THE PHARISEES "ORANG FARISI"
SIAPAKAH ORANG FARISI
Introduksi
Alkitab mencatat bahwa Yesus memulai pelayanan-Nya
pada usia tiga puluh tahun (Luk. 3:23). Kisah-Nya yang menakjubkan tertuang di empat
Injil dalam Perjanjian Baru. Bagaimana tentang kelahiran-Nya yang supernatural,
pertumbuhan-Nya, dan bagaimana Dia bersosialisasi dengan masyarakat Yahudi pada
waktu itu. Yerusalem (daerah Timur tengah menjadi pusat pelayananNya selama melayani di bumi. Dia dilahirkan di Betlehem di tanah Yudea dalam zaman
raja Herodes (Mat. 2:1)
Banyak orang
tertarik akan pengajaran-Nya, namun dalam Matius 15:1-20, mencatat bahwa orang Farisi
dan Ahli Taurat datang kepada Yesus dan berkata kepada Yesus mengapa murid-murid-Nya
melanggar adat-istiadat nenek moyang, yaitu dengan tidak membasuh tangan
sebelum makan. Sungguh tragis dan dramatis jawaban Yesus kepada mereka. Yesus merespons mereka: “Tetapi jawab Yesus
kepada mereka: "Mengapa kamupun melanggar perintah Allah demi adat
istiadat nenek moyangmu? (ay. 3).
Ternyata dari sudut pandang Yesus,
merekalah oknum yang pantas disebut sebagai “pelanggar Firman Allah/Taurat”. Orang Farisi menjadi kaum oposisi bagi sepanjang
pelayanan Yesus selama di bumi. J.H. Bavinck dalam bukunya
“Sejarah Kerajaan Allah 2 PB” berpendapat bahwa:
Aliran-aliran rohani yang ada di Israel
pada masa hidup Yesus, yang disebutkan dalam Perjanjian Baru hanyalah orang Farisi
dan Saduki. Orang Farisi kebanyakan terdapat di kalangan ahli-ahli Taurat (istilah
Farisi berarti: tersendiri, terpisah). Kebanyakan Ahli-ahli Taurat pada masa
Hidup Yesus termasuk dalam aliran itu. Mereka berpendapat bahwa Israel hanya
dapat beroleh selamat kalau tetap tekun kepada Taurat dan kepada adat-istiadat
yang menyempurnakan Taurat itu.[1]
Orang Farisi
berada di antara kenyataan dan fiksi, bahwa apakah mereka benar-benar orang yang menuruti hukum Taurat Musa (written
Law) ataukah mereka hanya mematuhi tradisi nenek
moyang (oral Law)? W.S.
Lasor dalam bukunya “Pengantar Perjanjian Lama 2” memiliki catatan sebagai berikut:
Sebagai
reaksi pengaruh kebudayaan Yunani dalam kehidupan Yahudi, dan juga sebagai
akibat penaklukan Israel dulu oleh Asyur dan Babel, maka muncullah sejumlah
sekte Yahudi. Sekurang-kurangnya ada tujuh yang dikenal pada abad pertama dan
mungkin saja seluruhnya sekitar dua belas sekte. Baru kemudian berkembanglah
agama Yahudi menuju apa disebut “Agama Yahudi normatif” sebagaimana tampak
dalam tulisan-tulisan Misyna, walaupun itu juga tidak dapat dikatakan bersifat
monolitik (satu ragam saja). Ada banyak tulisan yang dihasilkan oleh
sekte-sekte itu, misalnya yang disebut “Apokrifa” dan “Pseudepigrafa”, juga
naskah-naskah laut mati.[2]
Di dalam
Matius 15:7-9 Yesus menggunakan sebuah istilah yang
sangat keras yaitu “orang munafik”, Yesus
mengeksposisi bentuk dari kemunafikan mereka, yaitu bagaimana mereka memuliakan Allah dengan bibirnya,
tetapi hatinya jauh.
Yesus menambahkan bahwa ibadah mereka sama sekali tidak ada manfaatnya. Penyebab utama hal tersebut ialah, disebabkan oleh ajaran yang mereka terapkan bukanlah merupakan perintah Allah, melainkan perintah manusia. Statement Yesus ini mengindikasikan, bahwa inilah inti dari ajaran mereka. J.H. Bavinck menambahkan ulasannya yaitu bahwa :
Yesus menambahkan bahwa ibadah mereka sama sekali tidak ada manfaatnya. Penyebab utama hal tersebut ialah, disebabkan oleh ajaran yang mereka terapkan bukanlah merupakan perintah Allah, melainkan perintah manusia. Statement Yesus ini mengindikasikan, bahwa inilah inti dari ajaran mereka. J.H. Bavinck menambahkan ulasannya yaitu bahwa :
Mereka
sendiri mencoba menanggapi Taurat itu sedapat-dapatnya, tetapi terbanyak kali
hanya pada lahirnya saja. Tapi karena mereka sendiri tidak merasa bahwa
penggenapan Taurat itu secara lahiriah saja sungguh-sungguh tidak sempurna,
maka mereka menjadi tinggi hati. Mereka menganggap dirinya jauh lebih baik
daripada orang banyak yang tidak mengetahui Taurat. Dengan bermacam-macam jalan
mereka mencari pujian orang banyak dan hanya mau dianggap baik dan saleh.[3]
Ternyata
Orang Farisi memiliki “passion/gairah” untuk
menuruti Firman Allah yaitu hukum Taurat.
Namun faktanya mereka bukanlah golongan yang berjuang demi kebenaran Taurat,
serta menegakkan kebenaran itu sendiri, melainkan berusaha untuk mencari
kesukaan dari manusia bukannya dari Allah.
The Pharisees had
seperated themselves from the rest of Israel because of a deep
concern for righteousness. They yearned for the arrival of the Kingdom in which
God and His ways would be honered in holiness.
(Orang-orang Farisi telah memisahkan
diri mereka sendiri dari sisa bangsa Israel karena perhatian yang dalam akan
kebenaran. Mereka merindukan
akan kedatangan Kerajaan yang mana Tuhan dan jalan-jalan-Nya akan dihormati di
dalam kekudusan). [4]
Inilah salah satu
alasan mereka disebut kaum separatis. Mereka adalah orang-orang yang mencoba
mengasingkan diri secara ekslusif dari masyarakat pada umumnya. This
indicates of the Pharisees that, to maintain their level of purity, or holiness
they had to maintain, a high degree, of separation from the source of impurity
and defilement. (Hal ini mengindikasikan akan orang Farisi,
yaitu bahwa untuk memelihara tingkatan akan kemurnian atau kekudusan
yang harus mereka pelihara, sebuah kadar
pemisahan dari
sumber kenajisan dan kecemaran).[5]
Di dalam Injil Sinoptik Matius, Markus dan Lukas, kisah dari orang Farisi sudah sagat fenomenal dan terkenal. Bahkan di mana ada pelayanan Yesus kemungkinan besar di sana terdapat orang Farisi, di mana ada kehadiran Yesus, di situ jugalah kehadiran orang Farisi. Seringkali keberadaan mereka disandingkan dengan Ahli Taurat dan orang Saduki.
Mereka inilah yang menyerang Yesus dengan sederetan pertanyaan, hanya untuk menguji dan menjatuhkan Yesus, sehingga bisa menyalahkannya di hadapan publik, yaitu masyarakat Yerusalem pada waktu itu. The Pharisees developed the oral Law as a further explication of the Written Law. The scrupulously observed the Torah and kept apart from ordinary people the ‘am ha’arets’ (the people of the land”, the nonbservers). (Orang-orang Farisi mengembangkan hukum Lisan sebagai penjelasan yang lebih jauh dari hukum Tertulis. Dengan teliti mengamati Torah dan memisahkan diri dari orang-orang biasa am ha’arets/orang-orang pribumi, bukan orang-orang pengamat).[6] Hukum tersebut yang menjadi konsentrasi mereka dan fokus utama dari keagamaan mereka.
Orang Farisi pada dasarnya memiliki hukum Tertulis (Torah), namun mereka memiliki hukum yang lain yang ditafsirkan dari hukum Tertulis. The name Pharisee seems to have derived from the word meaning “separate” perush. The Pharisees were the perushim (the “separate ones”). (Kata Farisi tampaknya berasal dari kata yang memiliki arti ‘memisahkan’ perush. Orang-orang Farisi adalah perushim/yang terpisah).[7] Douglas J. Del Tondo dalam ulasan bukunya Jesus' Words on Salvation berkata bahwa:
Di dalam Injil Sinoptik Matius, Markus dan Lukas, kisah dari orang Farisi sudah sagat fenomenal dan terkenal. Bahkan di mana ada pelayanan Yesus kemungkinan besar di sana terdapat orang Farisi, di mana ada kehadiran Yesus, di situ jugalah kehadiran orang Farisi. Seringkali keberadaan mereka disandingkan dengan Ahli Taurat dan orang Saduki.
Mereka inilah yang menyerang Yesus dengan sederetan pertanyaan, hanya untuk menguji dan menjatuhkan Yesus, sehingga bisa menyalahkannya di hadapan publik, yaitu masyarakat Yerusalem pada waktu itu. The Pharisees developed the oral Law as a further explication of the Written Law. The scrupulously observed the Torah and kept apart from ordinary people the ‘am ha’arets’ (the people of the land”, the nonbservers). (Orang-orang Farisi mengembangkan hukum Lisan sebagai penjelasan yang lebih jauh dari hukum Tertulis. Dengan teliti mengamati Torah dan memisahkan diri dari orang-orang biasa am ha’arets/orang-orang pribumi, bukan orang-orang pengamat).[6] Hukum tersebut yang menjadi konsentrasi mereka dan fokus utama dari keagamaan mereka.
Orang Farisi pada dasarnya memiliki hukum Tertulis (Torah), namun mereka memiliki hukum yang lain yang ditafsirkan dari hukum Tertulis. The name Pharisee seems to have derived from the word meaning “separate” perush. The Pharisees were the perushim (the “separate ones”). (Kata Farisi tampaknya berasal dari kata yang memiliki arti ‘memisahkan’ perush. Orang-orang Farisi adalah perushim/yang terpisah).[7] Douglas J. Del Tondo dalam ulasan bukunya Jesus' Words on Salvation berkata bahwa:
For Josephus in 78 A.D.
will there were two primary parties in judaism in Jesus’ day. They were
Sadducees and Pharisees. He will explain the Sadducees taught strict obedience
to the Law, The Sadducees rejected the Pharisees precisely for their opposite
approach on the Law of Moses with mere traditions of the Pharisees. The
Pharisees were negating the Law of Moses by their traditions. (Bagi Yosefus di tahun 78 AD ada dua partai
utama dalam Yudaisme di dalam zaman Yesus. Mereka ialah orang-orang Saduki dan orang-orang Farisi.
Dia (Yosefus) akan menjelaskan bahwa orang-orang Saduki mengajarkan ketaatan
yang keras kepada Hukum, orang-orang Saduki menolak orang-orang Farisi
tepatnya untuk pendekatan sebaliknya akan Hukum Musa dengan Tradisi dari
Orang-orang Farisi semata.) [8]
Cara pandang
dari dua kubu ini berbeda terhadap akan hukum Taurat. The
Pharisees differed from the Sadducees in
giving divine authority to the interpretation and application of the Law.
(Orang-orang Farisi berbeda dari orang-orang Saduki di dalam memberikan
otoritas ilahi kepada interpretasi dan aplikasi dari hukum Taurat).[9]
Everett Ferguson dalam bukunya yang
berjudul “Backgrounds of Early
Christianity Third Edition” memberikan
keterangan mengenai Farisi sebagai berikut :
The
twin pillars of the Pharisaic system were ‘Torah and Traditions” Torah
(teaching, or law) was primaliry the five books of Moses. A written Law must be
interpreted and applied. The Process of appliying the teaching contained in
Torah Involved new precepts.(Dua
pilar dari sistem orang Farisi yaitu ‘Torah dan Tradisi-tradisi. Torah (ajaran
dan Hukum) yaitu yang utama ke-5 buku Musa. hukum
Tertulis harus ditafsirkan dan diaplikasikan. Proses dari
pengaplikasian dari ajaran terdapat di dalam Torah meliputi ajaran-ajaran baru).
[10]
Sidang pertama yang diadakan oleh
kalangan para Rasul di Yerusalem membahas seputar keselamatan yang diterima
oleh bangsa-bangsa kafir. Beberapa orang datang dari Yudea ke Anthiokia dan
mengajarkan kepada orang-orang yang menerima Yesus, berkata bahwa mereka harus disunat supaya mereka
diselamatkan (Kis. 15:1).
Hal ini menjadi polemik di kalangan para rasul, dan isu yang perlu diselesaikan. Sebab jika dibiarkan, hal ini akan menjadi masalah bagi orang-orang Kafir berkenaan iman kepada Yesus. Tetapi beberapa orang dari golongan Farisi, yang telah menjadi percaya, datang dan berkata: "Orang-orang bukan Yahudi harus disunat dan diwajibkan untuk menuruti hukum Musa." (Kis.15:5).
Persoalan inilah yang memicu Rasul-rasul untuk memberikan apologia terhadap ajaran tersebut. Dalam tulisan Paulus di dalam suratnya bahwa manusia hanya dibenarkan oleh iman, bukan karena melakukan hukum Taurat (Rom. 3:20, 28; Gal. 2:16; 3:2,5). Jose M. Rosales dalam bukunya “Salvation History Third Edition” berkata:
Hal ini menjadi polemik di kalangan para rasul, dan isu yang perlu diselesaikan. Sebab jika dibiarkan, hal ini akan menjadi masalah bagi orang-orang Kafir berkenaan iman kepada Yesus. Tetapi beberapa orang dari golongan Farisi, yang telah menjadi percaya, datang dan berkata: "Orang-orang bukan Yahudi harus disunat dan diwajibkan untuk menuruti hukum Musa." (Kis.15:5).
Persoalan inilah yang memicu Rasul-rasul untuk memberikan apologia terhadap ajaran tersebut. Dalam tulisan Paulus di dalam suratnya bahwa manusia hanya dibenarkan oleh iman, bukan karena melakukan hukum Taurat (Rom. 3:20, 28; Gal. 2:16; 3:2,5). Jose M. Rosales dalam bukunya “Salvation History Third Edition” berkata:
The Pharisees were
characterized by meticulous observance of the and ritual purity laws and they
demanded equal observance from all the Jews. They believed that the Law was a
complete revelation of the will of God and an absolute assurance of salvation.
All the had to do (so thet taught) was to observed the law to its last detail
and one should surely be saved. (Orang-orang
Farisi yang ditandai dengan ketaatan teliti dan ritual kemurnian Hukum dan
mereka menuntut ketaatan yang sama dari semua orang Yahudi. Mereka percaya
bahwa Hukum adalah wahyu lengkap kehendak Allah dan jaminan mutlak keselamatan.
Semua harus dilakukan (sehingga mereka mengajarkan) adalah untuk mengamati Hukum
hingga rinciannya yang terakhir dan seseorang seharusnya akan diselamatkan).[11]
Keakuratan akan hukum Taurat dan aktualisasinya, menjadi
sorotan dari orang-orang Farisi. Tuntutan akan dedikasi yang tinggi terhadap
Taurat memungkinkan seseorang bisa diselamatkan. Di sisi lain kehadiran Yesus, tidak membuat Dia
diterima dengan baik oleh orang-orang Yahudi dan orang-orang Farisi. Warnell
Roberson dalam bukuntya “The Pharisees Among Us” memberikan komentarnya sebagai berikut:
And so it was when Jesus
started on his mission to teach and preach to the people, both Jews And
Gentiles, exposing them to the message that His Father in Heaven had sent Him
to teach, the Pharisees, first of all, didn’t believe that he was the Son of
God and secondly, they believed that that what He was teaching and preaching
was conflicted with the Laws that had been handed down from Moses.
(Jadi ketika Yesus memulai Misi-Nya untuk mengajar dan berkhotbah kepada
orang-orang, baik kepada orang Yahudi maupun bukan Yahudi, mengungkapkan kepada
mereka pesan, bahwa Bapa-Nya di Surga mengutus-Nya untuk mengajar. Pertama-tama
orang-orang Farisi, tidak percaya bahwa dia adalah Anak Allah dan yang kedua,
mereka yakin apa yang sedang Dia ajarkan dan khotbahkan dan menjadi konflik
dengan hukum yang telah diserahkan dari Musa).[12]
Paulus
menjelaskan bahwa baik orang Yahudi dan Non-Yahudi tidak ada perbedaan, kenyataannya
ialah bahwa manusia dibenarkan melalui iman. As you go into the Old Testament, you find that it is natural to
believe that God’s way of Salvation was based upon the perfection of obedience
to the Law. (Saat anda pergi
ke Perjanjian Lama, anda
menemukan bahwa, adalah wajar untuk percaya bahwa cara Tuhan perihal keselamatan didasarkan
pada kesempurnaan ketaatan kepada Hukum).[13]
Orang Farisi mengklaim bahwa merekalah yang paling memahami Alkitab dan
penafsirannya. Barie Wilson, berpendapat demikian:
The Pharisees held the
Torah consisted of two parts : a written Law, found within the biblical text,
and oral Law that recflects the procees of deciding what the written Law means
and how it applies to specific situations.
This traditions, the Pharisees contended, provided the key for
understanding, scripture. It represented a powerful interpretive device, for
with it, The Pharisees could claim that they and only they, possessed the
correct basis for understanding the Scripture.
(Orang-orang Farisi memegang Taurat yang terdiri dari dua bagian: hukum Tertulis,
ditemukan di dalam teks Alkitab, dan hukum Lisan yang mencerminkan proses penentuan
apa arti dari hukum Tertulis dan bagaimana itu diaplikasikan untuk situasi tertentu. Tradisi ini,
orang-orang Farisi berpendapat, memberikan kunci untuk memahami, kitab Suci.
Ini mewakili perangkat interpretatif yang kuat, karena dengan itu, orang Farisi
bisa mengklaim bahwa mereka dan hanya mereka, memiliki dasar yang benar untuk
memahami Alkitab.) [14]
Tampaknya
memang janggal, karena orang Farisi memegang bukan saja Taurat (hukum Tertulis)
melainkan memiliki tambahan yaitu hukum/tradisi Lisan (oral Law). Salah satu alasan mengapa perlu untuk menambahkan hukum
Lisan selain hukum Tertulis ialah, karena hukum Lisan merupakan kunci
untuk menerapkan/mengaktualisasikan hukum
Tertulis tersebut.
Bisa dibayangkan bahwa tambahan hukum Lisan, merupakan sesuatu yang vital bagi orang Farisi di dalam melakukan Firman Allah yang sudah diturunkan oleh nenek moyang mereka. Hal ini tidak perlu mengherankan karena, unsur yang paling penting dalam sistem Farisi adalah Taurat, hukum Yahudi.[15]
Bisa dibayangkan bahwa tambahan hukum Lisan, merupakan sesuatu yang vital bagi orang Farisi di dalam melakukan Firman Allah yang sudah diturunkan oleh nenek moyang mereka. Hal ini tidak perlu mengherankan karena, unsur yang paling penting dalam sistem Farisi adalah Taurat, hukum Yahudi.[15]
It was an emphasis
which lay at the heart of Jewish religion from the time of Moses. It became
particularly important during the exilic period, when Israel no longer had a
longer or a temple at the center of its life. After the return from the Exile,
Torah continued to occupy a central place. (Sebuah penekanan
yang terletak di pusat keagamaan Yahudi dari zaman Musa. Ini menjadi yang
sangat penting selama periode pembuangan, ketika Israel tidak lagi memiliki
lagi atau Bait Allah di pusat hidupnya. Setelah kembali dari pembuangan,
Taurat terus menempati perhatian utama.)[16]
Sejarah pada masa pembuangan bangsa
Israel, telah
mengubah banyak sisi kehidupan bangsa
Yahudi. Mulai dari persoalan peribadatan, kebiasaan-kebiasaan mereka telah
dipengaruhi secara luas dan komprehensif.
Tidak heran jika setelah mereka kembali di bawah jajahan Romawi (orang Kafir), ada beberapa Sekte dan partai yang berdiri, khususnya pada masa pelayanan Yesus. Their Canon Of Scripture Included Not Only The books of the Law, But The Prophets and the writings as well. (Kanon mereka dari Kitab Suci termasuk tidak hanya Kitab Hukum, tetapi kitab nabi-nabi dan juga Tulisan-tulisan). [17]
Tatkala kota Yerusalem jatuh pada tahun 70 M beserta Bait Allah, maka pemerintahan keluarga imam dan mahkamah tertinggi Sanhedrin ikut jatuh; satu-satunya partai di Yerusalem yang dapat menyelenggarakan pekerjaan pembangunan kembali yang perlu adalah partai Farisi.[18]
Ketika orang Yahudi berada dalam masa jajahan Bangsa Romawi, hal tersebut membuat orang Yahudi tidak memiliki pilihan selain beradaptasi dengan lingkungan, sosial dan budaya Romawi. Bentuk-bentuk sistem keagamaan yang pluralis, sistem politik dan pemerintahan, menjadi tema yang tidak bisa lepas dari kehidupan mereka sehari.
Di bawah penjajahan bangsa lain, tentu menyebabkan krisis kemerdekaan yang berkepanjangan. Di zaman Yesus pandangan terhadap Mesias (Kristus) sangat beragam. Misalnya saja, sebagian orang memikirkan Mesias sebagai seorang pembebas dalam arti politis, yaitu membebaskan bangsa Yahudi dari penjajahan Romawi.
Yang lain lagi memandang Mesias sebagai seorang raja, guru atau ahli hukum, imam agung, nabi, Anak Manusia, atau pun Hamba Yahweh.[19] Pandangan orang Yahudi mengenai Mesias sebagai figur politis, yang membawa sebuah kelepasan dari tangan bangsa asing (penjajahan Romawi), jelas menimbulkan kebingungan akan realita siapakah Mesias.
Tidak heran jika setelah mereka kembali di bawah jajahan Romawi (orang Kafir), ada beberapa Sekte dan partai yang berdiri, khususnya pada masa pelayanan Yesus. Their Canon Of Scripture Included Not Only The books of the Law, But The Prophets and the writings as well. (Kanon mereka dari Kitab Suci termasuk tidak hanya Kitab Hukum, tetapi kitab nabi-nabi dan juga Tulisan-tulisan). [17]
Tatkala kota Yerusalem jatuh pada tahun 70 M beserta Bait Allah, maka pemerintahan keluarga imam dan mahkamah tertinggi Sanhedrin ikut jatuh; satu-satunya partai di Yerusalem yang dapat menyelenggarakan pekerjaan pembangunan kembali yang perlu adalah partai Farisi.[18]
Ketika orang Yahudi berada dalam masa jajahan Bangsa Romawi, hal tersebut membuat orang Yahudi tidak memiliki pilihan selain beradaptasi dengan lingkungan, sosial dan budaya Romawi. Bentuk-bentuk sistem keagamaan yang pluralis, sistem politik dan pemerintahan, menjadi tema yang tidak bisa lepas dari kehidupan mereka sehari.
Di bawah penjajahan bangsa lain, tentu menyebabkan krisis kemerdekaan yang berkepanjangan. Di zaman Yesus pandangan terhadap Mesias (Kristus) sangat beragam. Misalnya saja, sebagian orang memikirkan Mesias sebagai seorang pembebas dalam arti politis, yaitu membebaskan bangsa Yahudi dari penjajahan Romawi.
Yang lain lagi memandang Mesias sebagai seorang raja, guru atau ahli hukum, imam agung, nabi, Anak Manusia, atau pun Hamba Yahweh.[19] Pandangan orang Yahudi mengenai Mesias sebagai figur politis, yang membawa sebuah kelepasan dari tangan bangsa asing (penjajahan Romawi), jelas menimbulkan kebingungan akan realita siapakah Mesias.
Bagi
orang-orang Yahudi pada umumnya, tidak mungkin orang yang mati disalib diangkat
oleh Allah menjadi Mesias. Mesias adalah sosok utusan Allah yang diurapi-Nya. Sosok
tersebut adalah sosok pilihan Allah. Mungkinkah orang yang terkutuk (mati
disalib) diangkat oleh Allah menjadi Mesias? Dalam pemahaman orang Yahudi,
satu-satu jawabannya ialah tidak mungkin.[20]
Kepercayaan yang
sudah lama yang diwariskan dari nenek moyang memang tidak mudah untuk
dilupakan. Bagi Yahudi Mesias adalah utusan Allah yang pastinya melaksanakan
sebuah mandat yang ditugaskan Allah kepada-Nya (Mesias). Leaders
in apocaliptic thinking, the Pharisees fully supported the notion of the
Messiah as the the agent of change for a free Israel. The Pharisees expected
the Messiah to come relatively soon. For them the Messiah was a core figure in
an apocaliptic future. (Pemimpin
dalam pemikiran apokaliptik, orang-orang Farisi mendukung sepenuhnya gagasan Mesias
sebagai agen perubahan untuk sebuah Israel yang merdeka.
Orang-orang Farisi mengharapkan Mesias untuk datang segera. Rasa ingin tahu siapa Mesias yang dijanjikan membuat mereka selalu bertanya-tanya, apakah benar Yesus adalah Mesias. Bagi mereka Mesias adalah tokoh inti dalam masa depan apokaliptik).[21]
Di dalam Yohanes pasal 12, ketika Yesus memasuki Yerusalem, tampak orang banyak menyambut Yesus dan berseru : “Hosana, diberkatilah Dia yang datang dalam nama Tuhan, Raja Israel (ay. 12-13) di Pasal yang sama juga, Yesus menceritakan bagaimana proses kematian-Nya.
Yesus menganalogikan kematian-Nya dengan sebuah biji gandum yang jatuh ke dalam tanah dan mati (ay. 24), hal ini menimbulkan reaksi dari orang Yahudi yang mendengar hal itu merespons dengan berkata : “kami telah mendengar dari hukum Taurat, bahwa Mesias tetap hidup selama-lamanya; bagaimana mungkin Engkau mengatakan, bahwa Anak Manusia harus ditinggikan? Siapakah Anak Manusia itu? (ay. 34).
Barangkali orang Yahudi merujuk ke dalam Perjanjian Lama yang tertulis dalam Mazmur 110, yang musuh-musuh akan dibuat menjadi tumpuan kaki (ay. 1) dan bahwa Dia adalah Imam untuk selama-lamanya menurut Melkisedek (ay. 4).
Antara pemberitaan mengenai kematian Yesus dengan respons orang-orang Yahudi tidak terdapat sebuah sinkronisasi. Memang bagi orang yang mengakui Yesus sebagai Mesias mendapatkan konsekuensi dari orang Yahudi yaitu “akan dikucilkan” (Yoh. 9:22). Dari bukti internal (Alkitab) sangat jelas membuktikan bahwa tidak semua orang percaya bahwa Yesus adalah Mesias Allah.
Dia juga melarang melarang keras untuk memberitahukan bahwa diri-Nya adalah Mesias (Luk. 4:41). Yesus juga melarang murid-murid-Nya supaya tidak memberitahukan kepada siapapun bahwa Yesus adalah Mesias (Mrk. 8:30). Dari beberapa bukti ayat di atas, jelas, bahwa orang Yahudi tidak mengenal siapa Mesias sejati. Orang Yahudi bahkan tidak mengetahui bahwa Yesus adalah Mesias (yang diurapi), karena nubuatan Yesaya jelas mengungkapkan hal tersebut. Saya Injil Matius mengutipnya dari Yesaya pasal 6:9-10, dan hal inilah menjadi penyebab utama mengapa mereka mendengar namun tidak mengerti dan melihat tapi tidak menanggap (Mat. 13:14).
Orang-orang Farisi mengharapkan Mesias untuk datang segera. Rasa ingin tahu siapa Mesias yang dijanjikan membuat mereka selalu bertanya-tanya, apakah benar Yesus adalah Mesias. Bagi mereka Mesias adalah tokoh inti dalam masa depan apokaliptik).[21]
Di dalam Yohanes pasal 12, ketika Yesus memasuki Yerusalem, tampak orang banyak menyambut Yesus dan berseru : “Hosana, diberkatilah Dia yang datang dalam nama Tuhan, Raja Israel (ay. 12-13) di Pasal yang sama juga, Yesus menceritakan bagaimana proses kematian-Nya.
Yesus menganalogikan kematian-Nya dengan sebuah biji gandum yang jatuh ke dalam tanah dan mati (ay. 24), hal ini menimbulkan reaksi dari orang Yahudi yang mendengar hal itu merespons dengan berkata : “kami telah mendengar dari hukum Taurat, bahwa Mesias tetap hidup selama-lamanya; bagaimana mungkin Engkau mengatakan, bahwa Anak Manusia harus ditinggikan? Siapakah Anak Manusia itu? (ay. 34).
Barangkali orang Yahudi merujuk ke dalam Perjanjian Lama yang tertulis dalam Mazmur 110, yang musuh-musuh akan dibuat menjadi tumpuan kaki (ay. 1) dan bahwa Dia adalah Imam untuk selama-lamanya menurut Melkisedek (ay. 4).
Antara pemberitaan mengenai kematian Yesus dengan respons orang-orang Yahudi tidak terdapat sebuah sinkronisasi. Memang bagi orang yang mengakui Yesus sebagai Mesias mendapatkan konsekuensi dari orang Yahudi yaitu “akan dikucilkan” (Yoh. 9:22). Dari bukti internal (Alkitab) sangat jelas membuktikan bahwa tidak semua orang percaya bahwa Yesus adalah Mesias Allah.
Dia juga melarang melarang keras untuk memberitahukan bahwa diri-Nya adalah Mesias (Luk. 4:41). Yesus juga melarang murid-murid-Nya supaya tidak memberitahukan kepada siapapun bahwa Yesus adalah Mesias (Mrk. 8:30). Dari beberapa bukti ayat di atas, jelas, bahwa orang Yahudi tidak mengenal siapa Mesias sejati. Orang Yahudi bahkan tidak mengetahui bahwa Yesus adalah Mesias (yang diurapi), karena nubuatan Yesaya jelas mengungkapkan hal tersebut. Saya Injil Matius mengutipnya dari Yesaya pasal 6:9-10, dan hal inilah menjadi penyebab utama mengapa mereka mendengar namun tidak mengerti dan melihat tapi tidak menanggap (Mat. 13:14).
Tidak
dapat dikatakan bahwa di Israel, juga pada zaman Yesus Mesias adalah tokoh yang
jelas dan yang sangat diharapkan. Bahkan di kalangan para Rabi diskusi atau
takut pendapat mengenai soal Mesias dihindari. Mesias bukan tema sentral dalam
tulisan Yahudi, dan juga bukan tema religius. Mesias adalah bagian dari
institusi sosial-politik Israel. Baru pada zaman Kristiani, khususnya dalam
pemberontakan melawan penjajahan Roma, harapan seorang raja Ideal menjadi makin
kuat. Dalam konteks ini itu Mesias menjadi figur Politik, seperti Bar Kokhba.[22]
Ada sesuatu
yang tampak janggal dengan pandangan mengenai Mesias bagi orang Yahudi. Orang Yahudi yang diwakili oleh Ahli Taurat dan orang Farisi
hampir-hampir dan memang kenyataannya menolak
bahwa Yesus adalah Mesias.
Mengapakah demikian? Tentu ini adalah sesuatu yang terasa janggal, sebab kedatangan Yesus ke muka bumi adalah merupakan nubuatan yang terdapat dalam hukum Taurat dan kitab para nabi. Namun kenyataannya bahwa justru orang-orang elit yakni orang-orang tersohor (ahli Kitab dan orang Farisi) yang tidak percaya kepada Yesus maupun pemberitaan-Nya. William Barclay memberikan keterangan mengenai pandangan orang Yahudi mengenai Mesias, yaitu:
Mengapakah demikian? Tentu ini adalah sesuatu yang terasa janggal, sebab kedatangan Yesus ke muka bumi adalah merupakan nubuatan yang terdapat dalam hukum Taurat dan kitab para nabi. Namun kenyataannya bahwa justru orang-orang elit yakni orang-orang tersohor (ahli Kitab dan orang Farisi) yang tidak percaya kepada Yesus maupun pemberitaan-Nya. William Barclay memberikan keterangan mengenai pandangan orang Yahudi mengenai Mesias, yaitu:
Sebagian
besar orang Yahudi mengharapkan seorang Mesias yang akan menjadi pemimpin
Nasional yang besar dan yang akan memimpin tentara orang Yahudi menaklukkan
seluruh dunia. Ada yang beranggapan bahwa Mesias itu seorang tokoh supranatural
yang langsung datang dari Allah. Dan masih ada juga beranggapan bahwa Mesias
adalah seorang pangeran yang muncul dalam garis keturunan Daud. Sudah
seringkali terjadi adanya pembohong-pembohong yang mengaku sebagai Mesias yang
muncul dan menyebabkan pemberontakan.[23]
Tidak heran, mengapa sedikit orang saja
yang bisa mengetahui bahwa Yesus adalah benar-benar utusan Allah. Mesias sejati
tampak samar-samar dan semakin tidak jelas, sebab orang-orang sudah sering memakai dan mengatasnamakan diri
Mesias.
Yesus sendiri juga berkata bahwa akan ada banyak orang yang mengaku dirinya adalah Mesias dan melakukan penyesatan. Hal ini mengindikasikan bahwa pengakuan diri sebagai Mesias bukan hanya dipakai oleh satu orang di luar diri-Nya, melainkan banyak orang. (Mat. 24:5).
Yesus sendiri juga berkata bahwa akan ada banyak orang yang mengaku dirinya adalah Mesias dan melakukan penyesatan. Hal ini mengindikasikan bahwa pengakuan diri sebagai Mesias bukan hanya dipakai oleh satu orang di luar diri-Nya, melainkan banyak orang. (Mat. 24:5).
[4]Larry Richards, Lawrence O. Bible Teacher's Commentary (England :
Kingsway Communications Ltd., 2004) 559.
[7]Ibid. 29.
[9]Everett Ferguson. Backgrounds of Early Christianity Third
Edition (Cambridge: Eerdmans
Publishing, 2003) 515.
[10]Ibid. 515.
[11]Jose, M. Rosales. Salvation
History Third Edition (Philippines:
The Institute of Religious Education Adamson University, 1994) 85.
[14]Barrie,Wilson. How Jesus Became Christian (2011 ) no page
[21]Robert, Brownstein. Making Jesus the Messiah: Saint Paul and the God-fearers : a Market
View (Lincoln ,2000) 142.
[22]Eddy, Kristiyanto. Sinar
Sabda Dalam Prisma,Hermeneutika Kontekstual (Yogyakarta:
Kanisius, 2005) 119.
[23]William, Barclay. Injil Yohanes 8-21 (Jakarta : BPK, 2008)
132
0 Response to "THE PHARISEES "ORANG FARISI""
Post a Comment