“AKU TIDAK TAHU KE MANA ORANG-ORANG ITU PERGI”
UCAPAN
SULIT DALAM PERJANJIAN LAMA 24
“AKU TIDAK TAHU KE MANA ORANG-ORANG ITU
PERGI”
Yosua 2:4-6
Ay. 4 Tetapi perempuan itu telah membawa dan menyembunyikan kedua orang itu.
Berkatalah ia: "Memang, orang-orang itu telah datang kepadaku, tetapi aku tidak
tahu dari mana mereka, Ay. 5 dan ketika pintu gerbang hendak
ditutup menjelang malam, maka keluarlah orang-orang itu; aku tidak tahu, ke
mana orang-orang itu pergi. Segeralah kejar mereka, tentulah kamu dapat
menyusul mereka." Ay. 6 Tetapi
perempuan itu telah menyuruh keduanya naik ke sotoh rumah dan menyembunyikan
mereka di bawah timbunan batang rami, yang ditebarkan di atas sotoh itu.
Apakah Allah
menyetujui tindakan-tindakan yang mencurigakan untuk mencapai kehendak-Nya
dalam situasi-situasi tertentu yang genting? Bisakah iman yang teguh berjalan
beriringan dengan diterapkannya metode-metode yang sangat berbeda dengan
kejujuran sifat dan Firman Allah? Dapatkah pengkhianatan dan pembohongan Rahab
yang seperti itu dibenarkan, dan dianggap sebagai "kebohongan putih"?
Alkitab tidak
sungkan memuji Rahab. Ibrani 11 :31
memuji imannya kepada Allah dan Yakobus
2:25 memuji dia karma menyambut dan kemudian membiarkan para pengintai itu
pergi ke arah yang berbeda dengan para pengejar mereka.
Namun persetujuan bagi
Rahab dalam bagian ini bukan berarti bahwa ia menikmati persetujuan Allah di
segala bidang kehidupannya. Bidang-bidang yang berkenaan dengan iman Rahab haruslah
diselidiki dengan saksama.
Ia mendapat pujian
dari para penulis Kitab Suci sebab ia lebih percaya kepada Allah Israel
daripada raja Yerikho, rajanva sendiri. Ia telah mendengar apa yang Allah telah
lakukan bagi Israel di Laut Teberau dan penumpasan dua raja di seberang Yordan
(Yos. 2:8-12).
Dan ia menyatakan
imannya dengan menerima kedua pengintai itu dan menyuruh mereka pergi melalui
jalan lain. Bahkan Yosua 6:25 mencatat perbuatannya dan membandingkan
responsnya dengan respons Akhan.
Maka, tak ada
kesalahan yang perlu dihakimi dalam hal pembangkangannya meninggalkan
bangsanya, yang seperti dirinya memiliki banyak alasan mempercayai Allah bangsa
Ibrani. Ketika perlu memilih antara melayani Allah atau melayani raja setempat,
maka jawabannya haruslah senantiasa melayani kuasa yang lebih tinggi, yaitu
Allah (Kis. 4:19).
Di pihak lain, kebohongannya
tak bisa dihapuskan begitu saja. Ia berkata, "Aku tidak tahu, ke mana
orang-orang itu pergi." Itu jelas salah. Roma 3:8 memperingatkan kita agar tidak mengatakan, "Marilah
kita berbuat yang jahat, supaya yang baik timbul dari padanya."
Kita juga
tak perlu berdebat, terutama dari suatu bagian bacaan yang bersifat
penggambaran atau cerita, bahwa ada bagian yang mengesahkan penipuan dalam
kondisi-kondisi tertentu.
Yang disebut
bohong karena tugas, menghilangkan betapa bernilainya kebenaran itu dalam
pandangan Allah. Bahkan kebohongan untuk tujuan-tujuan yang sangat baik tidak
bebas dari kecaman Allah.
Lagipula, sekalipun nyata-nyata berada dalam
pemeliharaan Allah, ketidakbenaran Rahab yang telah menyebabkan kedua pengintai
itu lolos dari celaka, ini bukan membenarkan metode tersebut.
Allah tidak
melunak untuk perbuatan-perbuatan yang tak kudus untuk menggenapi kehendak-Nya.
Paling banyak, Allah mengizinkan tujuan-Nya digenapi dengan cara yang paling
tidak wajar ini, sebab kasih karunia-Nya bisa bekerja sekalipun ada
gerakan-gerakan berencana dari manusia yang berdosa, Yang tak benar tak bisa
dibenarkan hanya karena erat kaitannya dengan akibat menyeluruh.
Memperdebatkan
masalah bohong seperti ini bukan hanya merupakan penggalian arti dan teologi
yang lemah melainkan juga teodisi (sistem teologia natural yang berusaha
membuktikan kebenaran ilahi dalam mengizinkan keberadaan yang jahat) yang lebih
buruk.
Kesimpulan lain
pun akhirnya akan membenarkan perzinahan Daud karena pewaris berikutnya dalam
garis Mesianik, yaitu Saloma, berasal dari hubungan Daud dengan Batsyeba.
Kita
diberi tahu secara khusus bahwa dosa Daud dibenci Allah. Hal yang sama tidak
dikatakan tentang dosa Rahab. Tak ada alasan untuk menilai secara berbeda dalam
kedua kasus ini; kedua-duanya melanggar perintah-perintah Allah yang jelas.
Kita tak bisa
mengatakan bahwa melindungi nyawa yang tak bersalah adalah lebih baik daripada
tuntutan untuk selalu mengatakan yang benar. Tidak ada bagian dalam Kitab Suci
yang mendukung atau mengizinkan hirarki seperti ini. Berbuat demi kian akan
mempertentangkan salah satu sifat Allah dengan sifat-sifat-Nya yang lain.
Dengan mengatakan
bahwa berdusta merupakan kejahatan yang lebih kecil daripada secara tidak
sukarela terlibat dalam pembunuhan juga adalah suatu bentuk palsu dan
subjektif.
Kita perlu mengikuti segala Firman Allah dan Firman itu mencakup
penghormatan atas nyawa maupun atas kebenaran, sama sulitnya dengan yang ada di
suatu dunia yang sering saling mempertentangkan kemutlakan moral yang satu
dengan yang lain.
Berkata jujur
bukan hanya merupakan suatu tanggung jawab perjanjian (yaitu, tanggung jawab
kepada mereka yang merupakan bagian dari keluarga Allah); itu merupakan
tanggung jawab universal untuk segala masa, semua orang, di segala tempat.
Kita
tak boleh membentuk hirarki kita sendiri yang subjektif atau prioritas pribadi
dengan melakukan apa yang kita anggap lebih baik atau merupakan kejahatan
kecil.
Di pihak lain,
kita tak boleh menyerahkan nyawa tak bersalah hanya karena sekelompok polisi
atau tentara (seperti Third Reich milik Hitler) menuntutnya. Rahab seharusnya
menyembunyikan para pengintai itu dengan baik dan kemudian menolak menjawab
pertanyaan tentara tentang apakah ia menyembunyikan mereka.
Ia bisa, misalnya,
dengan sukarela berkata, "Masuklah dan periksalah," sambil diam-diam
berdoa agar Allah membuat para pencari itu sangat ceroboh.
Sangat mungkin
untuk mempertahankan suatu posisi yang mutlak tak ada konfliknya. Allah akan
menyediakan cara untuk menghindari konflik-konflik tersebut (1 Kor. 10:13).
Sumber :
“Ucapan
yang Sulit dalam Perjanjian Lama” Walter
C Kaiser, Jr. LITERATUR SAAT, 2015, halaman 87-90
0 Response to "“AKU TIDAK TAHU KE MANA ORANG-ORANG ITU PERGI”"
Post a Comment