"SIAPA YANG MENUMPAHKAN DARAH MANUSIA, DARAHNYA AKAN TERTUMPAH OLEH MANUSIA"
UCAPAN SULIT
DALAM PERJANJIAN LAMA 8
“SIAPA YANG MENUMPAHKAN DARAH MANUSIA,
DARAHNYA AKAN TERTUMPAH OLEH MANUSIA”
Kejadian
9:6
“Siapa
yang menumpahkan darah manusia, darahnya akan tertumpah oleh manusia, sebab
Allah membuat manusia itu menurut gambar-Nya sendiri.”
Sesuaikah Kejadian 9:6 dipakai untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan modern
kita mengenai hukuman mati? Perdebatan ini bukan proporsi-proporsi kecil, dan
akibatnya sangatlah besar baik bagi si terhukum maupun bagi masyarakat.
Kejadian
9:5-6 merupakan pernyataan
paling sederhana yang memberi mandat kepada masyarakat untuk menghukum sesama
karena membunuh.
Namun, kesederhanaannya yang kurang perkembangan ini membuat
para penentang hukuman mati mempertanyakan relevansi bagian ini.
Mereka
menyatakan, bahwa banyak bahan rujukan pemerintahan sipil, proses yang memadai,
perkecualian-perkecualian dan perbedaan-perbedaan an tara berbagai tingkat
pembunuhan tidak ditemukan.
Kejadian
9:5-6 adalah bagian dari
perjanjian Allah yang diadakan dengan Nuh seusai air bah. Yang termasuk dalam
perjanjian ini adalah ketakutan binatang terhadap semua manusia, izin untuk
memakan daging yang tidak berisi darah dan penyerahan terpidana mati karena
pembunuhan ke dalam tangan lelaki maupun perempuan.
Namun dibutuhkan yang lebih
dari semua ini, dan hal ini cenderung memperlihatkan bentuk syarat kekal dari
perjanjian ini.
Iklim diatur sebagai bagian dari tatanan alam yang abadi (Kejadian 8:22), pelangi berlaku
sebagai permohonan yang terus-menerus agar bumi tidak mengalami banjir lagi (9:13) dan makhluk yang merupakan
gambar Allah menjadi alasan utama atas ditetapkannya hukuman ekstrem tersebut (9:6).
Itu sebabnya perjanjian yang
diadakan dengan Nuh adalah perjanjian yang mencakup "segala yang hidup" yang diwakilinya (Kejadian 6: 18¬19; 9:10-11,12,15-17).
Bacaan tersebut memberikan pernyataan yang
jelas tentang hukuman mati. Allah menuntut "perhitungan" baik dari
manusia maupun dari binatang yang menumpahkan darah siapapun.
Namun karena
keduanya harus bertanggung jawab, sekalipun binatang tidak dapat membuat
perbedaan moral atau bertindak dengan sengaja, bagaimanakah dapat
mengajukanhukuman mati, seperti saya, bagaimana dapat memakai bacaan ini untuk
memilah persoalan?
Kita dapat berargumentasi bahwa Keluaran 21:28-36 memberikan prinsip
pertanggung-jawaban binatang sedangkan hukum Musa membuat perbedaan antara
pembantaian manusia dan pembunuhan atau di antara pembunuhan tingkat pertama,
kedua, dan ketiga.
Mereka yang tidak setuju beranggapan bahwa hukum Musa
dibuat antara Allah dengan Israel semen tara perjanjian Nuh dibuat antara Allah
dengan setiap makhluk hidup.
Perbedaan ini paling mengundang
keingintahuan, sebab membuat dikotomi yang lebih tajam daripada apa yang
dimaksudkan Kitab Suci antara hukum dengan kasih karunia.
Karena sekalipun
tatkala undang-undang sipil dari hukum Musa memperlihatkan suatu relevansi budaya
tertentu dan khusus, yang dibatasi untuk masa tatkala hukum tersebut ditulis,
hukum-hukum yang sama ini mengandung prinsip-prinsip kekal yang sama kekalnya
dengan karakter Allah.
Inilah hal yang dibuat sangat jelas oleh penemuan
baru-baru ini bahwa Sepuluh Firman, berikut hukum moralnya, menyiapkan agenda
bagi Undang-undang Perjanjian dari Keluaran
21-23 maupun bagi penjelasan dari Ulangan
6-26.
Saya pernah meng-argumentasikan kasus ini dengan terperinci dalam
buku saya terbitan tahun 1983 berjudul Toward
Old Testament Ethics.
Namun marilah kita menempatkan
permasalahannya pada dasar-dasar tekstual dari Kejadian 9:6 sendiri.
Pertama,
jelas bahwa teks tersebut memberikan kepada kita perintah dan bukan hanya
sebuah usulan atau izin.
Ayat 5
menyatakan bahwa Allah menuntut suatu hukuman, "Tetapi mengenai darah
kamu, yakni nyawa kamu, Aku [Allah] akan menuntut balasnya." Lebih
lanjut, alasan yang diberikan untuk tindakan ini merupakan alasan yang tetap
diperintahkan selama laki-laki dan wanita dibuat menurut gambar Allah (ayat 6).
Persoalan gambar Allah membawa kita pada
inti permasalahan: "sebab Allah
membuat manusia itu menurut gambar-Nya sendiri." lstilah sebab tidak
dapat dibaca sebagai "sekalipun"
di sini, sebagaimana dalam Kejadian 8:21
atau Yosua 17:13, seakan-akan fakta
bahwa seorang manusia dijadikan menurut gambar Allah yang menjadi alasan
sehingga tak ada rintangan untuk pelaksanaan hukuman mati.
Pembacaan yang
paling jelas adalah bahwa si pembunuh harus menderita karena perilakunya sebab
itu berarti penyangkalan hakiki terhadap gambar Allah yang ada dalam diri
seseorang.
Orang yang menghancurkan makhluk hidup lain
yang diciptakan menurut gambar Allah pada kenyataannya melakukan kekejaman
terhadap Allah sendiri, ini menunjukkan sedemikian suci dan sedemikian
abadinya nilai dan harga yang Allah telah tanamkan dalam diri korban
pembunuhan.
Sejumlah penafsir menghubungkan hubungan
sebab-akibat bukan dengan penumpahan darah tersebut, melainkan dengan segala
sesuatu yang mendahuluinya, yaitu ayat
1, 2 dan 7.
Berdasarkan hal-hal inilah, alasan yang diberikan pada bagian
terakhir dari ayat 6 merupakan
alasan di mana Allah menyelamatkan sekelompok sisa dari umat manusia melalui
Nuh dan mengapa Ia melindungi manusia dari ancaman binatang buas.
Namun semuanya ini terlalu jauh untuk
dihubungkan. Selanjutnya, berdasarkan alasan yang masih diragukan inilah ayat 6
memiliki susunan yang aneh. Kelihatannya ini lebih menyerupai permohonan khusus
daripada penjelasan yang padat.
Pada umumnya, orang mengutip ungkapan yang
paling dekat tatkala ia mencari ungkapan atau istilah yang diterangkan anak
kalimat dari kata sebab atau karena, Diperlukan lebih banyak petunjuk untuk
menyatakan bahwa susunan kata kiastik adalah tidak lazim dalam situasi ini. In
i sering terjadi dalam puisi.
Kalangan lain berkeberatan memindahkan
tuntutan hukuman mati dalam ayat 6
ini ke dalam kitab-kitab hukum sebagai suatu hukum yang berkaitan secara
universal tanpa menyertakan ayat 4 dan 5,
yaitu "Hanya daging yang masih ada nyawanya, yakni darahnya janganlah kamu
makan" dan "Tetapi mengenai darah kamu, yakni nyawa kamu, Aku akan
menuntut balasnya; dari segala binatang aku akan menuntutnya."
lni bisa
terjawab sebagian dengan mengakui bahwa Perjanjian Baru melarang kaum kafir
makan darah atau apapun yang belum dikucurkan darahnya dengan benar (Kisah 15:20, 29; bandingkan dengan Imamat 3:17; 17:14; Ul. 12:16,23). Dan
Keluaran 21:28-36 sesungguhnya menegaskan prinsip pertanggungjawaban
binatang.
Nampaknya terlalu berlebihan untuk
memaksakan bahwa "penumpahan darah"
hanya dianggap sebagai metafora untuk kematian.
Konsep penumpahan ini paling
sering merupakan tindakan fisik; penggunaan dalam bentuk metafora disimpan
untuk gagasan-gagasan seperti penumpahan murka Allah atau pelampiasan isi hati
atau jiwa seseorang.
Namun tatkala darah ditumpahkan dengan cara yang kejam,
maka penumpahan tersebut dikatakan sebagai mengotori tanah (Bilangan 35:33; Ulangan 21:7; 2 Raja 24:4;
Yesaya 59:7; Yehezkiel 22:3; Zefanya 1:17).
Penumpahan darah inilah yang
menjadi sebuah kata kerja yang satu-satunya paling sering digunakan. Kata ini
tidak dipakai sebagai metafora. Tak ada gambaran kematian yang mengenaskan yang
bisa dilukiskan dengan lebih baik.
Kelak dalam Firman keenam, satu kata
tersebut dipilih dari antara ketujuh kata kerja yang memungkinkan dalam bahasa
Ibrani untuk istilah membunuh untuk
menggambarkan pembunuhan tingkat pertama.
Rasach
menjadi terbatas untuk pembunuhan yang disengaja dan yang direncanakan (Mazmur 94:6; Amsal 22:13; Yesaya 1:21;
Yeremia 7:9; Hosea 4:2; 6:9).
Kata kerja ini tidak dipakai untuk kata kerja
membunuh binatang dengan tujuan untuk dimakan (Kejadian 9:3), mempertahankan diri dalam suatu serangan malam hari (Kel. 22:2), pembunuhan-pembunuhan
tak disengaja (Ulangan 19:5) atau
bahkan pembantaian manusia (Bilangan
35:16, 25).
Apa yang menghubungkan pembunuhan dengan pembantaian manusia
adalah keduanya mendatangkan kesalahan penumpahan darah dan keduanya mencemari
tanah.
Apa yang membedaan keduanya adalah bahwa tak ada pengganti yang bisa
diberikan untuk kematian yang datang dari tangan seorang pembunuh (maksudnya, bagi siapa yang merencanakan tindakannya itu), namun bacaan tersebut
menyiratkan bahwa bagi setiap tindak kejahatan yang berhukuman mati berjumlah
enam belas hingga dua puluh kasus dalam Perjanjian Lama, diperbolehkan
memberikan pengganti (Bilangan 35:31).
Dengan konsep inilah penumpahan darah bisa dihubungkan.
Bacaan tersebut samasekali tidak
memperkenalkan negara sebagai yang menuntut nyawa tersebut dari pembunuh. Namun
ini hanya satu bukti lain dari fenomena penyataan yang berlangsung setahap demi
setahap.
Tak ada satu bagian yang membenkan semua rincian. Bahkan pernyataan dalam Roma 13 tentang negara tidak
menyertakan surat protes muncul dalam Kisah
4:19-20 yang membatasi otoritas negara atas seorang Kristen tatkala menaati
pemerintahan manusiawi akan menyebabkan dia tidak menaati Allah.
Yesus sendiri kelihatannya harus menerima
prinsip hukuman mati tatkala Ia mengingatkan Pilatus bahwa pemerintah
dikaruniakan dari atas (Yohanes 19:11).
Posisi yang sama ini didukung dalam Perjanjian Baru oleh Roma 13:4 dan Kisah 25:11.
Namun, argumentasi besar atas hukuman
mati tetap bergantung pada argumentasi gambar Allah yang diberikan dalam Kejadian 9:6. Hal ini hampir tak bisa
dilewatkan begitu saja oleh siapa pun yang mau taat pada Kitab Suci.
Namun jika ada suatu masyarakat yang
bersikeras menolak mencabut nyawa mereka yang terbukti secara sengaja dan kejam
menjadi para pelaku penyia-nyiaan nyawa sesama, maka masyarakat seperti itu
akan berdiri di hadapan penghakiman Allah dan nilai, penghormatan dan
penghargaan atas manusia dalam masyarakat dan bangsa semacam itu akan terhapus
karenanya.
Merupakan pertentangan dari tujuan semula apabila berargumentasi di
satu pihak bagi hak-hak sipil dan hak-hak wanita dan berpaling ke pihak lain
dan menolak penggunaan hak-hak tersebut pada seseorang yang dipukul jatuh oleh
pukulan yang mematikan.
Tentu saja prinsip ini harus diterapkan dengan
sedemikian cennatnya bilamana terdapat "keraguan beralasan", kita bersalah di pihak belas kasih dan
meniadakan hukuman mati.
Dalam suatu sistem peradilan yang tidak sempurna
tidak semua terdakwa diperlakukan sama atau dengan adil karena status
ekonomi, kedudukan sosial, hubungan ras atau politik dan keabsahan akan
menempatkan beberapa orang "di atas
hukum".
Namun kami akan memperingatkan bahwa penipuan semacam itu
takkan luput dari perhatian Allah dan juga ta kkan mengubah hukum-hukum-Nya.
Ini hanya menjadi suatu tuntutan ilahi lain atas masyarakat tersebut bahwa
mereka berani menerapkan dengan tak adil tuntutan yang diperintahkan oleh Allah
agar bertindak adil. Bangsa itu akan dihakimi karena sikap kasar terhadap misi
Allah.
Sumber
:
“Ucapan yang Sulit dalam Perjanjian
Lama” Walter C Kaiser, Jr. LITERATUR
SAAT, 2015, halaman 26-31
0 Response to ""SIAPA YANG MENUMPAHKAN DARAH MANUSIA, DARAHNYA AKAN TERTUMPAH OLEH MANUSIA""
Post a Comment