan itu sendiri (Kid.6:2-3; 7:10-13; 8:1-3; band. Ams.5:19; 1Kor).  

Kitab ini juga memaparkan dua jenis hubungan sekssual yang berbeda satu dengan yang lain, Salomo dengan haremnya sebagai cinta poligami sebagai gambaran cinta hawa nafsu dengan cinta Salomo atau gembala dengan gadis Sulam yang merupakan gambaran cinta monogamy yaitu cinta yang tulus, murni dan penuh dengan kesetiaan.

Kidung Agung sebagai suatu drama cinta memiliki alur cerita yang  jelas yang dimulai dari “permulaan cinta”  (perasaan cinta, kesatuan cinta ) kepada suatu cinta yang mendalam (pergumulan cinta, pertumbuhan cinta).


F. ALUR CERITA

Babak pertama : Permulaan cinta (1:1-5:1)

Raja Salomo memiliki kebun Anggur di negeri gadis Sulam (6:13; 8:11). Gadis Sulam bekerja di kebun anggur bersama-sama dengan saudara-saudaranya (1:6; 8:11-12). Ketika Salomo mengunjungi kebun anggur, dia melihat gadis Sulam dan hatinya terpikat oleh kecantikannya. Dia tidak menemukan seorangpun yang melebihi kecantikan gadis Sulam (1:6-8). Salomo membawa gadis Sulam keYerusalem sebagai pengantin wanitanya.

Drama  ini disusun dalam suatu scenario drama dengan tiga (dua) pemeran utama yaitu    
Raja Salomo (pengantin laki-laki):

a. Gadis Sulam (pengantin wanita)
b. Anak-anak perempuan Yerusalem (paduan suara/koor)
Lebih lanjut, dalam pasal 1-3, drama cinta ini menyajikan kepada pembaca suatu
keindahan  cinta  antara pengantin laki-laki dengan pengantin wanita :


1. Kerinduan pengantin wanita sebelum mereka menikah (1:2-8)
2. Ekspresi cinta (saling mengasihi) yang nampak dalam pesta perkawinan (1:9-2:7)
3. Kunjungan Salomo (pengantin laki-laki) pada musim semi ke kampung halaman   pengantin wanita (2:8-17)
4. Mimpi gadis Sulam tentang perpisahannya dengan orang yang dikasihi (3:1-5)
5. Arak-arakan perkawinan dari rumah pengantin wanita ke Yerusalem (3:6-11)

Suatu pujian yang sangat  indah dari seorang yang mengasihi kepada orang yang dikasihi tercermin melalui pasal 4:1-5:1 “ Salomo memuji kecantikan orang yang dicintai dari ujung rambut sampai ujung kaki”, keperawanannya dibandingkan dengan suatu “kebun yang tertutup” (4:12) dan kebun itu dimasuki ketika perkawinan diwujudkan (4:16-5:1).

 Babak kedua : Cinta yang semakin mendalam (5:2-8:14)

Beberapa saat setelah keceriaan perkawinan, gadis Sulam “bermimpi,” Salomo datang dan mengetuk pintu, tetapi gadis Sulam terlambat untuk membukakan pintu baginya, sehingga ia pergi. Gadis Sulam merasa panik, dan pada malam itu ia mencari sang kekasih di Yerusalem. Dalam kegusaran dan pertemuannya dengan sang kekasih, Salomo menenangkan hati orang yang dikasihinya serta memuji kecantikan orang yang dikasihi (6:4-7:10)”

Dalam episode berikutnya, gadis sulam mulai memikirkan dan merindukan kampung halamannya, dan ia mencoba membujuk sang kekasih agar mau pulang bersama-sama dia (7:18-8:4).  Dalam perjalanan mereka menuju ke kampung halaman pengantin wanita itu (8:5-7) diwujudkan suatu ekspresi cinta yang sangat mendalam melalui sikap dan pernyataan pengantin perempuan. “cinta kuat seperti maut”.

Cinta mereka tidak luntur oleh kecemburuan atau oleh keadaan. Setelah mereka tiba, gadis Sulam menunjukkan perhatiannya terhadap adiknya perempuan dan dia tetap menaruh perhatian terhadap kesejahteraan saudara-saudaranya (8:11-12). 







2 Responses to "INTRODUKSI KITAB KIDUNG AGUNG"

  1. penulisnya siapa nih?

    ReplyDelete
  2. iya sebaiknya ada nama penulis, tulisannya bagus kita mau kutip bikin artikel kan keren kalo ada namanya. terima kasih

    ReplyDelete

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel