INTRODUKSI KITAB KIDUNG AGUNG
A. INTRODUKSI KITAB
Kidung Agung merupakan satu-satunya
kitab dalam Perjanjian Lama yang paling membingungkan. Bebarapa kesulitan yang
membingungkan para penafsir antara lain :
1. Pokok atau
tema serta bahasa yang dipakai dalam kitab ini membingungkan, mengejutkan dan “memalukan” para pembaca, sehingga
kanonisasi kitab ini dalam Perjanjian lama menjadi perdebatan yang tidak ada
habis-habisnya.
2. Strukturnya
tidak jelas, dari satu pokok kepada pokok yang lain tidak memiliki alur atau
peralihan yang jelas, sehingga sulit memberikan pembagian kepada tiap-tiap
pokok.
3. Latar belakang
yang tidak jelas serta peranan tokoh-tokoh yang dilakonkan dalam kitab ini
sulit diidentifikasi
Kesulitan untuk memahami kitab ini melahirkan beberapa
pandangan yang berbeda satu dengan yang lainnya. Pandangan-pandangan ini antara lain : Pendekatan drama, pendekatan
tipologis, pendekatan mitologis atau fiksi, pendekatan didaktis, alegoris dan
pendekatan harafiah - didaktis
B. NAMA KITAB
Dalam bahasa
Ibrani kitab ini disebut “shir hashirim” (1;1) yang dapat berarti, “kidung dari
segala kidung” ditulis dalam bentuk superlativ dan berbicara tentang nyanyian
Salomo yang paling indah.
Dalam bahasa
Yunani (LXX) diberi judul “asma asmaton” dan dalam bahasa Latin “ canticum
canticorum” yang juga berarti kidung dari segala kidung atau nyanyian yang
terbaik. Karena Salomo disebut dalam 1:1, kitab ini juga dikenal dengan
“nyanyian Salomo”.
C. PENDEKATAN-PENDEKATAN TERHADAP KITAB KIDUNG AGUNG
1. Pendekatan Drama
Pendekatan ini
sudah dimulai sejak Abad ketiga AD,
dimana Kidung Agung dipentaskan sebagai suatu hiburan di istana . Pendekatan
ini mengetengahkan kisah cinta antara seorang raja dengan seorang perawan desa
yang diperankan oleh dua atau tiga tokoh yaitu; Salomo (gembala), gadis Sulam
dan Anak-anak perempuan dari Yerusalem (harem).
Pendekatan
drama terhadap kitab ini mengalami kesulitan untuk menentukan jumlah
tokoh-tokoh yang pasti dalam kitab ini. Ada orang yang berpegang kepada teori
dua tokoh dan ada juga yang tiga tokoh. Pandangan yang mengidentikkan dua tokoh
yaitu Salomo dan gadis Sulam, hanya dibedakan oleh saudara-saudara perempuan
dari Yerusalem yang melayani sebagai anggota paduan suara dalam teori tiga
tokoh.
Alur cerita
berpusat kepada cinta antara seorang Raja dengan seorang gadis desa yang sangat
cantik, yang memiliki budi bahasa yang baik. Ia memikat hati sang raja yang
sangat berhikmat dan sang raja tidak berdaya di hadapannya. Cerita ini
berkembang dari perkenalan kepada pernikahan, tantangan cinta tetapi pada
akhirnya (8:5-14) mereka dipertalikan dengan cinta yang sangat dalam.
Pendekatan
drama menyajikan suatu alur cerita, yang mencatat kemurnian cinta Salomo yang
diberikannya kepada gadis Sulam. Jalan cerita ini bergerak dari poligami dan
cinta yang merosot (antara cinta Salomo dengan para haremnya) kepada monogamy atau cinta yang murni, erotis
tetapi penuh dengan kesetiaan.
Beberapa
kesulitan melalui pendekatan drama terhadap kitab Kidung Agung antara lain:
a. Tidak
mungkin untuk menentukan secara spesifik bagian-bagian dalam kitab ini
merupakan bagian-bagian yang diperankan oleh tokoh itu.
b. Drama
merupakan jenis sastra yang tidak teruji baik dalam Alkitab maupun dalam karya-karya
sastra Timur Tengah Kuno.
c. Kitab ini
tidak menunjukkan ciri-ciri yang biasanya dihubungkan dengan suatu narasi.
d. Secara
positif, Kidung Agung memiliki metafor-metafor yang sama dengan sajak-sajak
Mesopotamia dan Mesir.
Pendekatan
drama tidak dapat diterapkan sepenuhnya oleh karena pendekatan ini tidak dapat
menunjukkan alur cerita secara jelas. Kitab ini tidak dibaca seperti suatu
narasi yang dimulai dengan suatu pendahuluan yang membangun suatu klimaks
kepada suatu kesimpulan.
Meskipun
demikian, dalam kitab Kidung Agung ada kesinambungan tema, karakter,
gagasan-gagasan yang dalam bagian-bagian tertentu dapat memiliki arti ganda.
Jika kita menerima atau melakukan pendekatan drama terhadap kitab Kidung Agung, maka pandangan
kita terhadap kidung Agung adalah suatu kumpulan sajak cinta atau suatu bunga
rampai yang erotis
2. Pendekatan
fiksi,
Pendekatan
bertitik tolak dengan suatu asumsi bahwa
kitab Kidung Agung merupakan karya sastra yang disadur dari kepercaayaan
orang-orang Mesopotamia, direvisi, diberi makna yang baru sehingga dapat
diterima oleh bangsa Israel. fiksi yang menggambarkan Istana Salomo dan
perkawinannya dengan seorang gadis Sulam (perawan desa). Cerita ini bukan suatu
peristiwa yang benar-benar terjadi, tetapi hanya merupakan suatu fiksi yang
ditulis untuk tujuan tertentu.
3. Pendekatan
tipologis
Pendekatan ini
dimulai dengan asumsi bahwa Kidung Agung merupakan peristiwa sejarah antara
gadis Sulam dan raja Salomo, tetapi penafsirannya lebih menekankan kepada
pengertian tipologi. Pendekatan ini lebih melihat penggenapan Tipe-anti Tipe
baik dalam Perjanjian lama maupun dalam Perjanjian Baru. Kidung Agung dilihat
sebagai hubungan antara Allah dan Israel (Perjanjian Lama), sebagaimana
hubungan Kristus dengan Gereja-Nya.
Indentifikasi
genre ini didukung oleh berbagai paralel-paralel yang digambarkan dalam kitab.
Hal ini merupakan sesuatu yang lazim terdapat baik dalam puisi-puisi kuno
maupun dalam puisi moderen.
4. Pendekatan didaktis
Tanpa
mengabaikan fakta sejarah, Kidung Agung disusun dengan tujuan untuk
menyampaikan pengajaran moral. Pendekatan ini tidak berfokus kepada peristiwa
atau konteksnya tetapi untuk pengajaran moral, keajaiban cinta seksual,
kesetiaan, kesuciaan dan lain-lain.
5. Isu-isu
terhadap Penafisiran Algoris
Klasifikasi
terhadap Kidung Agung sebagai suatu koleksi sajak cinta, tidak sepenuhnya
menunjuk cara penafsiran kitab ini. Alegori adalah suatu metode penafsiran yang
lebih sering dipakai dalam memahami kitab Kidung Agung. Kidung Agung
ditafsirkan scara Alegoris selama bertahun-tahun dalam sejarah kekristenan.
Penafsiran ini
dipakai baik oleh orang Yahudi maupun orang Kristen. Orang-orang Yahudi sampai
saat ini menafsirkan kitab Kidung Agung sebagai suatu alegori tentang cinta
antara Yahweh dengan Israel, seperti para teolog Kristen menafsirkannya
sebagai cinta antara Kristus dengan pengantin wanita yaitu gereja.(Ef.5:22-23).
Pujian dalam
Targum (Abad-7 AD) adalah suatu contoh penafsiran Alegori bangsa Yahudi. Yang mencintai
adalah Allah dan yang dicintai adalah Israel. Dalam Targum, Kidung Agung
juga ditafsirkan secara alegoris yaitu sebagai sejarah keselamatan.
Sejarah Israel
digambarkan melalui cinta Israel terhadap Allah dan keinginan mereka akan
kehadiran Allah. Bagaimanapun keinginan ini dipisahkan oleh dosa pembrontakan
Israel terhadap Allah. Kitab ini menurut tafsiran alegoris dibagi kepada lima
bagian yang menceritakan lima periode sejarah yang berbeda.
Sebagai contoh,
kita dapat mencatat bagaimana Targum menafsirkan 1:2-4, Bagian ini dilihat
sebagai peristiwa Exodus dimana Allah membawa Israel keluar dari Mesir
ke dalam kamarnya sendiri yaitu Tanah Perjanjian. Orang Yahudi menjelaskan
“orang yang mencintai” dengan “orang yang dicintai”sebagai gambaran
keaktifan maupun kefasifan pikiran manusia. Cinta di antara keduanya merupakan suatu mistik tentang
dua aspek intelektual manusia.
Orang Kristen
mula-mula juga menafsirkan kitab ini secara alegoris. Kesalahan penafsiran orang Kristen mula-mula terhadap
Kidung Agung dapat ditemukan dalam beberapa fragmen yang ditulis Hippolytus
(kira-kira tahun 200 AD). Dia menafsirkan 1:2-4, sebagai referensi kepada “Kristus
yang membawa orang-orang kudus ke dalam gereja”.
Contoh lebih
lanjut adalah berasal dari Cyril dari Alexandria. Dia menafsirkan 1:13, “buah
dadaku” sebagai symbol bagi Perjanjian Lama dengan Perjanjian Baru,
di mana “sebungkus mur” adalah Kristus yang menghubungkan kedua
Perjanjian itu.
D. ANALISA (MELALUI PENDEKATAN
HARAFIAH-DIDAKTIS)
Dalam
Perjanjian Lama “perkawinan” sering dipakai sebagai gambaran hubungan antara
Allah dengan umat-Nya. Ketika bangsa Israel memberontak melawan Dia dengan
jalan berzinah dengan ilah-ilah lain, maka dikatakan mereka telah menceraikan
atau berzinah. (band.Yeh.16, 23, Hos.1-3).
Kita harus
melihat bahwa pengulangan pemakaian “perkawinan” ini sebagai suatu gambaran
hubungan antara Allah dengan umat-Nya, tidak mengimformasikan kepada kita
pemahaman secara fisik. Sebaliknya “perkawinan” dalam kitab Kidung Agung tidak
mengharuskan kita melihat arti dibaliknya dengan mengabaikan referensi kepada
fisik manusia yang digambarkan oleh kitab.
Dari faktanya,
tidak ada dalam kitab ini yang memberi kesan suatu penafsiran yang mentransfer
makna dari suatu bahasa yang erotis kepada kenyataan spiritual. Oleh karena itu
mengapa Gereja sampai pada masa kini menafsirkannya dengan cara demikian
(alegoris)?
Penafsiran
gereja mula-mula terhadap kitab ini kemungkinan dipengaruhi oleh cara berpikir
Helenistic (Platonic-dualism,Stoicism, Helenistic, Ilah-Ilah Roma) tentang
hubungan antara tubuh dan roh. Pandangan ini telah mempengaruhi pemikir-pemikir
Kristen sampai abad Pertengahan yang menganggap bahwa tubuh dan segala
aktivitasnya adalah sesuatu yang bersifat sementara, berdosa dan jahat.
Perlakuan yang
keras terhadap tubuh (puasa, menyiksa diri atau askese) sangatlah dianjurkan.
Pantangan seksualitas dianggap sebagai kebajikan, cara pandang ini mencapai
puncaknya pada monostic movement.
Berangkat dari
cara pandang atau pengaruh pola pikir Helenistic itu, maka isi kitab Kidung
Agung yang penuh dengan puisi erotis, adalah sesuatu yang memalukan dan
menjijikkan. Jika kitab ini dipandang secara harafiah maka hal itu hanyalah
merupakan pemuasan dari keinginan hawa
nafsu yang jahat.
Anggapan yang
salah terhadap seksualitas menghasilkan dua ekstrim. Pada satu sisi, masyarakat
kita membuat seksualitas sebagai idol (tuan). Seks menjadi suatu obsesi yang
terutama dalam kehidupan manusia. Manusia tidak mempersoalkan jenis hubungan
seks, apakah itu heteroseks, homoseks,biseks perzinahan dan lain-lain.
Masyarakat
membuat propaganda bahwa kehidupan tanpa seks adalah sesuatu yang membosankan
dan tidak memiliki arti. Seksualitas dijadikan
sebagai “tuan” . Banyak orang yang menolak penciptanya dan mencoba
memenuhi kekosongan hidupnya dengan hubungan seksual.
Pada sisi yang
lain, gereja memberikan pandangan yang salah terhadap seks dan menganggapnya
sebagai sesuatu yang tabu. Masyarakat memiliki prasangka buruk secara
terus-menerus. Gereja memberikan kesan bahwa seksualitas adalah dasar bagi
sebuah perkawinan, tetapi sekaligus menjadi sumber malapetaka di tengah-tengah
keluarga.
Oleh karena itu
kitab Kidung Agung sebenarnya merupakan suatu kitab yang bersifat korektif
kepada anggapan yang salah terhadap seksualitas dan untuk menghindarinya
dipakai pendekatan alegoris. Kidung Agung mengingatkan kita bahwa seks adalah
baik. Seks tidak jahat atau salah ketika dinikmati dalam parameter perkawinan.
Bagaimanapun
kitab Kidung Agung lebih dari sekedar pedoman bagi masalah seksualitas
sebagaimana juga banyak orang memperlakukannya seperti itu. Kitab ini
memberikan kontribusi teologis tentang seks. Perkawinan yang dijelaskan dalam
kitab ditempatkan atau terjadi di taman
(2:3-13; 4:12 -5:1;
5:2-6:3; 6:11 ; 7:10 -13; 8:13 -14) hal ini mengingatkan kita tentang taman
Eden.
Kej.2:18-25
adalah cerita tentang penciptaan wanita dan yang menghasilkan hubungan yang
intim antara manusia itu dengan isterinya. Keintiman dalam pengertian
seksualitas dicatat dalam ay.25, “ manusia dan isterinya keduanya telanjang,
tetapi mereka tidak malu”
Bagaimanapun
dalam bagian berikutnya Adam dan Hawa diperhadapkan dengan pencobaan yang
mengakibatkan rusaknya hubungan manusia itu dengan Allah. Dosa mengakibatkan
permusuhan antara Allah dengan manusia itu. Pengasingan manusia itu juga nampak
atau berakibat dalam hubungan Adam dan Hawa dalam masalah seksualitas mereka.
Dalam Kej.3:7 dikatakan, “.. maka terbukalah mata mereka dan mereka tahu, bahwa
mereka telanjang…”
Ketika kita
kembali kepada kitab Kidung Agung, kita melihat manusia dan isterinya telanjang
di taman mereka tidak merasa malu.
Kidung Agung adalah suatu kitab yang, “ mendapatkan kembali suatu cinta yang telah pergi”. Kitab
ini menggambarkan pembaharuan cinta manusia yang sebelumnya merupakan
kebahagiaan mereka.
Tetapi kitab
Kidung Agung tidak berhenti pada bagian ini saja. Dimana kitab ini juga
mengajarkan hubungan manusia dengan Allah. Meskipun nama Allah tidak pernah
disebut (mungkin satu kali), metafor perkawinan dapat juga menunjukkan hal itu.
Allah memiliki perjanjian dengan umat-Nya seperti perjanjian perkawinan.
Janji-janji dan permohonan bangsa Israel tercerai dari Allah ketika bagsa itu
melupakan Allah dan menyembah ilah-ilah asing. Akibatnya Allah menceraikan
mereka.(Yeh.16,23,Hos.1-3)
E. PENULIS
Isu-isu tentang
penulis dan tanggal kitab Kidung Agung
masih merupakan pokok perdebatan penting pada saat ini. Solusinya
tergantung kepada suatu analisa dan kesimpulan terhadap jenis sastra kitab ini.
Kesimpulan yang
paling banyak dipakai ialah bahwa kitab Kidung Agung merupakan kumpulan
nyanyian dan bukan kesatuan narasi.
Kidung Agung adalah suatu antologi puisi oleh penulis yang berbeda dari waktu
yang berbeda sama halnya seperti kitab Mazmur.
Dalam
terjemahan Alkitab moderen, Kidung agung mendapat tambahan yang ditulis pada
bagian margin
yang menunjuk kepada pembicara-pembicara yang terdapat dalam kitab. Salah satu
contoh dalam terjemahan NIV menghubungkan ayat pembukaan (1:1-4) dengan menulis,
“orang yang
dikasihi” dan dalam terjemahan lain juga dipakai kata “sahabat” dan “kekasih”.
Tambahan-tambahan
ini tidak ada sejak semula, dan baru ditambahkan kemudian yang baru
muncul dalam Codex Sinaiticus pada tahun 400 AD. Tambahan-tambahan ini tidak mempunyai pengaruh
terhadap penafsiran-penafsiran yang ada.
Kitab Kidung
Agung merupakan kitab yang sulit dipahami dan biasanya kitab ini Bagaimanapun kita harus memulai dari
pendahuluan kitab yang mencatat; Kidung Salomo”. Judul ini adalah suatu bentuk
superlativ Ibrani (pujian yang dilebih-lebihkan) yang mengakui bahwa pujian ini
sebagai puncak dari semua pujian atau dapat disebut, “kidung dari seluruh kidung” sama halnya ketika kita
mengungkapkan, “Raja dari segala Raja”.
Pokok yang
lebih penting ialah bagaimana Salomo dihubungkan dengan kitab ini. Dalam bahasa
Ibrani, nama Salomo dihubungkan denga judul kitab dengan memakai preposisi ’le’
yang memiliki arti yang luas dan banyak fungsi. Preposisi ini dapat berarti
‘bagi’, ‘tentang’ atau ‘oleh’, ‘menurut’ dan lain-lain.
Seperti dalam
1:1, disini kita tidak menemukan suatu konteks yang dapat memimpin kita untuk
memahami maknanya Problem yang sama kita temukan dalam melihat bukti-bukti
tentang kepenulisan Daud atas kitab-kitab yang lain.
Kelompok-kelompok
kritis (Sarjana Alkitab moderen) pada umumnya menempatkan kitab ini kepada
tanggal yang “terkemudian”. Pandangan ini diletakkan di atas dasar asumsi bahwa
kitab ini memakai gaya bahasa dan perbendaharaan katanya dari masa yang
terkemudian yaitu masa sesudah pembuangan
Masalah lain
yang dapat kita amati jika kita menghubungkan kitab ini dengan Salomo ialah
kontras antara cinta Salomo yang dijelaskan dalam kitab ini dengan cinta Salomo
yang digambarkan dalam kitab I Raja-Raja.
Kitab Salomo
menjelaskan tentang kehidupan Salomo yang hidup dengan banyak (bahkan kelewat
banyak) isteri dan gundik. Kitab-kitab sejarah ini dengan jelas mencatat
bagaimana kehidupan seksual Salomo yang tidak normal, menjadi sumber malapetaka
baginya dan bagi bangsa yang dipimpinnya. Isteri-isteri dan gundik-gundiknya
telah menyeret hati Salomo untuk menjauh dari Allah. Dalam bagian lain juga
kita dapat melihat kontras antara 3:6-11 dimana Salomo dipuji, dengan 8:10-12,
dimana Salomo ditolak
Di satu sisi
banyak terdapat ciri-ciri kitab yang menunjuk kepada salomo. Minat Salomo
terhadap dunia binatang (fauna) dan dunia tumbuhan (flora) nampak tercermin
dalam kitab ini. Kecintaan Salomo terhadap dunia binatang dan tumbuhan menjadi sumber penulisan bagi Salomo.
Tidak kurang
dari 21 jenis tumbuhan dan 15 jenis hewan (tolong dicari) nampak dalam kitab
ini. Dalam bagian yang lain juga dijelaskan bahwa Salomo menggubah kurang lebih
1005 nyanyian. Apakah tidak mungkin sebagian nyanyian yang diciptakannya itu
merupakan nyanyian cinta yang ditulis dalam kitab ini?
Informasi
penting yang dicatat dalam kitab ini berhubungan dengan rujukan terhadap
letak-letak geografis. Paling kurang ada 15 nama tempat yang disebutkan antara
lain : Kedar (1:5); Mesir (1:9); En-gedi (1:14); Sharon (2:1); Yerusalem (2:7);
Lebanon (3:9); Gunung Gilead (4:1); Amana (4:8); Senir (4:8); Hermon (4:8);
Tirzah (6:4); Hesybon (7:4); Damsyik (7:4); Carmel (7:5) dan Baal-Hamon (8:11).
Berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, memang siapa penulis kitab dan tanggal penulisannya tidak diberikan oleh
Alkitab secara eksplisit. Pandangan-pandangan yang timbul tentang issu ini
merupakan sesuatu yang wajar dan tidak mengurangi otoritas kitab Kidung Agung
sebagai Firman Allah (tentu bagi orang yang percaya Alkitab). Secara Tradisional
kitab ini ditulis oleh Salomo, kemungkinan ditulis dalam masa pemerintahannya
yaitu tahun 965 BC.
F. TEMA DAN
TUJUAN KITAB KIDUNG AGUNG
Kitab kidung
Agung menjelaskan tentang kebaikan dan kesucian cinta seksual antar laki-laki
dan perempuan dalam parameter perkawinan (2:3-7, 16; 7:9-12). Kitab ini
sekaligus merupakan koreksi terhadap
kehidupan sekssual yang tidak wajar (heteroseks, homoseks, biseks, perzinahan dan lain-lain) di dalam
maupun di luar perkawinan.
Kehidupan seksual dan kasih
sayang di antara manusia harus berada di dalam batas-batas yang telah
ditetapkan oleh Allah (Kej.2:23-24; Rm.1:24-32; Ibr.13:4; Ams.18:22).
Selain
perkawinan sebagai parameter dan sekaligus wadah hubungan sekssual yang
sebenarnya, Kidung Agung juga menunjukkan bahwa hubungan seksual itu adalah
sesuatu yang patut dan harus dinikmati sekaligus sebagai pengikat atau pemupuk
hubungan itu sendiri (Kid.6:2-3; 7:10 -13;
8:1-3; band. Ams.5:19; 1Kor).
Kitab ini juga
memaparkan dua jenis hubungan sekssual yang berbeda satu dengan yang lain,
Salomo dengan haremnya sebagai cinta poligami sebagai gambaran cinta hawa nafsu
dengan cinta Salomo atau gembala dengan gadis Sulam yang merupakan gambaran
cinta monogamy yaitu cinta yang tulus, murni dan penuh dengan kesetiaan.
Kidung Agung
sebagai suatu drama cinta memiliki alur cerita yang jelas yang dimulai dari “permulaan
cinta” (perasaan cinta, kesatuan cinta )
kepada suatu cinta yang mendalam (pergumulan cinta, pertumbuhan cinta).
F. ALUR CERITA
Babak pertama :
Permulaan cinta (1:1-5:1)
Raja Salomo
memiliki kebun Anggur di negeri gadis Sulam (6:13 ; 8:11 ).
Gadis Sulam bekerja di kebun anggur bersama-sama dengan saudara-saudaranya
(1:6; 8:11 -12). Ketika
Salomo mengunjungi kebun anggur, dia melihat gadis Sulam dan hatinya terpikat
oleh kecantikannya. Dia tidak menemukan seorangpun yang melebihi kecantikan
gadis Sulam (1:6-8). Salomo membawa gadis Sulam keYerusalem sebagai pengantin
wanitanya.
Drama ini disusun dalam suatu scenario drama dengan
tiga (dua) pemeran utama yaitu
Raja Salomo (pengantin laki-laki):
a. Gadis Sulam
(pengantin wanita)
b. Anak-anak
perempuan Yerusalem (paduan suara/koor)
Lebih lanjut,
dalam pasal 1-3, drama cinta ini menyajikan kepada pembaca suatu
keindahan cinta
antara pengantin laki-laki dengan pengantin wanita :
1. Kerinduan
pengantin wanita sebelum mereka menikah (1:2-8)
2. Ekspresi cinta
(saling mengasihi) yang nampak dalam pesta perkawinan (1:9-2:7)
3. Kunjungan
Salomo (pengantin laki-laki) pada musim semi ke kampung halaman pengantin wanita (2:8-17)
4. Mimpi gadis
Sulam tentang perpisahannya dengan orang yang dikasihi (3:1-5)
5. Arak-arakan
perkawinan dari rumah pengantin wanita ke Yerusalem (3:6-11)
Suatu pujian
yang sangat indah dari seorang yang
mengasihi kepada orang yang dikasihi tercermin melalui pasal 4:1-5:1 “ Salomo
memuji kecantikan orang yang dicintai dari ujung rambut sampai ujung kaki”,
keperawanannya dibandingkan dengan suatu “kebun yang tertutup” (4:12) dan kebun
itu dimasuki ketika perkawinan diwujudkan (4:16-5:1).
Babak kedua : Cinta yang semakin mendalam (5:2-8:14)
Beberapa saat
setelah keceriaan perkawinan, gadis Sulam “bermimpi,” Salomo datang dan
mengetuk pintu, tetapi gadis Sulam terlambat untuk membukakan pintu baginya,
sehingga ia pergi. Gadis Sulam merasa panik, dan pada malam itu ia mencari sang
kekasih di Yerusalem. Dalam kegusaran dan pertemuannya dengan sang kekasih,
Salomo menenangkan hati orang yang dikasihinya serta memuji kecantikan orang
yang dikasihi (6:4-7:10)”
Dalam episode
berikutnya, gadis sulam mulai memikirkan dan merindukan kampung halamannya, dan
ia mencoba membujuk sang kekasih agar mau pulang bersama-sama dia (7:18 -8:4). Dalam perjalanan mereka menuju ke kampung
halaman pengantin wanita itu (8:5-7) diwujudkan suatu ekspresi cinta yang
sangat mendalam melalui sikap dan pernyataan pengantin perempuan. “cinta kuat
seperti maut”.
Cinta mereka
tidak luntur oleh kecemburuan atau oleh keadaan. Setelah mereka tiba, gadis
Sulam menunjukkan perhatiannya terhadap adiknya perempuan dan dia tetap menaruh
perhatian terhadap kesejahteraan saudara-saudaranya (8:11 -12).
penulisnya siapa nih?
ReplyDeleteiya sebaiknya ada nama penulis, tulisannya bagus kita mau kutip bikin artikel kan keren kalo ada namanya. terima kasih
ReplyDelete