BEBERAPA AJARAN ORANG FARISI





KOMPONEN TRADISI LISAN (ORAL LAW)

Orang Yahudi memercayai bahwa Allah memang memberikan bukan saja hukum Tertulis (written Law) namun di saat yang sama Allah juga memberikan hukum Lisan (oral Law). Tidak ada masalah dengan proses transmisi dari hukum Taurat kepada orang Yahudi secara umum, namun ternyata eksistensi tradisi Lisan (oral Law) di tengah orang Yahudi mendapat sorotan yang serius. Anggapan bahwa tradisi Lisan memegang peranan penting bagi Yudaisme, membuat kesenjangan yang sangat serius di antara orang Farisi dan orang Saduki.

Orang Saduki tidak menolerir bahwa hukum Lisan sama kedudukannya dengan hukum Tertulis (written Law). Bagi orang Saduki tidak akan ada sikap dualisme mengenai pendirian terhadap hukum ini, kendatipun orang Farisi mengembangkan tradisi Lisan ini. Orang Saduki memiliki keyakinan yang berbeda khususnya terhadap kedua hal tersebut. Bagi mereka Allah hanya menganugerahkan hukum Tertulis (written Law), dan tidak termasuk hukum Lisan (oral Law).

Elemen-elemen yang membentuk dan tradisi Lisan ini di antaranya ialah Misnah, Talmud, Midrash, Halakha. Kata Mishnah tidak terdapat dalam satu ayatpun dalam Alkitab. Baik dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru. Misnah[1] ialah pengulangan dari Taurat. Mishnah ini semacam kode hukum yang memuat topik karakter teoritis dan praktis. [2]

According to Jews who believe in an “Oral Torah”, such a notion is based on oral traditions which many Jews believe have the same legal binding nature as the written Law of Moses (or the “Written Torah”). According to this view, the oral Law (or Torah) was passed on from generation to generation in the form of oral tradition by various Jewish sages.  (Menurut orang-orang Yahudi yang percaya pada "hukum Lisan", gagasan tersebut didasarkan pada tradisi Lisan yang banyak orang Yahudi percaya memiliki sifat mengikat yang sama sebagai hukum Tertulis dari Musa (atau "hukum Tertulis"). Menurut pandangan ini, hukum Lisan (atau Taurat) itu diwariskan dari generasi ke generasi dalam bentuk tradisi Lisan oleh berbagai orang bijak Yahudi). [3]

Jelas bahwa orang Yahudi memercayai bahwa identitas dan posisi hukum Lisan ini sejajar dengan dengan hukum Tertulis (written Law). Hukum itu bagi mereka mengikat sama seperti ikat oleh hukum Taurat itu sendiri. Mishnah yang disusun sampai akhir abad ke-2 SM, terdiri dari tradisi-tradisi para para ahli Taurat sejah jauh sebelum zaman Yesus. Di dalamnya ada dua bagian panjang, yang menguraikan secara sangat terinci tentang mana yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan pada hari Sabat.[4] Hukum-hukum ini menjadi panduan yang baku dalam sistem keagamaan orang Yahudi, dikembangkan, dijaga dan diawasi secara ketat dan teliti.
Hukum-hukum Lisan atau Mishnah dalam arti luas, telah dikenal sejak abad ketiga dalam bentuk tulisan. Pada abad-abad pertama hukum itu diperkirakan tidak ditulis; namun kita diberitahu bahwa para ahli Hukum menulis seluruh atau sebagian dari Mishnah untuk kepentingan pribadi mereka. Pengajaran mereka diberi untuk umum, setidaknya di dalam perkuliahan, dengan apa yang diartikan sebagai publikasi secara lisan; sekali peraturan itu ditetapkan, peraturan itu dikenang dan disampaikan oleh “para penutur ulang” (Tannaim).[5]

Eksistensi hukum Lisan tidak terbentuk dalam kurun waktu yang singkat, namun hal itu sudah merupakan proses sejarah yang panjang. Fungsi para nabi memainkan peranan penting dalam prosese pembentukan ini.

Talmud mengandung bagian diskusi para Rabi Yahudi tentang hukum, etika dan perilaku tradisi dan sejarah Yahudi. Talmud terdiri daripada dua bagian, yaitu Mishnah dan Gemara. Mishnah adalah kumpulan-kumpulan hukum oral atau lisan Yahudi, khususnya di kalangan mazhab Farisi, yang menjadi bahan perdebatan sepanjang tahun 70-200 M oleh kelompok Rabi Yahudi yang disebut ‘Tannaim’ (Tanakh).[6]

Interpretasi para Rabi terkristalisasi di dalam Talmud, di dalamnya tertuang hukum-hukum menyangkut kebiasaan orang-orang Yahudi, apa yang harus dan perlu mereka terapkan dalam hidup mereka. Para Rabi saling berdiskusi untuk menghasilkan sederetan rumusan-rumusan maupun poin-poin yang penting untuk dibukukan. Ada dua Talmud yang berjaya dikumpul; Talmud Jerusalem dan Talmud Babilon yang mendapat kedudukan lebih besar.[7] 

Kedua Talmud ini merupakan proses penulisan yang memakan waktu yang cukup lama antara pada saat di pembuangan dan pasca Pembuangan. What is halacha ? Halacha is the “oral torah”, as distinct from Bible alone is not enough; the written Law cannot fulfill the function or the purpose intended by the Torah. (Apa itu halacha? Halacha adalah "Taurat Lisan", sebagai berbeda dari Alkitab sendiri tidak cukup; Hukum Tertulis tidak dapat memenuhi fungsi atau tujuan yang dimaksudkan oleh Taurat) [8]


AJARAN MENGENAI SABAT

Ajaran yang lain dari orang Farisi dan yang sudah diterapkan orang Yahudi pada umumnya ialah mengenai Sabath. Hari Sabat merupakan puncak perayaan bagi kehidupan bangsa Yahudi. Itulah peringatan mingguan bagi seluruh bangsa Yahudi akan penciptaan kehidupan dan perjanjian yang dibuat Allah dengan mereka.[9] Salah satu hukum dari dasa titah yang diberikan oleh Tuhan kepada Israel ialah supaya bangsa Israel menguduskan hari sabat, dengan alasan bahwa Tuhan menciptakan langit dan bumi selama enam hari dan pada hari ketujuh adalah hari di mana Allah berhenti dari segala pekerjaanNya (Kel. 20:8-11; 31:14 ; 31:14-15;). Perayaan hari Sabat juga menjadi perayaan yang harus turun-temurun yang harus Israel lakukan.

Namun yang menarik perhatian ialah bagaimana Hari Sabat menjadi sorotan tajam bagi orang-orang Farisi dan orang Yahudi terhadap apa yang dilakukan oleh Yesus. Suatu hari ketika Yesus berjalan di ladang gandum  murid-murid merasa lapar dan memetik gandum dan memakannya (Mat. 12:1; Mrk. 2:23; Luk. 6:1-5). Penulis Injil Matius dan Lukas mencatat bahwa orang Farisi melihat tindakan para murid Yesus ketika mereka memakan gandum di ladang (ay. 2).

Orang Farisi merasa bahwa hal itu tidak diperkenankan pada hari Sabat. Orang Farisi tentu mengingat Firman Tuhan dalam Perjanjian Lama, bahwa pada hari Sabat tidak seorangpun yang bisa melakukan aktivitas. Orang Farisi mengklaim bahwa perbuatan memakan gandum pada hari Sabat dianggap merupakan sebuah bentuk pelanggaran. Barangkali karena memakan gandum, murid-murid sudah melakukan aktivitas.

Perjanjian Lama menunjukkan kebenaran mengenai Sabat, bahwa hari tersebut adalah hari yang perlu dikuduskan (Kel. 20:8). Kitab Keluaran menyebutkan bahwa pada Hari Sabat seseorang memiliki ikatan dan batasan yaitu tidak diperkenankan untuk melakuan sesuatu pekerjaan. Hal ini berlaku bagi setiap orang baik laki-laki maupun perempuan, termasuk hamba laki-laki dan hamba perempuan, hingga hewanpun mendapat perlakuan yang sama rata (Kel. 20:10). Tuhan berkata bahwa seseorang yang melakukan pekerjaan pada hari kudus tersebut, ia layak dihukum mati (Kel. 31:15).

Bagi orang Farisi, makan di hari Sabat merupakan penistaan terhadap agama, kesalahan besar. Mereka tidak kesal karena murid-murid Yesus memetik bulir gandum. [10] Namun mereka melakukannya pada hari Sabat, bagi mereka perkara tersebut cukup menganggu aturan-aturan yang selama itu sudah mereka tetapkan, namun ternyata murid-murid Yesus melanggarnya. Ada konteks geografis yang mendukung situasi mengapa hingga murid-murid Yesus memakan gandum pada hari Sabat, yaitu:
Rute yang paling umum ialah melintasi desa-desa, tetapi orang yang hendak bepergian pada hari Sabat terpaksa mengambil jalan-jalan setapak melalui padang dan ladang. Sesuai dengan kebiasaan para petani di Palestina (Mat. 13:4), jalan-jalan setapak di tepi ladang juga ditaburi benih gandum. Maka orang yang berjalan melewati jalan setapak itu dapat saja menginjak bulir gandum. Maka orang yang berjalan melewati jalan setapak itu dapat saja menginjak bulir gandum. Tetapi murid-murid Yesus merasa sayang kalau ada gandum yang terbuang; mereka mengeluarkan biji-biji gandum itu dari bulirnya sebelum rusak karena diinjak. Wajar bila dalam perjalanan menuju kota yang agak jauh, para murid  “merasa lapar” (Mat. 12:1). dan “makan” biji gandum yang dikupas dari bulir gandum tadi (Luk. 6:1).[11]

Alkitab tidak mencatat mengapa peristiwa murid-murid memakan gandum di ladang gandum pada hari Sabat, dan alasan mengapa orang Farisi melihat hal tersebut tidaklah disebutkan dengan jelas. Namun reaksi terhadap perbuatan murid-murid tidak termaafkan bagi orang Farisi, yaitu bahwa mereka jelas melanggar kode etik hari Sabat. Orang-orang Farisi memang ketat dalam soal penegakan aturan-aturan Taurat.

Walau tidak ada bukti bahwa mereka juga pelanggar hukum hukum Sabat, namun Yesus memberi argumen bahwa Daud melakukan hal yang sama sekali melanggar ketetapan peraturan memakan roti sajian (Mat. 12:4; Mrk. 2:26). Namun penekanan Yesus, tentunya bukan kepada pelanggaran yang ditoleransi, tetapi Yesus ingin menekankan bahwa Allah berdaulat, dengan kata lain Yesus juga berdaulat atas apa yang terjadi atas murid-murid. Yesus adalah Tuhan atas hari Sabat
Hukum Tradisional Yahudi dengan menengok kembali kepada para Rabi masa lalu, melarang segala pekerjaan pada hari itu dan pekerjaan dalam hal ini diinterpretasikan oleh orang-orang Yahudi yang taat beribadat sebagai segala kegiatan bisnis, menggunakan uang, berbelanja mengerjakan pekerjaan rumah tangga, dan menggunakan segala jenis alat transportasi, listrik, dan bahkan telepon.[12]

Pada prinsipnya hari Sabat merupakan hari tenang bagi orang Yahudi. Hari sabat menjadi bagian vital dari unsur kerohanian mereka. Sabat menjadi sebuah peraturan yang ketat karena perlakuan kepada hukum Sabat mengandung konsekuensi yang berat bagi si pelanggar (Kel. 31:14; Neh. 13:17-18; Yeh. 20:13, 16, 21, 24; 23:28).  Pada zaman Yesus, justru Dia kedapatan melakukan pekerjaan yang menurut pengamatan orang Farisi merupakan pelanggaran terhadap esensi Sabat (Yoh. 9:14; Mat. 12:10-12, 20.
Perdebatan yang kentara serta argumentasi yang tajam memicu ketegangan di antara mereka. Tidak peduli pekerjaan dan hasil kerja Yesus yang bisa menyelamatkan nyawa seseorang. 

Sepanjang Hukum Sabat dilanggar dengan melakukan sebuah kegiatan yang menurut mereka melanggar kesucian Sabat, maka tindakan mulia pun bisa disejajarkan dengan sebuah pelanggaran yang pada finalnya tidak berarti apa-apa bagi orang Farisi. (Mat. 12:10-14; Mrk. 3:2-6; Luk. 6:7-11)

Tidak ada kompromi mengenai aturan Sabat. Bagi orang Yahudi kekudusan Sabat tetap harus menjadi prioritas dan absolut. Kebenarannya tidak terbantahkan dan sesuatu yang harus dipelihara dan diwariskan. Sabat menjadi hukum yang mengikat setiap warga Yahudi siapapun dia. Menjunjung tinggi nilai Sabat adalah sesuatu yang bermakna bagi Orang Farisi. Sabat adalah pemberian dan perintah Allah kepada umat-Nya yang harus dipelihara secara turun-temurun (Kel. 20:8; Ulang. 5:12).

Pada hari Sabat, orang Yahudi beristirahat dan beribadat, untuk mengenang penciptaan kehidupan dan perjanjian yang dibuat Allah kepada mereka. Pada zaman Yesus, para ahli Taurat dan Orang Farisi telah membebankan manusia dengan banyak peraturan yang rumit menyangkut hari Sabat. Misalnya orang hanya boleh melakukan perjalanan dengan jarak kurang lebih 900 m. Orang tidak boleh bekerja di luar rumah dan lain-lain.[13]

Sabat diperuntukkan Tuhan, supaya umat-Nya dapat melihat keagungan ciptaan-Nya yakni mengenai Perjanjian-Nya. Namun opini Yesus jauh melampaui analisis orang Farisi terhadap hakikat Sabat. Tidak ada  perintah bahwa pada hari Sabat dilarang untuk berbuat baik dan menyelamatkan nyawa orang lain. Kenyataannya ialah Yesus tetap mendemonstrasikan otoritas Allah dalam pengajaran-Nya.


AJARAN MENGENAI KESELAMATAN

Di dalam Perjanjian Lama kata keselamatan muncul di beberapa kitab. Keselamatan adalah tema yang sangat krusial bagi orang percaya pada masa kini. Kata Keselamatan muncul pertama kali dalam Kejadian 49:18 “ Aku menantikan keselamatan yang dari padaMu, ya TUHAN. Petrus di hadapan sidang di Yerusalem mendengungkan hal ini yaitu bahwa “Keselamatan hanya di dalam nama Yesus (Kis. 4:12). Ketika Injil sudah mulai meluas dari Yerusalem, hingga menyentuh sisi kehidupan bangsa Yahudi, bahkan sebaliknya orang Yahudi mulai menyentuh sisi kehidupan bangsa Kafir. Petrus berkata kepada Kornelius bahwa jika mereka percaya kepada Kristus maka seisi keluarganya akan diselamatkan.

Topik-topik tentang keselamatan begitu hangat dalam pelayanan rasul-rasul. Tidak mengherankan bahwa orang percaya bertambah secara drastis setelah turunnya Roh Kudus pada peristiwa Pentakosta. Paulus di dalam suratnya kepada jemaat di Roma, memberikan alasan-alasan bahwa ternyata keselamatan mencapai bangsa yang bukan Yahudi untuk membuat orang Yahudi cemburu (Rom. 11:11). Bagaimana keselamatan menurut orang Farisi? Hal ini tentu menarik untuk telusuri untuk kemudian dianalisis sehingga bisa melihat implikasi dari pandangan tersebut. Pada dasarnya orang Yahudi berpikir bahwa seseorang melalui ketaatannya yang sungguh-sungguh kepada hukum Taurat, akan mendapat kredit pahala. Akibatnya, Allah berutang kepada dan akan memberikan keselamatan kepadanya.[14]

Orang Farisi yakin bahwa orang bukan Yahudi hanya dapat diselamatkan jika mereka  menerima sunat dan melakukan hukum Taurat seutuhnya menurut tafsiran oleh ahli-ahli Taurat dan orang Farisi.[15] Disadari atau tidak, pemahaman keselamatan ini, merupakan representasi pengertian orang Yahudi akan keselamatan. Ketika Injil diberitakan secara meluas, dengan bertambahnya jumlah orang percaya, hingga meluas ke daerah-daerah bangsa-bangsa lain (bangsa Kafir), maka ada sebuah isu yang menarik perhatian bagi kalangan Yahudi mengenai status tersebut.

Adanya ajaran yang disusupi oleh sekelompok orang Yahudi yang berasal dari Yudea ke Anthiokia dengan mengatakan “Jikalau kamu tidak disunat menurut adat istiadat yang diwariskan oleh Musa, kamu tidak dapat diselamatkan." (Kis. 15:1). Namun pandangan ini ditepis oleh Paulus dan Barnabas secara keras, hingga masalah ini menarik perhatian dan perlu untuk dirapatkan kepada rasul-rasul dan penatua di Yerusalem (Kis. 15:2).

Isu ini tentu dipicu bahwa adanya pertobatan bangsa-bangsa lain kepada Allah yang diangkat ke permukaan oleh beberapa orang Farisi yang sudah menjadi percaya. Mereka mengajukan tuntutan, supaya orang yang bukan Yahudi yang sudah menjadi percaya, wajib hukumnya untuk disunat dan menuruti Hukum Musa (Kis. 15:5).

Namun pada akhirnya persoalan ini berujung dikeluarkannya keputusan hasil rapat bersama di antara para rasul dan penatua supaya bangsa yang bukan Yahudi yang percaya, harus supaya mereka menjauhkan diri dari makanan yang telah dicemarkan berhala-berhala, dari percabulan, dari daging binatang yang mati dicekik dan dari darah. (Kis. 15:20). Namun inilah persoalan di depan mata para rasul-rasul.

Judaism has always held that we do not need that sort of salvation, for we are not doomed or damned at birth. We are not doomed or fated to sin. Quite the contrary. The Torah says: "If you do good, won't there be special privilege? And if you do not do good, sin waits at the door. It lusts after you, but you can dominate it." (Genesis 4:7) In other words, you can do good, and if you do, things will be better for you. If you do not do good, sin wants to be partners with you. But you can control sin, you can control your evil desires, and you can be good. (Yudaisme selalu berpegang bahwa kita tidak perlu semacam keselamatan, karena kita tidak ditakdirkan atau terkutuk saat lahir. Kami tidak ditakdirkan atau ditakdirkan untuk berbuat dosa. Justru sebaliknya. Taurat mengatakan: "Jika kamu berbuat baik, tidak akan ada hak istimewa Dan jika Anda tidak berbuat baik, dosa menunggu di pintu itu nafsu setelah Anda, tetapi Anda dapat mendominasi itu?." (Kejadian 4: 7) Dengan kata lain, Anda dapat berbuat baik, dan jika Anda melakukannya, hal akan lebih baik untuk Anda. Jika Anda tidak berbuat baik, dosa ingin menjadi mitra dengan Anda. Tapi Anda dapat mengontrol dosa, Anda dapat mengontrol keinginan jahat, dan Anda bisa menjadi baik.) [16]

Orang Yahudi tidak memiliki kepercayaan bahwa mereka terlahir dalam keadaan berdosa. Paulus sebagai orang Yahudi berkata bahwa semua orang sudah berdosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah (Rom. 3:23). Orang Yahudi percaya bahwa jika seseorang tetap berbuat baik dan dapat mengontrol keinginan jahat maka pada dasarnya seseorang bisa menjadi baik.

So we have free will, and that is what Judaism has always believed, because that is what the Torah teaches. The Torah does not teach -- or even mention -- that we are "born in sin," or that we are fated to sin. Just the opposite. We have the ability to choose. Which means that we can be good, or we can be evil. It's up to us. And if can be good, that means we can be righteous. I cannot understand how or why Christians like to say that no one can be righteous in the eyes of G-d. The Torah says otherwise. (Jadi kita memiliki kehendak bebas, dan itulah yang Yudaisme selalu percaya, karena itulah yang diajarkan Taurat. Taurat tidak mengajarkan - atau bahkan menyebutkan - bahwa kita "lahir dalam dosa," atau bahwa kita ditakdirkan untuk berbuat dosa. Justru sebaliknya. Kami memiliki kemampuan untuk memilih. Yang berarti bahwa kita bisa menjadi baik, atau kita bisa jahat. Terserah kita. Dan jika bisa menjadi baik, itu berarti kita bisa benar. Saya tidak mengerti bagaimana atau mengapa orang Kristen ingin mengatakan bahwa tidak ada yang bisa benar di mata Allah. Taurat mengatakan sebaliknya.)[17]
Bagi orang Yahudi tidak ada ide mengenai ‘tidak seorangpun yang benar di mata Allah’. Setiap manusia memiliki kemampuan untuk memilih. Setiap orang juga memiliki pilihan dalam hidupnya, jadi jika ingin memilih baik dan memilih jahat, tergantung dari seseorang tersebut.   

Kenyataannya ialah bahwa para rasul adalah orang Yahudi yang memiliki sejumlah peraturan dan adat-istiadat yang sudah diwariskan oleh nenek moyang. Aturan-aturan yang menyebutkan bahwa orang- percaya yang bukan Yahudi harus disunat dan menuruti hukum Musa adalah sebuah beban bagi mereka. Inilah Pandangan orang Yahudi, bahwa keselamatan berdasar kepada iman kepada Allah dan tambahan sunat serta devosi kepada Hukum Musa. The Jewish Bible requires that sacrificial blood must be from an unblemished animal specified in the Torah and therefore human blood could not be used. (Alkitab orang Yahudi mengharuskan bahwa darah kurban harus dari binatang tanpa cacat yang ditentukan dalam darah Taurat dan karena itu darah manusia tidak dapat digunakan). [18]

Dari perspektif Perjanjian Lama hal ini memang benar bahwa imam mengurbankan binatang untuk mengadakan kurban pendamaian, agar seseorang yang berdosa bisa diperdamaikan dengan Allah. The goal of Jews was to be a holy nation, sacred and dedicated to Yahweh; but the Pharisees taught that this goal could only be achieved by strict obedience to the Law and its interpretations (Tujuan orang Yahudi adalah menjadi bangsa yang kudus, suci dan didedikasikan untuk TUHAN; tetapi orang-orang Farisi mengajarkan bahwa tujuan ini hanya dapat dicapai dengan ketaatan yang ketat kepada Hukum dan penafsirannya).[19]

Penghargaan orang Yahudi terhadap hukum Taurat sangatlah tinggi. Mereka menyadari bahwa mereka adalah umat pilihan Allah yang diikat dengan perjanjian kepada Abraham, Ishak dan Yakub. Mereka mewarisi Taurat yang mana melalui itu mereka mengenal hukum Allah dan sejumlah peraturan-peraturan untuk kehidupan pribadi, berbangsa dan ber-Tuhan. Secara umum orang Yahudi maupun orang Farisi memiliki pemahaman yang sama.

Mereka berpendapat bahwa Israel hanya dapat beroleh selamat, kalau tetap tekun kepada Taurat dan kepada adat istiadat yang menyempurnakan Taurat itu. Mereka sendiri mencoba menanggapi Taurat itu sedapat-dapatnya tetapi banyak kali hanya pada lahiriah saja.Tetapi karena mereka sendiri tidak merasa bahwa penggenapan Taurat itu secara lahiriah saja sungguh-sungguh tidak sempurna, maka mereka menjadi tinggi hati. 

Mereka menganggap dirinya jauh lebih baik dari pada orang banyak yang tidak mengetahui Taurat. Dengan bermacam-macam jalan mereka mencari pujian orang banyak dan hanya mau dianggap baik dan saleh.Di antara orang-orang Farisi itulah musuh Yesus yang paling besar.[20]
Israel memiliki masa lalu yang sangat kelam. Pernah menjadi budak di Mesir dan pernah dibuang ke Babel selama 70 tahun. Perubahan secara jasmasi dan rohani tampak menghantui sisi kehidupan mereka. Aktivitas rutin yang terpola dengan rapi dan kegiatan keagamaan yang lainnya seakan terlupakan dan tidak tergapai di dalam pembuangan. Orang-orang Farisi berperan penting di dalam melestarikan kecintaan terhadap hukum Taurat. Semangat ini muncul hingga ke lapisan masyarakat Israel.

A segment of early Jewish Christians (influenced by the Pharisees) insisted  that in order to be justified one must keep the Law of Moses and certain ceremonial laws such as circumcision. Paul preached that if just one work was added to grace to attain justification, then salvation was no longer by grace, but by works. (Sebuah segmen awal Kristen Yahudi (dipengaruhi oleh orang-orang Farisi) menegaskan bahwa untuk dapat dibenarkan seseorang harus mempertahankan hukum Musa dan hukum upacara tertentu seperti sunat. Paulus mengajarkan bahwa jika hanya satu pekerjaan telah ditambahkan ke rahmat untuk mencapai pembenaran, maka keselamatan tidak lagi kasih karunia, tetapi dengan perbuatan) [21]
Hukum Musa menjadi sentral dalam kehidupan orang Yahudi. Ezra sebagai Imam dan ahli Taurat menegakkan kebenaran dan mengembalikan semangat untuk memgang Taurat Allah. Namun di sisi lain orang Farisi memberi tekanan pengajaran yang mendalam bahwa keselamatan dicapai hanya melalui hukum Musa. Seseorang dengan cara memelihara dan menjaganya. Seorang Yahudi sulit untuk percaya bahwa ada jalan kepada Allah tanpa melalui hukum Taurat, jalan iman. [22]





[1]Alan Avery-Peck, Jacob NeusnerThe Routledge Dictionary of Judaism (Bloomington: WestBow Press, 2014 ) 95.
[2]Ibid. 93.
[3]J. Christopher GarrisonThe Judaism of Jesus: The Messiah's Redemption of the Jews (Bloomington: WestBow Press, 2014 ) 165.
[4]France R.T. Yesus Sang Radikal Potret Manusia Yang Disalibkan  (Jakarta, BPK, 2004) 90.
[5]Justin Taylor. Asal-usul Agama Kristen (Yogyakarta: Kanisius, 2008) 48.
[6]Muhammad Alexander. Yakjuj & Makjuj: Bencana di Sebalik Gunung (Batu Caves Selangor: BPK, 2009)  23 -24.
[7]Ibid.
[8]Eliezer Berkovits, David Hazony. Essential Essays on Judaism (Tel Aviv: Top Print, 2003)  92.
[9]Michael, KeeneSeri Access Guides Agama-Agama Dunia (Yogykarta:Kanisius, 2006 ) 48-49.
[10]Anand Krishna. A New Christ (Jakarta: Gramedia, 2010) 41.
[11]Jakob, van Bruggen. Markus: Injil Menurut Petrus (Jakarta, BPK, 2006) 90.
[12]Michael, Keene, Seri Access Guides Agama-Agama Dunia (Yogykarta: Kanisius, 2006 ) 49.
[13]Jacobus, Tarigan.  Religiositas, Agama dan Gereja Katolik  (Yogykarta:Kanisius, 2006 ) 41.
[14]William, Barclay. Pemahaman Alkitab Setiap Hari Tafsiran Surat Roma (Jakarta: BPK, 2007) 202.
[15]J.T. Nielsen. Tafsiran  Alkkitab  Injil Matius Pasal:23-28 (Jakarta: BPK, 2009) 13.
[16]http;//www. beingjewish.com/toshuv/ salvation.html. (diunduh tgl 23 Mei 2015.
[17]Ibid.
[18]Asher, Norman. Twenty-six Reasons why Jews Don't Believe in Jesus (Los Angeles: Black Whita and Read Publishing, 2007)  6.
[19]Douglas, J. Del Tondo.  Jesus' Words on Salvation (Infinity Publishing, 2008) 155.
[20]J.H, Bavinck SejarahKerajaan Allah 2 PB (Jakarta, BPK, 2007) 18.
[21]Alton, H. HowardFoundations of Faith (LouisianaHoward Publishing1999) 203.
[22]William, BarclayPemahaman Alkitab Sehari-hari Injil Markus  (Jakarta: Gunung Mulia,2008) 210.


0 Response to "BEBERAPA AJARAN ORANG FARISI"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel