BEBERAPA LETAK KESALAHAN ORANG FARISI
Saya dalam hal ini mengkaji, bahwa ada beberapa titik kelemahan mengapa ada
perbedaan yang tajam antara hukum Tertulis (written Law) dengan hukum Lisan
(oral Law), mengapa hukum Lisan ini menjadi baku dalam sistem keagamaan orang
Farisi dan orang Yahudi.
Jika melihat konteks sejarah, maka orang Saduki juga tidak
menyukai pendirian orang Farisi yang mengangungkan hukum Lisan lebih dari Hukum
Tertulis (hukum Taurat). Kesalahan ini juga merupakan penekanan humanisme yang
berlebihan. Adalah tindakan yang keliru jika memiliki asumsi bahwa hukum Allah
akan komplit jika peran manusia dalam hal menambahkan hukum ke dalamnya.
Di dalam Injil Sinoptik, tidak ditemukan bahwa adanya keselarasan
antara ajaran orang Farisi dengan ajaran Yesus. sebaliknya yang ada hanya
perlawanan yang tiada henti, hingga berujung diserahkannya Yesus untuk
disalibkan. Walaupun orang Yahudi mewarisi hukum Musa, bahkan orang Farisi
sebagai pionir di dalam masyarakat Yahudi, tidak menunjukkan cara yang baik di
dalam menyambut kerajaan Allah yang diberitakan Yesus.
Konflik yang berkepanjangan seakan tidak berujung, keraguan, dan
ketakutan akan bahaya ajaran Yesus menjadi momok yang mengerikan bagi mereka.
Orang Farisi seakan kebakaran jenggot, jika ada banyak orang yang mengikuti
ajaran Yesus dan mengesampingkan ajaran orang Farisi.
Interpretasi orang Farisi terhadap ajaran Yesus sudah terbukti
gagal. Mereka tidak bisa melihat bahwa Yesus adalah puncak nubuatan para nabi, melainkan
hanya seorang Yahudi yang membebani orang Yahudi termasuk orang Farisi. Oleh
sebab itu, Saya memberikan beberapa poin mengenai letak permasalahan sikap dan
pendirian orang Farisi.
Kesalahan Dalam
Metode Penafsiran
Orang Farisi merupakan orang yang gigih dalam memperjuangkan jati
diri mereka. Beradaptasi dengan pengajaran baru bukan merupakan pilihan mereka.
Orang Farisi lebih menyukai mempertahankan ajaran dari pada menerima ajaran
baru yang berbeda dari ajaran mereka. Yesus berdiri di tengah-tengah para ahli
Taurat. Sering kali mereka termasuk dalam partai orang Farisi.
Karena itu dalam Perjanjian Baru Ahli Taurat disebut orang
Farisi. Namun ada pandangan yang berbeda mengenai orang Farisi. Golongan
Farisi tidak merupakan partai politik sama sekali; mereka hanya memerhatikan
kehidupan yang sesuai dengan tiap detail dari hukum Taurat; dan mereka tidak
memedulikan siapa yang memerintah mereka selama mereka diperkenankan untuk
melanjutkan penurutan yang cermat terhadap hukum Taurat.
Orang Farisi merupakan golongan yang secara ketat dan saksama
melihat Taurat dan mengekspresikannya dalam komunitas dan dimensi kerohanian
mereka. Bahkan melepaskan Taurat demi sesuatu yang lebih baik, belum tentu
mereka akan lakukan. Mereka menjadi pihak yang memiliki sensitivitas yang
tinggi mengenai penerapan Taurat dalam kehidupan mereka. Injil Sinoptik merekam
perdebatan-perdebatan mereka mengenai manifestasi ajaran Yesus.
Dalam Matius pasal 15 Yesus mengklaim mereka sebagai pihak yang
menaati ajaran manusia. Bagi Yesus mereka bukan orang-orang yang menerapkan
ajaran-ajaran dari hukum Taurat. Yesus berkata bahwa Dia datang bukan untuk
meniadakan hukum Taurat melainkan menggenapinya (Mat. 5:17-19). Dengan kata
lain, bahwa kedatangan Yesus pun memiliki relasi dengan hukum Taurat mereka
(Orang Farisi). Yesus bukan saja melakukan hukum Taurat namun benar-benar ingin
menjunjung tinggi hukum Taurat.
Pendekatan orang Farisi sangat berbeda. Apa yang Yesus lihat di
dalam diri mereka bukanlah sebuah asumsi, namun sebuah kenyataan. Orang Farisi
tidak menekankan mengenai penerapan hukum Taurat yang murni, melainkan
menyibukkan diri secara presisi dengan detail ajaran nenek moyang yakni hukum
Lisan.
Penafsir terbaik dari Kitab Suci ialah dirinya sendiri. Hukum
Taurat yang diberikan oleh Allah sudah cukup untuk menuntun mereka kepada
Allah. Namun ternyata tidak! Mereka hanya melihat bahwa akan lebih seimbang
jika, ada menambahkan tradisi Lisan ke dalam hukum Taurat. Orang Farisi tidak
memiliki konsistensi dan devosi kepada hukum Taurat yang mereka warisi dari
Musa.
Jika kedatangan Yesus ternyata adalah untuk menggenapkan apa yang
telah dinubuatkan oleh para nabi. Sudah jelas bahwa Yesus memiliki penghargaan
yang sangat tinggi terhadap hukum Taurat. Yesus tidak meniadakannya, namun
menempatkannya secara proporsional dengan pendekatan bahwa hukum Taurat adalah
Firman TUHAN, yang bukan untuk diselewengkan kebenarannya, melainkan untuk
menjadi pedoman hidup.
Ayat 8 dan 9 dalam Matius pasal 15 menyebutkan bahwa Yesus
menilai dengan terang-terangan bahwa mereka hanya tampak beribadah kepada
Tuhan, namun mereka meleset dari apa yang seharusnya mereka lakukan. Label
mereka sebagai rohaniawan (Orang Farisi) tidak serta merta menjelaskan
identitas mereka yang baik. Perbedaan sudut pandang dalam penafsiran hukum
Taurat cukup fundamental.
Jurang pemisah antara orang Farisi dengan Yesus sangat jauh.
Pebedaan yang tajam ini berakhir kepada simpulan final bahwa orang Farisi tidak
menaati Allah, yang sudah memberikan Taurat kepada mereka dan melakukannya dan
hidup berdasarkan hal tersebut. Ayat 13, Yesus berkata bahwa mereka bukan
tanaman yang ditanam oleh Bapa-Nya. Sumber mereka berbeda dengan sumber yang
Yesus pakai sebagai acuan pembicaraan. Yesus terus terang mengenai letak
kekurangan mereka.
Sejarah panjang Israel memberi penjelasan yang masuk akal mengapa
orang Farisi berusaha memegang hukum Lisan dan menganggap otoritasnya sama
dengan hukum Taurat. Orang Saduki tidak menyetujui sikap semacam ini. Bagi
Orang Saduki wibawanya jelas berbeda. Ajaran moral ahli-ahli taurat dan
orang-orang Farisi sering disebut sebagai ajaran legalistis, ajaran yang
terpaku mati pada hukum-hukum tertilis.
TIDAK MUNGKIN ADA DUA TAURAT
Injil Sinoptik menyaksikan mengenai eksistensi Yesus dan
relasi-Nya dengan hukum Taurat. Matius 5:16-19 secara eksplisit mengungkapkan
kebenaran ini sebagai sebuah kepastian, bahwa tujuan Yesus adalah untuk
menggenapi hukum Taurat, bukan malah sebaliknya untuk
menghancurkan/meniadakannya. Pendirian Yesus dalam hal ini sangat jelas.
Yesus menganggap hukum Taurat sebagai ketetapan Allah yang
bersifat wibawa dalam hal –hal agama; Ia melihat kebutuhan untuk menembus
kepada arti batiniahnya, yang membuatnya lebih dari sekadar tuntutan hukum
lahiriah; Ia tidak pernah menganggap bahwa hubungan manusia dengan Allah
sekarang, dapat didasarkan pada pemeliharaan hukum Taurat karena ini digantikan
oleh kerelaan Allah mengampuni manusia berlandaskan misi Yesus dan Perjanjian
Lama digantikan oleh Perjanjian Baru (Mat. 26:26) dan yang baru menggenapi yang
lama.
Yesus memiliki tindakan tegas bahwa kebenaran hukum Taurat adalah
sesuatu yang mulia, yang diberikan oleh Allah kepada umat-Nya Israel. Hukum
Taurat bukanlah kutuk bagi umat Israel. Mereka menerima kutuk ketika mereka
tidak setia melakukan apa yang menjadi tuntutan Hukum tersebut.
Tetapi bagaimana dengan Hukum yang disampaikan dari mulut ke
mulut, dengan tradisi Lisan yang telah tumbuh bersamaan dengan hukum Taurat
tertulis, yang bersisi banyak ketentuan dan peraturan hukum baru yang merupakan
tafsiran dan penerapan hukum Taurat tertulis dalam kehidupan umat? Tidak bisa
ada dua Taurat, sebab penyataan itu satu. Maka jadilah dipercaya bahwa tradisi
Lisan itu berwibawa.
Tradisi Lisan bertahan bukan karena Allah yang meneruskannya dari
Musa ke Yosua dan akhirnya ke seluruh bangsa Israel dan semua orang Yahudi.
Tradisi Lisan bertahan atas hasil kerja keras orang-orang yang setia
meneruskannya ke setiap generasi dan ke generasi berikutnya. Allah tidak
terlibat dalam proses penyusunan hukum tersebut. Allah tidak pernah menyuruh
untuk menuliskan hukum Lisan menjadi panduan hidup mereka.
The oral Torah is the
authoritative interpretation of the Written Torah. This means that the oral Law
must have come from the same Divine Source as the Torah itself. That’s why in
the Mishnah – which is the written form of the oral Law – The Rabbis gave us
its geneology, they described how Moses got it from God, and then, how it was
transmitted to the scholars who wrote it down in the Mishnah. (Taurat Lisan adalah interpretasi otoritatif dari hukum Tertulis. Ini
berarti bahwa hukum Lisan pasti berasal dari Sumber Ilahi yang sama dengan
Taurat itu sendiri. Itu sebabnya dalam Mishnah - yang merupakan bentuk tertulis
dari hukum Lisan - Para Rabi memberi kami silsilah, mereka menggambarkan
bagaimana Musa mendapatkannya dari Allah, dan kemudian, bagaimana itu
ditransmisikan ke ulama yang menuliskannya dalam Mishnah).
Tradisi Lisan bertumbuh dan berkembang bersamaan dengan hukum
Taurat. Sumber utama tradisi Lisan ialah hukum Taurat itu sendiri, tanpanya
tradisi Lisan akan lumpuh total. Hukum yang berjumlah 613 poin, terus mengalami
perkembangan seiring dengan waktu. Bukan lagi ratusan melainkan ribuan hukum
yang terus ditambah dan dikembangkan sesuai dengan kebutuhan yang ada.
Yahudi mempunyai 613 hukum, bahkan kemudian hari, hingga tahun 200
M, bertambah lagi beribu-ribu. Itulah yang dituliskan dalam kitab Misnah dan
kemudian ditambah lagi dan dikumpulkan dalam Talmud Yahudi (400 M).
The Rabbis believed that their oral traditions of interpreting the
Bible was an integral part of the Holy Scriptures. They believed that God gave
the Torah in two parts. One part was the Written Torah, which God dictated to
Moses on mount Sinai. The other part was the oral tradition, the tradition of
interpretation that told Jews how to live by the Torah laws. (Para Rabi percaya bahwa tradisi Lisan mereka dalam menafsirkan
Kitab Suci adalah bagian tak terpisahkan dari Kitab Suci. Mereka percaya bahwa
Allah memberi Taurat dalam dua bagian. Salah satu bagian adalah Taurat
Tertulis, yang Allah didikte kepada Musa di atas gunung Sinai. Bagian lain
adalah tradisi Lisan, tradisi penafsiran yang mengatakan Yahudi bagaimana hidup
oleh hukum Taurat)
Bagi orang Yahudi khususnya orang Farisi menganggap wibawa dari
hukum Taurat sama dengan tradisi Lisan. Mereka dengan ketat dan saksama
melakukan detail dari hukum Tersebut hingga lupa dan menyimpang dari hukum
terutama dan yang utama yaitu Kasih. Tradisi Lisan sangat sulit untuk
dilepaskan dari kehidupan orang Yahudi maupun orang Farisi. Tradisi Lisan
menurut mereka memiliki kewibawaan tersendiri.
Kewibawaannya bukan hanya berasal dari pengajar-pengajar yang
dipandang Suci, tetapi juga dari suatu Garis penerusan tradisi yan panjang yang
bermula bukan dari siapa-siapa tetapi dari Musa sendiri sebagai sumber, bukan
hanya Taurat tertulis tetapi juga tradisi Lisan itu sendiri. Keduanya
bersama-sama membentuk penyataan tunggal yang dengannya Israel dapat tetap
menjadi umat Perjanjian Allah.
Melepaskan tradisi Lisan dari sistem keagamaan mereka, bagaikan
melepaskan meterai dari sebuah surat yang keduanya akan rusak bersama. Hal itu
sungguh mustahil! Oleh sebab itu salah satu kesalahan dari orang Farisi yaitu
meletakkan hukum Lisan (oral Law) setara dan selevel dengan hukum Taurat.
Bahkan mereka mengklaim bahwa Allah juga memberikan hukum tersebut. Tentu
pernyataan itu tidak memiliki dasar ayat yang jelas, dan lebih kepada
penafsiran yang dipaksakan. Namun yang lebih fatal dari pernyataan tersebut
ialah mengatakan bahwa tanpa tradisi Lisan maka seseorang tidak akan mengetahui
cara mengaplikasikan hukum Taurat dalam dimensi kehidupan mereka.
Orang Farisi merasa lebih benar dari orang lain. Kesalahan orang
lain disoroti, tetapi kesalahan sendiri tidak disadari. Mereka mengajarkan
rupa-rupa hal yang baik, namun mereka sendiri tidak menjalankannya. Sebab itu
Tuhan Yesus berkata: “Turutilah dan lakukanlah segala sesuatu yang mereka
ajarkan kepadamu, tetapi janganlah kamu turuti perbuatan-perbuatan mereka....”
(Mat. 23:3).
Kegagalan orang Farisi justru sangat esensial. Mereka mengajarkan
namun mereka tidak menerapkan apa yang mereka ajarkan. Memang teori tidak
semudah dengan apa praktik. Namun teori pada akhirnya harus dilakukan. Jika
sedemikian pentingnya posisi oral Law maka jelas bahwa mereka (orang Farisi)
memiliki alasan untuk terus berpegang dan memelihara bahkan terus menambahkan
jumlahnya.
Klaim bahwa perlunya hukum yang lain untuk melengkapi hukum Allah,
sama saja menghina hukum-Nya. Implikasi dari eksisnya hukum Lisan ini,
merupakan bukti devosi yang salah. Harusnya Firman-Nya cukup menjadi panduan
dan aturan yang mengikat setiap sisi kehidupan dan dimensi kehidupan orang
Yahudi. Sangat jelas bahwa orang Farisi, sama sekali tidak memberikan penghargaan
yang tinggi dan ketundukan yang patuh kepada Firman-Nya.
HUKUM TERTULIS LEBIH BERWIBAWA DARIPADA HUKUM LISAN
Orang Farisi adalah orang-orang yang memiliki tradisi yang berbeda
dengan orang Saduki, terutama dalam hukum Taurat yakni hukum Tertulis. Di Bab
dua sudah disinggung mengenai letak keduanya, bahwa hukum Lisan adalah
pengembangan dari Hukum Tertulis.
Talmud pada awalnya adalah karya para Rabi (guru) yang berupa
terjemahan bebas kitab Suci sekaligus komentarnya (Midrash). Komentar Kitab
Suci yang lebih sistematis menyangkut segi moral dan hukum disebut Mishnah.
Kemudian komentar terhadap Mishnah disebut Talmud, yang selesai dikerjakan
dalam abad 5 SM. Tulisan dan pandangan para Rabi cukup memengaruhi kehidupan
agama orang Yahudi. Talmud dipandang sebagai bentuk Teologi sekaligus bersifat
religius.
Kekhasan kaum Farisi terletak pada hukum Lisan mereka, suatu
tambahan tak tertulis terhadap kitab Suci yang diklaim dapat menyediakan
tafsiran yang tepat atas ajaran-ajaran suci yang tertulis. Dalam hal
inilah terletak perbedaan yang tajam mengenai kepercayaan akan hukum Lisan yang
wibawanya dianggap sama oleh orang Farisi. Orang Farisi benar-benar
mengaplikasikan ajaran-ajaran dari hukum Lisan tersebut.
Jika dilihat proses hukum Lisan menjadi setara dengan hukum
Tertulis, pada mulanya berawal dari aktivitas para Rabi Israel yang berusaha
untuk memberikan terjemahan kepada hukum Tertulis dan komentar terhadap
ayat-ayatnya (Midrash).
The most important collection of rabbinic literature is the
Mishnah. Mishnah comes from the Hebrew root ‘shanah’ meaning “to repeat”. It
signifies that which is learned by repetition and thus from memory. Before its
codification by Judah the Patriarch the Mishnah was transmitted in oral form. (Koleksi yang paling penting dari literatur Rabinik adalah
Mishnah. Mishnah berasal dari bahasa Ibrani root 'SháNah' yang berarti
"untuk mengulangi". Ini berarti bahwa yang dipelajari oleh
pengulangan dan karena itu dari ingatan. Sebelum kodifikasi oleh Patriark Yehuda
Mishnah ditransmisikan dalam bentuk lisan.)
Proses yang terjadi kemudian mencapai kepada puncaknya yaitu
terciptalah Mishnah yang berisi komentar kitab Suci yang berisikan moral dan
aturan-aturan hidup. Kemudian Mishnah berlanjut kepada Talmud karena berisikan
komentar di dalamnya. Talmud menjadi baku bagi kalangan para Rabi, sehingga
sangat praktis untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari orang Yahudi.
Talmud merupakan sebuah pagar yang mengelilingi Taurat, yang setiap saat
menjelaskan tindakan yang benar sehingga tidak ada pelanggaran terhadap
hukum-hukum Allah.
Midrash (Hebrew “exegesis”) a term routinely used to convey three
distinct, if related, meanings. In common use, the word Midrash may refer to :
(1). A distinctive process or method of interpretation. (2) a compilation of
the results of that process, that is, a book that collects a set of exegeses.
(3) a single unit of exegesis that uses that method, e.g., the interpretation
or set of interpretations of a single biblical verse. (Midrash (Ibrani "penafsiran") istilah secara
rutin digunakan untuk menyampaikan tiga yang berbeda, jika terkait, artinya.
Dalam penggunaan umum, kata Midrash bisa merujuk ke: (1). Sebuah proses yang
khas atau metode penafsiran. (2) kompilasi dari hasil proses, yaitu, sebuah
buku yang mengumpulkan satu set tafsir. (3) satu unit penafsiran yang
menggunakan metode tersebut, misalnya, interpretasi atau serangkaian penafsiran
dari ayat Alkitab tunggal).
Orang Farisi memiliki pendirian yang kokoh mengenai doktrin yang
mereka anut yakni hukum Lisan (oral Law). Tuntutan untuk memberikan
aturan-aturan main dalam menafsirkan Hukum ini menjadi sesuatu yang dikerjakan
dan diawasi penerapannya. Apa yang terjadi dalam dialog dengan Yesus ialah
bahwa ternyata Yesus memiliki pandangan yang cukup berbeda dari orang
Farisi.
Jika orang Farisi selalu mendasarkan segala sesuatu berdasarkan
hukum Lisan (ajaran nenek moyang), lain halnya dengan Yesus, Dia mengklaim
dengan yakin bahwa ajaran orang Farisi bukanlah ajaran dari Allah, melainkan
dari manusia (para Rabi). Jika sumber ajaran orang Farisi adalah dari manusia
bukan dari Allah, tentu sudah jelas bahwa tidak patut menyetarakan wibawa hukum
Tertulis dengan wibawa hukum Lisan.
It was inevitable that an oral Law should develop in judaism
simply because the written Law did not cover all conceivable actions whether
moral or ritual. It was assumed by the rabbis that where the Torah was not
specific on certain laws governing conduct there must have been an oral
tradition associated with them. Some of the precepts of the Torah were clear
and some were not. The Rabbis believed that if the meaning of a regulation was
uncertain, it had to be clarified. If God made his will known in the Torah,
there certainly was an exact way to obey it, the rabbis viewed their task as
one of expanding the interpretation of the written Law to meet the changing
circumstances of life. Thus the oral Law was in a constant state of
development. It was adapted, modified, and expanded from time to time to meet
the varying practical needs of successive ages, and finally the tradition
itself took a written form. (Tidak bisa dihindari
bahwa hukum Lisan harus mengembangkan dalam Yudaisme hanya karena Hukum
Tertulis tidak mencakup semua tindakan yang mungkin apakah moral atau ritual.
Diasumsikan oleh para Rabi yang mana Taurat tidak spesifik pada hukum-hukum
tertentu yang mengatur perilaku pasti ada suatu tradisi Lisan yang terkait
dengan mereka. Beberapa ajaran Taurat yang jelas dan ada yang tidak. Para Rabi
percaya bahwa jika arti dari peraturan itu pasti, itu harus diklarifikasi. Jika
Allah membuat kehendaknya diketahui dalam Taurat, ada pasti cara yang tepat
untuk menaatinya, Rabi dilihat tugas mereka sebagai salah satu memperluas
penafsiran hukum Tertulis untuk memenuhi perubahan keadaan hidup. Dengan
demikian hukum Lisan dalam keadaan konstan pembangunan. Itu disesuaikan,
diubah, dan berkembang dari waktu ke waktu untuk memenuhi kebutuhan praktis
berbagai usia berturut-turut, dan akhirnya tradisi itu sendiri mengambil bentuk
tertulis).
Yesus menyuarakan dengan begitu lantang bahwa ajaran yang mereka
lakukan adalah dari manusia (nenek moyang) bukan dari sang Pencipta yaitu
pemberi hukum. Walau tampaknya mereka adalah orang yang beribadah, namun tidak
pernah tunduk kepada Allah yakni tunduk kepada otoritas penuh dari Hukum
Tertulis. (Mrk. 7:7-9). Ketika orang Farisi berusaha memegang hukum Lisan, maka
tentu mereka tidak sedang meninggikan otoritas hukum Tertulis.
Malahan Yesus berkata bahwa mereka sedang berusaha mengesampingkan
Firman Allah. Jika mereka berusaha dengan cara demikian bukankah mereka sedang
berusaha menyingkirkan Allah? Seseorang yang taat kepada Allah, maka pastilah
dia akan taat kepada Firman-Nya, sebaliknya jika ketidaktaatan terhadap
Firman-Nya, maka hal itu membuktikan dengan jelas bahwa sebenarnya dia tidak
taat kepada Allah.
The oral Law in the form of oral traditions was eventually put
into writing after the Roman destruction of the Second Temple in 70 AD. These
written oral traditions or oral Law can now be found in such Jewish writings as
the “Talmud,” “Midrash”, or “Mishnah”. Thus, for the Jews who believe this,
there is both a written and an oral Torah which they believe have equally
binding legal force. (Hukum Lisan dalam bentuk tradisi
Lisan akhirnya dimasukkan ke dalam tulisan setelah kehancuran Romawi Bait Suci
Kedua di 70 Masehi. Tradisi Lisan tertulis atau hukum Lisan sekarang dapat
ditemukan dalam tulisan-tulisan Yahudi seperti "Talmud,"
"Midrash", atau "Mishnah". Dengan demikian, untuk
orang-orang Yahudi yang percaya ini ada kedua kekuatan hukum mengikat sama
tertulis dan Taurat Lisan yang mereka percaya memiliki).
Jika kita perhatikan argumentasi Yesus terhadap orang-orang
Farisi, maka tampak secara eksplisit bahwa orang Farisi sebenarnya mengibarkan
bendera yang lain yang bukan hukum Taurat (hukum Tertulis). Tentu pendapat
Yesus didasarkan atas fakta yang valid dan tidak basa basi. Yesus tumbuh
bersama orang Yahudi pada umumnya, dibesarkan dengan hukum Taurat.
Tidak asing bagi Yesus bahwa tujuan final dari memercayai hukum
Lisan ialah bukan menegakkan kebenaran hukum Allah, melainkan hukum/aturan
manusia. Orang-orang Farisi memercayai peraturan-peraturan tradisi secara
mendetail dan saksama, sedangkan golongan Saduki hanya menerima hukum yang
tertulis saja. Golongan Farisi mengakui adanya predestinasi, sedangkan golongan
Saduki percaya adanya kehendak bebas.
Jika tradisi Lisan (oral Law) adalah Firman Allah atau setara
dengan hukum Tertulis (written Law), mengapa tidak ada bukti yang sahih dalam
Injil sinoptik atau dalam Perjanjian Lama? Atau mengapa setidaknya Yesus dalam
pelayanan-Nya di bumi setidaknya mengakui kebenaran hukum Lisan ini? Talmud –
(Ibr. ajaran). Kumpulan tradisi Yahudi yang terdiri dari Mishnah (pengajaran
lisan) dan Gemara (diskusi mengenai Mishnah). Ada dua versi, yakni Talmud
Palestina dan Talmud Babilonia yang lebih panjang. Keduanya selesai disusun
selama abad ke-5 tetapi memuat bahan-bahan yang berasal dari waktu yg jauh
sebelumnya.
MISNAH: hukum Rabinik seperti yang dikumpulkan dan diatur menurut golongan
sekitar 200 M. Misnah ini merupakan puncak dari tradisi Lisan yang
berabad-abad. Dikerjakan di Palestina, Misnah menjadi dasar dari Talmud
Palestina maupun Babel. Talmud itu adalah komentar atas Misnah dan di dalamnya
telah diadakan beberapa perubahan (modifikasi). Hukum-hukumnya mencakup
masalah-masalah keagamaan; sosial dan ekonomi. Seluruhnya berjumlah enam puluh
tiga traktat. Yang paling banyak dikutip dalam komentar-komentar PB adalah
“pirhe abith, karena menerangkan Yudaisme pada zaman PB.
Keyakinan orang-orang Farisi ialah mereka percaya bahwa bukan saja
hukum Taurat yang diturunkan kepada Musa, melainkan juga hukum Lisan. Dua hukum
ini bagi mereka saling melengkapi satu dengan yang lain. David L. Turner
berkata :
The Pharisees believed that
God had revealed to Moses not only the written Law but also the traditional
oral Law that explained and applied the written Law. This oral Law was handed
down from generation to generation and could be deduced from the written Law if
it was properly interpreted. This oral tradition was eventually redacted in
written form as the Mishnah by the Rabbi Judah ha – Nasi (the Patriarch) around
200BCE. (Orang-orang Farisi percaya bahwa Allah telah
mengungkapkan pada Musa tidak hanya Hukum yang Tertulis tetapi juga hukum
tradisi Lisan yang menjelaskan dan mengaplikasikan Hukum Tertulis. Hukum Lisan
ini diserahkan turun-temurun dari generasi ke generasi dan dapat dideduksi dari
Hukum Tertulis jika diinterpretasikan dengan tepat. Tradisi Lisan ini pada
akhirnya dikumpulkan dalam bentuk tertulis seperti Mishnah oleh Rabi Judah –
Nasi (Patriakh) sekitar tahun 200 SM.)
Kepercayaan ini yang membuat orang-orang Farisi merasa yakin bahwa
mereka berdiri pada posisi yang benar. Mereka tidak akan pernah menemukan bahwa
mereka sudah berada di jalan yang salah, sebaliknya mereka merasa bahwa mereka
sedang membela Allah dengan berpegang teguh kepada hukum Lisan. Hukum Lisan
jelas diturunkan dari generasi ke generasi sehigga terbukti bahwa orang-orang Yahudi
sudah terikat kepada hukum tersebut.
Mishnah dan Gemara bersama-sama biasa disebut sebagai Talmud.
Talmud Yerusalem yang memuat Mishnah beserta himpunan Gemara dari Mazhab-mazhab
Palestina telah selesai kira-kira tahun 300 M; Talmud dari Babilonia yang jauh
lebih besar terus bertumbuh selama dua abad lagi, sebelum diciutkan dalam
bentuk tertulis kira-kira tahun 500.
Penafsiran terhadap teks adalah wajar, karena kepentingan ini
cukup mendesak secara berjemaah. Orang Yahudi perlu memahami arti ayat-ayat
yang firman oleh Allah bagi umat-Nya, untuk melihat secara langsung korelasinya
dengan hidup sehari-hari mereka. Membuat buku tafsiran juga adalah wajar. Namun
batas kewajaran penafsiran sudah melampaui batasnya. Hukum yang sudah dibukukan
(Talmud) mencapai kulminasinya yaitu menjadi ‘setara’ dengan hukum Tertulis.
Implikasi dari dari kesetaraan wibawa Hukum Lisan ialah bahwa pada
akhirnya perkataan Allah atau Sabda TUHAN, dianggap sama dengan perkataan
manusia. Tentu ini tampak serius, karena bagaimana mungkin perkataan manusia
bisa berubah menjadi setara dengan perkataan Allah?
Di dalam Yesaya 55:8-11 berkata bahwa “rancangan TUHAN bukanlah
rancangan manusia” bahkan jarak yang terbentang yang memisahkan antara manusia
dengan Allah diibaratkan sejauh langit dari bumi. Bagaimana mungkin wibawa
perkataan manusia (hukum Lisan) lebih tinggi dari wibawa perkataan Allah (hukum
Tertulis)?
Inkripsi Yahudi yang lain ialah Talmud. Perkataan ‘Talmud’
bermakna pengajaran atau ajaran. Karya-karya yang disebut begitu adalah hasil
kerja beberapa penganut mazhab Yahudi. Isinya mengenai kelakuan.Para ahli
mendakwa mereka memberi kepada Taurat Musa ‘pagar’ supaya ditepati dengan baik.
Talmud-talmud itu sebenarnya adalah hasil beberapa angkatan ahli.
Oleh karena tempo menyiapkan lama, bahan-bahan itu disampaikan
oleh guru secara lisan saja lalu dihapalkan oleh murid. Di dalamnya terkandung
diskusi-diskusi, keterangan-keterangan, tafsiran serta penerapan dan contoh
yang diberikan oleh ahli-ahli dari zaman dahulu dan terus bertambah banyak.
Teks kitab Suci memang harus ditafsirkan sehingga memudahkan
pembaca atau umat dalam menginterpretasikan ayat tertentu dengan demikian mudah
untuk dipraktikkan dalam kehiduapan sosial maupun dalam liturgi-liturgi orang
percaya. Namun yang menjadi problematika yang cukup memberikan pengaruh penting
ialah bahwa kitab Suci jelas memiliki perbedaan yang krusial dan signifikan
dengan penjelasan dari kitab Suci.
Para ahli yang terjun dalam menafsirkan Hukum Tertulis menjadi
kunci untuk menentukan sikap dalam memperlakukan Hukum tersebut dalam
kehidupan. Yesus bertindak dengan bijaksana, bahwa kedatangan-Nya ke dunia
jelas ada kaitan dengan hukum Taurat, sebab tentang Dia tertulis jelas di
dalamnya. Yesus memberikan simpulan yang tegas bahwa Dia bukan untuk
menyirnakan hukum Taurat, sebaliknya Yesus menghormati wibawanya sehingga jelas
Dia ingin menggenapi Hukum tersebut.
0 Response to "BEBERAPA LETAK KESALAHAN ORANG FARISI"
Post a Comment