THE PHARISEES "ORANG FARISI"

SIAPAKAH ORANG FARISI 











Introduksi


Alkitab mencatat bahwa Yesus memulai pelayanan-Nya pada usia tiga puluh tahun (Luk. 3:23). Kisah-Nya yang menakjubkan tertuang di empat Injil dalam Perjanjian Baru. Bagaimana tentang kelahiran-Nya yang supernatural, pertumbuhan-Nya, dan bagaimana Dia bersosialisasi dengan masyarakat Yahudi pada waktu itu. Yerusalem (daerah Timur tengah menjadi pusat pelayananNya selama melayani di bumi. Dia dilahirkan di Betlehem di tanah Yudea dalam zaman raja Herodes (Mat. 2:1)

Banyak orang tertarik akan pengajaran-Nya, namun dalam Matius 15:1-20, mencatat bahwa orang Farisi dan Ahli Taurat datang kepada Yesus dan berkata kepada Yesus mengapa murid-murid-Nya melanggar adat-istiadat nenek moyang, yaitu dengan tidak membasuh tangan sebelum makan. Sungguh tragis dan dramatis jawaban Yesus kepada mereka. Yesus merespons mereka: Tetapi jawab Yesus kepada mereka: "Mengapa kamupun melanggar perintah Allah demi adat istiadat nenek moyangmu? (ay. 3). 

Ternyata dari sudut pandang Yesus, merekalah oknum yang pantas disebut sebagai “pelanggar Firman Allah/Taurat”. Orang Farisi menjadi kaum oposisi bagi sepanjang pelayanan Yesus selama di bumi. J.H. Bavinck  dalam bukunya “Sejarah Kerajaan Allah 2 PB” berpendapat bahwa:   
Aliran-aliran rohani yang ada di Israel pada masa hidup Yesus, yang disebutkan dalam Perjanjian Baru hanyalah orang Farisi dan Saduki. Orang Farisi kebanyakan terdapat di kalangan ahli-ahli Taurat (istilah Farisi berarti: tersendiri, terpisah). Kebanyakan Ahli-ahli Taurat pada masa Hidup Yesus termasuk dalam aliran itu. Mereka berpendapat bahwa Israel hanya dapat beroleh selamat kalau tetap tekun kepada Taurat dan kepada adat-istiadat yang menyempurnakan Taurat itu.[1]

Orang Farisi berada di antara kenyataan dan fiksi, bahwa apakah mereka benar-benar orang yang menuruti hukum Taurat Musa (written Law) ataukah mereka hanya mematuhi tradisi nenek moyang (oral Law)?  W.S. Lasor dalam bukunya “Pengantar Perjanjian Lama 2” memiliki catatan  sebagai berikut:

Sebagai reaksi pengaruh kebudayaan Yunani dalam kehidupan Yahudi, dan juga sebagai akibat penaklukan Israel dulu oleh Asyur dan Babel, maka muncullah sejumlah sekte Yahudi. Sekurang-kurangnya ada tujuh yang dikenal pada abad pertama dan mungkin saja seluruhnya sekitar dua belas sekte. Baru kemudian berkembanglah agama Yahudi menuju apa disebut “Agama Yahudi normatif” sebagaimana tampak dalam tulisan-tulisan Misyna, walaupun itu juga tidak dapat dikatakan bersifat monolitik (satu ragam saja). Ada banyak tulisan yang dihasilkan oleh sekte-sekte itu, misalnya yang disebut “Apokrifa” dan “Pseudepigrafa”, juga naskah-naskah laut mati.[2]

Di dalam Matius 15:7-9 Yesus menggunakan sebuah istilah yang sangat keras yaitu “orang munafik”, Yesus mengeksposisi bentuk dari kemunafikan mereka, yaitu bagaimana mereka memuliakan Allah dengan bibirnya, tetapi hatinya jauh. 

Yesus menambahkan bahwa ibadah mereka sama sekali tidak ada manfaatnya. Penyebab utama hal tersebut ialah, disebabkan oleh ajaran yang mereka terapkan bukanlah merupakan perintah Allah, melainkan perintah manusia. Statement Yesus ini mengindikasikan, bahwa inilah inti dari ajaran mereka. J.H. Bavinck menambahkan ulasannya yaitu bahwa :

Mereka sendiri mencoba menanggapi Taurat itu sedapat-dapatnya, tetapi terbanyak kali hanya pada lahirnya saja. Tapi karena mereka sendiri tidak merasa bahwa penggenapan Taurat itu secara lahiriah saja sungguh-sungguh tidak sempurna, maka mereka menjadi tinggi hati. Mereka menganggap dirinya jauh lebih baik daripada orang banyak yang tidak mengetahui Taurat. Dengan bermacam-macam jalan mereka mencari pujian orang banyak dan hanya mau dianggap baik dan saleh.[3]

Ternyata Orang Farisi memiliki “passion/gairah” untuk menuruti Firman Allah yaitu hukum Taurat. Namun faktanya mereka bukanlah golongan yang berjuang demi kebenaran Taurat, serta menegakkan kebenaran itu sendiri, melainkan berusaha untuk mencari kesukaan dari manusia bukannya dari Allah.

The Pharisees had seperated themselves from the rest of Israel because of a deep concern for righteousness. They yearned for the arrival of the Kingdom in which God and His ways would be honered in holiness.  (Orang-orang Farisi telah memisahkan diri mereka sendiri dari sisa bangsa Israel karena perhatian yang dalam akan kebenaran. Mereka merindukan akan kedatangan Kerajaan yang mana Tuhan dan jalan-jalan-Nya akan dihormati di dalam kekudusan). [4]

Inilah salah satu alasan mereka disebut kaum separatis. Mereka adalah orang-orang yang mencoba mengasingkan diri secara ekslusif dari masyarakat pada umumnya. This indicates of the Pharisees that, to maintain their level of purity, or holiness they had to maintain, a high degree, of separation from the source of impurity and defilement. (Hal ini mengindikasikan akan orang Farisi, yaitu bahwa untuk memelihara tingkatan akan kemurnian atau kekudusan yang harus mereka pelihara, sebuah kadar pemisahan dari sumber kenajisan dan kecemaran).[5]

Di dalam Injil Sinoptik Matius, Markus dan Lukas, kisah dari orang Farisi sudah sagat fenomenal dan terkenal. Bahkan di mana ada pelayanan Yesus kemungkinan besar di sana terdapat orang Farisi, di mana ada kehadiran Yesus, di situ jugalah kehadiran orang Farisi. Seringkali keberadaan mereka disandingkan dengan Ahli Taurat dan orang Saduki. 

Mereka inilah yang menyerang Yesus dengan sederetan pertanyaan, hanya untuk menguji dan menjatuhkan Yesus, sehingga bisa menyalahkannya di hadapan publik, yaitu masyarakat Yerusalem pada waktu itu. The Pharisees developed the oral Law as a further explication of the Written Law. The scrupulously observed the Torah and kept apart from ordinary people the ‘am ha’arets’ (the people of the land”, the nonbservers). (Orang-orang Farisi mengembangkan hukum Lisan sebagai penjelasan yang lebih jauh dari hukum Tertulis. Dengan teliti mengamati Torah dan memisahkan diri dari orang-orang biasa am ha’arets/orang-orang pribumi, bukan orang-orang pengamat).[6] Hukum tersebut yang menjadi konsentrasi mereka dan fokus utama dari keagamaan mereka.

Orang Farisi pada dasarnya memiliki hukum Tertulis (Torah), namun mereka memiliki hukum yang lain yang ditafsirkan dari hukum Tertulis. The name Pharisee seems to have derived from the word meaning “separate” perush. The Pharisees were the perushim (the “separate ones”). (Kata Farisi tampaknya berasal dari kata yang memiliki arti ‘memisahkan’ perush. Orang-orang Farisi adalah perushim/yang terpisah).[7] Douglas J. Del Tondo dalam ulasan bukunya Jesus' Words on Salvation berkata bahwa:

For Josephus in 78 A.D. will there were two primary parties in judaism in Jesus’ day. They were Sadducees and Pharisees. He will explain the Sadducees taught strict obedience to the Law, The Sadducees rejected the Pharisees precisely for their opposite approach on the Law of Moses with mere traditions of the Pharisees. The Pharisees were negating the Law of Moses by their traditions.  (Bagi Yosefus di tahun 78 AD ada dua partai utama dalam Yudaisme di dalam zaman Yesus. Mereka ialah orang-orang Saduki dan orang-orang Farisi. Dia (Yosefus) akan menjelaskan bahwa orang-orang Saduki mengajarkan ketaatan yang keras kepada Hukum, orang-orang Saduki menolak orang-orang Farisi tepatnya untuk pendekatan sebaliknya akan Hukum Musa dengan Tradisi dari Orang-orang Farisi semata.) [8]

Cara pandang dari dua kubu ini berbeda terhadap akan hukum Taurat. The Pharisees differed  from the Sadducees in giving divine authority to the interpretation and application of the Law. (Orang-orang Farisi berbeda dari orang-orang Saduki di dalam memberikan otoritas ilahi kepada interpretasi dan aplikasi dari hukum Taurat).[9]  Everett Ferguson dalam bukunya yang berjudul “Backgrounds of Early Christianity Third Edition” memberikan keterangan mengenai Farisi sebagai berikut :

The twin pillars of the Pharisaic system were ‘Torah and Traditions” Torah (teaching, or law) was primaliry the five books of Moses. A written Law must be interpreted and applied. The Process of appliying the teaching contained in Torah Involved new precepts.(Dua pilar dari sistem orang Farisi yaitu ‘Torah dan Tradisi-tradisi. Torah (ajaran dan Hukum) yaitu yang utama ke-5 buku Musa. hukum Tertulis harus ditafsirkan dan diaplikasikan. Proses dari pengaplikasian dari ajaran terdapat di dalam Torah meliputi ajaran-ajaran baru). [10]

Sidang pertama yang diadakan oleh kalangan para Rasul di Yerusalem membahas seputar keselamatan yang diterima oleh bangsa-bangsa kafir. Beberapa orang datang dari Yudea ke Anthiokia dan mengajarkan kepada orang-orang yang menerima Yesus, berkata bahwa  mereka harus disunat supaya mereka diselamatkan (Kis. 15:1). 

Hal ini menjadi polemik di kalangan para rasul, dan isu yang perlu diselesaikan. Sebab jika dibiarkan, hal ini akan menjadi masalah bagi orang-orang Kafir berkenaan iman kepada Yesus. Tetapi beberapa orang dari golongan Farisi, yang telah menjadi percaya, datang dan berkata: "Orang-orang bukan Yahudi harus disunat dan diwajibkan untuk menuruti hukum Musa." (Kis.15:5).

Persoalan inilah yang memicu Rasul-rasul untuk memberikan apologia terhadap ajaran tersebut. Dalam tulisan Paulus di dalam suratnya bahwa manusia hanya dibenarkan oleh iman, bukan karena melakukan hukum Taurat (Rom. 3:20, 28; Gal. 2:16; 3:2,5). Jose M. Rosales dalam bukunya “Salvation  History Third Edition” berkata:

The Pharisees were characterized by meticulous observance of the and ritual purity laws and they demanded equal observance from all the Jews. They believed that the Law was a complete revelation of the will of God and an absolute assurance of salvation. All the had to do (so thet taught) was to observed the law to its last detail and one should surely be saved. (Orang-orang Farisi yang ditandai dengan ketaatan teliti dan ritual kemurnian Hukum dan mereka menuntut ketaatan yang sama dari semua orang Yahudi. Mereka percaya bahwa Hukum adalah wahyu lengkap kehendak Allah dan jaminan mutlak keselamatan. Semua harus dilakukan (sehingga mereka mengajarkan) adalah untuk mengamati Hukum hingga rinciannya yang terakhir dan seseorang seharusnya akan diselamatkan).[11]

Keakuratan akan hukum Taurat dan aktualisasinya, menjadi sorotan dari orang-orang Farisi. Tuntutan akan dedikasi yang tinggi terhadap Taurat memungkinkan seseorang bisa diselamatkan. Di sisi lain kehadiran Yesus, tidak membuat Dia diterima dengan baik oleh orang-orang Yahudi dan orang-orang Farisi. Warnell Roberson  dalam bukuntya “The Pharisees Among Us” memberikan komentarnya sebagai berikut:

And so it was when Jesus started on his mission to teach and preach to the people, both Jews And Gentiles, exposing them to the message that His Father in Heaven had sent Him to teach, the Pharisees, first of all, didn’t believe that he was the Son of God and secondly, they believed that that what He was teaching and preaching was conflicted with the Laws that had been handed down from Moses. (Jadi ketika Yesus memulai Misi-Nya untuk mengajar dan berkhotbah kepada orang-orang, baik kepada orang Yahudi maupun bukan Yahudi, mengungkapkan kepada mereka pesan, bahwa Bapa-Nya di Surga mengutus-Nya untuk mengajar. Pertama-tama orang-orang Farisi, tidak percaya bahwa dia adalah Anak Allah dan yang kedua, mereka yakin apa yang sedang Dia ajarkan dan khotbahkan dan menjadi konflik dengan hukum yang telah diserahkan dari Musa).[12]

Paulus menjelaskan bahwa baik orang Yahudi dan Non-Yahudi tidak ada perbedaan, kenyataannya ialah bahwa manusia dibenarkan melalui iman. As you go into the Old Testament, you find that it is natural to believe that God’s way of Salvation was based upon the perfection of obedience to the Law. (Saat anda pergi ke Perjanjian Lama, anda menemukan bahwa, adalah wajar untuk percaya bahwa cara Tuhan perihal keselamatan didasarkan pada kesempurnaan ketaatan kepada Hukum).[13] Orang Farisi mengklaim bahwa merekalah yang paling memahami Alkitab dan penafsirannya. Barie Wilson, berpendapat demikian:

The Pharisees held the Torah consisted of two parts : a written Law, found within the biblical text, and oral Law that recflects the procees of deciding what the written Law means and how it applies to specific situations.  This traditions, the Pharisees contended, provided the key for understanding, scripture. It represented a powerful interpretive device, for with it, The Pharisees could claim that they and only they, possessed the correct basis for understanding the Scripture. (Orang-orang Farisi memegang Taurat yang terdiri dari dua bagian: hukum Tertulis, ditemukan di dalam teks Alkitab, dan hukum Lisan yang mencerminkan proses penentuan apa arti dari hukum Tertulis dan bagaimana itu diaplikasikan untuk situasi tertentu. Tradisi ini, orang-orang Farisi berpendapat, memberikan kunci untuk memahami, kitab Suci. Ini mewakili perangkat interpretatif yang kuat, karena dengan itu, orang Farisi bisa mengklaim bahwa mereka dan hanya mereka, memiliki dasar yang benar untuk memahami Alkitab.) [14]

Tampaknya memang janggal, karena orang Farisi memegang bukan saja Taurat (hukum Tertulis) melainkan memiliki tambahan yaitu hukum/tradisi Lisan (oral Law). Salah satu alasan mengapa perlu untuk menambahkan hukum Lisan selain hukum Tertulis ialah, karena hukum Lisan merupakan kunci untuk  menerapkan/mengaktualisasikan hukum Tertulis tersebut. 

Bisa dibayangkan bahwa tambahan hukum Lisan, merupakan sesuatu yang vital bagi orang Farisi di dalam melakukan Firman Allah yang sudah diturunkan oleh nenek moyang mereka. Hal ini tidak perlu mengherankan karena, unsur yang paling penting dalam sistem Farisi adalah Taurat, hukum Yahudi.[15]

It was an emphasis which lay at the heart of Jewish religion from the time of Moses. It became particularly important during the exilic period, when Israel no longer had a longer or a temple at the center of its life. After the return from the Exile, Torah continued to occupy a central place. (Sebuah penekanan yang terletak di pusat keagamaan Yahudi dari zaman Musa. Ini menjadi yang sangat penting selama periode pembuangan, ketika Israel tidak lagi memiliki lagi atau Bait Allah di pusat hidupnya. Setelah kembali dari pembuangan, Taurat terus menempati perhatian utama.)[16]

Sejarah pada masa pembuangan bangsa Israel, telah mengubah banyak sisi kehidupan bangsa Yahudi. Mulai dari persoalan peribadatan, kebiasaan-kebiasaan mereka telah dipengaruhi secara luas dan komprehensif

Tidak heran jika setelah mereka kembali di bawah jajahan Romawi (orang Kafir), ada beberapa Sekte dan partai yang berdiri, khususnya pada masa pelayanan Yesus. Their Canon Of Scripture Included Not Only The books of the Law, But The Prophets and the writings as well. (Kanon mereka dari Kitab Suci termasuk tidak hanya Kitab Hukum, tetapi kitab nabi-nabi dan juga Tulisan-tulisan). [17] 

Tatkala kota Yerusalem jatuh pada tahun 70 M beserta Bait Allah, maka pemerintahan keluarga imam dan mahkamah tertinggi Sanhedrin ikut jatuh; satu-satunya partai di Yerusalem yang dapat menyelenggarakan pekerjaan pembangunan kembali yang perlu adalah partai Farisi.[18]

Ketika orang Yahudi berada dalam masa jajahan Bangsa Romawi,  hal tersebut membuat orang Yahudi tidak memiliki pilihan selain beradaptasi dengan lingkungan, sosial dan budaya Romawi. Bentuk-bentuk sistem keagamaan yang pluralis, sistem politik dan pemerintahan, menjadi tema yang tidak bisa lepas dari kehidupan mereka sehari

Di bawah penjajahan bangsa lain, tentu menyebabkan krisis kemerdekaan yang berkepanjangan. Di zaman Yesus pandangan terhadap Mesias (Kristus) sangat beragam. Misalnya saja, sebagian orang memikirkan Mesias sebagai seorang pembebas dalam arti politis, yaitu membebaskan bangsa Yahudi dari penjajahan Romawi. 

Yang lain lagi memandang Mesias sebagai seorang raja, guru atau ahli hukum, imam agung, nabi, Anak Manusia, atau pun Hamba Yahweh.[19] Pandangan orang Yahudi mengenai Mesias sebagai figur politis, yang membawa sebuah kelepasan dari tangan bangsa asing (penjajahan Romawi), jelas menimbulkan kebingungan akan realita siapakah Mesias.

Bagi orang-orang Yahudi pada umumnya, tidak mungkin orang yang mati disalib diangkat oleh Allah menjadi Mesias. Mesias adalah sosok utusan Allah yang diurapi-Nya. Sosok tersebut adalah sosok pilihan Allah. Mungkinkah orang yang terkutuk (mati disalib) diangkat oleh Allah menjadi Mesias? Dalam pemahaman orang Yahudi, satu-satu jawabannya ialah tidak mungkin.[20]

Kepercayaan yang sudah lama yang diwariskan dari nenek moyang memang tidak mudah untuk dilupakan. Bagi Yahudi Mesias adalah utusan Allah yang pastinya melaksanakan sebuah mandat yang ditugaskan Allah kepada-Nya (Mesias). Leaders in apocaliptic thinking, the Pharisees fully supported the notion of the Messiah as the the agent of change for a free Israel. The Pharisees expected the Messiah to come relatively soon. For them the Messiah was a core figure in an apocaliptic future. (Pemimpin dalam pemikiran apokaliptik, orang-orang Farisi mendukung sepenuhnya gagasan Mesias sebagai agen perubahan untuk sebuah Israel yang merdeka.

Orang-orang Farisi mengharapkan Mesias untuk datang segera. Rasa ingin tahu siapa Mesias yang dijanjikan membuat mereka selalu bertanya-tanya, apakah benar Yesus adalah Mesias. Bagi mereka Mesias adalah tokoh inti dalam masa depan apokaliptik).[21]

Di dalam Yohanes pasal 12, ketika Yesus memasuki Yerusalem, tampak orang banyak menyambut Yesus dan berseru : “Hosana, diberkatilah Dia yang datang dalam nama Tuhan, Raja Israel (ay. 12-13) di Pasal yang sama juga, Yesus menceritakan bagaimana proses kematian-Nya. 

Yesus menganalogikan kematian-Nya dengan sebuah biji gandum yang jatuh ke dalam tanah dan mati (ay. 24), hal ini menimbulkan reaksi dari orang Yahudi yang mendengar hal itu merespons dengan berkata : “kami telah mendengar dari hukum Taurat, bahwa Mesias tetap hidup selama-lamanya; bagaimana mungkin Engkau mengatakan, bahwa Anak Manusia harus ditinggikan? Siapakah Anak Manusia itu? (ay. 34). 

Barangkali orang Yahudi merujuk ke dalam Perjanjian Lama yang tertulis dalam Mazmur 110, yang musuh-musuh akan dibuat menjadi tumpuan kaki (ay. 1) dan bahwa Dia adalah Imam untuk selama-lamanya menurut Melkisedek (ay. 4). 

Antara pemberitaan mengenai kematian Yesus dengan respons orang-orang Yahudi tidak terdapat sebuah sinkronisasi. Memang bagi orang yang mengakui Yesus sebagai Mesias mendapatkan konsekuensi dari orang Yahudi yaitu “akan dikucilkan” (Yoh. 9:22). Dari bukti internal (Alkitab) sangat jelas membuktikan bahwa tidak semua orang percaya bahwa Yesus adalah Mesias Allah.

Dia juga melarang melarang keras untuk memberitahukan bahwa diri-Nya adalah Mesias (Luk. 4:41). Yesus juga melarang murid-murid-Nya supaya tidak memberitahukan kepada siapapun bahwa Yesus adalah Mesias (Mrk. 8:30). Dari beberapa bukti ayat di atas, jelas, bahwa orang Yahudi tidak mengenal siapa Mesias sejati. Orang Yahudi bahkan tidak mengetahui bahwa Yesus adalah Mesias (yang diurapi), karena nubuatan Yesaya jelas mengungkapkan hal tersebut. Saya Injil Matius mengutipnya dari Yesaya pasal 6:9-10, dan hal inilah menjadi penyebab utama mengapa mereka mendengar namun tidak mengerti dan melihat tapi tidak menanggap (Mat. 13:14).
Tidak dapat dikatakan bahwa di Israel, juga pada zaman Yesus Mesias adalah tokoh yang jelas dan yang sangat diharapkan. Bahkan di kalangan para Rabi diskusi atau takut pendapat mengenai soal Mesias dihindari. Mesias bukan tema sentral dalam tulisan Yahudi, dan juga bukan tema religius. Mesias adalah bagian dari institusi sosial-politik Israel. Baru pada zaman Kristiani, khususnya dalam pemberontakan melawan penjajahan Roma, harapan seorang raja Ideal menjadi makin kuat. Dalam konteks ini itu Mesias menjadi figur Politik, seperti Bar Kokhba.[22]

Ada sesuatu yang tampak janggal dengan pandangan mengenai Mesias bagi orang Yahudi. Orang Yahudi  yang diwakili oleh Ahli Taurat dan orang Farisi hampir-hampir dan memang kenyataannya menolak bahwa Yesus adalah Mesias. 

Mengapakah demikian? Tentu ini adalah sesuatu yang terasa janggal, sebab kedatangan Yesus ke muka bumi adalah merupakan nubuatan yang terdapat dalam hukum Taurat dan kitab para nabi. Namun kenyataannya bahwa justru orang-orang elit yakni orang-orang tersohor (ahli Kitab dan orang Farisi) yang tidak percaya kepada Yesus maupun pemberitaan-Nya. William Barclay memberikan keterangan mengenai pandangan orang Yahudi mengenai Mesias, yaitu:

Sebagian besar orang Yahudi mengharapkan seorang Mesias yang akan menjadi pemimpin Nasional yang besar dan yang akan memimpin tentara orang Yahudi menaklukkan seluruh dunia. Ada yang beranggapan bahwa Mesias itu seorang tokoh supranatural yang langsung datang dari Allah. Dan masih ada juga beranggapan bahwa Mesias adalah seorang pangeran yang muncul dalam garis keturunan Daud. Sudah seringkali terjadi adanya pembohong-pembohong yang mengaku sebagai Mesias yang muncul dan menyebabkan pemberontakan.[23]

Tidak heran, mengapa sedikit orang saja yang bisa mengetahui bahwa Yesus adalah benar-benar utusan Allah. Mesias sejati tampak samar-samar dan semakin tidak jelas, sebab orang-orang  sudah sering memakai dan mengatasnamakan diri Mesias. 

Yesus sendiri juga berkata bahwa akan ada banyak orang yang mengaku dirinya adalah Mesias dan melakukan penyesatan. Hal ini mengindikasikan bahwa pengakuan diri sebagai Mesias bukan hanya dipakai oleh satu orang di luar diri-Nya, melainkan banyak orang. (Mat. 24:5).





[1]J.H. Bavinck. Sejarah Kerajaan Allah 2 PB  (Jakarta: Gunung Mulia, 2007) 18. 
[2]W.S. Lasor, D.A. Hubard, F.W Pengantar Perjanjian Lama 2 (Jakarta: BPK, 2007) 437.
[3]Ibid. J.H. Bavick. Sejarah Kerajaan Allah 2 Pb . 18
[4]Larry Richards, Lawrence O. Bible Teacher's Commentary (England : Kingsway Communications Ltd., 2004) 559.
[5]James, D. G. Dunn. Jesus, Paul, and the Gospels (Grand Rapids: Michigan, 2011) 249.
[6]John, B. Polhill. Paul and His Letters (Tennessee: Broadman & Holman Publishers, 1999) 29.
[7]Ibid. 29.
[8]Douglas, J. Del Tondo.  Jesus' Words on Salvation (Infinity Publishing, 2008) 155.
[9]Everett Ferguson. Backgrounds of Early Christianity Third Edition  (Cambridge: Eerdmans Publishing, 2003) 515. 
[10]Ibid. 515. 
[11]Jose, M. Rosales.  Salvation History  Third Edition (Philippines: The Institute of Religious Education Adamson University, 1994) 85. 
[12]Warnell, Roberson. The Pharisees Among Us  (Pittsburgh:RoseDog Books ,2013) 1.
[13]Ancient, World. Lesson Overviews, 5th ed. (Tanpa Kota, Tempat dan Tahun Terbit) 91.
[14]Barrie,Wilson. How Jesus Became Christian (2011 ) no page
[15]John, B. Polhill. Paul and His Letters (Tennessee: Broadman & Holman Publishers, 1999) 27.
[16]John, B. Polhill. Paul and His Letters (Tennessee: Broadman & Holman Publishers, 1999) 27.
[17]Ibid. John B. Polhill. Paul and His Letters (Tennessee: Broadman & Holman Publishers, 1999) 29.
[18]Bruce F.F. Dokumen-dokumen Perjanjian Baru (Jakarta: BPK, tanpa tahun)  99.
[19]E.P.D,Martasudjita. Misteri Kristus (Yogyakarta: Kanisius, 2010)  90.
[20]Eko, Riyadi Pr. Yesus Kristus Tuhan Kita (Yogyakarta: Kanisius, 201146.
[21]Robert, Brownstein. Making Jesus the Messiah: Saint Paul and the God-fearers : a Market View (Lincoln ,2000) 142.
[22]Eddy, Kristiyanto. Sinar Sabda Dalam Prisma,Hermeneutika Kontekstual (Yogyakarta: Kanisius, 2005)  119.
[23]William, Barclay. Injil Yohanes 8-21 (Jakarta : BPK, 2008) 132

0 Response to "THE PHARISEES "ORANG FARISI""

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel