PENYEBARAN DAN PENGARUH AJARAN ORANG FARISI





Setiap ajaran memiliki pengaruh terhadap yang menerimanya, apakah ajaran itu baik ataupun buruk. Orang Farisi adalah sekelompok orang yang benar-benar memutuskan diri untuk hidup terpisah dari orang banyak. Jarak yang terbentang antara mereka dengan orang-orang Yahudi biasa diciptakan secara sengaja. Kebanyakan mereka masuk golongan Farisi (artinya: yang terasing), yang berusaha untuk melakukan Taurat secermat-cermatnya, umpanya hal berpuasa, berdoa, memberi sedekah, menguduskan hari Sabat dan sebagainya.[1]

Mereka adalah kaum separatis, yakni orang-orang yang sengaja memisahkan diri dari masyarakat untuk menjalankan hukum Taurat. Merupakan kebanggaan tersendiri jika mereka dipanggil dan digelari sebagai Rabi (Mat. 23:7). 

Tentu mereka mendapat tempat yang terbaik di dalam masyarakat, seperti duduk di tempat terhormat dalam perjamuan maupun rumah Ibadat (Sinagoge), bahkan mereka juga gila hormat (Mat. 23:6-7). Banyak larangan-larangan orang Farisi yang diterapkan di dalam kehidupan Yahudi. 

Pada prinsipnya ajaran mereka memiliki pengaruh yang kompleks dan holistik di tengah masyarakat orang Yahudi. Bagi orang Farisi agama adalah ritus. Agama berarti mematuhi peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan tertentu.[2] Pendirian semacam ini terstruktur dan tersistematisasi.

The Pharisees believed that the written Torah could only be understood in combination with an oral tradition, teaching passed on by word of mouth. (Orang-orang Farisi percaya bahwa Torah tertulis hanya dapat dipahami bersama dengan tradisi Lisan, ajaran itu diteruskan dari mulut ke mulut.) [3] Berita yang disampaikan dari mulut ke mulut memiliki impak yang besar. Proses transmisi yang dilakukan secara antural, namun sangat efektif. Dengan demikian bahwa seluruh lapisan masyarakat Yahudi tentunya sudah ditulari oleh ajaran orang Farisi. Tidak satupun orang Yahudi yang tidak mengenal siapakah orang Farisi.  

MENEMBUS HINGGA KE LAPISAN MASYARAKAT

Suatu hari orang-orang Farisi dan Ahli Taurat bertemu dengan Yesus dan berkata mengapa murid-murid-Nya tidak membasuh tangan sebelum makan (Mat. 15:1-20; Mrk. 7:1-23). Alasan yang mendasar bagi orang Farisi dan Ahli Taurat ialah karena beberapa murid Yesus yang juga adalah orang Yahudi tidak membasuh tangan sebelum makan. Bagi mereka tindakan semacama itu adalah sebuah tindakan yang tidak biasa dan asing untuk dipandang, bahkan hal itu tergolong najis. Kemungkinan kotoran yang melekat pada tangan membuat makanan najis, sehingga bagi mereka orang tersebut tergolong najis. 

The written Law of the Torah and the oral Law both given by God, provide the fundamental foundation or religious and social behavior for all Jews. (Hukum Tertulis dari Taurat dan hukum Lisan yang keduanya diberikan oleh Allah, memberikan dasar fundamental atau dasar keagamaan dan perilaku sosial bagi seluruh orang Yahudi).[4] Orang Farisi tampaknya mustahil untuk memisahkan diri dari penyerahan diri kepada hukum Lisan. Keyakinan terhadap wibawa hukum Tertulis juga diperlakukan dengan cara yang sama terhadap tradisi Lisan (oral Law).

Orang Farisi tidak akan melewatkan aturan-aturan Lisan mereka, dalam kehidupan sehari-hari. Mengawasi dan mengontrol penerapan di dalam kehidupan sehari-hari menjadi tugas tambahan mereka. Protes terhadap sikap Yesus yang tidak tahu aturan, mengindikasikan bahwa bagi mereka, Yesus tidak mengindahkan dan mengacuhkan ajaran mereka dengan baik. Orang Farisi merasa bahwa Yesus harusnya sudah mengetahui dan menerapkannya dalam situasi semacam itu. Namun realita menunjukkan hal yang sebaliknya ( Mat. 15:2; Mrk. 7:5)

Matius pasal 15 mengisahkan mengenai persoalan membasuh tangan sebelum makan, dan reaksi orang Farisi, hal tersebut adalah salah satu ajaran orang Farisi dan Ahli Taurat yang dilakukan juga oleh orang Yahudi pada umumnya. Bisa dibayangkan mereka tidak akan lupa melakukan perbuatan najis tersebut sebelum makan. Bagi mereka menegakkan peraturan yang sudah diwariskan oleh nenek moyang adalah sesuatu yang berharga dan patut dihormati. Akhirnya orang-orang Farisi menciptakan ketegangan di antara para murid Yesus mengapa mereka tidak menuruti adat-istiadat nenek moyang mereka.

Peneliti melihat bahwa barangkali sudah banyak orang Yahudi yang berhasil melakukan kebiasaan mereka. Sebab perhatian mereka hanya tertuju kepada murid-murid Yesus, dan kemungkinan besar ajaran mengenai pembasuhan tangan ini sudah benar-benar diturunkan kepada masyarakat dengan baik. Ajaran yang satu ini pada akhirnya menjadi sesuatu yang sudah mendarah daging dan menjadi baku (normatif). Yesus tidak tinggal diam mengenai premis yang diajukan orang-orang Farisi. Bagi Yesus, mereka hanya terpaku kepada ajaran manusia yaitu adat istiadat yang dibangun dan ditegakkan oleh manusia juga.

Yesus memberi poin penting dalam pengajaran-Nya yaitu bahwa bukan sesuatu yang masuk ke dalam mulut, sesuatu menjadi najis, melainkan sesuatu yang keluar dari mulut, yang berpotensi untuk mengotori orang lain. Yesus menyanggah argumen mereka bahwa murid-murid melakukan sesuatu yang dianggap najis. Dengan keras Yesus menjawab bahwa “apapun yang dari luar tidak dapat menajiskan seseorang” (Mrk. 7:15).

Peneliti melihat fakta bahwa atensi dari orang-orang Farisi bukan hanya soal ajaran atau doktrin mengenai etika hidup. Namun sorotan kepada persoalan lahiriah pun menjadi sesuatu yang dipertaruhkan dalam komunitas mereka, hingga di hadapan banyak orang Yahudi. Bisa dibayangkan bahwa orang-orang Farisi dan Ahli Taurat menaruh perhatian yang sangat jeli ketika seseorang hendak menyantap makanan, apakah dia sudah membasuh tangan atau tidak. Orang Farisi tentunya orang-orang yang memiliki tingkat pengawasan yang tinggi. Hal-hal yang tampaknya sederhana, sejauh itu melanggar akan dianggap persoalan yang sangat serius dan patut untuk ditindak tegas.

Ajaran orang Farisi benar-benar mengikat segi kehidupan orang Yahudi. Tidak ada persoalan-persoalan agama yang luput dari pengamatan mereka. Orang Farisi menjadi orang yang sangat penting dalam sistem keagamaan dan kehidupan sosial pada waktu itu. Hukum Taurat menjadi panduan dan tatanan yang baku dalam setiap sisi kehidupan sosial mereka. Oleh sebab itu tidak mengherankan mengapa Yesus selalu mendapat kecaman yang tajam atas apa yang Dia perbuat baik terhadap orang-orang Yahudi maupun orang-orang non-Yahudi

AJARAN ORANG FARISI BERSIFAT MENGIKAT

Orang Farisi adalah orang-orang yang selalu siap “pasang badan” ketika ada sosok yang tampil beda di dalam masyarakat orang Yahudi. Bahkan sampai protes serta penegakan Hukum yang sangat tinggi dilancarkan oleh kelompok tersebut. Orang Farisi adalah orang-orang yang hadir di situs-situs penting orang Yahudi. Mulai dari Bait Allah, undangan/jamuan makan bahkan di pasar-pasar pun mereka mendaptkan penghormatan dari masyarakat orang Yahudi.

Praktik hukum Sabat yang aplikasinya dianggap kurang tepatpun, mereka siap untuk menentang dan membelanya. Hal ini mengindikasikan bahwa memang mereka menjaga penerapan di lapangan hingga detail yang paling kecil. Mereka selalu siap menanyakan dan mencobai bahkan timbul niat untuk membunuh atapun membinasakan si pelaku yang coba-coba menentang hukum Taurat mereka (Mat. 12:14; 16:1; 19:3;  3:6; 8:11: 10:2).

Tafsiran Lisan yang dibuat orang Farisi ternyata lebih rinci dan rumit. Adanya tafsiran Lisan inilah yang menjerat hidup orang Farisi dan memperbudaknya. Bayangkan bangun tidur harus mengingat hukum apa yang harus dijalankan hari itu, ini karena begitu banyaknya aturan Lisan yang harus ditaati sehingga untuk mengingat saja sudah menjadi pekerjaan yang berat. Setiap hari hidupnya harus diarahkan demi Taurat dan aturan Lisannya. Ini sudah merupakan sautu penyimpangan. [5]

Tidak salah lagi, bahwa memang tradisi Lisan ini memberikan beban yang berat bagi orang Farisi. Mereka harus benar-benar memiliki perhatian saksama terhadap aturan tersebut.


Yesus pun tidak luput dari sorotan tajam dari orang-orang tersebut. Setiap gerak gerik Yesus selalu dipantau untuk menjatuhkan pihak lawan dengan satu pukulan mematikan ( 3:2; Luk. 6:7; 20:20). Satu ketika, setelah Yesus menyembuhkan seorang yang lahir buta (Yoh pasal 9), maka timbul sebuah argumentasi yang sengit mengenai benar tidaknya kejadian yang mengherankan tersebut. Orang-orang banyak akhirnya memutuskan untuk membawakan hal tersebut kepada orang-orang Farisi, karena hari di mana Yesus menyembuhkan bertepatan hari Sabat (Yoh. 9:13-14).

Jika dilihat dari sisi respons orang banyak yang memiliki opsi membawakan kasus kepada orang-orang Farisi, tampaknya orang-orang Yahudi pada umumnya tahu bahwa yang berhak untuk mengadili kasus atau yang memberikan penilaian ialah orang Farisi. Orang-orang Yahudi (orang awam), tidak memiliki andil apa-apa untuk untuk menghukum, selain membawa kasus ini ke hadapan mereka. Kemudian orang Farisi menilai dan mengukur perbuatan tersebut dari sudut pandang hari Sabat.

Peneliti melihat bahwa dalam hal sekecil ini pun, orang Farisi memiliki peran yang tidak bisa diabaikan. Kenyataannya ialah bahwa masyarakat orang Yahudi terbiasa dan sudah dibiasakan untuk tetap menuruti ajaran-ajaran mereka (orang Farisi).


AJARAN-AJARAN ORANG FARISI

Untuk mengetahui bentuk-bentuk konkret ajaran Farisi yang kemudian perlu untuk diidentifikasi sejauh mana ajaran mereka dalam kehidupan mereka dan sumber-sumber ajaran mereka. Ajaran Farisi yang identik dengan ajaran nenek moyang sangat penting untuk dikaji. Yesus di dalam beberapa Injil menyebutkan bahwa murid-murid-Nya harus berhati-hati dan selalu siaga terhadap ajaran mereka (Mat. 16:12). Tingkat kewaspadaan terhadap ajaran orang Farisi menjadi penting bagi murid-murid Yesus.

Doktrin Farisi merupakan sesuatu yang harus diawasi oleh murid-murid Yesus. Yesus memberikan komentar mengenai ajaran orang Farisi. Kendatipun Yesus bukan dari pihak oposisi, namun setidaknya, Yesus memiliki reaksi dan analisis kritis mengenai praktik dan esensi ajaran mereka.





[1]Hendrikus, Berkhof & I.H. Enklaar. Sejarah Gereja (Jakarta: BPK, 20095.
[2]William, BarclayPemahaman Alkitab Sehari-hari Injil Markus  (Jakarta: Gunung Mulia, 2008) 109.
[3]Jonathan B. Krasner, Jonathan D. Sarna. The History of the Jewish People: Ancient Israel to 1880's America (America: Behrman House, 200630.
[4]Robert, Brownstein. Making Jesus the Messiah: Saint Paul and the God-fearers : a Market View (Tanpa Kota Penerbit: Lincoln, 2000) 145.
[5]Retnowati. Firman Hidup 54 (Jakarta : BPK, Tanpa tahun) 26.


0 Response to "PENYEBARAN DAN PENGARUH AJARAN ORANG FARISI"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel