SEJARAH SINGKAT ORANG FARISI




Sejarah adalah masa lalu yang sudah dilewati dan sudah berlalu dan tidak mungkin dapat diulang kembali oleh manusia. Sejarah juga menggambarkan siapakah manusia itu dan bagaimana keadaannya di waktu dulu. Farisi (Pharisees) – (Ibr. ‘terpisah’) kelompok orang-orang Yahudi saleh yang terbentuk sekitar abad ke-2 SM. Mereka menerima hukum Tertulis dan Lisan dan dengan amat teliti menaati berbagai macam kewajiban dengan tuntunan 366 aturan positif dan 250 aturan negatif. [1] 

Harus diakui bahwa Yesus semasa pelayanan di bumi, memberikan warna yang baru di dalam agama Yahudi. Bagaimana mengenai pengajaran dan gaya hidup yang dihadirkan di tengah-tengah pelayanan-Nya. Injil Lukas mencatat kisah kelahiran yang supernatural yang disampaikan oleh Malaikat (Luk. 1:28-35) menjelaskan identitasnya bahwa Dia lahir dari keluarga Yahudi.

Tanah suci pada zaman Yesus, sesungguhnya disesaki oleh agama atau mazhab dan sekte pemujaan yang berbeda. Banyak orang yang berasal dari luar wilayah, sebagai akibat dari pendudukan Roma, misalnya, juga dipindahkan ke Palestina, tentu saja sebagai bentuk pemujaan yang resmi kaisar, yang merupakan agama negara Roma.[2]

Imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat serta tua-tua mempertanyakan mengenai sumber wibawa/otoritas ajaran Yesus (Luk. 20:1). Orang Farisi menjadi pihak yang selalu oposisi dengan Yesus maupun murid-murid-Nya. William Barclay dalam bukunya memberikan ulasan mengenai sejarah orang Farisi sebagai berikut:
Sekitar tahun 175 SM Anthiokus Epifanes dari Siria berupaya menghapuskan agama Yahudi dan memperkenalkan agama Yunani dengan semua kebiasaan dan praktik-praktinya. Ketika itulah bangkit kaum Farisi sebagai suatu sekte terpisah. Farisi artinya ‘yang terpisah’ dan merekalah mendedikasikan seluruh hidupnya untuk mematuhi dan menaati setiap peraturan dan ketetapan yang telah disusun oleh para ahli Taurat, dan mereka membulatkan tekad untuk menjalani seluruh hidup untuk menaati Yudaisme dalam bentuk yang paling rumit, rinci, seremonial, dan legal. Mereka adalah orang yang menerima peraturan-peraturan dan ketetapan-ketetapan religius yang dikembangkan dari Taurat dan jumlahnya terus bertambah banyak. Jumlah orang Farisi tidak banyak; paling banyak hanya 6000 orang.[3]

Musa adalah penerima hukum Taurat langsung dari Allah yang kemudian diteruskan kepada Israel oleh Yosua hingga kepada tua-tua Israel dan hingga pada kini. Musa merupakan tokoh sepanjang masa bagi orang Yahudi. Seringkali penulis Injil Sinoptik memakai istilah “hukum Musa” untuk menyebutkan hukum Taurat (Luk. 2:22; Yoh 1:17; 7:19, 23). Allah memberikan hukum Taurat supaya Israel hidup seturut apa yang Tuhan inginkan.

Siapakah sebenarnya orang-orang Farisi? Farisi (dari kata farusyim = memisahkan diri) adalah salah satu sayap agama Yahudi yang paling teguh menjaga kemurnian ajaran Taurat. Untuk itu mereka mengeluarkan peraturan-peraturan tambahan yang berfungsi sebagai “pagar” misalnya, satu jam sebelum hari Sabat, orang diwajibkan sudah menghentikan segala kegiatan. Peraturan itu dimaksudkan agar orang jangan sampai lupa menjalankan Taurat tentang Sabat. Peraturan seperti itu memberatkan banyak orang. Tetapi orang Farisi sendiri tidak menjalankan peraturan seperti itu, sebab beranggapan bahwa mereka tidak mungkin lalai terhadap Taurat. [4]

Dedikasi orang Farisi sebagai orang Yahudi sudah jelas bahwa mereka menempatkan hukum Taurat sebagai hidup dan mati mereka. Orang Farisi akan membela ajaran mereka, jika mereka menemukan adanya kesalahan di dalam menginterpretasikan dan mengaplikasikan hukum Taurat. 

Orang Farisi tidak akan tinggal diam, ketika mereka melihat murid-murid Yesus tidak berpuasa, sedangkan mereka dan orang-orang Yahudi pada umumnya menaatinya (Mat. 12:1-8;  2:23-28; Luk. 6:1-5). Mereka mengajukan gugatan atas dasar sikap yang tampak asing yaitu melakukan sesuatu yang tidak diperbolehkan pada hari sabat.

Pada waktu Bait Allah dihancurkan oleh Babel dan banyak orang Yehuda yang dibawa ke Babel, maka orang-orang Israel kehilangan pusat kehidupan religius mereka. Di samping Yerusalem hancur, mereka itu hidup di tempat yang jauh dari Yerusalem. Usaha untuk memelihara tradisi keagamaan mereka dilakukan dengan memelihara Taurat, dan berkumpul di antara mereka itu. Oleh sebab itu abad-abad pembuangan ini merupakan abad yang produktif dalam pengumpulan dan penulisan Kitab-kitab Perjanjian Lama.[5]

Setelah zaman pembuangan kehidupan kerohanian bangsa Israel menghadapi keadaan yang gawat. [6] Perubahan yang sangat drastis atas kehidupan orang Israel yaitu, saat mereka dibuang ke negeri orang asing. Segala kesibukan dan rutinitas di Bait Allah, sudah tergantikan dengan hari-hari di pembuangan. 

Pada zaman nabi Hosea Israel dibuang ke Asyur (2 Raj. 17:6; 24:10-20). Semua diangkut ke pembuangan kecuali rakyat lemah dari antara orang Israel. Pada akhirnya mereka jauh dari tanah kelahiran mereka dan menerima fakta bahwa mereka berada di negeri orang lain.

Golongan Farisi selalu merupakan minoritas. Pada pemerintahan Herodes jumlahnya hanya sedikit lebih 6.000 orang (Jos., Ant. 17.42). Hubungan mereka dengan rakyat negeri ('am ha'arets) yg demikian pahitnya, nampak dalam banyak tulisan Talmud, menunjukkan bahwa kekakuan dan kekerasan tafsiran mereka tentang hukum Taurat tidak mempunyai daya tarik yg mendasar. Pengaruh para apokaliptis, yaitu orang-orang yg menerima wahyu-wahyu tentang akhir zaman, sedikit sekali itu pun hanya melalui golongan Zelot. Pengaruh mereka berperan hanya pada rakyat miskin yg sudah putus asa. Golongan Saduki terdiri terutama dari tuan-tuan tanah yg kaya. Tradisi Talmud jelas membedakan Saduki dari sekutu-sekutu mereka, yaitu bani Boetos, kelompok imam besar. Dalam tata cara, mereka sama kerasnya dengan Farisi, bahkan mereka menerapkan Taurat dengan syariatnya tanpa peduli, sebab mereka cukup kaya untuk memikul akibat-akibatnya. Farisi selalu mengindahkan kepentingan umum. Bukanlah kebetulan bahwa Syamai, orang Farisi yg keras itu, berasal dari keluarga kaya dan bangsawan, sedang Hillel dari masyarakat biasa. Daya tarik utama Farisi terhadap rakyat biasa ialah, bahwa kebanyakan mereka berasal dari lapisan menengah bagian bawah dan pengrajin yg lebih makmur dan, oleh karena mereka mengerti keadaan rakyat umum, mereka sungguh-sungguh berusaha membuat hukum Taurat terpikul oleh rakyat. Perbedaan-perbedaan yang ditekankan oleh Yosefus (BJ 2.162-166) ialah, Farisi memercayai immoralitas jiwa manusia (tidak dapat mati), yg akan dijelmakan kembali (artinya, menjiwai tubuh yg akan bangkit kembali); dan kuasa dari takdir (artinya, Allah). Sedangkan Saduki tidak memercayai kedua hal itu (bnd Matius 22:23; Kisah 23:8) -- jelas kurang penting. Pada dasarnya Saduki menganggap bahwa ibadah di Bait Suci adalah pusat dan tujuan utama dari hukum Taurat. Farisi menekankan keharusan seseorang menggenapi setiap segi hukum Taurat, dalam hal mana ibadah Bait Suci barulah suatu bagian saja. Perbedaan-perbedaan lahiriah mengungkapkan sikap-sikap batiniah mereka. [7]   
      
Tidak terelakkan bahwa ketika Israel berada di pembuangan Babel, Bait Suci hancur, mereka sangat merasakan jauh dari kebiasaan rutin mereka di Yerusalem, jauh dari ibadah dalam bait Suci, bahkan jauh dari segala sesuatu yang menyenangkan yang pernah mereka alami. Hanya kepercayaan kepada Tauratlah yang tersisa dari segala yang mereka miliki. Momen ini sekaligus menjadi awal yang baru dalam kehidupan mereka untuk lebih banyak bersentuhan dengan kitab-kitab Perjanjian Lama.

The Pharisees believed that God also gave Moses the knowledge of what these laws meant and how they should be applied. This oral tradition was codified and written down roughly three centuries later in what is known as the Talmud. The Pharisees also maintained that an after-life existed and that God punished the wicked and rewarded the righteous in the world to come. They also believed in a messiah who would herald an era of world peace. Pharisees were in a sense blue-collar Jews who adhered to the tenets developed after the destruction of the Temple; that is, such things as individual prayer and assembly in synagogues. (Orang-orang Farisi percaya bahwa Tuhan juga memberi Musa pengetahuan tentang apa Hukum-hukum ini dimaksudkan dan bagaimana mereka harus diterapkan. Tradisi Lisan ini dikodifikasi dan ditulis sekitar tiga abad kemudian dalam apa yang dikenal sebagai Talmud. Orang-orang Farisi juga menegaskan bahwa kehidupan setelah kematian eksis dan bahwa Tuhan menghukum orang jahat dan penghargaan orang benar di dunia yang akan datang. Mereka juga percaya dalam Mesias yang akan memimpin era perdamaian dunia. Farisi adalah orang-orang Yahudi dalam arti pekerja keras yang mematuhi prinsip-prinsip yang dikembangkan setelah kehancuran Bait Allah; yaitu, hal-hal misalnya doa individu dan majelis di rumah-rumah ibadat).[8]

Pengetahuan akan sejarah, mengenai diberikannya hukum Taurat kepada orang Israel, tentu tidak terlupakan. Musa menerima Hukum di gunung Sinai dan dalam khotbah di Bukit (Mat. 5-7) Yesus memberikan Hukum baru.[9] Mereka percaya bahwa Musa mendapatkan wibawa penuh dari Allah untuk memberikan Hukum tersebut kepada umat Allah. Sejarah yang sudah dilampaui oleh orang Yahudi, memberikan mereka pengalaman yang tidak terlupakan, bahwa hal tersebut merupakan hukuman karena menentang Allah.

Sebutan orang Farisi di dalam Alkitab terdapat hanya di dalam Perjanjian Baru. Injil Sinoptik banyak mencatat aksi-aksi mereka dan aktivitas maupun kepercayaan mereka. Mereka memiliki sikap yang selalu mempertanyakan sesuatu jika tidak sesuai dengan pandangan mereka (Mat. 9:11-14). 

Mereka juga pernah berdebat mengenai setan yang diusir keluar dari diri seseorang (Mat. 9:34; 12:24). Di samping mereka menolak apa yang Yesus perbuat. Orang Farisi adalah orang yang memiliki rasa ingin tahu yang sangat tinggi Mereka mau percaya kepada Yesus namun dengan tuntutan tanda dari Surga di depan mata mereka (Mat. 12:38-41).

Orang Farisi tidak dapat membiarkan murid-murid Yesus melakukan sesuatu yang tidak diperbolehkan oleh adat istiadat nenek moyang mereka (Mat. 15:1-2). Mereka juga mencari momen yang tepat untuk menjatuhkan reputasi Yesus di depan publik. Mereka secara terbuka mencobai dengan pertanyaan-pertanyaan klasik (Mat. 19:3). Orang Farisi tidak akan menoleransi dan melewatkan bentuk pelanggaran terhadap hukum Taurat mereka.



[1]Gerald O'C, SJ. & Edward G Farrugia, S J. Kamus Teologi (Yogyakarta: Kanisius,1996) 78.
[2]Michael, Baigent. The Messsianic Legacy (Tanpa kota dan tempat penerbit juga tahun terbit) 88.
[3]William, Barclay. Pemahaman Alkitab Setiap Hari  Injil Matius Psl:11-28 (Jakarta: Gunung Mulia, 2009 ) 447.
[4]Andar, Ismail. Selamat Pagi Tuhan  (Jakarta: Gunung Mulia, 2008 ) 39.
[5]Harjawiyata, Frans, OCSO. Yesus dan Situasi Zamannya  (Yogyakarta: Kanisius, 1998) 33.
[6]Wismoady, Wahono.  Di Sini Kutemukan  (Jakarta, BPK, 2009) 264.
[9]Joseph, F. Kelly. Palungan: Menyingkap Kisah Kelahiran (Yogyakarta: Kanisius, 2010) 41.


0 Response to "SEJARAH SINGKAT ORANG FARISI"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel