HAMBA TUHAN DIGAJI BOLEHKAH?




Hidup Kristen - Hamba Tuhan atau yang sering disebut Pendeta secara umum, sudah dipahami sebagai orang yang mengabdikan diri melayani Tuhan. Mungkin istilah fulltimer (penuh waktu) bagi seorang hamba Tuhan sudah sangat umum diketahui oleh orang Kristen. Hamba Tuhan (Pendeta) yang melayani bisa sebagai Gembala, Penginjil, Pengajar dan sebagainya.



Namun artikel kali ini saya akan membahas, bolehkah seorang Hamba Tuhan (fulltime) digaji oleh Sinode? Pertanyaan ini mungkin pro kontra di kalangan Hamba Tuhan (Pendeta). Bagi yang kontra, mungkin mereka menganggap bahwa “Hamba Tuhan kok dibayar” atau “Hamba Tuhan kok digaji”.

Kesan yang terlihat seolah-olah tidak mencirikan seorang Hamba Tuhan yang mengabdikan diri kepada Tuhan. Di bawah ini ada alasan penting yang saya coba sajikan kepada anda yang notabene adalah hamba Tuhan yang kontra (tidak setuju) jika hamba Tuhan (Pendeta) digaji oleh Sinode setiap bulannya.



1.            SEBAGAI BENTUK “TANGGUNGJAWAB” SINODE



Sinode yang menaungi Gereja di mana hamba Tuhan tersebut melayani tentu harus memberikan pelayanan maupun kontribusi penting kepada Hamba Tuhan yang bernaung di bawah Sinode.

Walupun tidak semua Sinode Gereja menerapkan system penggajian kepada Pendeta, namun apa yang saya lihat di sini yakni “Bentuk Kepedulian” Sineda kepada Hamba Tuhan yang melayani. Ingatlah bahwa tidak semua hamba Tuhan sudah punya Gereja yang bagus, jumlah jemaat yang cukup banyak.

Masih ada hamba Tuhan (Pendeta) yang masih berjuang (perintisan) dalam melayani Tuhan. Ada yang berjuang mendapatkan Gedung Gereja, ada yang berjuang untuk mendapatkan Izin Mendirikan Bangunan dari Pemerintah, ada pula yang memiliki kondisi yang sulit di medan pelayanan.

Jika Sinode memberikan perhatian kepada Pendeta dengan memberikan gaji setiap bulannya, maka Pendeta tersebut bisa lebih fokus dan tidak pusing untuk soal-soal keperluan makanan dan minuman, keluarga dan kebutuhan lainnya.



Menurut saya, jika Sinode memberikan pelayanan seperti ini, maka di saat Pendeta berada di area tertentu dan sulit, akan merasa ditopang. “Hamba Tuhan juga manusia” barangkali pernyataan ini akan sedikit memberikan gambaran bahwa Pendeta pun butuh hal-hal yang tampaknya sepele dan bukan hal-hal rohani saja.

Menurut saya, hal ini akan memberikan fokus yang lebih kepada Pendeta supaya tidak perlu mengkhawatirkan soal keuangan, karena Sinode memberikan garansi tiap bulan yakni (gaji). Walau ini pro dan kontra namun setidaknya, kita setidaknya jangan terlalu egois ketika melihat kondisi anda lebih bagus dari kondisi mereka yang kurang.


2.    MASIH ADA HAMBA TUHAN (PENDETA) YANG “MISKIN”



Hamba Tuhan yang di Kota tentu tidak sama dengan hamba Tuhan di Desa (Kampung) bahkan di pelosok/pedalaman yang sama sekali jauh dari fasilitas yang cukup baik seperti yang ada di kota. Kita tidak boleh membaca situasi dengan cara pandang di Kota.

Pernah beberapa tahun lalu salah satu Pendeta dari sebuah Gereja (saya tidak perlu sebutkan nama Gerejanya). Suami istri adalah Gembala setempat namun masih punya usaha sampingan yakni punya sawah dan mengusahakan Sawah supaya dapat menghidupi keluarga hamba Tuhan tersebut dan jemaat yang membutuhkan.

Apa yang ingin saya sampaikan di sini ialah bahwa anda yang sudah punya cukup makanan dan minuman dan kehidupan yang layak, tidak boleh langsung memberikan ‘penilaian’ bahwa ‘mereka’ tidak layak mendapatkan apa yang anda dapatkan. Masih ada hamba Tuhan yang miskin dan mungkin hanya untuk makan dan minum saja sudah cukup sulit, jemaat yang juga miskin, tentu Hamba Tuhan juga harus memahami kondisi tersebut.

JIka persembahan hamba Tuhan di kota dengan jemaat minimal 20 orang hingga 100 orang bisa berkisar 1 juta hingga 10 juta, bagaimana dengan mereka yang punya jemaat yang hasil persembahan saja tidak cukup untuk membeli beras dan membayar uang sekolah anaknya. Mungkin saja persembahan dari jemaat tidak sampai 10 ribu rupiah dalam seminggu, coba anda bayangkan bahwa situasi ini cukup sulit bukan?



Oleh sebab itu, saya sangat setuju jika Sinode memberikan Gaji kepada hamba Tuhan yang berada di bawah naungan Sinode tertentu. Kita memang harus ‘beriman’ dan ‘percaya’ bahwa Tuhan ‘sanggup dan berkuasa’ namun, coba bayangkan jika anda adalah hamba Tuhan tersebut?

Apa yang anda lakukan ketika anda untuk makan saya susah, dan jemaat anda susah? Jadi alasan karena masih ada hamba Tuhan yang miskin dan kurang mampu dari segi keuangan, menjadi salah satu factor penting yang menurut hemat saya perlu dipertimbangkan oleh anda yang kontra dengan hamba Tuhan digaji atau dibayar.


3.    HAMBA TUHAN SUATU SAAT AKAN “MENUA DAN LEMAH”

Apa yang saya ingin Bahas dalam poin ini yakni, bahwa hamba Tuhan suatu saat akan mengalami kelemahan fisik dan usia yang lanjut (itu pun kalau Tuhan izinkan). Hamba Tuhan kalau masih muda, ketika berada dalam kondisi kekurangan, mungkin bisa mengusahakan dengan mencari sampingan. (untuk poin “Bolehkan Hamba Tuhan Bekerja Sampingan” akan saya Bahasa di artikel mendatang).



Nah, bagaimana dengan kalau hamba Tuhan tersebut sudah cukup tua, fisiknya lemah bahkan sakit-sakitan dan kelemahan fisik lainnya dengan berbagai faktor yang ada. Siapakah yang akan menolong mereka di saat kondisi susah mereka. Jangan karena anda punya pengalaman bersama Tuhan, anda ditolong dari kondisi susah, dan sekarang kondisi anda sudah baik dan layak, lantas anda memberikan solusi “ya, berharap saja kepada Tuhan

Saya rasa, pengalaman tidak boleh dijadikan ukuran. Orang yang berdoa dan berpuasa boleh saja doanya sudah terjawab. Namun tidak semua orang yang sudah berdoa dan berpuasa lantas terhindar dari kondisi kritis dan krisis ini. Jadi, menurut saya pengalaman seseorang tidak boleh dijadikan standard dan acuan.

Apa yang ingin saya sampaikan ialah bahwa “fakta hamba Tuhan tidak selamanya kuat, sehat, dan prima’ itu adalah realita. Sebuah kenyataan yang tidak dapat terelakkan. Saya tahu salah satu Sinode Gereja yang memberikan ‘jaminan hari tua’ kepada hamba Tuhan yang sudah melayani. Hamba Tuhan tersebut diperhatikan dari segi penghidupan yang layak seperti tempat tinggal dan baiaya bulanan, bahkan ada yang sudah membuat program ‘asuransi”.

4.    HAMBA TUHAN JUGA LAYAK UNTUK MENDAPATKAN “PERHATIAN”



Seperti yang saya katakan di atas, bahwa hamba Tuhan juga manusia, merea bukanlah malaikat yang tidak makan dan minum. Mereka adalah manusia sejati yang bisa lapar dan haus. Mereka adalah orang-orang yang bisa merasakan makanan yang enak, tempat tinggal yang enak, pakaian yang bagus dan barang yang bagus.

Apakah hamba Tuhan tidak boleh menikmati makanan enak? Apakah hamba Tuhan tidak boleh punya pakaian baru? Apakah hamba Tuhan tidak boleh punya kendaraan? Apakah hamba Tuhan tidak boleh jalan-jalan menikmati ciptaan Tuhan dan pemandangan yang menyegarkan pikiran dan mata? Apakah hamba Tuhan harus ‘menderita’ dan ‘miskin’ sebagai tanda hamba Tuhan sejati?

Apakah hanya jemaat saja yang bisa menikmati itu semua? Apakah hanya hamba Tuhan yang punya cukup ‘berkat’ saja yang bisa menikmati semua itu? Hamba Tuhan juga butuh perhatian. Jika bukan Sinode yang memerhatikan mereka siapa lagi? Apakah solusi anda masih saja “yang penting beriman” atau “yang penting perkara rohani”.



Hamba Tuhan juga perlu menikmati berkat Tuhan yang sering kita nikmati. Hamba Tuhan juga perlu keluar dari segala kesibukan mereka untuk beberapa saat lamanya. Hamba Tuhan bukanlah robot, yang tidak merasakan sakit dan capek bahkan rasa nyeri di bagian tubuh.



5.  SEORANG PEKERJA (HAMBA TUHAN) PATUT MENDAPAT UPAH


Yesus sebenarnya sudah mengajarkan bahwa seorang pekerja pantas untuk memperoleh upah (Matius 10:10; Lukas 10:7). Perumpamaan-perumpaan yang Yesus sampaikan yang menjelaskan tentang pekerja-pekerja di mana mereka sangat layak mendapatkan apa yang sudah mereka lakukan atau jerih payah mereka yakni upaha mereka (Matius 20:1).



Paulus di dalam suratnya kepada jemaat di Korintus menjelaskan hak dan kewajibannya sebagai pelayan Tuhan terutama sebagai pemberita Injil (1 Korintus 9:1-4) di dalam ayat 11 sangat jelas bahwa mendapatkan hal-hal jasmani adalah hal-hal yang wajar karena mereka sudah menaburkan benih rohani yakni Injil (1 Korintus  9:11).

Kendatipun Paulus tidak mempergunakan haknya sebagai pelayan Injil, namun bukan berarti bahwa memperoleh hal-hal tersebut adalah sesuatu yang berlebihan dan tidak patut.

Paulus sendirilah yang memutuskan untuk tidak mempergunakan haknya, boleh jadi karena dia bisa menghidupi dirinya sendiri dari hasil kerja kerasnya sebaga pembuat tenda. 

Masih banyak lagi alasan mengapa hamba Tuhan layak digaji oleh Sinode, namun empat alasan ini saya sajikan sebagai alasan yang pokok saja untuk anda bisa pahami dan memberikan pandangan serta penilaian yang baru dalam cara anda berpikir. Semoga artikel ini bermanfaat dan menjadi berkat bagi anda. Tuhan Yesus memberkati. Amin.


0 Response to "HAMBA TUHAN DIGAJI BOLEHKAH?"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel