WRITTEN LAW VS ORAL LAW
TRADISI LISAN TIDAK MENGGANTIKAN HUKUM TERTULIS (WRITTEN LAW)
Orang Farisi dan orang Yahudi sama-sama mewarisi tradisi Lisan dan
menghidupinya dan menjadi gaya hidup yang sudah diterapkan. Memasukkan ajaran
dan menyebarluaskannya dalam setiap aspek kehidupan mereka baik hidup secara
personal, kelompok (bermasyarakat) maupun berbangsa. Mereka tidak dapat
melepaskan hukum Taurat dan membiarkannya berjalan sendiri. Hukum Taurat
adalah sesuatu yang harus diangkat ke permukaan, dan didistribusikan kepada
seluruh orang Israel.
The Rabbis believed that their oral traditions of interpreting the
Bible was an integral part of the Holy Scriptures. They believed that God gave
the Torah in two parts. One part was the Written Torah, which God dictated to
Moses on mount Sinai. The other part was the oral tradition, the tradition of
interpretation that told Jews how to live by the Torah laws. (Para Rabi percaya bahwa tradisi Lisan mereka dalam menafsirkan
kitab Suci adalah bagian tak terpisahkan dari Kitab Suci. Mereka percaya bahwa
Allah memberi Taurat dalam dua bagian. Salah satu bagian adalah Tertulis
Taurat, yang Allah didikte kepada Musa di atas gunung Sinai. Bagian lain adalah
tradisi Lisan, tradisi penafsiran yang mengatakan Yahudi bagaimana hidup oleh
hukum Taurat) .
Tradisi Lisan, merupakan tradisi yang sudah terjadi dalam proses
yang panjang. Namun konflik internal yang terjadi antara Yesus dan golongan
orang Farisi dan Yahudi membuktikan bahwa ternyata, bukan Taurat Musa yang
mereka aplikasikan ke dalam hidup keagamaan mereka. Yesus menyebutkan bahwa
ajaran mereka berasal dari nenek moyang mereka. Yesus tidak sedang mengklaim
bahwa ajaran hukum Taurat Musa adalah sesuatu yang menyimpang. Dengan jelas Dia
berkata bahwa Dia datang untuk menggenapinya, bukan untuk mengabaikannya.
Apa yang ditentang oleh Yesus bukanlah Firman Allah, namun
tafsiran mereka terhadap hukum Tertulis (hukum Taurat). Para Rabi terdahulu
berusaha untuk menerjemahkan hukum Taurat, sehingga memiliki, tafsiran-tafsiran
yang mudah dimengerti. Apakah dengan menafsirkan hukum Taurat, adalah sesuatu
yang salah, dengan demikian Yesus menentang mereka? Bukan! Masalah krusial yang
terjadi, bukanlah pada soal tafsiran nenek moyang mereka. Duduk permasalahannya
terletak di dalam sikap mereka yang menjadikan tradisi Lisan (oral Law) menjadi
berwibawa.
The oral Law is a legal commentary on the Torah, explaining how
its commandments are to be carried out. Common sense suggests that some sort of
oral tradition was always needed to accompany the written Law, because the
Torah alone, even with its 613 commandments, is an insufficient guide to Jewish
life. For example, the fourth of the Ten Commandments, ordains, "Remember
the Sabbath day to make it holy" (Exodus 20:8). (Hukum Lisan adalah komentar yang sah terhadap kitab Taurat,
yang menjelaskan bagaimana perintah-perintah yang akan dilakukan. Akal sehat
menunjukkan bahwa semacam tradisi Lisan selalu diperlukan untuk menemani hukum
Tertulis, karena Taurat saja, bahkan dengan 613 perintah, adalah panduan yang
cukup untuk kehidupan Yahudi. Sebagai contoh, keempat dari Sepuluh Perintah
Allah, menahbiskan, "Ingatlah hari Sabat untuk membuatnya suci"
(Keluaran 20: 8).
Bagi orang Yahudi, tradisi Lisan dianggap sah dan tidak dapat
dipisahkan dari hukum Taurat. Penjelasan-penjelasan dari hukum Taurat berada
dalam tradisi Lisan. Bagi mereka, arti dari hukum Taurat tertuang dan
terjabarkan di tradisi Lisan yang mereka kembangkan.
Without an oral tradition, some of the Torah's laws would be
incomprehensible. In the Shema's first paragraph, the Bible instructs:
"And these words which I command you this day shall be upon your heart.
And you shall teach them diligently to your children, and you shall talk of
them when you sit in your house, when you walk on the road, when you lie down
and when you rise up. And you shall bind them for a sign upon your hand, and
they shall be for frontlets between your eyes. (Tanpa
tradisi Lisan, beberapa dari hukum kitab Taurat itu akan tidak dapat
dimengerti. Dalam paragraf pertama Shema, Alkitab memerintahkan: "Dan
kata-kata ini, yang kusampaikan kepadamu pada hari ini haruslah engkau
perhatikan Dan Anda akan mengajar mereka rajin kepada anak-anak Anda, dan Anda
akan berbicara dari mereka ketika Anda duduk di rumah Anda, kapan. Anda
berjalan di jalan, saat Anda berbaring dan ketika Anda bangkit. dan Anda akan
mengikat mereka untuk tanda tangan pada Anda, dan mereka akan menjadi lambang
antara mata Anda.)
Sikap orang Yahudi dan orang Farisi ini jika dianalogikan dengan
orang Kristen yaitu bahwa Alkitab tidak akan lengkap tanpa tafsiran dari
Alkitab itu sendiri. Ezra sebagai ahli kitab melakukan interpretasi terhadap
hukum Taurat, karena penting supaya umat mengerti maksud dan tujuan atau makna
di dalam teks yang akan dibacakan. Namun bukan berarti interpretasi terhadap
hukum Taurat adalah sama dengan atau sejajar dengan hukum Taurat itu sendiri.
Dua keadaan itu adalah berbeda satu dengan yang lain.
Tradisi Lisan menjadi setara dengan hukum Taurat Musa (written
Law). Bagi orang Farisi, tradisi Lisan, menjadi sesuatu yang mengikat dan
menjadi persoalan yang serius. Tradisi Lisan seolah-olah adalah firman Allah.
Namun kenyataannya ialah bahwa Alkitab tidak mencatat bahwa Yesus menggenapi
salah satu hukum dari tradisi Lisan mereka.
Yesus tidak menyebutkan, bahwa tujuan kedatangan-Nya ke bumi ini
adalah sebagai bagian dari kegenapan apa yang terdapat dalam tradisi Lisan
(ajaran nenek moyang mereka) melainkan Yesus berkata bahwa tentang Dia tertulis
di kitab Taurat Musa dan kitab para nabi dan juga kitab mazmur. Esensi dari
hukum Tertulis tidak akan pernah berubah, esensi dari tradisi Lisan juga
demikian, dia tidak akan pernah menjadi berwibawa setara dengan Hukum Musa
TRADISI LISAN BUKANLAH INSPIRASI DARI ALLAH
Rasul Paulus dalam suratnya yang ditujukan kepada Timotius berkata
bahwa “Segala Tulisan diilhamkan oleh Allah......” (2 Tim. 3:16), gagasan
Paulus bahwa tulisan/writings bersumber dari Allah. Kata Yunani diilhamkan
memakai istilah Yunani “Theopneustos” pemikiran ini menunjuk kepada wibawa
Kitab Suci yang mana Roh Allah berperan untuk mengilhami para penulis Alkitab.
Orang Yahudi percaya bahwa hukum Lisan diturunkan oleh Allah
bersama-sama dengan hukum Tertulis. Alkitab tidak memberikan bukti-bukti yang
sahih mengenai Otoritas dari hukum Lisan. Penulis Injil Sinoptik hanya mencatat
beberapa diskusi antara Yesus dengan orang-orang Yahudi (Mat. 15:3). Yesus
mengamati bahwa orang Yahudi adalah pelanggar hukum Taurat (hukum Allah) demi
menegakkan hukum nenek moyang mereka (hukum Lisan).
Yesus bahkan tidak pernah mengonfirmasi bahwa hukum Lisan adalah
sesuatu yang ilahi yang perlu untuk dijadikan pedoman hidup sama seperti hukum
Taurat. Yesus dalam sebuah kesempatan memberikan afirmasi mengenai tulisan nabi
Yesaya pasal 11. Yesus menggenapi apa yang disampaikan oleh Yesaya. Yesus dalam
sebuah kesempatan memberi jawab kepada seorang ahli Taurat bahwa pada kedua
hukum (mengasihi Tuhan dan sesama) tersebutlah hukum Taurat dan Kitab pada Nabi
terkandung.
Yesus jelas tidak menambahi wibawa dari hukum Taurat, sebaliknya
Yesus menandaskan bahwa Kitab para nabi dan hukum Taurat adalah bersumber dari
Allah (Mat. 5:17; 7:12; 22:40; Luk. 16:16; 24:44; Yoh. 1:45). Tradisi Lisan
merupakan penjelasan terhadap Hukum Tertulis, sehingga lebih memudahkan
orang-orang Yahudi dalam menerapkannya.
TRADISI LISAN BUKANLAH PERINTAH ALLAH
Yesus tidak pernah mendasarkan ajaran-Nya dari tradisi Lisan orang
Farisi. Justru Yesus mengecam dengan keras bahwa ajaran yang mereka ajarkan
adalah perintah manusia bukan perintah Allah. (Mat. 15:9).
Di samping hukum Taurat yang tertulis, para ahli Taurat dan orang
Farisi memelihara tradisi Lisan (Yunani: parodosis). Tradisi ini terdiri dari
sejumlah besar peraturan yang oleh ahli-ahli Taurat disimpulkan dari hukum
Taurat, dengan maksud agar hukum Taurat dapat dilaksanakan secara lebih teliti
(tradisi itu dipandang sebagai pagar di sekitar Taurat, untuk menjamin
pelaksanaan Taurat). Peraturan tambahan yang sering bertele-tele itu umumnya
mendorong ke arah pelaksanaan hukum Taurat secara harfiah, tanpa terlalu
memerhatikan apa sesungguhnya maksud hukum itu.
Jelaslah Yesus sangat membedakan antara hukum Taurat dengan adat
istiadat (tradisi Lisan). Yesus sama sekali tidak menaruh simpati kepada sikap
orang-orang Farisi yang berusaha menyingkirkan penerapan hukum Taurat
dibandingkan dengan tradisi Lisan. Jika seandainya tradisi Lisan adalah
perintah Allah, tentu Yesus akan berjalan ke arah sana. Pengakuan Yesus bahwa
Dia tidak akan mengabaikan satu iota dari Taurat menjadi kunci komitmen-Nya.
Namun ternyata orang Yahudi dan orang Farisi sibuk dengan perintah
manusia, yaitu perintah yang diajarkan kepada mereka secara turun-temurun. Jika
mereka berpegang adat istiadat sedemikian ketat dan serius, bagaimanakah nasib
perintah Allah? Bukankah mereka harusnya lebih menaati perintah Tuhan, namun
kenyataan tidak. Mereka menyibukkan jam-jam mereka dengan menerapkan tradisi
Lisan ke dalam seluruh aspek kehiduan mereka.
Mereka akan sangat sulit untuk melihat kebutuhan manusia demi
keselamatan mereka, dibanding ketegasan tradisi Lisan. Bagi orang Farisi,
menegakkan tradisi Lisan serta mengibarkannya bagi semua orang Yahudi tampaknya
menjadi sasaran utama mereka. Di sisi lain, perintah Allah tidak menjadi
sentral dalam kehidupan mereka.
0 Response to "WRITTEN LAW VS ORAL LAW"
Post a Comment